Anda di halaman 1dari 6

Nama : Tiffany Abigail

NPM : 170210210026
Mata Kuliah : Teori Hubungan Internasional

Theories of International Relations


Third Edition
Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson,
Christian Reus-Smit, and Jacqui True

Buku Theories of International Relations yang ditulis oleh Scott Burchill, Andrew
Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, and Jacqui
True merupakan buku yang mengkaji dan menelaah lebih dalam tentang teori-teori dalam
hubungan internasional. Namun, laporan bacaan ini akan lebih berfokus kepada salah satu bagian
pada buku yang membahas tentang teori postmodernisme yang secara langsung dibahas oleh
Richard Devetak sebagai salah satu penulis buku Theories of International Relations. Richard
Devetak mengangkat teori postmodernisme sebagai salah satu teori dalam hubungan internasional
yang hingga kini masih diperdebatkan dalam perkembangan dunia internasional. Mengangkat
bacaan melalui pendekatan pragmatis dan nominalistis. Richard Devetak secara komprehensif
membahas tentang keterkaitan dan isu-isu yang dikaji melalui teori postmodernisme. Melihat
hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan dalam hubungan internasional, silsilah dalam
postmodernisme, strategi tekstual untuk memahami sebuah isu melalui teori postmodernisme, dan
isu-isu lainnya yang diangkat untuk memahami lebih dalam makna dan aktualisasi dari teori ini.
Postmodernisme menjadi teori yang sampai saat ini masih diperdebatkan di bidang
humaniora dan ilmu sosial. Teori ini seringkali dianggap melenceng dari nilai-nilai moral yang
ada. Kembali pada serangan teroris 11 September, postmodernisme dianggap memiliki
kecenderungan melenceng terhadap moral atau bahkan meletakkan simpatinya terhadap terorisme.
Anggapan ini yang pada akhirnya melahirkan klaim utama bahwa postmodernisme merupakan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Namun, dalam pandangan ilmu
sosial ortodoks, pengetahuan harus terpisah atau tidak dipengaruhi oleh kekuasaan. Pandangan ini
dibantah melalui argumentasi dari Kant, bahwa kepemilikan kekuasaan oleh individu maupun
kelompok tidak dapat dihindari atau akan terus mempengaruhi pengetahuan yang ada (Kant, 1970:
115). Para ahli melihat pengetahuan sebagai hal yang kognitif, namun kaum postmodernisme
melihatnya sebagai hal yang normatif dan politik (Shapiro, 1999: 1). Menurut Foucault terdapat
indikator yang tidak dapat dikurangi, sama hal nya dengan kekuatan dan pengetahuan pada
akhirnya akan saling mendukung dan menyiratkan satu sama lain (Foucault, 1977: 27). Foucault
meneliti bagaimana operasi kekuasaan berkaitan dengan matriks sosial dan politik dari dunia
modern. Disampaikan juga oleh Richard Ashley yang mengamati ‘aturan immanes’ antara
pengetahuan negara dan pengetahuan manusia, bahwa melalui akal manusia dapat mencapai
pengetahuan total, otonomi total, dan kekuasaan total. Negara modern adalah peralatan manusia
modern dan paradigma kedaulatan menghasilkan karakteristik epistemologis dan penjelasan
kehidupan politik modern. Kedaulatan berakar dari ilmu pengetahuan manusia dan kedaulatan
lekat kaitannya dengan politik dan kekuasaan, dimana pada akhirnya kehidupan dunia politik
modern dipengaruhi oleh kedaulatan manusia. Kedaulatan bertindak sebagai makna utama,
manusia dan negara ditandai dengan kehadiran kedaulatan (Jenny Edkins and Véronique Pin-Fat,
1999: 6).
Postmodernisme terutama dalam konteks hubungan internasional menggunakan genealogi
sebagai metode penting untuk mengungkapkan dan mencatat makna hubungan kekuasaan-
pengetahuan. Genealogi menegaskan perspektif yang menyangkal kemampuan untuk
mengidentifikasi asal-usul dan makna dalam sejarah secara subjektif. Pendekatan genealogis
adalah orientasi anti-esensial atau tidak setuju terhadap pengembalian ilmu pengetahuan kepada
budaya awal/asal-usul. Menegaskan kembali bahwa semua pengetahuan terletak pada waktu dan
tempat tertentu juga masalah dari perspektif tertentu. Metode genealogi postmodernisme berusaha
untuk mengungkapkan hubungan intim antara klaim pengetahuan dan klaim kekuasaan politik dan
otoritas. Hal ini bertujuan untuk mempertanyakan semua klaim epistemologis dan politik melalui
strategi teks dekonstruksi. Pendekatan ini penting dalam konteks hubungan internasional karena
menantang gagasan bahwa karakter dan lokasi politik harus ditentukan oleh negara berdaulat,
memperluas imajinasi politik dan rentang kemungkinan politik untuk mengubah hubungan
internasional. Pendekatan genealogi postmodernisme dalam hubungan internasional menekankan
pada keragaman trajektori sejarah, situasionalitas pengetahuan, dan kebutuhan untuk menantang
klaim totalitas terhadap pengetahuan dan kekuasaan politik.
Teori postmodernisme dapat dipahami melalui dua strategi tekstual, yaitu dekonstruksi dan
pembacaan ganda. Dekonstruksi, seperti yang diartikan oleh Jacques Derrida, adalah metode
analisis kritis yang berusaha mengungkapkan ketidakstabilan dan sifat hierarki dari perbedaan
antara dua atau lebih konsep. Dekonstruksi menantang gagasan konsep yang jelas dan oposisi,
menekankan bahwa setiap istilah bergantung pada yang lain dan bahwa tidak ada stabilitas murni,
hanya stabilisasi yang lebih atau kurang berhasil. Dekonstruksi adalah sebuah pemikiran untuk
memahami kontradiksi yang ada didalam teks dan mencoba untuk membangun kembali makna-
makna yang sudah melekat dalam teks tersebut. Upaya dekonstruksi dalam mencari makna lain
sejalan dengan postmodernisme yang selalu mengkritik pengetahuan yang ada dan menelaah
aspek-aspek lain dalam pengetahuan tersebut. Dekonstruksi Derrida melibatkan strategi membaca
ganda. Strategi membaca ganda diartikan oleh Richard Devetak sebagai strategi yang digunakan
dalam dekonstruksi yang melibatkan interpretasi ganda. Pembacaan pertama adalah komentar atau
pengulangan interpretasi dominan, menunjukkan bagaimana teks mencapai efek stabilitas.
Menjelaskan aspek dominan dengan membangun asumsi dasar yang sama dan mengulangi
langkah-langkah konvensional dalam argumen. Kedua, anti-memorialisasi adalah strategi yang
mengganggu interpretasi dominan dengan menerapkan tekanan pada titik-titik ketidakstabilan
dalam teks, pidato, atau lembaga. Pembacaan pertama berfokus kepada interpretasi dominan,
sedangkan pembacaan kedua melihat interpretasi lainnya yang tidak terlihat untuk menghasilkan
bacaan yang lebih stabil.
Strategi membaca ganda dapat digunakan untuk menganalisis problematika anarki.
Pembacaan ganda oleh Richard Ashley tentang masalah anarki adalah salah satu dekonstruksi
paling awal dan terpenting dalam studi hubungan internasional. Berfokus kepada konsepsi anarki
serta dampak teoritis dan praktisnya. Bangsa-bangsa berada dalam anarki yang terus-menerus,
karena tidak ada otoritas pusat yang membatasi upaya mencapai kepentingan kedaulatan (Oye,
1985: 1). Anarki menyimpulkan bahwa tidak adanya kekuasaan terpusat, dan tatanan negara
dibangun atas tindakan sukarela masyarakat, dalam artian semua terpusat kepada kepentingan
pribadi bukan kepentingan negara, dimana kedaulatan negara bertentangan dengan paham anarki.
Pembacaan pertama mengumpulkan inti dari masalah anarki, pembacaan kedua menelaah unsur-
unsur penyusun masalah anarki, menunjukkan bagaimana hal ini bertumpu pada serangkaian
anggapan yang dipertanyakan. Tujuan utama dari pembacaan ganda adalah melihat pertentangan
antara kedaulatan dan anarki, dimana kedaulatan dihargai sebagai cita-cita regulatif, sedangkan
anarki dianggap sebagai pengingkaran kedaulatan. Pertentangan antara kedaulatan dan anarki
bertumpu pada kemungkinan untuk menentukan entitas berdaulat yang memiliki batas wilayah
yang kuat dan memiliki pusat pengambilan keputusan hegemonik yang mampu merekonsiliasi
konflik, dan oleh karena itu mampu memproyeksikan konflik tunggal (Ashley, 1988: 245). Dua
dampak dari masalah pertentangan anarki dan kedaulatan adalah mewakili wilayah kedaulatan
domestik sebagai fondasi komunitas politik modern yang stabil dan sah, dan mewakili wilayah di
luar kedaulatan sebagai wilayah yang berbahaya dan anarkis. Masalah ini menghadirkan dua
pertanyaan, yang pertama apakah negara-negara berdaulat sudah lengkap secara ontologis bersifat
kesatuan? Dan apakah kurangnya kekuasaan global yang terpusat tidak diimbangi dengan asumsi
politik kekuasaan?
Negara, kedaulatan, dan kekerasan menjadi tema sentral dalam pendekatan
postmodernisme terhadap hubungan internasional. Postmodernisme berupaya untuk mengatasi
permasalahan krusial mengenai interpretasi dan penjelasan negara berdaulat yang telah dikaburkan
oleh pendekatan yang berpusat pada negara yaitu konstitusi historis dan rekonstitusi sebagai model
subjektivitas utama dalam politik dunia. Mengarahkan perhatian bukan pada ‘apa hakikat negara
berdaulat’, melainkan pada ‘bagaimana negara berdaulat itu terwujud’, ‘bagaimana negara itu
dinaturalisasikan’, dan ‘bagaimana negara itu memiliki esensi’. Hubungan antara politik dan
kekerasan dalam modernitas sangatlah ambivalen/bertentangan, karena di satu sisi kekerasan
membangun dan membentuk perlindungan bagi komunitas yang berdaulat, namun di sisi lain juga
menghancurkan, Kaitan kekerasan dan negara terungkap dalam silsilah Bradley Klein tentang
negara sebagai subjek strategis. Negara mengandalkan kekerasan untuk menjadikan dirinya
sebagai negara yang utuh, yang berarti kekerasan bersifat konstituen terhadap negara, bukan
sekedar berpatroli di perbatasan negara namun turut membentuk negara tersebut. Kekerasan tidak
bersifat konstitutif, namun konfiguratif atau posisional (Ruggie, 1993: 162-3). Struktur ontologis
negara dianggap sudah terbentuk sebelum kekerasan dilakukan, dalam arti kekerasan hanya
mengubah konfigurasi teritorial, atau instrumen kekuasaan politik, manuver strategis dalam
hierarki kekuasaan. Kekerasan menurut postmodernisme merupakan hal yang perdana dan juga
augmentatif. Jenny Edkins berpendapat bahwa paham kemanusiaan terlibat dalam penyusunan
tatanan kekuasaan kedaulatan sebuah negara dan turut mempengaruhi kekuatan politik yang
terbentuk. Adapun konsep Homo Sacer yang dibahas dalam Hodo Sacer: Sovereign Power and
Bare Life (1998) oleh Giorgio Agamben menjelaskan tentang bagaimana sebuah negara berdaulat
dan terbentuk oleh kekerasan. Selain berbicara tentang kekerasan, adapun batasan yang harus
dimiliki oleh negara. Pembatasan atau batasan negara merupakan tindakan politik yang memiliki
konsekuensi signifikan terhadap produksi, ruang politik, dan konstruksi identitas politik.
Postmodernisme berfokus kepada upaya partisi ruang politik global (Dillon dan Everard, 1992:
282). Batasan di dunia modern berfungsi untuk membagi ruang interior yang berdaulat dari ruang
eksterior yang pluralistik dan anarkis, yang berarti memisahkan negara dari wilayah anarki.
Batasan yang telah ditetapkan secara tertulis merupakan aspek penting dalam menentukan
kedaulatan negara, dimana kedaulatan maupun anarki tidak dapat terwujud tanpa adanya batasan
jelas yang membagi ruang politik. Penetapan batas menghasilkan negara yang lengkap dan terikat,
dibangun melalui imajinasi nasionalis (Campbell, 1998a: 11). Namun, batasan ini menimbulkan
ambiguitas yang mengarah kepada pertanyaan ‘bagaimana batasan tersebut dibentuk’, ‘status
moral dan politik apa yang diberikan’, ‘bagaimana batasan tersebut beroperasi’, dan ‘bagaimana
batasan menghasilkan ketertiban dan kekerasan secara bersamaan’. Penetapan batas merupakan
tindakan politik yang memiliki implikasi politik mendalam dalam produksi dan pembatasan ruang
politik.
Negara berkaitan erat dengan tata negara yang mengacu kepada praktek politik yang
membentuk dan memelihara negara, menekankan kemampuan beradaptasi, fleksibilitas, dan peran
kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan dan pengaruh negara. Tata negara yang dipengaruhi
oleh postmodernisme memiliki arti bahwa negara harus dengan cepat beradaptasi dan fleksibel
dalam menghadapi perubahan. Postmodernisme berupaya untuk mengembangkan konsep politik
di dunia modern. Mengkritik bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai kekuasaan bersama,
bukan kekuasaan tertinggi yang absolut. Postmodernisme menekankan pada praktek politik yang
dinamis, bergerak terus-menerus dalam upaya membangun dan mempertahankan negara. Refleksi
postmodernisme dalam hubungan internasional melahirkan dua aliran. Aliran pertama menantang
argumen etika tradisional berdasarkan ontologi, menolak batasan tetap dalam dan luar.
Mempertanyakan batasan yang dinilai kaku dan dipertahankan oleh negara-negara berdaulat, serta
merekomendasikan etika yang melampaui batas-batas spasial dan imajiner. Aliran kedua
mempertanyakan hubungan tradisional antara ontologi dan etika, dengan memprioritaskan etika
sebagai titik awal. Menegaskan adanya perubahan dan membangun hubungan simetris antar semua
pihak.
Buku Theories of International Relations yang lebih jauh membahas tentang teori
postmodernisme memberikan pemahaman mendalam tentang perkembangan, kritik, sampai
dengan perubahan yang dinamis di dunia modern. Saya dapat melihat bahwa postmodernisme
merupakan teori yang membahas tentang permasalahan dunia modern yang selalu berputar pada
kekuasaan negara dan kepentingan individu atau kelompok didalamnya. Satu sisi postmodernisme
membawa pemahaman tentang bagaimana selama ini dunia modern dinilai monoton oleh paham
lain, namun postmodernisme hadir untuk melihat aspek lain di dunia modern yang kerap kali
terlupakan atau tidak dibahas. Postmodernisme melihat kekuasaan, pengetahuan, dan manusia
sebagai entitas yang berbeda namun saling berkaitan dan mempengaruhi dari segala aspek. Hal ini
memberikan kesan tersendiri, bahwa dalam setiap peristiwa yang terjadi tidak hanya dapat dikaji
melalui perspektif dominan, melainkan perspektif lainnya yang dinilai mendukung dan membuka
penjelasan baru bukan semata-mata untuk menentang perspektif utama namun untuk melihat
faktor lainnya yang dapat mempengaruhi atau berdampak terhadap peristiwa tersebut. Membuka
pemikiran saya untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sisi, jahat maupun baik, dan selalu
bertanya ‘mengapa dan bagaimana’ untuk mendapatkan pemahaman yang lebih terperinci.

Referensi

Devetak, R. (2005). Postmodernism. In S. Burchill, A. Linklater, R. Devetak, J. Donnelly, M.


Paterson, C. Reus-Smit, & J. True (Eds.), Theories of international relations (pp. 161–187).
New York: Palgrave

Anda mungkin juga menyukai