Anda di halaman 1dari 7

Academic Paper

Konstruktivisme Dalam Analisa Hubungan Internasional


Muhammad Sibgatullah Agussalim
NIM : E052221006

Dalam bidang ilmu hubungan internasional, Konstruktivisme merupakan suatu pendekatan


yang dapat dikatakan berbeda dengan pendekatan lainnya seperti pendekatan liberal dan realis.
Pendekatan Konstruktivisme sendiri memiliki fokus terhadap peranan manusia/individu dalam
dunia hubungan internasional, berbeda dengan pendekatan realis dan liberal yang lebih melihat
bahwa aktor internasional memiliki kemiripan perilaku dalam tindakan mereka. Dalam hal ini,
Konstruktivisme sendiri memiliki beberapa asumsi dasar seperti konsep anarki, kekuasaan,
kepentingan, ataupun hubungan agen-struktur. Konstruktivisme merupakan sebuah sudut
pandang baru dalam ilmu hubungan internasional yang mempertanyakan metode ilmiah realisme
dan liberalisme. Teori ini pertama kali ditulis oleh Onuf namun di telaah secara lebih mendalam
oleh Alexander Wendt. Dalam teori ini, Wendt mencoba untuk mengembangkan jalur pemikiran
tengah antara rasionalis dan reflektivis. Selain itu Wendt juga mencobah menelaah teori ini dari
sudut pandang epistemologi positivis dan ontologi positivis. Konstruktivisme Wendt berargumen
bahwa sistem internasional adalah hasil dari konstruksi yang pada akhirnya memiliki nilai sosial,
norma, dan asumsi sesuai dengan yang diimbuhinya.
Sebelum menjadi bagian dari teori hubungan internasional, konstruktivisme merupakan
bagian dari teori sosial. Konstruktivisme baru masuk ke ranah hubungan internasional sekitar
akhir Perang Dingin, yakni akhir 80-an dan awal 90-an oleh ilmuwan – ilmuwan seperti
Nicholas Onuf, Alexander Wendt, Emanuel Adler hingga dan banyak lagi. Pasca Perang
Dingin diskursus hubungan internasional amat didominasi oleh teori – teori rasionalis.
Perdebatan teoretis selalu dipimpin oleh neorealis dan neoliberalis saja. Konstruktivisme,
seperti teori – teori post – positivis lainnya hadir mengkritik dominasi tersebut dan
menawarkan cara pandang baru dalam melihat dunia. 1
Pengikut aliran rationalist percaya
bahwa hubungan internasional dibentuk oleh pilihan – pilihan rasional yang dilakukan aktor
ketika hendak mencapai kepentingannya. Pilihan tersebut diambil dengan mengkalkulasi
pilihan yang memberi keuntungan sebanyak – banyaknya dan kerugian sesedikitnya. Baik
neorealis maupun neoliberal menekankan penelitiannya pada distribusi kekuatan materiil di
dunia, baik itu kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi. Konstruktivisme menolak
pandangan – pandangan ini. Tidak seperti realis

1
Chris Brown dan Kirsten Ainley, Understanding International Relations, 3rd ed. (London and New York:
Palgrave, 2005), 48-49.
maupun liberalis, konstruktivisme lebih berfokus pada karakter sosial, ideasional dan
intersubjektif dalam politik global.2 Dibanding aspek material, konstruktivisme percaya
bahwa aspek paling utama dalam hubungan internasional ialah aspek sosialnya.
Oleh karenanya pula, ketika para rasionalis meyakini bahwa teori hubungan
internasional harus bersifat objektif—dimana si peneliti menjadi pengamat atau sebagai orang
ketiga yang melihat fenomena yang diteliti dari luar, sehingga tidak memasukkan pandangan
– pandangan subjektif dalam menganalisa kasus, konstruktivisme justru percaya bahwa
realita sosial tidak dapat dipisahkan dari hubungan internasional, sehingga memisahkan
begitu saja aspek sosial ‘manusia’ dalam menganalisa politik global dianggap tidak tepat oleh
konstruktivisme. Konstruktivisme meyakini bahwa dunia yang kita miliki sekarang
merupakan hasil dari kekuatan ide dan pikiran, bukan semata – mata hasil dari dorongan
material saja.3 Konstruktivisme melihat bahwa negara, sama seperti manusia, bersifat sosial.
Oleh karenanya sistem internasional yang kita miliki sekarang merupakan hasil dari
konstruksi sosial yang terbentuk antar negara. Konstruksi sosial sendiri ialah hasil pemikiran
dan interaksi manusia dengan satu sama lain.4
Seperti yang kita tahu, realisme melihat bahwa hubungan internasional didorong oleh
kepentingan keamanan dan materil negara dalam hal kekuasaan. Sementara menurut
liberalisme, hubungan internasional didorong oleh ketergantungan atau interdependensi aktor
– aktor yang bekerja dalam batasan – batasan institusi internasional. Konstruktivisme melihat
bahwa politik internasional adalah sebuah ruang interaksi yang dibentuk oleh identitas dan
perilaku aktor, serta dipengaruhi oleh struktur – struktur normatif yang terus bergerak dan
berubah di dunia. Konstruktivis percaya bahwa tujuan negara, baik materiil—keamanan atau
ekonomi—maupun immateriil—kedudukan internasional, dibentuk atau didorong oleh
identitas sosial yang dimiliki atau bagaimana negara tersebut melihat dirinya diantara aktor –
aktor lain dalam komunitas internasional.5 Ketika realis dan liberalis melihat aktor
internasional sebagai pihak yang egoistis, dimana kepentingan nasional terbentuk sebelum

2
Martin Griffiths, Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach, International Relations: The Key Concepts, 2nd
ed. (London dan New York: Routledge, 2008), 51.
3
Emanuel Adler, Communitarian International Relations: The Epistemic Foundations of International
Relations (London dan New York: Routledge, 2005), 90.
4
Fred Chernoff, Theory and Metatheory in International Relations (Basingstoke: Palgrave, 2008), 68.
5
Martin Griffiths, Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach, International Relations: The Key Concepts, 2nd
ed. (London and New York: Routledge, 2008), 52.
melakukan interaksi sosial, konstruktivis justru percaya bahwa aktor internasional merupakan
‘makhluk’ sosial yang identitas serta kepentingannya merupakan produk dari struktur sosial
yang intersubjektif.6
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa perspektif yang ditawarkan konstruktivisme
merupakan suatu alternatif baru yang amat berbeda dari disiplin teori yang selama ini saya
ikuti yakni realisme. Inilah salah satu alasan mengapa konstruktivisme merupakan teori yang
bermanfaat bagi saya. Ada alternatif pandangan yang ia tawarkan, yang menurut saya mampu
menjelaskan fenomena politik global dengan lebih detil dan lebih masuk akal dibanding
dengan melihat bahwa kepentingan dibentuk sebelum interaksi sosial. Setelah mempelajari
konstruktivisme, saya menyangsikan pandangan realisme yang terkesan ‘dingin’ tersebut
dalam melihat negara dan perilakunya. Kini saya lebih meyakini bahwa konstruksi sosial
yang terbentuk baik dalam level terkecil, yakni antar manusia hingga ke level sistem
internasional merupakan pembentuk kepentingan dan perilaku negara yang paling tepat.7
Kegagalan rasionalis dalam memahami Perang Dingin juga turut menguatkan pemikiran ini,
dikarenakan tidak seperti konstruktivisme, realis maupun liberalis menolak menggunakan
aspek lain selain ‘third image’ dalam melihat situasi tersebut, sementara runtuhnya Uni
Soviet tidak lain karena didorong oleh kondisi domestik yang tidak stabil. Untuk menjelaskan
aspek – aspek ini lebih lanjut, saya akan melanjutkan ke bagian berikutnya dari esai ini yakni
poin – poin utama konstruktivisme.
Dalam perspektif ini ada tiga poin utama yang diyakini konstruktivisme. Pertama
adalah tentang pentingnya ide dalam pembentukan perilaku aktor sosial dan politik. Menurut
konstruktivis, material saja tidak cukup untuk membentuk perilaku aktor. Adanya nilai, ide,
dan norma yang menjadi suatu struktur yang diyakini bersama turut pula membentuk sikap
manusia. Konstruktivis percaya nilai dan ide inilah yang memiliki andil besar dalam
mempengaruhi tindakan politik yang diambil aktor. Kekuatan materiil hanya

6
Christian Reus-Smit, “Constructivism,” dalam Theories of International Relations, 3rd ed. Scot Burchill
et.al (Basingstoke: Palgrave, 2005), 193.
7
tentang Konstruktivisme pada level unit, sistemik, dan holistik, lihat Christian Reus-Smit, ““Constructivism,”
dalam Theories of International Relations, 3rd ed. Scot Burchill et.al. (Basingstoke: Palgrave, 2005).
memiliki arti atau ‘meaning’ bagi aktor jika ada nilai atau ide bersama bahwa materi tersebut
memang berharga, menurut konstruktivis.8
Poin berikutnya ialah bahwa struktur non-materiil mempengaruhi identitas aktor yang
kemudian mempengaruhi kepentingan dan tindakan aktor. Berbeda dengan para rasionalis
yang hanya membahas bagaimana suatu kepentingan dapat dicapai, konstruktivis melihat
pentingnya memahami bagaimana kepentingan terbentuk. Menurut konstruktivisme,
pemahaman atas terbentuknya kepentingan aktor sangat penting untuk menjelaskan berbagai
fenomena politik global yang gagal dijelaskan rasionalis.

Poin terakhir ialah keyakinan konstruktivis bahwa agen/aktor dan struktur saling
mempengaruhi. Maksudnya, struktur akan mempengaruhi identitas, kepentingan, dan tindakan
agen. Sementara agen dapat membentuk struktur sesuai dengan identitas dan kepentingan yang
ia miliki. Hal ini diakibatkan oleh struktur itu sendiri yang tidak dapat terbentuk tanpa adanya
agen yang membentuk atau tanpa adanya ide yang menjadi struktur. Sementara agen tidak
akan memiliki identitas atau ide atau nilai tanpa ada struktur yang membentuknya sedemikian
rupa.9

Melalui ketiga poin ini, Konstruktivisme menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem
internasional amat mungkin terjadi. Ketika neorealisme melihat bahwa struktur anarki
membatasi perilaku negara, Konstruktivisme justru melihat bahwa negara dapat merubah suatu
kondisi dalam tatanan global melalui kapasitas dan kesempatan yang dimilikinya dengan
melakukan proses ideasi dan penyebaran ide tersebut untuk mentransformasi kondisi tersebut.
Contohnya saja, jika suatu negara (agen) menginginkan berubahnya tatanan global menjadi
tidak anarki, hal ini dapat dilakukan melalui penyebaran ide yang ia lakukan terhadap aktor
lainnya sampai ide tersebut menjadi sebuah konstruksi yang diamini seluruh anggota
komunitas global, sehingga struktur internasional dapat diubah. Atau misalnya, suatu agen
menginginkan terciptanya kosmopolitanisme di dunia, maka ide tersebut dapat dikonstruksi
hingga menjadi suatu norma global yang mendorong terbentuknya kosmpolitanisme tadi. Hal
ini terbukti telah terjadi di Eropa, berkat proses historis, serta proses interaksi sosial antar
masyarakatnya (yang juga beridentitas serupa) yang

8
Alexander Wendt, “Constructing International Politics,” dalam Theories of War and Peace, ed. Michael
E. Brown et.al (Cambridge and London: MIT Press, 1998), 416-18.
9
Jeffrey T. Checkel, “Constructivism and Foreign Policy,” dalam Foreign Policy: Theories. Actors. Cases,
ed. Steve Smith, Amelia Hadfield dan Tim Dunne (Oxford: Oxford University Press, 2008), 72.
mempengaruhi pola interaksi antar negara di kawasan tersebut hingga akhirnya terbentuk
regionalisme yang dimiliki Eropa saat ini.
Bagi konstruktivisme, relasi antar negara terbentuk sebagaimana adanya saat ini
disebabkan karena begitulah negara dan masyarakatnya meyakininya. Ketika negara
meyakini bahwa dunia ini konfliktual, maka ia akan bertindak sesuai keyakinan tersebut.
Begitu pun sebaliknya. Seperti yang disebut Alexander Wendt, “anarchy is what state makes
of it”. Bagi Wendt, interaksi negara dengan aktor lain lah yang menjadi dasar terbentuknya
struktur identitas dan kepentingan, sementara struktur tidak memiliki kekuasaan atau
pengaruh selain dalam hal proses.10 Negara menginginkan keamanan untuk bisa
mempertahankan eksistensinya, realis dan konstruktivis sama – sama setuju atas hal ini.
Namun kebijakan keamanan seperti apa yang kemudian dibentuk berdasarkan pernyataan
tersebut? Apakah suatu negara serta merta berusaha menjadi sekuat – kuatnya ataukah
merasa cukup dengan kekuatan yang dimiliki saja? Menurut Wendt, hal ini hanya dapat
diketahui dengan mempelajari identitas dan kepentingan yang terbentuk dari interaksinya
dengan negara lain, sehingga konstruktivisme tidak hanya sekedar tentang memasukkan
peran ide dalam teori – teori hubungan internasional yang sudah ada.11
Selain itu, saya juga semakin yakin dengan teori konstruktivisme dibanding teori –
teori rasionalis, melalui intersubjective meaning yang dipaparkan konstruktivisme. Ketika
teori rasionalis berkutat pada rasionalitas sebagai alat utama aktor dalam bertindak, saya
menyadari bahwa rasionalitas itu sendiri merupakan suatu hal yang relatif dan dapat memiliki
makna yang berbeda ketika ditempatkan di lokasi yang berbeda. Maksudnya, apa yang
dianggap rasional oleh orang Cina, bisa jadi irasional di Indonesia, begitu pun sebaliknya.
Hal ini karena adanya intersubjective meaning yang menunjukkan bahwa makna dari suatu
hal atau nilai dari suatu hal bergantung pada bagaimana negara dan masyarakatnya
mendefinisikan tujuan – tujuan (ends) yang dimiliki dan bagaimana mereka mengaplikasikan
cara – cara (means) untuk mencapai tujuan tersebut.
Konstruktivisme melihat sistem internasional sebagai sesuatu yang dibentuk dari
pikiran dan ide, artinya tidak berdasarkan kekuatan maupun kondisi material. Hal ini
menekankan

10
Wendt, A., ‘Anarchy is what States make of it: The Social Construction of Power Politics’,
International Organization, 1992, vol.46, no.2, p. 391-425.
11
Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction, 3rd ed. (London, New York:
Routledge, 2010), 62.
kemampuan manusia untuk membentuk dan mengubah hubungan internasional melalui ide
dan pikirannya yang dapat terjadi melalui perubahan norma, hukum, kemampuan ekonomi,
perkembangan teknologi hingga pendidikan. Konstruktivisme tidak mengesampingkan
pentingnya materi dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri aktor, namun
konstruktivisme berusaha menunjukkan bahwa hal – hal tersebut berakar pada proses
interaksi sosial yang mengkonstruksi tindakan – tindakan aktor.

Dari uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Konstruktivisme menantang pendekatan hubungan internasional tradisional yang


melihat sistem dunia sebagai sesuatu yang ‘given’. Tidak seperti teori sebelumnya,
Konstruktivisme melihat bahwa kepentingan muncul sebagai hasil dari interaksi sosial
dan hasil berpikir/ide, tidak seperti teori sebelumnya yang melihat bahwa kepentingan
muncul terlebih dahulu sebelum interaksi terjadi (untuk memenuhi kepentingan
tersebut).
2. Konstruktivisme menawarkan cara – cara alternatif dalam memandang fenomena
dunia yang tidak dapat dijelaskan teori – teori sebelumnya. Contohnya terjadinya
Perang Dingin, maraknya terorisme, hingga kebijakan luar negeri Timur Tengah.
3. Meski menjadi bagian dari critical theory, ide – ide dan analisis konstruktivisme tetap
bersifat empiris sehingga konstruktivisme tetap masuk akal dan kredibel sebagai
sebuah teori.
4. Konstruktivisme membantu peneliti hubungan internasional memahami pembentukan
kebijakan luar negeri lebih baik, karena ia menawarkan alternatif dari pandangan
tradisional yang selalu melihat aktor sebagai pihak rasional. Konstruktivisme
menawarkan penjelasan yang lebih berdasarkan pada identitas, norma serta sejarah
yang dimiliki aktor dalam pengambilan keputusannya dibandingkan menggunakan
kalkulasi untung – rugi semata.
Referensi

Adler, Emanuel, Communitarian International Relations: The Epistemic Foundations of


International Relations (London dan New York: Routledge, 2005).

Brown, Chris dan Kirsten Ainley, Understanding International Relations, 3rd ed. (London
dan New York: Palgrave, 2005).

Checkel, Jeffrey T., “Constructivism and Foreign Policy,” dalam Foreign Policy: Theories.
Actors. Cases, ed. Steve Smith, Amelia Hadfield dan Tim Dunne (Oxford: Oxford
University Press, 2008).

Chernoff, Fred, Theory and Metatheory in International Relations (Basingstoke: Palgrave,


2008).

Griffiths, Martin, Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach, International Relations: The Key
Concepts, 2nd ed. (London dan New York: Routledge, 2008).

Reus-Smit, Christian, “Constructivism,” dalam Theories of International Relations, 3rd ed.


Scot Burchill et.al. (Basingstoke: Palgrave, 2005).

Weber, Cynthia, International Relations Theory: A Critical Introduction, 3rd ed. (London,
New York: Routledge, 2010).

Wendt, Alexander, “Anarchy is what States make of it: The Social Construction of Power
Politics”, dalam International Organization, Vol.46, No.2, (1992) p. 391-425.

Wendt, Alexander, “Constructing International Politics,” dalam Theories of War and Peace,
ed. Michael E. Brown et.al (Cambridge dan London: MIT Press, 1998).

Anda mungkin juga menyukai