Anda di halaman 1dari 6

Nama : Annafiurrahman

NIM : 10040222089

Kelas C Hubungan Internasional

Berbicara mengenai Sistem Internasional tentu tidak akan lepas dari yang namanya dinamika
kehidupan sekelompok manusia dalam bernegara karena sistem internasional itu sendiri erat
kaitannya dengan hubungan antar negara yang memiliki kepentingannnya masing-
masing.Dan perkembangan dari dinamika itu sendiri telah membentuk atau melahirkan suatu
sistem internasional yang berkembang dari waktu ke waktu,yang mana sistem internasional
sendiri dapat kita katakan sebagai suatu perangkat hubungan internasional yang telah dipola
sedemikian rupa sesuai dengan situasi dan kondisi internasional. Dan juga Sistem
internasional ini bertugas untuk mewadahi segala praktik hubungan internasional yang terjadi
di antara aktor-aktor yang resmi ataupun yang tidak resmi.1

Dari penjabaran diatas terdapat beberapa perspektif hubungan internasional yang menonjol
dalam melihat sistem internasional. Sebagai suatu perangkat didalam hubungan internasional
terdapat suatu perspektif yang paling terkenal dalam berbagai konteks hubungan internasional
berasal dari kaum realisme yang menganggap bahwa sistem internasional bersifat anarki
karena tidak ada pemerintahan di atas dunia dan negara adalah aktor utama dalam sistem
internasional tersebut. Lebih lanjut lagi kaum realis juga memperkenalkan konsep polaritas
dalam hubungan internasional yang berkaitan dengan sistem internasional yang ada.

Terdapat beberapa sistem polaritas yang disebut dengan unipolar, bipolar dan multipolar.
Dalam unipolar hanya terdapat satu negara yang paling kuat dan berpengaruh di dunia di
mana suatu negara melancarkan hegemoninya terhadap negara-negara lain. Lalu, dalam
bipolar terdapat dua negara yang paling kuat di dunia. Sistem bipolar erat kaitannya dengan
konsep balance of power atau perimbangan kekuatan yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz
dalam bukunya Theory of International Politicsdi mana dengan hanya ada dua negara
berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan tindakan untuk memelihara sistem.
Selanjutnya dalam sistem multipolar terdapat banyak negara yang kuat dan berpengaruh di
dunia. Sistem polaritas tersebut diperkenalkan oleh para kaum realis. Karen A. Mingst
mengatakan bahwa kaum realis menaruh ketertarikan kepada konsep polaritas ini karena
polaritas berfokus pada konsep kekuasaan,akan tetapi didalam salah satu jurnal yang ditulis

1
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/diky_kurniawan/
55005c76a333115373510a4b/sistem-internasional
oleh Azwar Asrudin salah satu politikus yakni Van Ness memberikan gugatan secara tegas
terhadap paradigma ini,disana Van Ness menggugat semua pandangan paradigma realisme
Menurut Van Ness, dunia tidak lagi bekerja dalam kerangka pemikiran realis. Karenanya,
Van Ness meyakini paradigma realisme sedang mengalami krisis yang disebabkan oleh
semakin banyaknya anomali yang dihadapi dunia pada era kekinian: negara-negara kini lebih
memilih strategi win–win daripada strategi zerosum dalam menyelesaikan
perselisihan;negara-negara juga saat ini telah menunjukkan keharmonisannya karena mereka
merasa saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain; dan yang paling penting menurut
Van Ness adalah kegagalan realisme untuk memberikan penjelasantentang munculnya
pendekatan “Kerjasama Keamanan.”

Untuk yang pertama, Van Ness mengambil contoh kasus senjata nuklir. Hampir semua
negara paling kuat di dunia, kecuali Jerman dan Jepang (dua negara yang dikalahkan dalam
Perang Dunia Kedua), memiliki senjata nuklir. Menurut Van Ness, perang besar di antara
mereka sangat tidak mungkin terjadi dilihat dari alasan atau perspektif rasional
manapun.Mengapa demikian? Karena perang nuklir pastinya tidak akan dimenangkan oleh
pihak manapun dan perang ini hanya akan menjadi ajang bunuh diri masal di antara mereka.
Fakta ini, Van Ness kembali mengutarakan, telah menyadarkan para pembuat kebijakan luar
negeri AmerikaSerikat dan Uni Soviet ketika terjadinya krisis rudal Kuba pada 1962. Padahal
waktu itu mereka berada di ambang bencana perang nuklir. Oleh karena itu, kedua negara
superpower tersebut kini lebih memilih bekerjasama dalam pengendalian senjata yang
dirancang untuk membatasi bahaya senjata nuklir.2

Pada bagian ini, penulis (Azwar Asruddin) akan membahas pembelaan realis atas gugatan
Van Ness. Penulis akan memberikan sejumlah contoh kasus empiris yang jauh lebih kuat
secara argumen dari Van Ness.Sebagaimana diketahui, realisme adalah suatu upaya untuk
menggambarkan situasi politik internasional itu berjalan secara anarkis. Dalam gejala ilmu
sosial mungkin saja terjadi suatu anomali seperti yang telah disinggung oleh Van Ness,
dimana politik internasional ternyata berjalan dengan aman tanpa adanya ketegangan,
konflik, ataupun perang. Dengan begitu realisme patut dipertanyakan keabsahan
paradigmanya. Namun, seperti ditunjukkan oleh Kuhn, kejadian-kejadian yang menyimpang
(anomali) ini tak serta merta bisa menggugurkan suatu paradigma (Huntington, 1993: 187).
Ketika Perang Dingin berakhir kita mendapati bahwa situasi politik internasional tetap

2
Azwar Asrudin,Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai
Paradigma,IJIS Vol.1, No.2, Desember 2014
berjalan secara anarkis. Prediksi paradigma endisme tentang perdamaian di era Pasca Perang
Dingin ternyata salah. Krisis Teluk yang berujung pada invasi Amerika Serikat terhadap Irak
adalah bukti nyata kegagalan paradigma endisme mempediksi situasi politik
internasional.Dengan begitu dapat dikatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin, struktur
dasar sistem internasional sebagian besar tidak mengalami perubahan. Negara masih menjadi
aktor penting politik internasional dan terus bekerja dalam sistem yang anarkis. Sangat sulit
untuk menemukan seorang ahli yang berani mengatakan bahwa PBB atau institusi
internasional lainnya dapat memaksakan pengaruhnya terhadap negara-negara berkekuatan
besar atau memungkinkan untuk dapat memiliki pengaruh tersebut di masa yang akan datang
(Mearsheimer, 1994/95: 5-49), karena kedaulatan negara belum juga berakhir.3

Dalam jurnal ini Azwar Asruddin memberikan pembelaan pada teori paradigma yang
dikemukakan oleh Thomas Kuhn yang digugat tegas oleh Van Ness dimana bahwasanya
politik internasional ternyata berjalan dengan aman tanpa adanya ketegangan, konflik,
ataupun perang. Yang secara otomatis akan mempertanyakan teori realism yang
dikemukakan oleh Thomas Kuhn.Padahal dalam ketegangan,konflik , maupun perang
tersebut tidak akan serta merta akan menghilangkan atau menggugurkan suatu paradigma
karena pasca perang dingin situasi politik tetap berjalan dalam koridor anarkis.

Dan disisi lain juga terdapat paradigma lainnya selain realisme yaitu pandangan kaum
liberalis bahwanya sistem internasional dijalankan oleh aktor yang bukan hanya negara, tetapi
juga aktor-aktor lain seperti IGO, NGO, MNC, bahkan individu. Kesemuanya bersama
dengan negara sama-sama berperan penting dalam sistem yang ada. Lebih lanjut Karen A.
Mingst mengatakan bahwa kaum liberal memandang sistem internasional sebagai jalan untuk
mengonseptualisasikan beragam interaksi di atas tingkat negara, dengan kata lain liberal
memandang sistem internasional sebagai arena dan proses untuk berinteraksi. Berbeda
dengan liberalisme, dalam pandangan marxis/strukturalis yang sangat terkenal
menitikberatkan pada masalah ekonomi menganggap sistem yang ada dibagi berdasarkan
stratifikasi kelas-kelas. Aktor utama dalam sistem internasional berasal dari pembagian kelas-
kelas yang ada di mana kelompok kapitalis perekonomian. Namun, disamping perspektif
diatas sistem internasional setiap waktu mengalami berbagai dinamika seiring dengan
hubungan antar aktor yang terjadi dalam dunia hubungan internasional itu sendiri.

3
Azwar Asrudin,Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai
Paradigma,IJIS Vol.1, No.2, Desember 2014
Sistem Konstruksi Internasional yang menjelaskan pola interaksi antar negara ini masih
relevan menjelaskan dinamika hubungan internasional di abad ke-21. Namun terjadi
perubahan pola interaksi dalam hubungan internasional dengan begitu kompleksnya
kepentingan nasional masing-masing negara dan perkembangan ekonomi yang signifikan di
kawasan Asia Pasifik. Pasca perang dingin, dinamika hubungan internasional saat ini
menunjukkan hubungan antarnegara yang semakin fleksibel. Dimana terjadi perubahan
polarisasi dunia yang awalnya terbagi menjadi dua kutub raksasa yaitu blok barat dan blok
timur menjadi npergerakan secara progresif kerjasama searah yang lebih bersifat multipolar.
Pernyataan ini didukung oleh yang menuliskan setelah perang dingin berakhir, pola interaksi
bukan lagi tentang konflik ideologi, namun pola interaksi lebih bersifat multipolar dimana
kekuatan regional dan aktor non-negara dapat memainkan peran penting dikawasan.
Pergeseran juga terjadi dengan adanya persaingan yang bersifat tradisional (militer) ke
persaingan non-tradisional (ekonomi) di antara negara-negara di dunia. Nuansa isu yang
berkembang di hubungan internasional tidak lagi fokus hanya padapolitik tinggi (isu yang
berhubungan dengan politik dan keamanan) namun juga isu-isu politik rendah seperti isu
terorisme, hak asasi manusia, ekonomi, lingkungan hidup.

Interaksi negara-negara dalam hubungan internasional selalu mengandung tiga hal pokok
yang saling berhubungan dan memiliki korelasi positif yaitu konflik, kerjasama dan
persaingan. Pengaruh pemberitaan menyebabkan tingginya interdependensi antar negara-
negara, sehingga mereka seringkali membentuk institusi-institusi internasional untuk
menghadapi masalah bersama, hal inilah yang menimbulkan kecenderungan multipolar .
Negara-negara saling bekerjasama untuk menghindari terjadinya konflik dan meminimalkan
persaingan yang mungkin terjadi antara negara-negara yang melakukan kerjasama. Walaupun
di era ini 3 jenis kekuatan masih saja terkotak kotakkan menjadi great power (seperti negara
AS dan Inggris), middle power (Indonesia, Prancis) dan small power (Israel),trust building
antar negara untuk mencegah terjadinya perang. Maraknya hubungan kerjasama ini ditandai
dengan banyaknya organisasi internasional yang baik bilateral maupun multilateral yang
membentuk pola tertentu seperti pola kerjasama regional seperti ASEAN ( Association of
South East Asia Nations ) dan EU ( European Union ), kerjasama dengan kesamaan identitas
seperti OIC (Organization Islamic Conference) , pertahanan di bidang pertahanan dan
keamanan seperti FPDA ( Five Power Defense Arrangement ).4

4
Imam Mulyana,Peran Organisasi Regional Dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan
Internasional,Jurnal Cita Hukum 2 (2), 40839, 2015
Kerjasama tersebut menunjukkan bahwa aktor yang berperan saat ini bukan hanya negara,
namun juga organisasi internasional. Negara-negara yang kuat membuka diri untuk
melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara yang lebih lemah
guna terjadinya stabilitas negara. Kerjasama ekonomi misalnya terdiri dari organisasi BRICS
(Brazil, Rusia, India, China, South Africa) yang memiliki latar belakang sistem sosial dan
ideologi yang berbeda namun memiliki visi yang sama untuk mengatasi masalah ekonomi
yang mendesak terkait perkembangan global. Organisasi ini merupakan salah satu contoh
pergeseran pola interaksi antar negara yang cenderung melakukan hubungan kerjasama
dengan latar belakang yang berbeda demi mengatasi masalah global dengan dinamikanya
yang kompleks dan tetap mempertahankan eksistensi dan kepentingannya.5

Sumber bacaan :

1. Jurnal Azwar Asrudin,Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai
Paradigma,IJIS Vol.1, No.2, Desember 2014

2.Web https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/diky_kurniawan/
55005c76a333115373510a4b/sistem-internasional.

3. Jurnal Imam Mulyana,Peran Organisasi Regional Dalam Pemeliharaan Perdamaian dan


Keamanan Internasional,Jurnal Cita Hukum 2 (2), 40839, 2015

4. Jurnal Ade Priangani,Perkembangan Brics (Brazil, Russia, India, China and South Africa)
Dalam Kancah Ekonomi Politik Global,Jurnal Kebangsaan 4 (7), 103254, 2015

5
Ade Priangani,Perkembangan Brics (Brazil, Russia, India, China and South Africa) Dalam Kancah Ekonomi
Politik Global,Jurnal Kebangsaan 4 (7), 103254, 2015
5.Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

6.Jalal, Hasjim. 2001. Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik: Sudut
Pandang Indonesia. Jakarta: Rendino Putra Sejati.

Anda mungkin juga menyukai