Anda di halaman 1dari 6

UTS THI II KODE SOAL : GENAP

Nama: Annisa Hendro Cahyani


NIM: 2018350750028
Hari/tgl: Selasa, 26 Oktober 2021
Dosen: Dr. Ambarwati, M.Si

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan paragidma ? Dan apa beda paradigma dengan teori ?
Jelaskan pula tentang inter-paradigm debate ?

Jawab: Paradigma dan teori merupakan konsep dalam sains untuk mendefinisikan fenomena
yang berbeda. Teori menjelaskan fenomena berdasarkan kriteria tertentu sementara paradigma
menyediakan latar belakang atau kerangka yang memungkinkan teori untuk diuji dan diukur.
Paradigma dapat memiliki sejumlah teori dalam kerangka kerjanya dan paradigma bertindak
sebagai titik referensi untuk teori tersebut. Dua konsep ini beroperasi satu sama lain tetapi
memiliki perbedaan. Perbedaan utama antara paradigma dan teori adalah bahwa teori memberi
kita penjelasan tentang suatu fenomena sementara paradigma bertindak sebagai teori atau
kerangka filosofis, teori menjelaskan suatu fenomena atau menyajikan hubungan yang ada. Ini
memungkinkan kita untuk memahami sifat dari fenomena tertentu dan hubungan sebab akibat
yang ada di dalamnya. Teori memberi kita gambaran umum biasanya tanpa pengecualian.
Teori dapat diuji dan dapat dipalsukan. Sebuah teori selalu memiliki bukti dan dapat diuji oleh
siapa saja dan memperoleh hasil yang sama yang menjamin kebenaran yang dimilikinya.
Dalam semua ilmu, ada teori yang menciptakan ilmu baru dan membawa perkembangan
dalam ilmu tertentu. Untuk menghasilkan suatu teori, prosedur tertentu harus diikuti. Ahli
teori terlibat dalam eksperimen, observasi, dan menggunakan berbagai metode ilmiah untuk
membangun teori secara logis. Para ahli teori juga menggunakan hipotesis yang diuji berulang
kali untuk membuat teori.

Sedangkan paradigma jauh lebih luas dan mengacu pada kerangka teoritis. Seperti halnya
teori, dalam semua ilmu, terdapat paradigma yang berfungsi sebagai kerangka acuan yang
membantu menyalurkan pengamatan dan suatu temuan ilmu. Intinya, sebuah teori
menjelaskan dan memunculkan hubungan sebab akibat dalam suatu fenomena, teori juga
dapat dianggap sebagai ciptaan pengetahuan baru, teori selalu dapat diuji dan dapat
dipalsukan. Sedangkan sebuah paradigma mengacu pada kerangka teoritis dan filosofis dan
paradigma bertindak sebagai kerangka acuan, paradigma juga bentuk tersirat dan berfungsi
sebagai perwujudan teori.
Inter-paradigm debate adalah awal dari lahirnya HI, evolusi pemikiran untuk dunia yang lebih
baik dan lebih kooperatif yang terjadi setelah konflik dunia inilah disiplin Hubungan
Internasional yang muncul pada tahun 1919. Seperti ilmu pengetahuan lainnya, teori adalah
dasar HI dalam bagaimana mendefinisikan dirinya sendiri dan memandang dunia dan ketika
teori-teori yang bertentangan muncul bentrokan pasti menjadi perbincangan. Perselisihan ini
sepanjang sejarah singkat HI telah dikenal sebagai 'Perdebatan Besar', atau the great debate
atau inter-paradigm debate. Ada 4 teori yang diperdebatkan yaitu 'Realisme / Liberalisme',
'Tradisionalisme / Perilakuisme', 'Neorealisme / Neoliberalisme' dan 'Rasionalisme /
Reflektivisme'. Semua perdebatan emiliki efek pada teori HI, beberapa lebih besar dari yang
lain, tetapi setiap analisis memiliki manfaat dari dampak masing-masing dalam
keberlangsungan ilmu Hubungan Internasional.

2. Jelaskan latar belakang munculnya teori normative !! Dan apa yang membedakan teori
normative dengan gagasan idealisme liberal pasca Perang Dunia I ?

Jawab: Ilmu hubungan internasional pada saat lahirnya sangat preskriptif (memberi pedoman),
normatif, dan didasarkan pada karya konseptual dari aktifitas ilmuwan yang sangat dekat
keterkaitannya dengan pengambilan kebijakan. Ilmu hubungan internasional lahir dan
berkembang sebagai bentuk tanggapan langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata yang
terjadi di dunia dan mendefinisikan tujuan-tujuannya untuk mencegah pengulangan peristiwa-
peristiwa tersebut. Pemikiran idealis ini berkembang sejak akhir PD I hingga PD II (1920-an
hingga 1930-an). Pemikiran idealis ini tampil menawarkan kepada para pengambil kebijakan
di berbagai negara sebuah tatacara untuk menghindari perang. Namun kenyataannya selama
dekade 1920-an dan 1930-an ketegangan akibat pacuan senjata di Eropa terus meningkat.
Aliasi militer Triple Etente (Inggris, Perancis, Rusia) dan Triple Alliance (Jerman, Italia,
Austria) terbentuk dan saling berhadapan. LBB tumbuh menjadi lembaga yang digunakan
sebaga ajang membangun kekuatan bagi negara-negara besar Eropa sehingga lembaga yang
dibentuk atas dasar cita-cita perdamaian dunia justru berubah menjadi wilayah konflik.
Munculnya nazi Jerman sebagai sebuah kekuatan militer besar adalah sebuah kenyataan yang
terencana untuk menjadikan negara fasis itu sebagai kekuatan dominan di Eropa. Menguatnya
upaya Inggris membangun aliansi untuk mencegah ambisi Jerman adalah kenyataan lain yang
juga terencana. Masalah utama yang melekat dalam paradigma idealis adalah pemikiran yang
ditawarkan jauh dari kenyataan yang dilakukan oleh para pemimpin di negara-negara Eropa.
Kenyataan di Eropa menunjukkan keinginan yang kuat dari para pemimpinnya untuk
melakukan perang dalam upaya meraih dominasi kekuatan baik dibidang ekonomi maupun
militer. Ambisi kekuasaan yang sangat menonjol ini kemudian membimbing bangsa-bangsa
Eropa terseret kedalam kekacauan besar yang sama sekali menghancurkan keamanan dan
perdamaian.

Sedangkan gagasan idealisme liberal muncul akibat kegagalan paradigma idealis dalam
menjelaskan kenyataan hubungan internasional pada dekade 1930-an mendapat tanggapan
dengan lahirnya paradigma alternatif yang dikenal sebagai paradigma realisme. Paradigma
realisme ini muncul pada era pasca PD II (1940-an) dan secara umum adalah paradigma yang
paling dominan, paling tidak dominasinya berlangsung hingga dekade 1980-an. Kemunculan
paradigma realisme ini juga tidak terlepas dari tampilnya Amerika Serikat sebagai kekuatan
dominan pada era dan pasca PD II. Bahkan ada kecenderungan pemerintah Amerika
mendorong diperkuatnya kajian hubungan internasional untuk memetakan tindakan negara adi
daya ini kedepan. Pemikiran awal yang ditawarkan oleh paradigma realisme ini ada tiga
prinsip. pertama adalah negara merupakan aktor terpenting dalam hubungan internasional.
Kedua, terdapat perbedaan yang tajam antara politik dalam negeri dan politik internasional.
Ketiga, titik tekan perhatian kajian hubungan internasional adalah tentang kekuatan dan
perdamaian. Realisme adalah tradisi teoritik yang mendominasi studi hubungan internasional
selama masa Perang Dingin. Pendekatan teoritik ini menggambarkan hubungan internasional
sebagai suatu pergulatan memperebutkan kekuasaan diantara negara-negara yang masing-
masing mengejar kepentingan nasionalnya sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek
upaya penghapusan konflik dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena
gagasan ini bisa memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan mengenai
perang, aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan berbagai fenomena
internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu itu sesuai dengan sifat pokok
persaingan AS-Uni Soviet (US).

3. Jelaskan pendapat Thucydides dan Morgenthau dalam menjelaskan tentang kondisi


balance of power ? Untuk pendapat kedua tokoh klasik ini masing-masing berikan
contohnya !!

Jawab: Waltz menyatakan bahwa negara-negara akan membangun dan berkoalisi militer
untuk menekan negara hegemon atau menyeimbangkan negara hegemon tersebut yang disebut
sebagai balance of power. Pandangan neo-realisme terhadap keamanan nasional pada
dasarnya berfokus pada adanya balance of power antara negara-negara dalam menghadapi
security dilemma masing-masing. Walaupun dasar pemikiran perspektif ini atas tatanan sistem
internasional tidak berubah dari pemikiran pendahulunya realisme, pemikiran neo- realisme
telah terbagi menjadi dua sesuai dengan pola perilaku negaranya, baik secara defensif yang
mengutamakan keamanan nasional sendiri atau secara agresif yang mengutamakan
peningkatan kekuatan dan mengejar hegemoni di areanya. Pandangan yang pragmatis atas
dunia ini merupakan sebuah cara yang masih valid dan logis di masa kini, dengan
ketidakpastian pola-pola negara berinteraksi dewasa ini, juga dengan tantangan era digital,
menyebabkan neo-realisme masih menjadi salah satu mazhab yang dapat digunakan sebagai
kajian keamanan nasional. Balance of power ini terjadi karena dengan masing-masing negara
yang berfokus dengan keamanan nasionalnya sendiri, tidak ada lagi negara yang secara
terbuka berusaha untuk memiliki power lebih besar dari yang lain, dan ketika sebuah negara
meningkatkan kekuatan negaranya, negara yang lain juga mengikuti sehingga tercipta
keseimbangan antara kekuatan dari negara-negara ini.

4. Jelaskan tentang asumsi-asumsi dari defensif-realism dan offensif realism ?! Apakah


situasi sistem internasional akan lebih stabil bila semua negara mengambil posisi
defensif ?

Jawab: Realisme memperoleh perbaikan dengan munculnya teori “offense-defense”. Para


ilmuwan berpendapat bahwa perang ternyata lebih mungkin terjadi ketika negara-negara
dalam kondisi bisa saling-menaklukkan dengan mudah. Yaitu, ketika “offense” lebih mudah
daripada “defense”. Tetapi, sebaliknya, ketika “defense” lebih mudah daripa “offense”,
keamanan lebih terjamin, insentif untuk melakukan ekspansi wilayah berkurang, dan
kerjasama internasional berkembang pesat. Dan kalau “defense” mendatangkan keuntungan,
dan negara-negara bisa membedakan senjata ofensif dari senjata defensif, maka negara-negara
bisa memperoleh sarana untuk mempertahankan diri tanpa mengancam yang lain, sehingga
dengan demikian bisa mengurangi akibat dari sifat anarkis sistem internasional.

Menurut kaum realis “defensif” ini, negara-negara umumnya berusaha untuk sekedar
“survive” dan negara-negara besar bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk
aliansi-aliansi yang saling mengimbangi dan memilih postur militer yang defensif. Menurut
Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah negara besar, yang masing- masing berusaha
untuk bertahan hidup. Karena sistem itu anarkis (yaitu tidak ada wewenang terpusat yang
bisa melindungi negara dari serbuan negara lain), maka masing- masing negara harus
mempertahankan hidupnya dengan usaha sendiri. Waltz berpendapat bahwa kondisi seperti
ini akan mendorong negara-negara yang lebih lemah saling- bersekutu untuk mengimbangi
(balance) dan melawan negara-negara yang lebih kuat, bukan malah bergabung (bandwagon)
dengan negara-negara kuat itu. Bertolak-belakang dengan pendapat Morgenthau, Waltz
menyatakan bahwa bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas. Defensif realis ini
berfokus pada teori Kenneth Waltz tentang balance of power, dan dengan asumsi dasar
bahwa negara-negara akan saling menyeimbangkan lebih umum daripada kemungkinan
negara untuk bersekutu. Hal ini dikarenakan para pemikir realis yang defensif berasumsi
bahwa negara yang berusaha mengejar hegemoni dalam sistem internasional akan di counter
oleh negara-engara lain yang menjaga status quo atas keseimbangan kekuatan negara-negara.
Berbanding terbalik dengan Offensif realist, yang melihat bahwa negara harus memiliki
strategi yang bagus untuk meningkatkan power sebanyak-banyaknya sebagai salah satu cara
untuk dapat bertahan. John Mearsheimer adalah salah satu tokoh neorealis yang berupaya
untuk memperbaiki bias status quo dari pandangan Kenneth Waltz. Bagi realis ofensif,
negara-negara bukanlah aktor-aktor yang semata-mata berupaya untuk menjaga posisi di
sistem internasional dan lantas mengejar power seperlunya, tetapi lebih pada klaim bahwa
negara-negara adalah aktor yang mengejar kekuatan, dan menyimpan rencana-rencana agresif
di masa depan. Bagi realis ofensif, sistem internasional memberikan manfaat yang besar bagi
negara-negara kuat yang bertindak lebih agresif untuk menjaga keamanan nasionalnya dan
memastikan kelangsungan hidupnya.

5. Studi kasus : Buat uraian singkat tentang kasus integrasi European Union dari kacamana
Kantian Triangle !! Menurut saudara, bagaimana dengan kerjasama ASEAN ? Mengapa
tidak sesukses kerjasama dalam Uni Eropa ?

Jawab: Eropa berjuang untuk menemukan bentuk integrasi yang stabil, relevansi kontemporer
Kant tidak berhenti pada prediksi yang mengesankan dan mengeksplorasi ‘kantian triangle’
mengartikulasikan tiga konsepsi sentral Eropa saat ini sebagai formasi politik. Apa yang
begitu mencolok tentang tiga konsepsi adalah bahwa mereka semua dibahas oleh Kant.
Ketiganya menyangkut Eropa sebagai:

(i) wilayah negara-negara bangsa yang saling berhubungan tetapi otonom; Fokusnya adalah
pada apa yang dia anggap sebagai bentuk masyarakat paling maju pada masanya: 'orang-
orang yang telah mengelompokkan diri mereka ke dalam negara-negara bangsa.' Dan klaim
dasarnya adalah bahwa perbaikan konstitusional yang mengesankan yang terlihat dalam
negara-bangsa seperti itu memiliki nilai yang terbatas selama kehancuran negara melalui
perang tetap menjadi takdir yang mungkin terjadi. Konsolidasi kemajuan politik di dalam
suatu negara dengan demikian juga memerlukan 'kesepakatan umum antara bangsa-bangsa.'
Kesepakatan ini akan memiliki tujuan 'untuk melestarikan dan mengamankan kebebasan
masing-masing negara di dalam dirinya sendiri.'

(ii) federasi negara-negara bagian tersebut; Jadi, bagi Kant, segala sesuatu bergerak di antara
dua kuburan batas kebebasan: 'keadaan kebiadaban tanpa hukum' dari keadaan alam, dan
kondisi 'despotisme universal dalam negara internasional.' Keduanya harus dihindari, dan
demikian Kant menyebut alih-alih untuk sesuatu yang juga dia lihat akan datang di Eropa:
suatu bentuk federasi yang mungkin mencegah perang: Federasi ini tidak bertujuan untuk
memperoleh kekuasaan seperti negara bagian, tetapi hanya untuk melestarikan dan
mengamankan kebebasan masing-masing negara bagian itu sendiri, bersama dengan negara-
negara konfederasi lainnya. Kant menegaskan ini sebagai satu-satunya bentuk integrasi yang
memiliki peluang baik untuk mempertahankan kebebasan maupun untuk bertahan dari
pergeseran hubungan kekuasaan antara negara-negara berdaulat.

(iii) satu negara kesatuan. Kant tidak pernah melupakan fakta bahwa dalam konteks
internasional seseorang selalu dihadapkan pada hubungan antara kehendak berdaulat tunggal,
kehendak bangsa-bangsa, dan bahwa pembentukan sukarela 'badan politik besar' oleh bangsa-
bangsa dapat hanya mewujudkan 'kehendak bersatu' yang relatif stabil, bukan pembentukan
'kehendak umum' tunggal yang baru. Ini adalah gagasan tentang 'sebuah federasi yang
bertahan dan berkembang secara bertahap yang kemungkinan besar akan mencegah perang,
walaupun akan selalu ada risiko pecahnya perang baru'. Ia juga berpikir bahwa sebuah negara
internasional mungkin terlalu besar untuk dikelola dengan cara non-despotik: 'Karena hukum
semakin kehilangan pengaruhnya ketika pemerintah meningkatkan jangkauannya, dan
despotisme tanpa jiwa, setelah menghancurkan kuman kebaikan, akan akhirnya terjerumus ke
dalam anarki.' Sebuah negara internasional akan, katanya, 'menyedot semua energi manusia,'
dan 'despotisme universal berakhir di kuburan kebebasan.' Kant memberikan alasan untuk
mendukung ketiganya tetapi, seperti yang akan saya jelaskan secara singkat, dia akhirnya
berpihak pada satu integrasi. Menurut saya pribadi, kerjasama ASEAN tidak dapat sesukses
EU karena ASEAN memiliki gaya kerjasama yang soft dan cenderung memilih jalur aman
dikarenakan sensitivitas dari berbagai sisi seperti keamanan dan politik yang benar-benar
harus dijaga agar ASEAN tidak pecah.

Anda mungkin juga menyukai