Anda di halaman 1dari 12

PENGGUNAAN USE OF FORCE: PENERAPAN KONSEP DETERRENCE OLEH

SUATU AKTOR HUBUNGAN INTERNASIONAL DILIHAT DARI JENISNYA


PRIMARY DETERRENCE DAN EXTENDED DETERRENCE

disusun dalam rangka memenuhi nilai tugas mata kuliah strategi dan
keamanan

Disusun oleh:

Dimas Agustini 1242500286

Iqbal Maulana 1242500740

Sri Maria Alkibthiah 1242500864

Qorienza R. A 1242500831

Anggi Hermawan 1242501136

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2014
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan internasional pada hakikatnya merupakan suatu proses perkembangan


hubungan antar negara yang dibentuk oleh negara-negara baik yang memiliki kedekatan
secara geografis ataupun antar kontinen yang kemudian dengan banyak negara melalui
utusan masing-masing negara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi-
organisasi internasional lainnya dan juga antar sesama subjek hukum lainnya yang diakui
oleh hukum internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Sering terjadi bahwa
hubungan tersebut menimbulkan konflik yang dapat bermula dari berbagai potensi
konflik, yang bisa disebabkan oleh beberapa hal yang dianggap sensitif. Tidak ada satu
masyarakat pun dalam suatu negara ini yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Terdapat suatu pandangan yang
ekstrem, manusia adalah makhluk sosial, beragama, memiliki intelejensi, tidaklah keliru
apabila dikatakan bahwa konflik internasional merupakan suatu atribut yang tidak lepas
dari masyarakat dunia. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Demikian halnya juga dalam pergaulan antar negara di dunia,
dimana tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda dalam mencapai tujuannya
masing-masing yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik internasional. Tidak
tanggung-tanggung konflik internasional tersebut diwujudkan dengan perang (use of
force).

Penggunaan use of force terklasifikasi kedalam beberapa konsep yaitu, deterrence,


defense, compellence, offense, dan swaggering. Masing-masing penggunaan use of force
itu sendiri memiliki tujuan yang tidak lain untuk menjaga kedaulatan melalui berbagai
bentuk tindakan sesuai dengan bentuk-bentuk dari use of force. Konsep deterrence salah
satunya yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh aktor-aktor hubungan internasional.
Seiring dengan berkembangnya teknologi maka tiap aktor-aktor hubungan internasional
akan berusaha untuk melindungi dirinya dengan mengembangkan persenjataan dengan
teknologi mutakhir dan saling menyaingi satu sama lain, hal ini bisa menjadi suatu
bentuk penerapan konsep deterrence. Adapun, konsep deterrence terbagi menjadi dua
jenis yaitu, primary deterrence dan extended deterrence Selain itu, keadaan dunia saat
ini memang sangat kompleks dimana bagi aktor/negara tertentu perlu menggunakan
konsep deterrence sebagai suatu strategi untuk survive. Oleh karena itu, kami merasa
tertarik untuk memberikan suatu bentuk penerapan penggunaan use of force, yaitu
konsep deterrence serta mencoba menganalisa masing-masing fenomena tersebut
berdasarkan jenisnya, primary deterrence dan extended deterrence.
1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana contoh penerapan use of force oleh aktor hubungan internasional


(defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence )?
 Bagaimana penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan
internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended deterrence?

1.3 Batasan Masalah

Adapun, kami mencoba memberikan contoh penerapan use of force (defense,


offense, compellence, swaggering, serta deterrence ) oleh aktor-aktor hubungan
internasional serta lebih memfokuskan pada konsep deterrence dalam menganalisa
penerapan use of force tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan

 Untuk mendeskripsikan berbagai contoh penerapan penerapan use of force oleh


aktor hubungan internasional (defense, offense, compellence, swaggering, serta
deterrence)
 Untuk menganalisa penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan
internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended deterrence

1.5 Kerangka Pemikiran

Menurut H.J.Morgenthau kepentingan nasional sama dengan usaha negara untuk


mengejar power, di mana power adalah segala sesuatu yang bisa mengembangkan dan
memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Morgenthau juga mengatakan
bahwa konsep kepentingan nasional serupa dengan ‘konsep umum’ konstitusi Amerika
Serikat dalam dua hal yaitu kesejahteraan umum (general welfare) dan hak perlindungan
hukum. Konsep tersebut memuat arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri,
tetapi di luar arti minimum konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai macam hal
yang secara logis berpadanan dengannya sesuai dengan tradisi politik dan konteks
kultural keseluruhan di mana suatu negara memutuskan politik luar negerinya. Arti
minimum yang inheren di dalam konsep kepentingan nasional sebuah negara adalah
melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan negara-bangsa lain. 1

BAB II

1
Mas’oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Jakarta:
LP3ES. hal
PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Use of Force

Dalam strategi keamanan terdapat beberapa konsep, antara lain :

A. Defense

Konsep defense merupakan konsep yang umum, dimana baik ketika


terdapat konflik ataupun tidak, pertahanan militer merupakan suatu kebutuhan
yang dimiliki oleh setiap negara. Defense dapat disebut juga sebagai usaha
negara atau aktor untuk melindungi diri mereka dari serangan musuh, menjaga
keamanan dan kedaulatan negaranya dari negara lain, serta mengurangi
kemampuan pihak musuh untuk menghancurkan atau menguasai sesuatu dari
pihak defender. Tujuan utama dari defense adalah untuk melawan pihak musuh
atau penyerang demi meminimalkan kerugian setelah proses deterrence
mengalami kegagalan.

Military defense menjadi pilihan negara jika terjadi suatu konflik, akan
tetapi ketika tidak ada konflik sekalipun, tetap dipilih karena terkait dengan
pertahanan sebuah negara. Salah satu contohnya juga pembentukan NATO
dimana terdapat satu poin perjanjian yang menyebutkan bahwa ketika satu
negara anggota diserang maka serangan tersebut dianggap sebagai serangan
pada seluruh negara anggota. Sebuah bentuk collective defense yang mana
bentuk ini merupakan salah satu bentuk perwujudan defense. Bentuk contoh
yang lain yaitu dapat terlihat saat ini ketika Amerika Serikat mulai menyadari
bahwa China mulai menjadi negara super power yang baru dari sisi ekonomi dan
sebagainya. Sehingga Amerika Serikat melakukan upaya-upaya untuk
menghadapi China agar tidak melampau ke-super power-an Amerika Serikat.

Defense pada dasarnya, dilakukan oleh negara untuk mencegah agar


negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan melebihi power
yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power negaranya. Kekhawatiran ini
akan berujung pada munculnya ketakutan akan kebangkitan lawan sebagai suatu
negara hegemon yang dapat megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang
dapat dilihat antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara
sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu saat
mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang
mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap terjadinya hal itu dan
defense saat sebuah negara sadar bahwa power lawan telah mengancam mereka
sehingga yang dilakukan adalah mencegah power tersebut bertambah besar.

a. Deterrence

Dalam sebuah konsep strategi, deterrence selalu kontras dengan


defense. Deterrence dan defense lebih fokus kepada kemampuan militer. Konsep
deterrence secara umum adalah strategi defensif yang dikembangkan setelah
Perang Dunia I dan digunakan selama Perang Dingin. Hal ini terutama relevan
berkaitan dengan penggunaan senjata nuklir, dan juga terkait dengan War on
Terrorism.2

Menurut Robert Jervis, teori deterrence atau pencegahan adalah sebuah


teori yang muncul pada masa Perang Dingin dan dapat menjelaskan fenomena
yang terjadi pada masa tersebut. Di dalam teori ini, aktor berupaya untuk
meningkatkan kemampuan dan kekuatannya untuk menangkal serangan dari
lawan, atau setidaknya menekan dan memaksa lawan untuk berpikir kembali
untuk melakukan serangan. Teori penangkalan dimanifestasikan kedalam sebuah
strategi militer yang juga bertujuan untuk menangkal serangan negara lain atau
pihak musuh dengan meningkatkan kemampuan militer baik fisik seperti alat
utama sistem pertahanan (alutsista) maupun non fisik seperti doktrin militer.
Tujuan dari penggunaan militer tersebut agar pihak lawan sadar akan resiko
yang mereka hadapi apabila melakukan serangan. Contohnya adalah
penggunaan strategi senjata nuklir Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan oleh
Amerika Serikat dengan meningkatkan jumlah senjata nuklir mereka dalam skala
yang besar untuk melawan senjata nuklir yang dimiliki Uni Soviet pada saat
perang dingin antara kedua negara superpower ini. Sebaliknya pun begitu,
selama perang dingin Uni Soviet lebih mendekat ke arah strategi pelebaran
pencegahan dalam menghadapi Amerika Serikat. Tidak hanya menempatkan
pasukan di pusat pemerintahan Uni Soviet saja, tapi Uni Soviet juga berusaha
melakukan pencegahan diseluruh wilayah Uni Soviet dari ancaman nuklir Amerika
Serikat.
2
Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World . Oxford University Press. Hal 161-
170
Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk
mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan
memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan untuk
menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan senjata pemusnah
massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional, peningkatan kapabilitas militer
secara umum, membentuk aliansi, sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman
melakukan pembalasan. Dalam pandangan lain, deterrence juga diartikan
sebagai dialektika yang digunakan oleh Griffiths dan O’Callaghan “Do not attack
me because if you do, something unacceptably horrible will happen to you” atau
dapat diartikan sebagai “jangan menyerang saya, atau akan terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan kepadamu.”3

Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk pencegahan meningkatnya


sebuah negara memiliki potensi untuk menjadi negara super power baru.
Terdapat usaha untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan
pihak yang lain, maksudnya adalah mencegah agar pihak lain tidak ikut-ikutan
dan usaha strategi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan secara
terbuka serta terdapat usaha untuk mengatasi ancaman-ancaman yang didapat
dari negara lain. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan.

Deterrence sendiri mengalami beberapa fase, diantaranya adalah dengan


adanya diplomasi koersif pada tahun 1945-1962. Diplomasi koersif adalah suatu
diplomasi yang dilakukan dengan cara memaksa dengan tujuan agar orang lain
atau pihak lain mau melakukan sesuatu untuk dirinya. Ketika itu, negara-negara
yang menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir bahwa
senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah perilaku negara lain.
Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir pertama menikmati kekuatan
senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya. Setelah
diplomasi koersif, fasedeterrence selanjutnya adalah Mutual Deterrence pada
tahun 1962-1983. Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para
pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang
penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis
rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang
3
Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford University Press.
Hal 161-170
nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh
sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata
nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis
menjadi senjata pencegah serangan.

Deterrence dianggap berhasil, jika strategi yang dilakukan oleh negara


tersebut berhasil membuat pihak lain percaya bahwa biaya yang akan
dikeluarkan jika negara tersebut menyerang akan jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan didapat.

b. Compellence

Konsep compellence yang secara harfiah dapat diartikan sebagai


memaksa, namun secara esensi dapat diartikan sebagai bentuk usaha persuasif
dalam level yang cenderung koersif suatu negara untuk memaksa negara lawan
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal yang menjadi kepentingan
pihak pemberi compellence. Compellence adalah tindakan penggunaan kekuatan
secara besar-besaran dengan maksud untuk memaksa lawan agar melakukan
sesuatu atau menghentikan suatu tindakan yang sudah sedang dijalankan.
Compellence ini dilakukan manakala deterrence sudah gagal.

Compellence sendiri merupakan sub-bidang dari deterrence yang


dikembangkan oleh Scheeling (1966). Contoh compellence yang sukses adalah
apa yang dilakukan oleh Presiden Kennedy terhadap Pemimpin Uni Soviet, N.
Khrushchev dalam kasus Teluk Babi, Cuba tahun 1962. Berawal dari peristiwa
Krisis Misil Kuba pada tahun 1962, ketika itu Krisis misil Kuba dimulai saat
pesawat tanpa awak AS menemukan sejumlah misil nuklir Sovyet ditempatkan di
Kuba. Seminggu kemudian, Presiden John F. Kennedy mengutuk aksi Sovyet
tersebut di televisi. Kennedy juga melancarkan blokade laut atas Kuba dan
mengancam akan menyerang Sovyet jika misil tersebut diluncurkan ke AS.
Sebagai imbalan penarikan misil tersebut, AS setuju untuk tidak menginvasi Kuba
dan akan menarik misilnya dari Turki. Namun, keputusan Khrushchev ditentang
dua sekutu utamanya, Cina dan Kuba. Presiden Kuba Fidel Castro bereaksi
dengan mengusir warga Amerika dari markas militer Guantanamo. Pada 20
November 1962, AS mulai mencabut blokade laut atas Kuba. Lalu, pada akhir
tahun, seluruh misil nuklir Sovyet ditarik dari Kuba dan AS menarik misilnya dari
Turki pada 1963. Krisis Misil Kuba bukan hanya menyelematkan dunia dari
tragedi perang atom, tapi bahkan membuat AS menahan diri untuk melancarkan
agresi militer di Kuba. Peristiwa krisis misil Kuba tersebut merupakan cotoh kasus
compellence yang berhasil dilakukan oleh presiden John.F.Kennedy terhadap
pemimpin Sovyet pada saat itu.

Dapat dikatakan bahwa konsep compellence ini adalah ranah yang


dikuasai oleh negar-negara super power, dalam arti hanya negara-negara kuat
yang mampu meng-compel negara-negara yang memiliki power di bawah
mereka. Konsep ini juga memasukkan hitungan matematis dalam aplikasinya,
karena jika suatu negara akan meng-compel negara lain maka harus
diklasifikasikan dulu dimana letak hierarki power negara lawan dibanding
negaranya. Dari konsep deterrence dan compellence ini kemudian muncul suatu
konsep perilaku yang disebut compliance. Secara harfiah compliance berarti
pemenuhan. Pemenuhan disini berarti keadaan dimana suatu negara patuh dan
mau melaksanakan kepentingan dari negara yang meng-compelnya maka keadaa
tersebut dinamakan compliance.

c. Offense

Konsep ini digunakan oleh negara untuk menyerang negara lain. Konsep
ini biasanya dilakukan oleh negara yang sudah memiliki perlengkapan militer
yang sudah maju dan mapan. Kebanyakan negara tidak memilih untuk
menerapkan strategi ini dan lebih memilih untuk menerapkan strategi defense.
Dalam Cooperation Under Security Dilemma, Robert Jervis mengatakan,” jika
defensive lebih menguntungkan daripada ofensif, maka lebih mudah untuk
mempertahankan daripada maju, menghancurkan dan mengambil. ” Lebih lanjut
menurut Jervis, “When the defense has the advantage… The state that fears
attack does not pre‐empt‐since that would be a wasteful use of its military
resources‐but rather prepares to receive an attack .” Artinya ketika strategi
defense menguntungkan negara, maka negara tersebut tidak akan lebih dulu
menyerang karena menganggap bahwa penggunaan militer akan bersifat sia-sia
dan lebih memilih untuk menunggu diserang.

d. Swaggering
Swaggering merupakan salah satu strategi keamanan yang dilakukan
oleh suatu negara dimana negara tersebut berusaha untuk menunjukkan fasilitas
militer yang mereka miliki kepada negara lain. Kegunaan dari fungsi kapabilitas
militer ini berbeda dengan kegunaan dari strategi yang lain. Swaggering lebih
banyak dilakukan pada situasi damai yakni dapat digunakan untuk kepentingan
latihan militer, demonstrasi senjata, atau melakukan pembelian atau membangun
senjata yang bermakna prestisius dengan tujuan penunjukkan egoistic. Contoh
dari strategi Swaggering adalah latihan militer bersama yang dilakukan oleh
Indonesia dengan Amerika Serikat dimana satu sama lain tujuannya untuk saling
show off.

2.2 Penerapan Strategi Deterrence

Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis, yakni:

A. Primary Deterrence: Mencegah agar potensial agresor tidak menyerang


Negara deterrer, atau mencegah negara sendiri agar tidak diserang oleh
potensial agresor.

Contoh penerapan dari primary deterrence adalah Pembelian 58 unit lebih


pesawat F-35 Joint Strike Fighters dengan harga AUD 12,4 miliar (US$ 11,6
miliar) atau sekitar Rp 127 triliun oleh Pemerintah Australia. Lewat pembelian ini,
berarti Australia mempunyai 72 unit pesawat jenis tersebut. Rencananya,
pesawat yang dipesan ini akan tiba pertama pada 2018, dan mulai dioperasikan
2020. Menurut Perdana Menteri Tony Abbott, Pesawat F-35 akan meningkatkan
kemampuan pertahanan dan ketahanan Ausralia. Generasi kelima F-35 ini
merupakan alat tempur yang paling kuat di dunia. Pembelian F-35 ini dari
perusahaan produsen pesawat asal AS, Lockheed Martin.

Adapun pesawat ini sudah termasuk persenjataan, suku cadang, dan


fasilitas perawatan. Lewat pembelian ini, maka Australia akan mengeluarkan
dana AUSD 1,6 miliar untuk meningkatkan kapasitas basis pesawat tempurnya di
Williamtown, New South Wales. Menurut data, harga satu unit pesawat F-35
Joint Strike Fighters ini adalah US$ 160 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun lebih.
Pesawat ini mempunyai sejumlah kelebihan teknologi canggih, termasuk
menghindar dari deteksi radar. Selain Australia, Korea Selatan juga membeli 40
unit F-35 dari Lockheed Martin tahun ini. Negara-negara yang mempunyai
pesawat ini adalah Britania Raya, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia,
dan Turki.

Australia sebagai sekutu AS dikawasan Asia Tenggara memang harus


meningkatkan kemampuan gempur serta pertahanan udaranya, karena perkiraan
perkembangan geopolitik dan geostrategi dikawasan Laut China Selatan.
Tiongkok pada masa depan akan menjadi negara yang sangat diperhatikan oleh
AS serta sekutunya termasuk Australia. Sehingga Presiden Barack Obama
melakukan perubahan kebijakan luar negeri dengan "strategic rebalancing" dan
menggeser kekuatan tempurnya kekawasan Asia Pasifik yang disebut sebagai
poros.

B. Extended Deterrence: Bukan saja mencegah agar negara sendiri tidak


diserang tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak menyerang negara-
negara sahabat, anggota aliansi atau negara-negara dibawah pengaruh deterrer.

Contoh dari extended deterrence adalah pembentukan aliansi nato. North


Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan pakta pertahanan negara-negara
Barat yang dibentuk pada 04 April 1949 (http://www.nato.int) di Washington DC
oleh 12 negara yaitu Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Inggris, Italia,
Denmark, Islandia, Luxemborg, Norwegia, Prancis, dan Portugal. Pembentukan
NATO pada masa Perang Dingin ini merupakan bentuk Kebijakan Pembendungan
Amerika Serikat terhadap penyebaran komunis Soviet di daratan Eropa .

Badan tersebut didirikan dengan prinsip bahwa ancaman terhadap satu


negara anggotanya, berarti ancaman bagi keseluruhan anggota NATO. Itu
merupakan salah satu strategi Amerika Serikat dalam menangkal ekspansi Uni
Soviet di kawasan Eropa. Pada dasarnya, nato didirikan untuk mencegah pihak
“lawan” untuk melakukan serangan kepada negara-negara anggotanya, karena
apabila suatu negara menyerang anggota nato maka seluruh anggota nato akan
ikut membela negara yang diserang tersebut. Dengan bergabung di NATO,
membuat suatu negara akan merasa lebih aman dari serangan karena pihak
“lawan” pasti akan berpikir mengenai kerugian yang akan ia alami jika
menyerang negara anggota NATO.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari paparan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam konsep Use Of Force terdapat sub konsep lainnya yaitu
Defense, Deterrence, Compellence, Offense, dan Swaggering. Dalam tulisan kali ini kami

akan memfokuskan pembahasan tentang Penerapan Strategi Deterrence. Dalam strategi


deterrence terdapat dua jenis penerapan yaitu Primary Deterrence dan Extended
Deterrence. Pada Primary Deterrence memiliki pengertian mencegah negara agresor
agar tidak menyerang negara deterrer, atau mencegah negara sendiri (deterrer) agar
tidak diserang oleh negara agresor. Contoh penerapan Primary Deterrence terdapat
pada Australia yang membeli 58 unit lebih pesawat F-35 Joint Strike Fighters untuk
memperkuat pertahanan negaranya. Sedangkan pada Extended Deterrence memiliki
pengertian tidak hanya mencegah agar negara sendiri tidak diserang tetapi juga
mencegah agar potensial agresor tidak menyerang negara-negara sahabat, anggota
aliansi atau negara-negara dibawah pengaruh deterrer. Contoh penerapan Extended
Deterrence adalah pembetukan aliansi North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang
merupakan bentuk pencegahan negara agresor untuk menyerang negara detterer
anggota NATO.
DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford University Press

Evan, Graham & Jeffrey Newnham.1998. The Penguin Dictionary of International


Relations. England : ClaysLtd, St Lves plc.

Goodpaster, Andrew J & dkk. 1997. Post Cold War: Conflict Deterrence. Washington
D.C : National Academy Press.

Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan. 2007. International Relations : The Key Concepts .
New York : Routledge.

Anda mungkin juga menyukai