Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Dunia kontemporer sekarang ini memang bisa di bilang cenderung
kondusif. Sehingga ini pada akhirnya memicu sebuah perkembangan setiap
Negara untuk meningkatkan kemampuan elemen-elemen Negara dalam segala
bidang. Hal ini lah yang dikhawatirkan oleh para pengamat dunia bahwa dalam
keadaan kondisi dunia yang damai maka kecenderungan depannya adalah
konflik atau perang.

Dalam hal untuk keamanan Negara, banyak Negara yang


mengembangkan senjata nuklir yang kita tahu memiliki daya hancur yang
dahsyat. Sehingga pada akhirnya ketika banyak Negara yang mengembangkan
teknologi nuklir ini sangat mengacam keamanan dunia ketika teknologi tersebut
di modifikasi sebagai senjata untuk keamanan Negara. Maka ketika setiap
Negara menjadika nuklir menjadi sebuah senjata militer maka kehidupan
manusia juga terancam keberlangsungannya karna efek senjata nuklir.

Maka dari itu penyebaran senjata nuklir (proliferasi nuklir) harus diatur
karna ini menjadi sebuah ancaman global yang mengancam keamanan hidup
umat manusia. Apalagi Negara-negara besar yang sudah memiliki senjata nuklir
tidak mau meratifikasi perjajian non-proliferasi nuklir ini semakin
memperkeruh keadaan dunia karna terciptanya sebuah deterrence of power.

1
1.2 Identifikasi masalah
1. Bagaimana isu proliferasi nuklir menjadi pembahasan global?
2. Bagaimana proliferasi nuklir di Korea Utara?
3. Mengapa Korea Utara menyimpang dari perjanjian NPT dalam hal
penggunaan reactor riset dan pabrik pengolahan untuk membuat senjata
grade plutonium?
4. Bagaimana upaya pencegahan proliferasi senjata nuklir?

1.3 Tujuan penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dibahas, maka tujuan penelitian ini


adalah: untuk mengetahui ap proliferasi global.nuklir menjadi sebuah ancaman

1.4 Manfaat penulisan


Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang proliferasi nuklir
2. Untuk mengetahui tentang perkembangan senjata nuklir
3. Untuk mengetahui dinamika dunia tentang nuklir
4. Kita sebagai mahasiswa dapat meningkatkat kemampuan analisis kita
terkait masalah proliferasi nuklir

2
1.5 Sistematika penulisan
Sistematika pembahasan makalah ini terdiri dari 4 bab, dan setiap setiap bab
terdiri dari sub-sub bab yaitu:

BAB 1: Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,


manfaat penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB 2: Kajian Pustaka

Berisi tentang kajian pustaka yang terdiri dari pengertian isu-isu


global, teori tentang proliferasi dan non-proliferasi nuklir, dan
game teori.

BAB 3: Pembahasan

Dalam pembahasan kami akan membahas tentang yang dimaksud


dengan ancaman global terkhusus tentang nuklir, perkembangan
teknologi nuklir, dan dinamika proliferasi nuklir serta perjanjian
tentang non-proliferasi serta Negara-negara mana saja yang telah
meratifikasi perjanjian tersebut.

BAB 4: Penutupan

Berisi tentang kesimpulan serta kritik dan saran dari penelitian ini
sebagai hasil akhir dari penelitian ini.

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Pengertian isu-isu global

Menurut Dougherty, global issues adalah questions, problems, dilemmas


and challenges, yang berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan dasar dari
internasional peace, securtity, order, justice, freedom, and progressive
development. Isu-isu ini adalah political diplomatic, military strategic, and
socioeconomic dalam pengertian yang luas. Isu-isu ini mempunyai ciri khas
yang, seperti disagreement and conflict, ketimbang agreement and cooperation.

2.2. Teori proliferasi nuklir

Menurut barry buzan definisi proliferasi nuklir terbagi kedalam dua


pengertian, yaitu pengertian horizontal dan vertical.1 Pertama, secara vertical
proliferasi nuklir adalah peningkatan jumlah senjata nuklir oleh Negara yang
sudah memiliki senjata nuklir terlebih dahulu atau “nuclear weapons states
(NWS)”.Kedua, secara horizontal proliferasi nuklir adalah penyebaran senjata
kepada Negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki senjata nuklir atau “non
nuclear weapons states”.

1
Barry Buzan (1987), An Introduction to Strategis Studies: Military Technology and International
Relations, London: The MacMillan Press,hal 57. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Prof. Drs.
Budi Winarno, M.A.,PhD.

4
2.3.Teori non proliferasi nuklir

Perjanjian non proliferasi nuklir(bahasa inggris: nuclear non-


proliferation treaty) adalah suatu perjanjian yang didantangani pada 1 juli 1968
yang membatasi kepemilian senjata nuklir. Sebagian besar Negara berdaulat
mengikuti perjanjian ini. Perjanjian ini diusulkan oleh irlandia dan pertama kali
ditandatangani oleh finlandia. Pada tanggal 11 mei 1995 di newyork lebih dari
170 negara sepakat untuk perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat.2

2.4.Pengertian game theory

Teori permainan adalah suatu bentuk pendekatan matematis untuk


merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai persaingan. Teori
ini dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi
persaingan yang berbeda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan.Teori
permainan ini awalnya dikembangkan oleh seorang ahli matematika perancis
yang bernama Emile Borel pada tahun 1921.

Yang selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh John Van Neemann


dan Oskar Morgenstern sebagai alat untuk merumuskan perilaku ekonomi
yang bersaing. John Van Neemann dan Oskar Morgenstern mengungkapkan
bahwa, “Permainan terdiri atas sekumpulan peraturan yang membangun situasi
bersaing dari dua sampai beberapa orang atau kelompok dengan memilih strategi
yang dibangun untuk memaksimalkan kemenangan sendiri atau pun untuk
meminimalkan kemenangan lawan.

2
“Perjanjian Non-proliferasi Nuklir”,https://www.academia.edu/5696926/PERJANJIAN_NON-
PROLIFERASI_SENJATA_NUKLIR_Tugas_(diakses 5 desember 2015)

5
Peraturan-peraturan menentukan kemungkinan tindakan untuk setiap
pemain, sejumlah keterangan diterima setiap pemain sebagai kemajuan
bermain, dan sejumlah kemenangan atau kekalahan dalam berbagai
situasi.” Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, teori bermain adalah
merupakan suatu teori yang mengedepankan konsep konsep dalam suatu
permainan sebagai landasan. Dimana didalam permainan terdapat peraturan,
yang secara langsung mampu menciptakan situasi bersaing dan digunakan
untuk mencari strategi terbaik dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain
didalamnya sama-sama mencapai utilitas tertinggi.3

3
“Jurnal Game Theory” , https://www.academia.edu/7612921/Jurnal_game_theory (diakses 5
desember 2015)

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Proliferasi Senjata Nuklir Sebagai Isu Global

Permasalahan yang saat ini sedang dihadapi dunia adalah kepemilikan


nuklir yang mengancam perdamaian dunia. Saat ini ada sekitar lebih dari 5.000
senjata nuklir digelar dan siap digunakan, termasuk hampir 2.000 yang
disimpan dalam kondisi siaga penuh, bahkan dalam laporan tersebut
menyatakan delapan Negara nuklir di dunia seperti Inggris, China, Prancis,
India, Israel, Pakistan, Rusia, dan AS memiliki lebih dari 20.500 hulu ledak.4
Jumlah tersebut termasuk dengan milik beberapa Negara yang berada di luar
“the big five” dicurigai atau bahkan telah mengumumkan kepemilikan senjata
nuklir, hal ini sangat menghawatirkan karena hanya butuh 2 unit hulu ledak
nuklir untuk menghancurkan seluruh dunia dan menjadi hambatan terciptanya
dunia tanpa senjata nuklir yang saat ini pun sedang diperjuangkan oleh Negara-
negara nuklir ( AS, Rusia,China, Prancis dan Inggris ) dengan melakukan
pengurangan terhadap jumlah hulu ledak nuklir mereka.

Permasalahan ini terkait dengan ketegangan yang sering kali


ditimbulkan diantara Negara-negara yang berada dalam kawasan dimana
sebuah Negara melakukan proliferasi nuklir. Fenomena ini tidak dapat
dihindarkan karena adanya ketakutan dari Negara lain akan serangan yang
dilakukan oleh Negara pemilik senjata nuklir , fenomena ini yang kemudian
menjadi ancaman bagi kedamaian regional yang pada akhirnya akan berimbas
pada perdamaian tingkat internasional.

4
Laporan Stockholm International Peace Research Institute, dikutip dari “Studi : Ancaman
Senjata Nuklir Tidak Berkurang” Antara News, Selasa, 7 juni
2011,http://www.antaranews.com/berita/261830/studi-ancaman-senjata-nuklir-tidak-berkurang
(diakses 25 juni 2011), Keamanan Global, Angga Nurdin Rachmat.

7
3.2 Proliferasi nuklir di Korea Utara
Korea Utara merupakan salah satu dari beberapa Negara yang masih
mempertahankan ideology komunismenya di dunia. Oleh karena itu Negara ini
terkucilkan dalam pergaulan internasional sehingga tidak memiliki sumber
ekonomi yang cukup untuk menyediakan kesejahteraan bagi warga negaranya.
Tetapi Negara ini kemudian berhasil mengembangkan senjata nuklir beserta
rudal-rudal yang mampu untuk membawa hulu ledak nuklir dengan bantuan
dari ahli yang berasal dari China dan Rusia. Teknologi nuklir yang pada
awalnya dikembangkan untuk tujuan pembangkit listrik namun pada tahun
1990-an Korea Utara mengubah teknologi nuklirnya untuk kepentingan militer
atau kesenjataan.5
Kepemilikan senjata nuklir oleh sebuah Negara dengan rezim dictator
serta ideology komunis membuat beberapa Negara dikawasan semenanjung
korea serta Negara barat khususnya Amerika Serikat sangat khawatir. Pada
tahun 2009 yang lalu dewan keamanan menggunakan sanksi keras pada Korea
Utara karena melakukan uji coba nuklir bawah tanah pada bulan mei 2009 dan
dugaan peluncuran rudal balistik pada bulan april 2009.6 Keberadaan senjata
nuklir Korea Utara memicu terjadinya perlombaan senjata khususnya nuklir di
kawasan asia timur yang dapat mengarah kepada proliferasi senjata nuklir oleh
Korea Selatan dan Jepang bahkan Taiwan, selain itu hal terburuk adalah
penjualan bahan fisi nuklir tersebut ke Negara lain atau kelompok teroris
karena seperti di ketahui sebelumnya Korea Utara sangat membutuhkan dana
bahkan kekhawatiran bahwa Negara ini akan mengalami instabilitas dimana
siapapun yang kemudian memegang kendali atas Negara ini akan
mengendalikan senjata dan bahan bakunya untuk kemudian dijual.7 Oleh karena

5
Patrick M. Cronin. Double Trouble Iran and North Korea As Challenge To International security.
(London: Preager Security International.2008) 80, Keamanan Global, Angga Nurdin Rachmat.
6
“Jepang: Nuklir Korea Utara Ancaman Bagi Dunia”, Tempo Interaktif, Jum’at, 25 september
2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/amerika/2009/09/25/brk,20090925-199304,id.html
(diakses 25 juni 2011), Keamanan Global, Angga Nurdin Rachmat.
7
Michael O’Hanlone dan Mike Mochizuka. Crisis On The Korean Peninsula: How to Deal With A
Nuclear North Korea ( New York: McGraw Hill,2003 ) 10, Keamanan Global, Angga Nurdin
Rachmat.

8
itu nuklir Korea Utara merupakan ancaman terhadap keamanan regional di
kawasan Asia timur.
Ancaman terhadap stabilitas keamanan dan perdamaian terkait
kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara dikarenakan hubungan Negara-
negara dikawasan tersebut yang tidak harmonis satu sama lain. Beberapa fktor
historis yang ada dalam interaksi Negara Negara tersebut pada masa lalu terkait
dengan imperialisme jepang di Asia dan perang saudara yang terjadi Antara
korea selatan dan Korea Utara yang hingga saat ini masih dalam status gencatan
senjata. Korea Utara bersikeras untuk tetap memiliki senjata nuklir dengan
alasan untuk mempertahankan diri dari serangan Negara lain terkait dengan
keberadaan negaranya sebagai Negara komunis dikancah internasional, selain
itu efek pencegahan dari nuklir dapat mengamankan Negara ini dari serangan
yang kemungkinan dilakukan oleh Negara tetangganya dari selatan yang
didukung oleh AS, Korea utara juga selalu menggunakan kepemilikan senjata
nuklirnya sebagai senjata untuk meminta bantuan ekonomi pada Negara-negara
lain.
Kepemilikan senjata nuklir oleh Korea utara dapat memprofokasi
Negara tentangganya di selatan, beberapa contoh insiden yang terjadi seperti
tenggelamnya kapal perang Cheonan miliki angkatan laut Korea selatan
diperbatasan laut dengan Korea utara yang menewaskan 46 pelaut Korea
selatan, lalu insiden saat tembakan artileri yang berasal dari wilayah korea utara
menghujani pulau Yeonpyong milik Korea selatan. Kejadian tersebut akan
memicu perang terbuka diantara kedua Negara, akan tetapi dengan
pertimbangan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea utara hal tersebut tidak
terjadi. Apabila Korea selatan menggunakan nuklirnya hal tersebut akan
menimbulkan kerusakan yang sangat parah melebihi kerusakan yang terjadi di
Hiroshima dan Nagasaki yang mana bom nuklir tersebut sangat primitif
sehingga akan merugikan Negara-negara di kawasan sekitarnya.

9
3.3 Program Plutonium
Selama periode akhir tahun 1985, Korea Utara membuat operasi kecil
gas-cooled (CO2), grafit-moderat, uranium alami (logam) berbahan bakar
"Experimental Reaktor" dari sekitar 25 MWt di Yongbyon, di pantai barat 55
km sebelah utara dari Pyongyang. Itu dipamerkan semua fitur dari reaktor
produksi plutonium untuk tujuan senjata dan diproduksi hanya sekitar 5 MWe.
Korea Utara juga membuat kemajuan substansial dalam pembangunan dua
reaktor yang lebih besar dirancang dengan prinsip yang sama, sebuah prototipe
dari sekitar 200 MWt (50 MWe) di Yongbyon, konstruksi dimulai tahun 1985,
dan versi skala penuh dari sekitar 800 MWt (200 MWe) di Taechon, 25 km
sebelah utara dari Yongbyon.
Selain itu selesai berlanjut menugaskan pabrik pengolahan di Yongbyon
untuk ekstraksi plutonium menghabiskan bahan bakar reaktor. Jika bahan bakar
itu disinari dengan cahaya yang sangat rendah, akan sangat cocok di bentuk
sebagai senjata. Keberadaan pabrik itu diungkapkan oleh inspektur IAEA.
Meskipun semua fasilitas di Yongbyon ini berada di bawah perlindungan,
selalu ada risiko bahwa pada tahap tertentu, Korea utara akan menarik diri dari
NPT karena beberapa alasan dan menggunakan plutonium untuk senjata.
Salah satu langkah pertama dalam menerapkan pengamanan NPT
adalah IAEA untuk memverifikasi saham awal uranium dan plutonium untuk
memastikan bahwa semua bahan nuklir di negara itu telah dinyatakan untuk
perlindungan. Sambil melakukan pekerjaan ini pada tahun 1992, inspektur
IAEA menemukan perbedaan yang mengindikasikan bahwa pabrik pengolahan
telah digunakan dari pada yang dinyatakan Korea utara. Hal ini menunjukkan
bahwa Korea utara bisa memiliki senjata plutonium yang tidak dinyatakan
IAEA. Informasi yang dikirimkan ke IAEA oleh negara anggota (seperti yang
dipersyaratkan di bawah IAEA Statuta) didukung saran dengan menunjukkan
bahwa Korea utara memiliki dua limbah atau situs penyimpanan lainnya.
Pada bulan Februari 1993 IAEA meminta Korea Utara untuk
mengizinkan inspeksi khusus dari dua situs sehingga saham awal bahan nuklir
dapat diverifikasi, Korea utara menolak dan pada tanggal 12 Maret
mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri dari NPT (diperlukan

10
pemberitahuan tiga bulan). Pada bulan April 1993 Dewan IAEA menyimpulkan
bahwa Korea Utara itu di tidak sesuai dengan kewajiban perlindungan dan
melaporkan hal tersebut kepada Dewan Keamanan PBB. Pada bulan Juni 1993
Korea utara mengumumkan bahwa mereka telah "ditangguhkan" dari
pengunduran diri sebagai anggota NPT, tapi kemudian mengklaim "status
khusus" sehubungan dengan kewajiban perlindungan nya. Ini ditolak oleh
IAEA.
Setelah ketidakpatuhan Korea Utara telah dilaporkan ke Dewan
Keamanan PBB, bagian penting dari misi IAEA telah selesai. Inspeksi di Korea
utara terjadi terus menerus, meskipun inspektur yang semakin memperlambat
dalam apa yang mereka diinginkan untuk melakukan dengan klaim Korea utara
tentang "status khusus". Namun, sekitar 8.000 batang bahan bakar korosi terkait
dengan reaktor eksperimental tetap berada di bawah pengawasan yang ketat dan
rencana untuk plutonium terpisah dari mereka ditangguhkan, dalam acara
tersebut, selama delapan tahun.
Setelah negosiasi bilateral antara Korea utara dan Amerika Serikat, dan
kesimpulan dari kerangka yang disepakati pada Oktober 1994, IAEA diberi
tanggung jawab tambahan. Perjanjian tersebut diperlukan untuk membekukan
operasi dan konstruksi reaktor produksi plutonium Korea utara dan fasilitas
yang terkait, dan IAEA bertanggung jawab untuk memantau pembekuan sampai
fasilitas akhirnya dibongkar. Korea utara tetap tidak kooperatif dengan
verifikasi pekerjaan IAEA dan tidak mematuhi perjanjian perlindungan,
meskipun tampaknya tidak ada pekerjaan lebih lanjut dilakukan pada dua
reaktor yang lebih besar di Yongbyon dan Taechon. Korea Utara tidak kalah
dan takut terhadap langkah-langkah lain, seperti sanksi perdagangan. Ini hampir
mampu mengimpor banyak bahan, dan sanksi terhadap komoditas penting,
seperti minyak, atau risiko memprovokasi perang.
Pada akhirnya, korea utara dibujuk untuk menghentikan program
senjata nuklirnya pada 1990-an dalam perundingan, dalam kerangka yang
disepakati dan ditukar dengan dana sekitar $ US5 miliar dalam bantuan yang
berhubungan dengan energi. Ini termasuk dua air ringan reaktor nuklir 1000
MWe. Pada bulan Desember 2002 Korea utara dihapus segel IAEA pada

11
fasilitas di Yongbyon dan memerintahkan inspektur IAEA luar negeri.
Kemudian restart reaktor kecil dan memulai pemrosesan kembali bahan bakar
8000 batang iradiasi untuk memulihkan senjata plutonium.
Pada bulan April 2003 menarik diri dari NPT - negara pertama yang
melakukannya sejak tahun 2003 perundingan telah dilakukan untuk
mengamankan beberapa kesepakatan tentang membatasi program senjata nuklir
Korea Utara. Ini telah melibatkan China, Korea Selatan, Jepang, Rusia dan
Amerika Serikat, yang bersikeras lengkap, diverifikasi, dan pembongkaran
ireversibel program senjata Korea Utara melalui dialog diplomatik dalam
kerangka multilateral yang melibatkan negara negara dengan yang
menghasilkan saham.Pembangunan reaktor nuklir baru di bawah KEDO
dihentikan akhir tahun 2003, dan suspensi ini diperbaharui pada tahun 2004 dan
2005. KEDO resmi dihentikan proyek pada Mei 2006. Sebagian besar
pembuatan generator uap, tekanan pembuluh dan peralatan lainnya untuk kedua
reaktor itu selesai. Peralatan ini bisa dijual untuk proyek-proyek nuklir lainnya,
termasuk ekspor Korea Selatan.
Pada bulan Oktober 2006 Korea utara diuji senjata nuklir bawah tanah
di dekat Gilju di timur utara negara itu, dan seluruh materi dirujuk ke Dewan
Keamanan PBB. Setelah beberapa upaya negosiasi, pada bulan Februari 2007
dengan perjanjian Korea utara dicapai dalam pembicaraan enam pihak yang
melibatkan China, Jepang, Rusia, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Korea
selatan terlibat dan setuju untuk menutup dan menyegel reaktor Yongbyon dan
yang terkait termasuk fasilitas pabrik pengolahan dalam waktu 60 hari (14
April) dan menerima pengawasan IAEA ini, dengan imbalan bantuan dengan
kebutuhan energinya. Bantuan lebih lanjut akan mengikuti penghentian
ireversibel reaktor dan semua fasilitas nuklir lainnya. 14 April batas waktu yang
tidak terjawab. Setelah upaya diplomatik lanjut, reaktor ditutup pada
pertengahan Juli 2007 dan tim IAEA mampu memverifikasi ini dan di samping
itu, bahwa fasilitas nuklir lainnya di situs juga ditutup, terutama pabrik
pengolahan ("Radiokimia Laboratorium") dan bahan bakar tanaman fabrikasi.
Tersebut disegel dan untuk tunduk pada pemantauan oleh IAEA. Itu diusulkan
untuk mengirim bahan bakar yang digunakan untuk Mayak di Rusia atau

12
Sellafield di Inggris untuk pengolahan ulang (diperlukan karena elemen bahan
bakar yang digunakan adalah kimia tidak stabil).
Tahap kedua dari langkah-langkah di bawah perjanjian Februari 2007
terlibat membangun persediaan penuh bahan nuklir, awalnya dijanjikan oleh
akhir Desember 2007 tetapi diseret keluar sampai Juni 2008 dan kemudian
ditandai dengan pembongkaran menara pendingin Yongbyon ini. Tahap 3
ketika tangan Korea Utara atas bahan fisil dan gigi senjata. Korea Utara telah
mengangkat pertanyaan tentang menghidupkan kembali proyek KEDO untuk
membangun reaktor air ringan. Pada bulan September 2008 Korea Utara
menolak untuk menerima prosedur verifikasi dan mengancam untuk merestart
pabrik pengolahan Yongbyon. Enam pihak bertemu pada bulan Desember 2008
namun tidak mencapai kesepakatan tentang verifikasi, meskipun penghapusan
batang bahan bakar dari reaktor Yongbyon terus dilakukan. Sejak itu Korea
Utara telah mengusir inspektur IAEA, restart pengolahan ulang di Yongbyon,
dan pada bulan Mei 2009 perangkat nuklir meledak lagi di bawah tanah,
mungkin lebih berhasil daripada 2006, dengan hasil sekitar 2 kilo ton TNT (cf
Hiroshima 15 kt).
Pada Februari 2013 Korea Utara perangkat nuklir meledak di bawah
tanah, dengan hasil sedikit lebih tinggi daripada yang sebelumnya. Tidak jelas
apakah itu digunakan uranium atau plutonium.
Pada Mei 2013 itu muncul bahwa Yongbyon 25 reaktor MWt sedang
dipersiapkan untuk recommissioning. Sebuah sistem pendingin baru untuk
reaktor telah dibangun dan dua tangki bahan bakar, aktivitas terus berlanjut.
Pada bulan September tahun 2013 dan awal tahun 2014 ada indikasi bahwa
reaktor telah dimulai kembali.
Pada bulan Oktober 2002 terungkap bahwa Korea utara telah bekerja
secara sembunyi-sembunyi untuk memperkaya uranium untuk digunakan
sebagai senjata , menggunakan peralatan centrifuge. Tampaknya ada beberapa
linkage program centrifuge Pakistan dan pada tahun 2005 Pakistan menegaskan
bahwa jaringan Khan yang telah disediakan sentrifugal P2 ke Korea utara di
tahun 1990-an. Ruang lingkup program ini tetap tidak diketahui, dan pada tahun
2009 kantor Korea utara berita resmi mengumumkan bahwa tes pengayaan

13
uranium telah berhasil dilakukan dan proses itu di tahap akhir. Pertanyaan
tentang kapasitas pengayaan uranium itu belum terselesaikan melalui negosiasi
ini. Pada bulan November 2010 itu menegaskan bahwa sejak tahun 2008,
beberapa 2.000 sentrifugal telah didirikan di sebuah bangunan di Yongbyon, di
situs fasilitas fabrikasi bahan bakar. Sentrifugal tampak jenis P2 Pakistan dan
tujuan mereka tidak diketahui, meskipun Korea Utara mengatakan bahwa
mereka hanya memproduksi rendah uranium yang diperkaya. Kapasitas
diperkirakan 8000 SWU / tahun, mampu menghasilkan sekitar 26 kg senjata-
grade uranium per tahun jika diterapkan untuk tujuan itu. Seiring dengan ini,
pembangunan reaktor air ringan 25-30 MWe di Yongbyon dilaporkan telah
dimulai pada pertengahan 2010, dan membutuhkan bahan bakar sekitar 3,5%.
Konstruksi baik dikembangkan di akhir 2011, dan tampaknya masih belum
lengkap pada pertengahan 2014. Dalam laporan 2011 yang pada September,
IAEA mencatat bahwa uranium hexafluoride ditemukan di silinder dikirim ke
Libya oleh jaringan Khan pada tahun 2001 "sangat mungkin" berasal dari Korea
utara. IAEA menilai ini menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki
kemampuan mengkonversi uranium sebelum 2001.8

8
“Safety and Security Non-Proliferation Appendices Nuclear Proliferation Case Studies”,
http://www.world-nuclear.org/info/Safety-and-Security/Non-Proliferation/Appendices/Nuclear-
Proliferation-Case-Studies/. (diakses 3 desember 2015)

14
3.4 Upaya mencegah proliferasi senjata nuklir

Upaya ini dicanangkan dan dilakukan dalam kerangka bilateral


diantara Negara-negara besar pemilik nuklir (the big five) maupun secara
multilateral. Upaya-upaya tersebut diantaranya:

1. START (Strategic Arms Reductions Treaty)

Start merupakan perjanjian bilateral Antara AS dengan Rusia


untuk mengurangi dan membatasi senjata strategisnya (senjata nuklir)
masing-masing Negara. Perjanjian ini terimplementasikan secara penuh
pada akhir tahun 2001 dimana membatasi AS dan Rusia untuk memiliki
6000 hulu ledak nuklir yang ditempatkan pada kendaraan perang
strategis. Tetapi, dalam start I ini tidak termasuk mencantumkan berapa
banyak senjata nuklir yang ada pada masing-masing sekutu, AS dapat
menempatkan 7100 hulu ledak dalam fasilitas senjata nuklirnya. Rusia
dengan sedikit senjata nuklirnya dalam fasilitas persenjataannya
memiliki 6000 unit hulu ledak nuklir.9 Perjanjian ini menekankan
kepada pengurangan 80% dari kepemilikan senjata nuklir masing-
masing pihak. Penandatanganan ini dilakukan oleh presiden AS George
W Bush senior dan presiden Rusia Mikhail Gorbachev pada tahun 1991.
Upaya ini dilanjutkan dengan Start II.

Start II ditandatangani pada 3 januari 1993, oleh presiden AS George


W Bush senior dan presiden Rusia Boris Yeltsin. Pada saat itu AS dan
Rusia masing-masing memiliki 10.000 hulu ledak nuklir, perjanjian
ditandatangani di Moscow. Selain mengurangi hulu ledak nuklir di
darat, perjanjian start II juga memaksa kedua belah pihak mengurangi
1.750 rudal lautnya.10 Pada akhir tahap pertama masing-masing pihak
harus mengurangi total dikerahkan hulu ledak nuklir strategis untuk

9
Amy F. Woolf. Nuclear Arms Control: The Strategic Offensive Reductions Treaty. (CRS Report For
Congress: Congress Research Service, 2006) 2, Keamanan Global, Angga Nurdin Rachmat.
10
“AS-Rusia Kembali Kurangi Senjata Nuklir”, Vivanews.com, 5 january 2009,
http://dunia.vivanews.com/news/read/19373-as_rusia_kembali_kurangi_senjata_nuklir (diakses
25 juni 2011), Keamanan Global, Angga Nurdin Rachmat.

15
3.800-4.250. Pada akhir fase kedua dan terakhir masing-masing pihak
mengetahui total dikerahkan hulu ledak nuklir strategis untuk 3000-
3500 unit. Kedua belah pihak juga setuju untuk memusnahkan
rudalyang memiliki hulu ledak ganda. Dimana senat AS kemudian
memutuskan untuk memberi persetujuan ratifikasi start II pada 26
januari 1996.

2. NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)

NPT merupakan sebuah perjanjian internasional yang memiliki


tujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi
senjatanya tersebut untuk mempromosikan penggunaan energi nuklir
dalam tujuan damai untuk mencapai perlucutan terhadap senjata nuklir
secara umum dan memyeluruh, perjanjian ini merepresentasikan
komitmen secara multilateral untuk terikat dalam tujuan melucuti
Negara pemilik Negara nuklir. Perjanjian ini terbuka dan diratifikasi
pada tahun 1968 dan mulai efektif pada tahun 1970 dengan total 187
negara yang telah bergabung di dalam nya termasuk the big five.11
Dengan berlakunya perjanjian NPT ini diharapkan tidak banyak Negara
yang akan mengembangkan senjata nuklir dan Negara yang telah
memiliki senjata nuklir secara bertahap akan melucuti senjata nuklir
mereka.

Dalam mewujudkan tujuan dalam NPT tersebut Negara dibimbing


dan dibatasi dalam perilaku internasional mereka dengan norma-norma

11
Selengkapnya dapat dilihat pada website resmi PBB di
http://www.un.org/Depts/dda/WMD/treaty/(diakses 25 juni 2011), Keamanan Global, Angga
Nurdin Rachmat.

16
yang telah disepakati. Upaya non-proliferasi nuklir saat ini dapat
dianggap sebagai norma yang telah diterima secara sukarela oleh lebih
dari 150 negara non konflik yang telah meratifikasi atau
menandatangani NPT tersebut.
Meskipun demikian keinginan untuk mewujudkan dunia bebas dari
senjata nuklir melalui NPT sebagai sebuah mimpi yang sangat sulit
untuk direalisasikan. Terkakit dengan kesukarelaan yang ada dalam
komitmen ini Negara yang kemudian berkepentingan untuk
mengembangkan senjata nuklir dengan mudah akan melanggar norma
dan komitmen tersebut seperti halnya yang dilakukan Korea Utara.
Karena banyak konflik yang terjadi hal ini yang kemudian menjadi
hambatan dan tantangan utama untuk melaksanakan seluruh
kesepakatan dalam NPT ini.

17
BAB IV

PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan

Dougherty sangat tepat menjelaskan tentang arti global issues. Dimana


isu global ini merupakan sebuah questions, problems, dilemmas and challenges,
yang berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan dasar dari internasional peace,
securtity, order, justice, freedom, and progressive development. Seiring dengan
perkembangan globalisasi dan munculnya isu-isu global, berkembang pula isu
proliferasi nuklir. Barry buzan menyebutkan secara vertical proliferasi nuklir
adalah peningkatan jumlah senjata nuklir oleh Negara yang sudah memiliki
senjata nuklir terlebih dahulu atau “nuclear weapons states (NWS)”. Dan secara
horizontal proliferasi nuklir adalah penyebaran senjata kepada Negara-negara
yang sebelumnya tidak memiliki senjata nuklir atau “non nuclear weapons
states”.

Korea Utara sejak lama menjadi duri dalam politik internasional. Negara
komunis ini berada di kawasan yang secara politis sangat mudah jatuh dalam
konflik. Ditunjang instabilitas Korea Utara, bahaya nuklit menjadi sangat nyata.
Ketika satu negara merasa terancam dengan senjata nuklir Korea Utara, sangat
mungkin negara tersebut akan meningkatkan persenjataannya. Langkah ini
dengan segera diikuti oleh tetangga lain dalam kawasan itu yang memang
memiliki hubungan yang rentan.

Tujuan dari rezim non-proliferasi internasional bertujuan untuk


mencegah penyebaran serta perkembangan senjata nuklir secara lebih lanjut.
Bentuk dari rezim ini yakni Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). NPT
kemudian menetapkan aturan mengenai kepemilikan senjata nuklir, baik bagi
negara yang memiliki senjata nuklir juga bagi negara yang tidak memiliki senjata
nuklir. Selain NPT, International Atomic and Energy Agency (IAEA)
merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB yang menetapkan
aturan perlindungan (IAEA Safeguards) berupa teknis mengenai pengaturan

18
penggunaan material nuklir secara damai dan kesepakatan pengadaan inspeksi
secara berkala terhadap negara-negara anggotanya. Kemudian satu set prinsip,
norma, serta aturan yang ada pada rezim non-proliferasi nuklir internasional ini
secara garis besar menekankan pada pelarangan perkembangan dan penyebaran
senjata nuklir.

Selanjutnya mengenai compliance dalam rezim ini sendiri pada awal


terbentuknya hingga 3 dekade kemudian, terdapat tingkat kepatuhan yang cukup
tinggi. Namun rezim NPT mulai mendapat tantangan, dengan ketidakpatuhan
Iran yang lebih dahulu telah menandatangani NPT, kemudian melanggar
perjanjian tersebut dengan terbuktinya Iran mengembangkan senjata nuklir
secara diam-diam. Selain Iran, ada pula permasalahan mengenai pengembangan
senjata nuklir di Korea Utara. Dari situ jika suatu efektifitas diukur melalui
kepatuhan, maka dengan adanya ketidakpatuhan Iran tersebut rezim NPT ini
dapat dikatakan belum efektif.

Begitu pun dengan jika suatu keefektifisan diukur melalui tercapai


tidaknya tujuan awal rezim tersebut, maka dengan permasalahan Iran yang telah
disebutkan tersebut rezim ini juga dapat dinilai belum efektif. Kemudian analisis
yang terakhir yakni order yang ada pada rezim non-proliferasi nuklir
internasional ini cenderung pada negotiated order. Karena pembentukan dan
kesepakatan rezim ini didasarkan pada kesadaran tiap anggotanya, serta
disampaikan secara eksplisit. Dengan adanya cukup banyak negara maju di
dunia yang bergabung dalam rezim ini maka susah bagi satu negara untuk
menghegemoni rezim non-proliferasi nuklir ini.

19
Oleh karena itu, komunitas internasional perlu berhati-hati menyikapi
program nuklir Korea Utara. Mereka harus menebak arah yang diinginkan
Korea Utara. Sejak awal perundingan nuklir yang diprakarsai oleh Amerika
Serikat di bawah pemerintahan Bill Clinton, ada dorongan – dan juga
penerimaan – yang kuat mengenai insentif finansial dan juga energi. Semua ini
sangat dibutuhkan Korea Utara yang miskin dalam mewujudkan cita-cita
sebagai negara yang kuat dan makmur. Maka nuklir lantas dijadikan alat untuk
mengamankan kekuatan diplomatik mereka.

Dengan dimasukkannya nuklir dalam konteks politik, masing-masing


pihak dalam perundingan akan didorong untuk memberikan konsesi. Korea
Utara disetir keinginan memperoleh insentif ekonomi, sedangkan pihak lain
akan menuntut penutupan fasilitas senjata nuklir. Dilihat dari perkembangan
terakhir, strategi ini berhasil.

20
Daftar pustaka

Buku :

Buzan, Bary (1987), An Introduction to Strategis Studies: Military Technology


and International Relations, London: The MacMillan Press,hal 57, dalam
Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Prof. Drs. Budi Winarno, M.A.,PhD hal
xvi

Nurdin, Angga Rahmat. 2015 “ Keamanan global: Transformasi Isu Keamanan


Pasca Perang Dingin”, Bandung : Alfabeta hal 66-68

Internet :

Jurnal Game Theory” , https://www.academia.edu/7612921/Jurnal_game_theory


(diakses 5 desember 2015)

“Perjanjian Non-proliferasi
Nuklir”,https://www.academia.edu/5696926/PERJANJIAN_NON-
PROLIFERASI_SENJATA_NUKLIR_Tugas_(diakses 5 desember 2015)

“Safety and Security Non-Proliferation Appendices Nuclear Proliferation Case


Studies”, http://www.world-nuclear.org/info/Safety-and-Security/Non-
Proliferation/Appendices/Nuclear-Proliferation-Case-Studies/. (diakses 3
desember 2015)

Nova vandini 142030076

putri irma maulani 142030196

Firuri Yudistira 132030075

Mega prasetya w 142030120

Widya luthfianti pasha 142030058

21
muhammad rizki yusro 132030080

22

Anda mungkin juga menyukai