Tri Wibowo BS
Editor
Penelitian dan kajian sosiologis terhadap militer sebagai institusi, atau organisasi,
sesungguhnya telah lama muncul meski signifikansinya dan popularitasnya dari segi
akademik belum mencapai level yang sudah dinikmati oleh kajian di bidang sosiologi
lainnya seperti sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), Sosiologi agama (sociology
of religion), sosiologi pendidikan (sociology of education), sosiolinguistik (sociolinguistics),
sosiologi sejarah (historical sociology), sosiologi terapan (applied sociology) sosiologi
pedesaan (rural sociology), dan sebagainya. Mengingat sosiologi militer adalah sub-
disiplin dari bidang sosiologi yang lebih luas, maka kita perlu sejenak menengok
kembali ke sejarah sosiologi pada umumnya, sebelum masuk ke ulasan sosiologi militer
sebagai ilmu atau disiplin tersendiri. Namun, tentu saja, berikut ini tidak akan dibahas
secara lengkap sejarah sosiologi, mengingat begitu luas dan beragamnya
perkembangan sosiologi sejak awal kemunculannya hingga saat ini. Karenanya, di sini
akan dibatasi pada perkembangan pada masa klasik, dan makna sosiologi klasik bagi
sosiologi militer.
Sosiologi Klasik
Sosiologi, sebelum menjadi bidang ilmu tersendiri, pada mulanya adalah bagian dari
filsafat sosial yang membahas perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke
waktu. Sesudah tradisi filsafat positivistik, dengan pilar utama empirisme dan
rasionalisme, berkembang pesat seiring dengan perkembangan dan kemajuan di bidang
ilmu-ilmu alam (sains dan teknologi), sebagian pemikir mulai mencoba mengkaji
fenomena sosial dengan meminjam metodologi sains. Dalam hal ini, faktor penggerak
utama dari munculnya benih sosiologi adalah Pencerahan, sebuah tradisi pemikiran di
akhir abad 16 dan abad 17. Arus utama pemikiran filsafat sosial abad 17 biasanya
diasosiasikan atau dikaitkan dengan pemikir seperti Rene Descartes, Thomas Hobbes,
dan John Locke. Menurut George Ritzer (2008), fokus pemikiran mereka adalah pada
bagaimana cara menyusun sistem ide yang mendasar dan abstrak secara rasional,
untuk kemudian mengujinya di lapangan secara empiris. Dengan kata lain, mereka
ingin mengombinasikan penelitian empiris dengan rasio (Seidman, 1983). Itu berarti
mereka mengupayakan semacam fusi empirisme dengan rasionalisme. Model dasar
yang digunakan adalah model dari fisika Newtonian. Pada titik ini, kita melihat
lahirnya penerapan metode ilmiah ke dalam isu-isu sosial. Dengan cara itu, para
pemikir sosial pada masa itu berharap bahwa mereka tidak sekadar menghasilkan
sistem ide berbasis dunia riil, tetapi juga agar sistem ide itu dapat berguna bagi dunia
sosial, khususnya dalam kajian dan analitis terhadap fenomena sosial di dunia ini.
Tokoh awal yang meyakini bahwa studi fenomena sosial harus menggunakan metode
ilmiah yang sama dengan yang dipakai dalam ilmu pasti (ilmu alam) adalah Claude
Henri Saint-Simon (1760-1825). Karenanya, Saint-Simon dapat dikatakan sebagai
seorang positivis di ranah kajian sosial. Gagasan Saint-Simon ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut secara sistematis oleh Auguste Comte (1798-1857). Comte
adalah orang pertama yang menggunakan istilah “sosiologi.” Ia orang pertama yang
mengembangkan apa yang kelak dikenal sebagai “filsafat positif” atau “positivisme.” Ia
kemudian mengembangka sistem teori yang menjadi dasar bagi lahirnya sosiologi awal
– sistem itu disebutnya “fisika sosial” yang kemudian ia ubah istilahnya menjadi
sosiologi (Pickering, 2000). Teorinya yang terkenal adalah hukum tiga tahap
perkembangan intelektual. Ini adalah fase perkembangan yang bersifat evolusional: (1)
tahap teologis, sebuah sistem ide yang didasari oleh keyakinan pada kekuatan-kekuatan
supranatural, animisme, politeisme, monoteisime, takhayul, dan sejenisnya. Tahap ini
berada pada periode sebelum tahun 1300; (2) tahap metafisik, fase di mana manusia
mencoba melakukan abstraksi dengan akal-rasionalnya untuk menjelaskan fenomena
sosial dan alam. Fase ini berlangsung antara tahun 1300 sampai 1800; (3) tahap
positivistik, atau positivisme, yang ditandai dengan keyakinan pada ilmu pengetahuan
dan sains untuk menjelaskan segala fenomena. Tahap ini dimulai sejak 1800 dan
seterusnya. Jelas bahwa dalam teorinya ini, Comte memfokuskan perhatian pada faktor
intelelektual.
Walaupun Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi, namun
tokoh yang mempopulerkan istilah tersebut adalah Herbet Spencer melalui karyanya,
Principles of Sociology. Spencer mengembangkan kaidah-kaidah penelitian terhadap
masyarakat, menerapkan teori evolusi organik untuk masyarakat manusia, serta
mengembangkan teori evolusi sosial. Sosiologi makin kokoh sesudah Emile Durkheim,
salah satu tokoh awal sosiologi yang sangat berpengaruh besar terhadap bidang ini,
mendirikan jurnal sosiologi ilmiah di Perancis pada 1898: L’annee sociologiquee. Jurnal ini
berpengaruh besar terhadap perkembangan dan diseminasi gagasan-gagasan sosiologi
ke seluruh dunia. Melalui jurnal ini, Durkheim berhasil menarik banyak pengikut, dan
dalam beberapa tahun kemudian, mereka mulai membawa sosiologi ke wilayah
nontradisionalnya, dengan mengkaji beragam aspek dalam kehidupan sosial, seperti
sosiologi huku, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, dan sebagainya. Pada tahun
1910 Durkheim mendirikan pusat studi sosiologi, dan berhasil menancapkan sosiologi
sebagai disiplin paling berpengaruh, setidaknya di Perancis. Selain itu Durkheim juga
dikenal karena menyusun metodologi yang kokoh, yang menggabungkan antara riset
empiris dengan teori sosiologi. Karena pengaruhnya yang besar, ia dianggap sebagai
salah satu “bapak” sosiologi Perancis. Melalui pemikirannya, ia berhasil membangun
sosiologi sebagai disiplin yang berbeda dari filsafat dan psikologi. Hal ini tampak
dalam dua tema utama yang ada di banyak karya Durkheim: prioritas dunia sosial di
atas individu, dan ide bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Satu konsep
penting yang membedakan sosiologi dengan filsafat dan psikologi adalah “fakta
sosial.” Fakta sosial adalah struktur sosial yang tidak terkait pada individu tertentu,
tidak dapat direduksi menjadi kesadaran individu. Maka, fakta sosial dapat dipelajari
secara empiris. Ada dua fakta sosial menurut Durkheim: material dan immaterial.
Dalam hal ini Durkheim lebih tertarik untuk mempelajari fakta sosial immaterial,
terutama soal moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan kesadaran sosial.
Seiring dengan itu, di Jerman muncul tokoh-tokoh besar sosiologi awal, yang
pemikirannya masih terus dipelajari dan dikembangkan hingga saat ini. Diantara tokoh
yang terkenal adalah Karl Marx, Max Weber dan Georg Simmel. Weber dan Simmel
mendirikan Masyarakat Sosiologi Jerman. Gagasan-gagasan sosiologi Simmel bahkan
memengaruhi sosiologi Amerika. Karya Simmel memicu lahirnya salah satu aliran
sosiologi Amerika yang cukup berpengaruh – Mazhab Chicago, dengan tokohnya
seperti Albion Small dan Robert Park. Karl Marx, meski ia tidak menyebut dirinya
sebagai sosiolog, gagasannya berpengaruh besar pada sosiologi Eropa. Kajiannya
tentang masyarakat menjadi dasar pemikiran bagi generasi sosiolog selanjutnya. Di
antara gagasannya yang penting dan relevan bagi sosiologi adalah orientasi
materialisme dan gagasan ekonominya. Marx mengatakan problem masyarakat
modern dapat dirunut ke sumber daya material, seperti struktur kapitalisme. Tetapi,
seperti Hegel, dia menekankan dialektika, yang disebutnya materialisme dialektik.
Menurut konsep ini, proses material, relasi material, konflik, dan kontradiksi material
menyebabkan perubahan dan gangguan sosial. Materialisme ini kemudian melahirkan
gagasan teori nilai kerja, di mana ia berpendapat bahwa profit kapitalis didasarkan
pada eksploitasi atas tenaga kerja atau buruh.
Sekarang, mari kita beralih ke ulasan yang lebih spesifik tentang teori institusi dan
sosiologi politik, untuk mendapatkan wawasan sebelum memasuki pembahasan yang
lebih rinci tentang peran militer dalam parlemen dari perspektif sosiologis. Pertama-
tama kita kita akan melihat pada konsep institusi. Konsep institusi ini penting, sebab,
seperti dikatakan oleh Ouellet (2005), “institusi angkatan bersenjata masih menjadi titik
awal untuk analisis perubahan angkatan bersenjata.”
Teori Institusi
Institusi (semisal parlemen, TNI dan Kepolisian) adalah konsep sosial yang telah lama
dibahas dalam ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya. Dalam ranah
ilmu sosial lahir teori tersendiri, teori institusional, yang mengkaji proses-proses dan
mekanisme yang menyebabkan struktur, aturan, rutinitas dan operasional institusional
menjadi pedoman bagi perilaku sosial. Melalui teori ini kita bisa mengungkap,
misalnya, bagaimana kebijakan dan aturan militer akan memandu perilaku sosial
prajurit dalam kehidupan sosial dan politik (termasuk dalam bidang politik). Selain itu,
teori institusional juga meneliti bagaimana sistem semacam itu bisa muncul, bagaimana
penyebarannya atau sosialisasinya, dan apa peran yang dimainkannya dalam
menstabilkan perilaku sosial dari anggota institusi. Meski sempat surut, namun
sepanjang satu dekade terakhir ini teori institusional mulai ditengok lagi dan menguat
kembali dalam ranah ilmu sosial.
Institusi di sini berarti seperangkat norma, keyakinan, nilai-nilai, yang saling berkaitan,
yang berpusat pada kebutuhan dan aktivitas sosial yang penting dan berulang
(Williams, 1970). Contohnya adalah institusi keluarga, pendidikan, agama, militer,
sistem ekonomi, stratifikasi sosial dan sebagainya. Teori institusional mengkaji topik
diseputar “persoalan institusional” dengan asumsi utama (Ritzer, 2005): (1) institusi
adalah struktur tata-pemerintahan, yang memiliki aturan-aturan untuk bertindak
secara sosial, (2) kelompok orang dan/atau organisasi yang mengikuti aturan ini untuk
bertahan hidup, (3) institusi ditandai oleh “inersia,” yakni kecenderungan untuk
menolak perubahan, dan (4) memiliki sejarah penting, dalam pengertian bahwa masa
lalu struktur institusional masa lalu akan membatasi dan/atau memfasilitasi perubahan
menuju aransemen institusional baru. Berdasarkan asumsi ini, maka ada banyak
pendekatan untuk mengkaji institusi: pendekatan individu versus struktural, pilihan
rasional versus pengambilan keputusan, dan sebagainya. Banyak arena yang telah
dikaji melalui analisis institusional, seperti proses modernisasi pada level global,
dinamika rezim, struktur organisasi, persaingan antar organisasi (misalnya, militer
versus kepolisian versus sipil), desain struktur organisasi, dan difusi inovasi ke entitas
sosial. Pada umumnya, teori institusional saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh
tokoh besar sosiologi awal, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Herbert
Spencer, dan Charles Horton Cooley (Ritzer, 2005). Misalnya, Durkheim menekankan
pentingnya sistem simbolik – sistem keyakinan dan “representasi kolektif” (semisal
partai, parlemen) yang, meskipun merupakan produk manusia, dipahami oleh individu
sebagai “fakta sosial” objektif. Sarjana seperti Everett C. Hughes, Talcott Parsons,
George H. Mead dan Alfred Schutz meneliti interdependensi antara institusi dengan
individu, di mana kajian-kajian mereka mengilhami banyak sosiolog berikutnya untuk
meneliti relasi institusi dengan individu dalam kerangka relasi antar institusional.
Kajian akademik terhadap institusi berkembang menjadi tiga cabang teori utama:
pendekatan pilihan rasional (yang banyak digunakan oleh sebagian besar ekonom,
ilmuwan politik, dan, dalam porsi yang lebih sedikit, juga digunakan oleh sosiolog);
pendekatan normatif (terutama dipakai oleh sosiolog dan ilmuwan politik); dan
pendekatan kognitif-kultural (terutama dipakai oleh sosiolog dan ilmuwan
manajemen).
Banyak riset berdasar argumen institusional ini telah dilakukan pada level organisasi.
Riset awal umumnya mengkaji komitmen ideologi mana yang berkembang di antara
individu yang pada gilirannya akan dimanifestasikan ke dalam tata-aturan yang
membatasi kebebasan bertindak partisipan, dan bagaimana sistem akan
mengembangkan “struktur karakter” - yakni rutinitas dan aturan yang dilembagakan
yang akan menyalurkan dan membatasi tindakan anggota. Riset manajerial telah
mengembangkan tradisi ini dengan memasukkan kajian perkembangan dan fungsi
kultur organisasi dan korporat. Kemunculan model kognitif-kultural telah mendorong
sarjana sosiologi untuk mengalihkan perhatiannya dari organisasi individual ke level
populasi organisasional dan bidang organisasi.
Belakangan, dengan makin pesatnya perubahan di segala bidang sebagai akibat dari
meningkatnya teknologi, terutama informasi, dan makin mengglobalnya konstelasi
populasi serta makin tingginya level interdependensi antar entitas sosial di seluruh
dunia, perhatian para sosiologi institusi mulai diarahkan pada aspek perubahan pada
institusi. Misalnya, pada level global, para sarjana mulai memperhatikan perubahan
besar dalam tatanan sosial-politik di level internasional: ambruknya Uni Soviet dan
munculnya negara baru di Eropa Timur; evolusi pasar dan desain institusi baru di
Eropa Barat; dan modernisasi ekonomi di China dan sebagian negara Asia lainnya.
Misalnya, dalam konteks Indonesia, gerakan reformasi dan ambruknya rezim Soeharto
telah menimbulkan perubahan signifikan pada banyak institusi, termasuk militer.
Perubahan paradigma, semisal ditinggalkannya konsep dwi-fungsi tentara, perubahan
nama dari ABRI ke TNI, pemisahan tentara dengan kepolisian, hubungan sipil-militer,
dan perubahan peran politik militer di parlemen, telah dibahas sejak awal 2000-an.
Sosiologi Politik
Secara historis, ada dua tradisi intelektual yang berpengaruh besar pada bidang
sosiologi politik: tradisi stratifikasi sosial yang dipelopori oleh Karl Marx dan Frederick
Engels, dan tradisi organisasi yang diawali oleh Max Weber dan Robert Michels (Lipset,
1981). Pada tradisi pertama, sosiologi politik didefinisikan secara umum sebagai studi
kekuasaan sosial di semua sektor institusi masyarakat dengan penekanan pada negara
dan akar struktur sistem kelas. Tradisi ini memandang struktur sosial dan perubahan
secara holistik, dan menyatakan bahwa sistem kelas akan menentukan organisasi
negara dan tindakan politik. Fungsi negara menurut pendapat ini adalah menjaga
ketertiban sosial dan karenanya negara dikaji dari segi fungsinya ini. Tradisi kedua
mendefinisikan sosiologi politik dalam term lebih sempit, yakni dalam term organisasi
kelompok politik dan kepemimpinan politik, dengan penekanan pada struktur negara
dan kelompok-kelompok yang bersaing memperebutkan kekuasaan negara. Negara
dipandang sebagai pemilik monopoli yang sah atas cara-cara kekerasan. Pendekatan ini
menekankan pada organisasi formal dan informal, seperti partai politik, kelompok
kepentingan, dan gerakan sosial, kaitannya dengan birokrasi pemerintah dan pusat-
pusat pembuatan kebijakan resmi, mitos-mitos yang sah yang digunakan untuk
menjustifikasi sistem undang-undang, dampak opini publik, termasuk organisasi
media massa dan pemilih politik (Jenkins, 2005). Karl Marx dan Frederick Angels
mengembangkan dua teori berbeda tentang negara: teori instrumental dan teori
strukturalis (Carnoy, 1979). Dalam argumen pertama, negara adalah instrumen atau
alat kekuasaan, digunakan untuk melindungi sistem properti/hak milik, dan
menegakkan aturan dengan kekuasaan dan manipulasi ideologi. Penguasa adalah kelas
dominan yang menguasai sistem ekonomi sekaligus politik. Negara, meminjam konsep
Weber (1974), adalah memonopoli alat-alat kekuasaan yan sah dalam masyarakat dan
mengkonsolidasikan kekuatan kelas atas melalui kekuasaan dan penipuan. Argumen
ini belakangan mengilhami lahirnya teori “elit kekuasaan” (Mills, 1956), yakni
kelompok pemimpin yang kohesif yang menyatukan elit korporat kaya, elit politik, dan
elit militer. Argumen ini juga melahirkan teori dominasi bisnis (Domhoff, 1979, 1990,
1998) dan tesis lingkaran-dalam (Useems, 1984).
Marx dan Engels juga mengemukakan teori struktural tentang negara, yang
memperlakukan negara sebagai produk dari perjuangan kelas. Dalam esainya,
Eighteeth Brumaire of Louis Bonaparte (1852, 1964), Marx berpendapat bahwa
perkembangan politik dari gerakan kelas pekerja, yang beriringan dengan konflik
internal di dalam kelas penguasa, akan menimbulkan kediktatoran militer. Kelas
kapitalis terlalu terpecah-belah, sehingga harus dilindungi oleh diktator militer
(Jenkins, 2005). Argumen ini digunakan oleh beberapa analis politik untuk menjelaskan
kediktatoran di suatu negara. Misalnya, Neumann menjelaskan kebangkitan
kediktatoran fasis Jerman selama 1930-an dalam term kombinasi mobilisasi kelas
pekerja, kelompok borjuis yang terpecah-belah, dan tradisi politik autokratik yang kuat
(Neumann, 1942). Tetapi sebagian pengkritik menunjukkan bahwa argumen ini tidak
menjelaskan mekanisme spesifik yang digunakan kelas penguasa (misal, Skocpol,
1981). Sebagai respon atas kritik ini, Offe (1984) dan Block (1987) mengatakan bahwa
dalam kapitalisme, negara dibatasi untuk melakukan kegiatan mencari laba, sehingga
penguasa negara secara struktural tergantung pada kapitalis dalam melaksanakan
investasi dan dalam hal menciptakan lapangan kerja, pajak, dan pertumbuhan
ekonomi. Penguasa, atau pengelola negara, karena itu, secara struktural tertekan untuk
menciptakan akumulasi modal dan bertindak otonom untuk mempromosikan
reformasi yang merasionalisasikan dan menstabilkan sistem kapitalis. Jadi tradisi
stratifikasi ini secara perlahan memasukkan argumen dari tradisi organisasional,
dengan fokus pada kelompok pemimpin dan otonomi institusi politik (Jenkins, 2005).
Tetapi pandangan ini juga mendapat kritik. Menurut sebagian pengkritik, stratifikasi
sosial bukan soal kelas tetapi soal prestise dan praktik sosial yang eksklusif (Webr,
1947; Parkin, 1979). Jadi menurut argumen Weber (1947), perjuangan politik
memperebutkan kekuasaan negara biasanya bukan perjuangan kelas, tetapi perjuangan
gaya hiduo dan status prestise. Weber juga berpendapat bahwa otoritas legal-rasional
dan organisasi birokrasi akan menggantikan kekuasaan tradisional dan kekuasaan
karismatik, sehingga menciptakan “sangkat besi” birokrasi negara modern. Kedua
argumen ini menunjukkan pentingnya organisasi politik dalam kehidupan bernegara.
Maka lahirlah tradisi kedua, tradisi organisasi, yang berakar dalam gagasan Weber dan
Michells, serta teoritisi elit seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto (Jenkins, 2005).
Inti argumen mereka adalah kekuasaan oleh segelintir orang (elit) adalah keniscayaan.
Hal ini disebabkan langkanya talenta pemimpin, juga karena massa membutuhkan
kepemimpiunan, dan karena dibutuhkannya organisasi yang kompleks. Maka
persoalan politik bukan soal eliminasi kelas penguasa atau penciptaan masyarakat
tanpa kelas (sebagaimana dipahami kalangan Marxis) tetapi lebih merupakan persoalan
mekanisme institusional yang mengatur elit dan keabsahan kekuasan elit politik. Lebih
jauh, otoritas kekuasaan menurut Weber didasari oleh tiga faktor legitimasi: rasional,
tradisional, dan karisma. Legitimasi rasional didasarkan pada “kepercayaan terhadap
keabsahan aturan tertulis dan keabsahan pihak-pihak yang diberi kewenangan
berdasar aturan untuk memberikan perintah” (Weber, 1921; Ritzer, 2008). Otoritas
dengan legitimasi tradisional biasanya didasarkan pada “kepercayaan yang telah
mapan terhadap kesucian kuno dan keabsahan pihak-pihak yang menjalankan otoritas
berdasarkan tradisi tersebut” (Weber, 1921). Dan legitimasi karisma didasarkan pada
“keyakinan para pengikut terhadap sosok yang suci, luar biasa, berkarisma, memiliki
kekuatan lebih, serta keyakinan pada tatanan normatif yang ditetapkan oleh sosok yang
berkarisma itu” (Weber, 1921).
Meskipun disiplin sosiologi militer muncul dalam bentuk disiplin tersendiri sesudah
Perang Dunia II, namun aspek militer ini sudah dibahas oleh para perintis sosiologi
awal, seperti Comte, Spencer, Tocqueville, Weber, dan lain-lain – oleh Cafario (2006),
para pemikir klasik ini disebut sebagai “perintis” (forerunner) sosiologi militer modern.
Pendekatan klasik yang memandang militer sebagai fenomena sosial adalah tidak
berbeda dengan pendekatan terhadap sektor kehidupan lain. Sosiologi klasik
mengemukakan konsep “masyarakat” yang komprehensif, dan di dalam sosiologi
klasik kita bisa menjumpai analisis umum berbagai macam institusi sosial dari segi
kekhususannya dan dalam hubungannya dengan masyarakat pada umumnya. Militer
adalah salah satu dari sekian banyak institusi sosial dasar. Para sosiolog klasik
memandang militer berdasarkan perspektif mazhab sosiologi masing-masing.
Konsekuensinya, ada perbedaan sudut pandang tentang perilaku militer, aturan dan
norma militer serta nilai-nilai kemiliteran dan hubungan mereka dengan masyarakat
pada umumnya. Karena militer dijelaskan dan dikaji di dalam kerangka teori sosiologi
yang berbeda, maka pada masa klasik ini muncul penjelasan tentang peran militer
sebagai aspek dasar dari masyarakat manusia atau penjelasan evolusioner, yang
memandang struktur militer sebagai struktur tahap pertama dalam evolusi manusia.
Karenanya, sosiolog klasik seperti Comte dan Spencer menganggap bahwa struktur
dan fungsi militer niscaya akan semakin menurun sebagai akibat dari perkembangan
manusia dari tahap primitif ke tahap yang lebih maju (Nuciari, 2006).
Dalam karya berjudul A Course of Positive Philosophy (enam jilid), Auguste Comte
mengatakan bahwa kehidupan militer didasari oleh tahap pertama dari tiga tahap
evolusi. Menurut Comte, kehidupan militer ada pada tahap perkembangan teologis dan
mencerminkan kecenderungan primitif manusia. Berdasar gagasan evolusinya,
kecenderungan militer ini kelak akan digantikan oleh kecenderungan ke arah
“kehidupan industri modern,” yang akan terwujud pada tahap ilmiah atau positivistik
(Nuciari, 2006; Weinberg, 1978). Pada periode yang hampir sama, Tocqueville
mencurahkan satu bab dalam karya pentingnya, Democracy in America, untuk
membahas perang dan militer. Menurut Tocqueville, aspek sosiopolitik dari suatu
negara akan bergerak ke arah menjauhi perang menuju ke melemahnya signifikansi
militer. Senada dengan pandangan Comte dan Spencer, Tocqueville menyatakan
penurunan signifikansi militer ini disebabkan oleh proses industrialisasi dan
demokratisasi. Namun penurunan ini akan berjalan lambat dan bersifat parsial. Karena
itu, selama proses panjang ini masyarakat demokratis tidak bisa lepas dari kewajiban
untuk mempertahankan angkatan bersenjatanya. Tocqueville menyimpulkan, berdasar
alasan tersebut, maka perlu dilakukan studi elemen-elemen sosial yang membentuk
institusi tentara dan tendensi-tendensi yang menyebabkan lahirnya angkatan
bersenjata. Karena itu, pada poin ini dapat dikatakan bahwa Tocqueville menciptakan
satu pokok persoalan, satu topik studi, yang kelak akan disebut sebagai sosiologi
militer. Dan studi awal Tocqueville ini dapat dikatakan cukup mendalam, karena ia
juga membahas banyak tema penting, seperti hubungan antara angkatan bersenjata
dengan masyarakat, akar sosial dari pejabat militer, profesi militer sebagai sarana untuk
menaiki status sosial, dan masalah karir dalam militer, dan isu divergensi/konvergensi
militer dengan masyarakat sipil, dan problem kontrol politik atas angkatan bersenjata –
tema yang kelak menjadi debat dan riset utama di bidang sosiologi militer sepanjang
paruh kedua abad 20 (Caforio, 2006).
Herbert Spencer, salah satu perintis sosiologi militer lainnya, menggunakan metode
komparatif untuk mengkaji masyarakat pada level yang berbeda-beda. Sebagai prinsip
integrasinya, ia menggunakan perspektif evolusi spesies biologis (Darwin) yang
diaplikasikan ke agregat sosial. Tesis umum yang dikemukakan Spencer adalah ada
hukum evolusi organisme dan kelompok, di mana hukum ini menyebabkan proses
perkembangan yang natural. Evolusi kelompok manusia dipandang sebagai sederet
proses dan produk yang membutuhkan koordinasi tindakan dari banyak individu.
Bentuk tertinggi dari evolusi ini adalah masyarakat; studi tentang masyarakat adalah
sosiologi (Caforio, 2006). Menurut Spencer, struktur masyarakat ini bersifat homeostatic,
yakni perubahan di satu bagian akan menimbulkan perubahan di bagian lain dalam
rangka mempertahankan keseimbangan sistem. Individu dan kelompok akan
mengembangkan dua struktur dasar, yang satu untuk tindakan internal dengan tujuan
pemeliharaan, dan satunya lagu untuk tindakan eksternal, dengan tujuan pertahanan
dan menyerang. Struktur untuk tindakan eksternal ini terbentuk dan berkembang
melalui perang. Perang inilah yang mengharuskan pemimpin, atau pihak otoritas,
untuk menciptakan struktur pemerintahan yang stabil, yang membutuhkan instrumen
pertahanan (militer). Tetapi, berbeda dengan Comte, Spencer tidak memandang evolusi
bersifat linier, melainkan selang-seling, di mana ada periode atau episode
perkembangan yang naik-turun dari segi signifikansi semangat militernya. Menurut
Caforio (2006), analisis militer Spencer masih signifikan, sebab banyak aspek
analisisnya masih tampak dalam masyarakat kontemporer, yang menunjukkan tipe
campuran masyarakat industrial-militer.
Pemikir klasik yang membawa analisis sosiologi lebih dekat ke sub-bidang spesifik-
militer adalah Gateano Mosca. Mosca melangkah lebih jauh ketimbang perspektif
positivis yang berpendapat perang akan hilang karena kedatangan masyarakat yang
positif (Comte), industrial (Spencer) atau demokratis (Tocqueville). Mosca
menunjukkan bahwa penyebab perang sesungguhnya bukan institusi militer. Fungsi
militer akan terus hadir dalam masyarakat karena perang hanyalah salah satu dari
sekian banyak manifestasi sifat manusia. Jadi, militer dan evolusi historisnya perlu
dikaji secara serius guna memahami bagaimana organisasi militer itu dapat berperan
optimal sesuai zamannya. Dalam negara modern, problem supremasi kekuasaan sipil
atas militer dipecahkan melalui penataan angkatan bersenjata (dalam studi kasusnya ia
menyebut negara-negara Eropa), di mana elemen-elemen sosial yang beragam
direpresentasikan dan diseimbangkan. Tetapi, menurutnya, yang lebih penting dalam
solusi problem hubungan ini adalah dengan memasukkan pejabat militer ke dalam
kelompok yang disebutnya sebagai “elit kekuasaan” (power elit) (Mosca, 1896, Cafario,
2006). Menurut Mosca, dengan memasukkan pejabat militer ke dalam kelompok elit
kekuasaan, petinggi sipil bisa mendapatkan loyalitas angkatan bersenjata dan
meletakkan militer di bawah kekuasaan sipil.
Pemikir sosiologi klasik lain yang perlu disebut, tentu saja, adalah Max Weber, yang
pernah bertugas di pasukan Jerman di Strasbourg. Analisis militer adalah penting bagi
definisi negara birokratik, menurut Weber. Dia mendefinisikan negara modern sebagai
komunitas manusia yang memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan paksa
secara sah. Analisis Weber diawalu dengan penelitian historis-komparatif untuk
mendefinisikan jenis rekrutmen militer dan karakteristik organisasi dari berbagai
masyarakat dan periode yang berbeda. Weber menyusun tipologi militer yang tidak
dikaitkan dengan satu periode sejarah atau kawasan geografis, dan tidak menyertakan
proses evolusi linier. Satu tipologi yang menarik adalah institusi militer di negara
modern. Di negara modern, yang ditandai dengan birokratisasi, seseorang tidak tunduk
kepada orang, melainkan kepada aturan yang disepakati bersama oleh komunitas.
Karenanya, pejabat militer tidak berbeda dengan pejabat lain; ia juga harus pada norma
sosial dan aturan; haknya untuk berkuasa dilegitimasi oleh aturan yang mendefinisikan
perannya. Kepatuhan pada norma dan nilai tersebut, yang dikombinasikan dengan
penekanan pada peran pelaksanaan institusi dan loyalitas institusional, melahirkan
disiplin militer (Caforio, 2003). Militer, menurut Weber, membangun organisasinya
berdasarkan kapitalisme, lalu memulihkan objektivitas konsep disiplinnya berdasarkan
konsep korporasi industri. Aspek lain dari pemikiran Weber yang menarik perhatian
dalam bidang ini adalah gagasannya tentang hubungan antara teknologi militer,
organisasi militer dan politik. Secara khusus Weber membahas organisasi sosial dan
distribusi kekerasan militer (Talbot et.al., 2010). Dalam esai Politics as a Vocation, Weber
berpendapat bahwa militer dan politik adalah agen utama milik negara yang
melaksanakan fungsi kekerasan terkontrol.
Sesudah studi Weber dikenal dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, sosiologi militer
tampaknya mulai dilirik orang di Eropa. Namun dalam konteks Eropa, studi-studi
milite relatif sedikit, masih terfragmentasi, dan belum komprehensif. Sesudah Perang
Dunia II, studi militer mulai berkembang menjadi kajian yang lebih spesifik, terutama
di Amerika Serikat. Dalam tahap ini militer tidak lagi dipelajari sebagai sekadar bagian
dari masyarakat atau dunia sosial, tetapi sebagai objek analisis tersendiri yang mudah
dianalisis secara kualitatif dan diukur secara kuantitatif.
Karya penting awal yang berpengaruh besar terhadap perkembangan studi sosiologi
militer adalah buku berjudul American Soldier (Stouffler et al., 1950). Karya ini dianggap
sebagai salah satu karya perintis sosiologi militer yang membahas struktur sosial
tentara, personel militer, dan psikologi sosial, yang didasarkan pada metode ilmiah dan
disajikan secara sistematis (Vladimir, 2006). Karya ini merupakan riset yang ekstensif,
didasarkan pada lebih dari 200 laporan dan wawancara dengan ratusan ribu tentara
selama 3 tahun kerja riset, antara 1942 sampai 1945 (Caforio, 2006). Kemudian, dari
1950-an sampai 1980-an ilmuwan politik dan sosiolog mengkaji relasi sipil-militer
sebagai interaksi antara angkatan bersenjata, elit politik, warga negara, dengan fokus
pada pengaruh komando tinggi militer terhadap pembuatan kebijakan pertahanan dan
keamanan, serta kebijakan luar negeri. Beberapa karya penting bermunculan selama
periode ini, dan diantaranya adalah The Soldier and the State karya Samuel Huntington
(1957), The Professional Soldier karya Janowitz (1960), The American Enlisted Man karya
Moskos (1970). Sedangkan textbook pertama yang fokus pada bidang studi militer
adalah Military Sociology: A Study of American Military Institution and Military Life (Coates
dan Pellegrin, 1960).
Secara khusus, Huntington bisa dikatakan sebagai ilmuwan pertama yang melakukan
sistematisasi sosiologi yang membahas militer. Dalam karya klasiknya, The Soldier and
the State, Huntington mengidentifikasi sektor studi “hubungan sipil-militer,” yang
dipahami sebagai salah satu aspek dari kebijakan keamanan nasional. Kerangka teoritis
yang diberikan Huntington adalah dengan membagi kebijakan keamanan nasional
menjadi tiga area utama: kebijakan keamanan militer, kebijakan keamanan dalam
negeri (domestik), dan kebijakan keamanan situasional (Huntington, 1957). Tujuan
utama kebijakan ini adalah untuk mengembangkan sistem hubungan sipil-militer yang
dapat memaksimalkan keamanan militer dengan mengorbankan nilai sosial lain
seminimal mungkin. Di sini Huntington membahas profesi militer, yang diartikannya
sebagai aktivitas yang dilakukan oleh jenis kelompok tertentu yang memiliki keahlian
khusus, yang mengandung unsur keterampilan, tanggungjawab dan kelembagaan.
Setelah menjelaskan karakteristik profesi militer, Huntington membahas bagaimana
kontrol sipil dapat dilaksanakan secara efektif untuk mengontrol kekuasaan militer
yang dipegang pejabat militer (Caforio, 2003, 2006). Huntington mendasarkan landasan
teoritis pemikirannya pada dua pemikiran: yang pertama, dari filsafat Thomas Hobbes,
di mana Huntington mengambil konsep tentang sifat manusia yang pada dasarnya
suka konflik dan tentang kondisi negara yang selalu berpotensi untuk saling serang;
yang kedua, dari studi perang Karl von Clausewitz, terutama konsep sifat ganda dari
perang.
Menurut Huntington, ada dua tipe kontrol politik terhadap militer: kontrol subjektif
dan kontrol objektif. Kontrol subjektif dilakukan dengan memaksimalkan kekuasaan
satau atau lebih kelompok sosial atas angkatan bersenjata; kontrol objektif didasarkan
pada pengakuan akan profesionalisme militer yang otonom dan pemisahan yang tegas
antara militer dengan ruang politik. Menurut Huntington, kontrol objektif inilah yang
bisa menjamin supremasi sipil atas militer secara berkesinambungan, sebab dalam
kontrol objektif ini diasumsikan ada pemisahan tegas antara dua bidang keahlian, dan
melalui kontrol ini akan bisa dicegah keterlibatan pejabat militer dalam politik (Caforio,
2006; Huntington, 1957).
Jadi para sosiolog pada periode yang lebih baru ini membahas institusi militer dalam
hubungannya dengan tindakan personel, relevansinya di dalam konteks organisasional,
masyarakat, dan konteks global. Talbot et al. (2010) mengemukakan bahwa dalam
pengertiannya yang paling umum, sosiologi militer modern mengkaji dua kategori
besar: (a) kajian dengan fokus internal, yang meriset militer sebagai institusi sosial
(mengeksplorasi isu-isu seperti profesionalisme tentara, integrasi gender ke dalam
angkatan bersenjata, dan peran militer yang berubah, dan (b) kajian dengan fokus
eksternal yang membahas relasi antara institusi militer dengan negara, dengan
masyarakat dan dengan negara-negara asing. Dalam konteks ini ada beberapa karya
penting yang cukup berpengaruh, seperti karya Caforio (2003), Janowitz (1971), Moskos
et al. (1999), Ouellet (2005), Segal (1989) dan sebagainya.
Seperti dikemukakan Janowitz, perubahan tatanan sosial dan kondisi masyarakat akan
menyebabkan militer harus beradaptasi, dan tesis ini tampak berlaku untuk melihat
periode sejarah yang lebih baru, yakni pasca berakhirnya Perang Dingin dan pada
periode pergantian abad. Secara umum tampak bahwa berakhirnya perang dingin,
perubahan dan kemajuan teknologi, serta evolusi sosial-kultural telah menyebabkan
semakin berkurangnya penggunaan tentara massal. Dengan ambruknya rezim-rezim
komunis di Eropa Timur dan runtuhnya Uni Sovit, misi tentara Barat juga berubah.
Kini militer tak lagi menghadapi lawan yang pasti. Militer lebih banyak melakukan
intervensi dalam konflik-konflik baru, seperti ikut dalam menjaga perdamaian di
kawasan konflik, memerangi terorisme internasional dan ancaman lain, atau
menjalankan misi kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Dalam konstelasi sosial-
politik yang baru ini, militer dituntut untuk mempunyai kemampuan reaksi cepat,
kemampuan yang diistilahkan oleh Janowitz (1971) sebagai “constabulary forces,”
yakni jenis pasukan profesional dengan jumlah yang lebih kecil yang mampu bergerak
gesit dan cepat.
Perubahan yang menonjol di lingkungan baru adalah pada struktur kelembagaan dan
fungsi militer. Manigari (2006) menyebutkan setidaknya ada lima variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap struktur organisasi militer: level perkembangan
ekonomi, perkembangan teknologi, perubahan lingkungan sosio-kultural, lingkungan
geopolitik di mana institusi militer berada, dan misi organisasi. Pengaruh-pengaruh
lingkungan ini memaksa banyak institusi militer untuk melakukan restrukturisasi
organisasi militernya dalam rangka meningkatkan kapabilitas dan menyesuaikan diri
dengan perubahan. Proses-proses restrukturisasi yang biasanya terjadi adalah
perampingan, profesionalisasi, penggunangan pasukan cadangan, integrasi antar-
angkatan, dan multinasionalisasi angkatan bersenjata (yang terakhir ini terutama terjadi
di Uni Eropa) (Manigari, 2006).
Untuk masa depan, kita membutuhkan pasukan yang fleksibel, pasukan yang mampu
menghadapi berbagai macam skenario berbeda … di masa depan kita mugkin akan menangani
situasi yang lebih luas, beragam dan berbeda ketimbang yang kita rumuskan dalam Strategic
Defence Review. Tujuan Kita adalah membangun pasukan yang gesit dan mampu beradaptasi
dengan cepat untuk menghadapi berbagai macam skenario, tidak hanya fokus pada segelintir
kemungkinan spesifik. Jika tidak [membangun fleksibilitas], kita berisiko akan memiliki pasukan
yang nonfleksibel dan berpotensi melakukan kesalahan dan kegagalan.1
Yang dimaksud dengan “pasukan yang fleksibel” adalah angkatan bersenjata dengan
ciri sebagai berikut: pasukan yang diperlengkapi dengan persenjataan yang tepat,
memiliki struktur yang tepat, dan kebijakan yang memampukan negara untuk
memberi respon secara fleksibel, serta kebijakan yang memungkinkan untuk bekerja
sama dalam aliansi yang diikat dalam “koalisi bersama,” untuk menghadapi
bermacam-macam krisis yang mengandung tingkat ketidakpastian yang besar
(Dandeker, 2006). Ada beberapa konsekuensi militer yang berada di dunia yang
semakin sulit diprediksi, yang jauh berbeda dengan kondisi pada masa Perang Dingin.
1
Lihat pidato Geoffrey Hoon QQ, "11 September—A New Chapter for the Strategic Defence Review.’ Teks dapat
dibaca di http://moddev.dera.gov.uk/news/press/news_press_notice.asp?newsItem_id = 1247
sosiologi pada akhir 1990-an yang membahas topik demokratisasi menyatakan bahwa
setelah sistem politik beralih ke arah demokrasi, prinsip perdamaian yang demokratis
dan upaya resolusi konflik tanpa menggunakan kekuatan militer akan semakin lazim.
Faktor-faktor seperti teknologi, pendidikan dan ekonomi semakin kuat pengaruhnya
dalam mengurangi peran militer dalam bidang sipil dan politik. Karenanya, selama era
1990-an, perubahan paradigmatik ini menyebabkan banyak negara mengurangi
anggaran militernya, merestrukturisasi institusinya dan merampingkan angkatan
bersenjatanya (Haltiner, 1998).
Salah satu dampak dari perubahan besar dalam berbagai bidang di awal abad 21, dan
dengan diterimanya perspektif post-modern dalam khazanah sosiologi, adalah
sebagian sarjana sosiologi militer mulai mencoba mengaplikasikan perspektif
postmodern ini dalam kajian sosiologi militer. Berdasarkan pengamatan atau observasi
terhadap berbagai macam pergeseran dan perubahan, seperti telah diuraikan di atas,
sebagian sarjana berasumsi bahwa perubahan-perubahan besar itu telah membawa
militer memasuki era yang disebut sebagai era postmodern. Dalam konteks ini mereka
mencoba meneliti bentuk-bentuk organisasi militer dan personel militer, terutama
sesudah Perang Dingin berakhir dan kekuatan di dunia tak lagi bipolar. Meskipun
masih ada perdebatan di kalangan teoritisi soal apakah kondisi “postmodern” ini
benar-benar sudah eksis atau belum, namun perubahan konstelasi politik dan
hubungan internasional telah mengubah banyak hal di dalam tubuh organisasi militer
di banyak negara di dunia.
Terakhir, ada beberapa perspektif dasar dalam kajian sosiologi militer yang membahas
persoalan hubungan sipil-militer pada umumnya, dan hubungan militer dengan politik
(termasuk dengan parlemen) pada khususnya.
Menurut teori hubungan sipil-militer yang terkenal, konsep militer sebagai lembaga
atau institusi permanen yang dipelihara semata-mata demi mendukung tujuan
kebijakan luar negeri adalah konsep yang memuat asumsi bahwa ada masyarakat sipil
berbasis konsensus yang menjaga keberlangsungan militer. Dalam masyarakat
semacam ini, angkatan bersenjata akan dipanggil untuk mengatasi kekacauan domestik
hanya jika situasinya benar-benar luar biasa. Jika kekacauan dalam negeri tidak
dianggap luar biasa, tugas pengamanan diserahkan kepada polisi. Namun,
ketidakmampuan pemerintah sipil untuk menyelesaikan problem internal yang akut,
dan ketidakmampuan memobilisasi “home front” untuk mendukung tujuan nasional,
sering memaksa militer melakukan tindakan campur tangan internal. Peran militer di
sini penting terutama di negara-negara yang institusi sipil dan pemahaman identitas
nasionalnya belum lama berkembang” (Sills, 1972). Hubungan sipil-militer memiliki
banyak dimensi, dan dapat dilihat dari berbagai macam perspektif yang berbeda.
Beberapa di antara dimensi itu adalah bidang kekuasaan dan politik, ekonomi dan
media, sains dan teknologi, kultur dan sejarah (Pugh, et al., 2006).
Secara historis, upaya mempelajari hubungan antara sipil dan militer dengan perangkat
ilmu sosial (sosiologi) dan empiris baru menunjukkan hasil yang relatif lebih tepat pada
abad 20, dengan tokoh-tokoh perintis seperti Weber, Mosca, dan lain-lain, seperti telah
dijelaskan di atas. Peningkatan teori terjadi pada era 1970-an dan 1980-an, terutama
karena dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Vietnam, dihapuskannya wajib militer di
banyak negara, dan semakin intensnya konflik bipolar atau lebih dikenal sebagai
Perang Dingin (Rukavishnikov, et al., 2006).
Militer dianggap bukan aktor utama dalam pemerintahan domestik, meski tak bisa
dipungkiri di banyak negara, militer memainkan peran sentral dalam tata-
pemerintahan, terutama di negara otoriter atau fasis. Dalam studi relasi sipil-militer
muncul perdebatan tentang bagaimana kontrol sipil atas militer mesti dilaksanakan.
Huntington (seperti telah dijelaskan di atas) menganut “pendekatan ilmu politik”
sedangkan pemikir seperti Morris Janowitz lebih mengedepankan “pendekatan
sosiologis.” Menurut pendekatan sosiologis, militer harus profesional. Pendekatan
sosiologis kemudian dikembangkan dari keyakinan bahwa kontrol sipil yang kuat dan
komprehensif terhadap militer hanya dapat direalisasikan apabila militer
diintegrasikan ke dalam jejaringan relasi-relasi sosial dan kemasyarakatan yang lebih
luas (Pugh, et al., 2006).
Pola hubungan sipil-militer akan berbeda-beda dari satu negara ke negara lain.
Perbedaan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah: faktor hukum dan
perundang-undangan, sistem dan konstelasi politik, tradisi historis negara, akar sejarah
terbentuknya militer, kondisi sosial dan ekonomi, evolusi atau perkembangan lanskap
politik, faktor lingkungan internasional, dan personel militer dan pemimpin sipil.
Hubungan informal antara elit sipil dan elit militer juga bisa memengaruhi
keseimbangan dalam hubungan sipil-militer. Faktor-faktor ini terkadang saling
berkelindan dan saling memengaruhi dalam proses pembentukan relasi sipil-militer.
Sebagai contoh, faktor sejarah militer Indonesia, faktor kepribadian personel tokoh
militer dan sipil, dan lanskap politik, melahirkan doktrin dwi-fungsi ABRI di masa
Orde Baru. Doktrin ini sebagian dipengaruhi oleh keyakinan dari petinggi militer pada
saat itu bahwa tentara nasional lahir dari rakyat dan militer berperan aktif dalam
pendirian negara Republik Indonesia sehingga militer tak bisa lepas tangan dalam
persoalan-persoalan politik dan sipil. Contoh lain adalah militer di bawah sistem
komunis-sosialis seperti di Uni Soviet dan kawasan Eropa Timur. Faktor sejarah dan
kondisi sosial-politik menyebabkan militer berada di bawah kendali ketat dari
penguasa Partai Komunis. Jadi, tampak bahwa relasi antara militer dan negara, struktur
sosial dan institusi akan membentuk relasi sipil-militer yang kompleks. Tetapi
Rukavishnikov (2006) memperingatkan bahwa meski poin ini sangat penting, perlu
disadari bahwa semua isu yang berkaitan dengan hubungan sipil-militer tidak bisa
direduksi hanya pada kontrol politik atas angkatan bersenjata. Pada dasarnya, menurut
Rukavishnikov, militer sebagai subsistem masyarakat, memiliki karakteristik berjarak
dari masyarakat dan memiliki kultur dan subkultur nonsipil yang berbeda. Perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
pada militer. Para sosiolog di banyak negara telah melakukan berbagai survei dan
penelitian tentang pandangan militer dan sipil tentang berbagai isu seperti nilai
kultural, kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan, hubungan sipil-militer, format
angkatan bersenjata dan peran politik militer atau peran militer dalam parlemen –
seperti yang nanti dikaji di bab-bab selanjutnya buku ini. Studi-studi itu
mengintegrasikan data survei dengan data sejarah, sosiologis dalam rangka menelaah
berbagai macam isu: perbedaan sikap, perspektif dan nilai politik antara sipil dengan
militer, dan isu latarbelakang personel pejabat militer dan prajurit; faktor yang
menyebabkan perbedaan pendapat dan pengaruhnya terhadap efektivitas sipil dan
militer; pendidikan militer, serta kerjasama antara sipil-militer. Seperti akan pembaca
lihat, buku ini akan membahas isu peran dan sumbangan pandangan politik dari
militer Indonesia terhadap politik, sebelum militer sebagai institusi resmi
meninggalkan aktivitas politiknya di parlemen.
Jadi tampak bahwa status hubungan sipil-militer tak bisa dilepaskan dari sifat negara
(demokratis atau nondemokratis), di satu pihak, dan motivasi serta tujuan dari pejabat
militer, di pihak lain. Sikap militer terhadap pemerintah sipil mungkin akan
berpengaruh krusial bagi kemajuan suatu negara. Meskipun militer di negara
demokratis tampak menjaga jarak dengan politik, namun sesungguhnya militer tak
pernah sepenuhnya “bercerai” dengan politik. Ada hubungan langsung antara sistem
politik negara dengan kecenderungan negara untuk menggunakan kekerasan dalam
persoalan dalam negeri dan luar negeri. Intervensi militer, kekuasaan militer, dan
penarikan diri militer dari politik adalah proses yang biasa terjadi di berbagai periode
sejarah di banyak negara – termasuk di Indonesia pasca lengsernya rezim Soeharto.
Prinsip demokratis yang dimaksud di sini adalah prinsip kedaulatan rakyat. Dalam
konteks Indonesia, misalnya, salah satu alat kontrol demokratis ada di institusi politik,
atau parlemen, yang beranggotakan politisi yang mengatasnamakan konstituen yang
memilih mereka. Idealnya, institusi parlemen dan institusi militer harus tunduk pada
prinsip-prinsip demokrasi, seperti toleransi atas perbedaan pendapat, debat terbuka,
kebebasan pers, tawar-menawar politik antarpartai, dan sebagainya. Ini
mengisyaratkan sistem multipartai. Ini adalah esensi dasar dari demokrasi pluralistik,
dan prinsip kesetaraan warga negara di dalam negara demokrasi.
Kontrol yang demokratis selalu merupakan proses dua arah, atau proses interaktif
antar elit militer dengan otoritas sipil dan antara militer dengan masyarakat.
Pemerintahan yang demokratis memiliki wewenang untuk menentukan ukuran, tipe
dan komposisi angkatan bersenjata; ikut menentukan doktrin keamanan nasonal dan
konsep reformasi militer; mengajukan anggaran pertahanan/militer; dan sebagainya.
Dalam kasus Indonesia masa Orde Baru, kepentingan militer diwakili secara
institusional, dengan adanya fraksi ABRI atau TNI di parlemen. Perwakilan ini
memberi pengaruh besar pada proses pengambilan kebijakan, bukan hanya di bidang
pertahanan, tetapi juga di bidang lain. Sesudah era reformasi, kepentingan militer
diwakili oleh personal militer. Selain itu, para jenderal dapat, dan jika perlu, harus
mengekspresikan pendapat atau kritiknya tentang kebijakan strategis dan keamanan,
baik itu saat diundang dalam rapat dengar-pendapat dengan parlemen maupun di
forum-forum formal dan informal lainnya.
Kita bisa mengatakan bahwa secara umum tingkat kontrol sipil atas militer adalah
indikator yang baik dari seberapa mendalamkah proses demokratisasi di negara-negara
yang tengah menjalani transisi sulit menuju sistem demokrasi. Dalam hal ini setiap
negara menunjukkan tingkat transisi yang berbeda. Sebagai misal, di sebagian negara
Eropa Timur, militer masih sangat besar pengaruhnya terhadap kebiakan keamanan,
dan militer masing sering digunakan untuk melakukan tindakan represi di dalam
negeri; sebaliknya ada contoh negara di mana intervensi militer ke dalam politik tidak
terlalu kuat, seperti di Brazil, Argentina, Peru, Turki, Indonesia, Thailand dan beberapa
negara Afrika (Rukavishnikov, 2006). Belakangan ini makin kuat pendapat yang
menyatakan bahwa pemerintahan atau kekuasaan militer adalah kekuasaan yang tidak
sah (illegitimate). Supremasi sipil didasarkan pada konsensus tentang kedaulatan yang
sah, proses pengambilan keputusan, termasuk prosedur suksesi politik, dan konsensus
tentang kemampuan sektor sipil dalam mempertahankan haknya melalui cara-cara
legal (Finer, 1962).
Di sisi lain, tantangan yang dihadapi negara-negara dalam transisi menuju sistem
demokrasi lebih banyak terjadi di bidang ekonomi, sosial dan politik ketimbang di
bidang militer. Akibatnya, ada kecenderungan di banyak negara bahwa reformasi
hubungan sipil-militer bukan menjadi prioritas utama dalam agenda politik. Namun,
dalam proses ini seringkali otoritas sipil menyadari bahwa reformasi militer
merupakan tugas yang membutuhkan lebih banyak fokus dan perhatian. Sebab, kontrol
sipil atas militer juga menyangkut persoalan transparansi dalam anggaran dan
perencanaan strategi keamanan dan pertahanan. Dalam negara yang demokratis,
pemerintah wajib memberi laporan publik kepada warga. Warga negara berhak tahu
apa rencana pemerintah dalam persoalan angkatan bersenjata. Karenanya, dalam
proses reformasi militer ini, sesungguhnya warga negara umum (termasuk media
massa) ikut berperan secara tidak langsung dalam memengaruhi kebijakan melalui
opini dan tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang mewakili
berbagai macam sektor masyarakat.
Berdasar uraian di atas dapat dilihat bahwa kontrol demokratis dapat dibagi menjadi
tiga dimensi, yakni kontrol vertikal, kontrol horisontal dan kontrol-diri. Hans Born
(2006) menjelaskan tiga dimensi kontrol ini sebagai berikut: Kontrol vertikal adalah
kontrol oleh parlemen dan pemerintah terhadap angkatan bersenjata, melalui berbagai
instrumen seperti kontrol anggaran, perundang-undangan, mikromanajemen,
pengangkatan jenderal, dan pengawasan parlemen. Kadang-kadang kontrol sipil ini
menggunakan manajemen persaingan antar angkatan di dalam tubuh militer. Kontrol
horisontal dilakukan oleh institusi masyarakat, seperti media, NGO (nongovernmental
organization), organisasi keagamaan, institusi riset, integrasi pendidikan sipil-militer,
dan ombudsmen nasional. Institusi-institusi itu punya kepentingan dalam pelaksanaan
fungsi angkatan bersenjata, dan karnanya berperan dalam memantau dan
memengaruhi angkatan bersenjata. Institusi-institusi ini dapat dipandang sebagai
jembatan antara masyarakat dengan angkatan bersenjata. Mereka memperkaya nilai-
nilai sosial yang ada di dalam tubuh angkatan bersenjata. Kontrol horisontal ini
bertujuan untuk mengintegrasikan angkatan bersenjata ke dalam masyarakat. Kontrol
horisontal terutama penting di negara di mana wajib militer (conscription) – “perantara
alamiah” antara masyarakat dengan militer – telah dihapuskan.
Kontrol diri, sebagai tipe ketiga dari kontrol demokratis, adalah esensial karena
militer merupakan pemegang monopoli kekerasan yang berbasis hukum dan karena
fakta bahwa militer memiliki otonomi sampai tingkat tertentu untuk mendukung
pemimpin politik mereka. Kontrol-diri militer, dalam konteks kontrol demokratis atas
angkatan bersenjata, berarti mengemban tanggung jawab sosial, yakni pemimpin
militer (korps perwira) menghormati aturan sipil dan menjunjung hak asasi manusia.
Rasa hormat ini muncul bukan karena didikte dari atas, melainkan tumbuh dari
penanaman nilai-nilai itu pada personel tentara melalui pendidikan dan pelatihan.
Kontrol-diri mengacu pada netralitas pejabat militer untuk tidak campur tangan
langsung dalam politik praktis dan menjaga eksistensi korps perwira yang demokratis
di dalam tubuh militer. Contoh menarik dari kontrol-diri ini bisa dilihat dalam analisisi
di buku ini yang menunjukkan proses percepatan menuju netralitas politik militer dan
kesediaan serta inisiatif pihak TNI untuk menarik diri dari politik praktis lebih awal
daripada yang telah disepakati dengan otoritas sipil.
Kajian kontrol-diri ini merupakan salah arah baru dalam sosiologi militer seperti
dipaparkan oleh Ouellet (ed., 2005), yakni sosiologi emosi dalam militer. Adalah benar
bahwa tindakan institusi militer adalah rasional dan tertata, namun banyak dari
aktivitasnya juga bergantung pada kematangan dan kecerdasan emosional dari
personel militer, mulai dari tingkat perwira tinggi hingga rendah. Militer, sebagai
institusi, tidak bisa melarang ekspresi emosi, tetapi institusi ini bisa mengaturnya
dengan cara tertentu – melalui pendidikan dan training serta sosialisasi nilai-nilai
keprajuritan – sehingga menimbulkan kesan militer bertindak secara rasional dan rapi.
Ekspresi dan manajemen emosi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi militer (Jelusic,
2005). Ini adalah arah baru yang patut mendapat perhatian dalam kajian sosiologi
militer di masa mendatang.
Dari paparan di atas, sampai poin ini tampak bahwa militer memiliki banyak sumber
data yang bisa dimanfaatkan untuk studi sosiologi militer, untuk menyusun analisis
dan mengembangkan teori baru. Riset militer, berdasarkan data tersebut, telah banyak
dikembangkan hingga menyentuh berbagai aspek militer, seperti studi sikap, studi
kelompok, studi institusi, studi militer dan politik, studi keluarga militer, studi aspek
bisnis dan ekonomi militer, studi profesi militer atau profesionalisme, sampai studi
militer postmodern. Dan ke depan sangat mungkin akan bermunculan kajian-kajian
baru yang bermanfaat bagi sosiologi pada umumnya, dan sosiologi militer pada
khususnya.
Secara umum, Sielbold (2001) menyebut ada empat kategori inti dalam kajian militer.
Mereka adalah (a) studi militer sebagai institusi dan organisasi; (b) hubungan sipil-
militer; (c) etos profesi militer; dan (d) relasi militer dengan pemerintah dan parlemen
(aspek politik) dan relasi militer dengan militer lain. Kategori inti melahirkan
diversifikasi kajian seperti telah diuraikan di atas. Dan berdasar kategori ini, buku ini
bisa dikatakan ikut menyumbangkan kajian inti, yakni studi sosiologi militer yang
menitikberatkan pada poin keempat dari kategori inti, yakni relasi studi politik dan
militer, khususnya relasi militer dengan parlemen dan pemerintah.
*Artikel ini adalah draft yang ditulis atas permintaan untuk memberikan ulasan ringkas buku tentang sosiologi
militer yang terbit pada 2014.
Bibliografi
Booth, Bradforth et al. 2001. Are Post-Cold War Military Postmodern? Armed Forces &
Society. Spring. Research Library.
Borgatta, Edgar F. 2000. Encyclopedia of Sociology, 2nd ed. NY: MacMillan.
Bruce, Steve ed. 2006. The Sage Dictionary of Sociology. Thousand Oaks: Sage.
Caforio, G. 2006. Handbook of the Sociology Military. NY: Springer.
Dandeker, C. 2003. ‘Building Flexible Forces for the 21st Century: Key Challenges for the
Contemporary Armed Services,‘ pp. 405-16 in G. Caforio, (ed.) Handbook of the Sociology
of the Military. New York: Plenum/Kluwer Academic Publishers.
Ma’arif, Syamsul. 2007. Militer dalam Masyarakat: Menuju TNI Profesional di Era Reformasi.
Disertasi Tesis, Universitas Indonesia.
Moskos, C., Williams, J. and Segal, D. (1999) The Postmodern Military: Armed Forces After
the Cold War. USA: Oxford University Press.
Oulette, E. 2005. New Directions in Military Sociology. Ontario: de Sitter.
Ritzer, G, ed. 2004. Sociological Theory. NY: McGraw-Hill.
Siebold, Guy L. 2001. Core Issues and Theory in Military Sociology. Journal of Political
and Military Sociology. Vol. 29 (Summer): 140-159.