Anda di halaman 1dari 18

Makalah Akhir Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat

ALIANSI TRANSATLANTIK AMERIKA SERIKAT UNI EROPA PASCA PERANG DINGIN DAN COMMON THREAT ERA MODERN

Disusun oleh: Muhammad Waffaa Kharisma 1006694523

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang We, the political leaders of NATO, are determined to continue renwal of our Alliance so that it is fit for purpose in addressing the 21st Century security challenges [] Our Alliance thrives as a source of hope because it is based in common values of individual liberty, democracy, human rights and the rule of law, and because our common essential and enduring purpose is ot safeguard the freedom and security of its members. The values and objectives are universal and perpetual, and we are determined to defend them through unity, solidarity, strength, and resolve. NATO, pengaturan keamanan transatlantik.1 Aliansi Transatlantik Amerika Serikat dengan Eropa telah menjadi pembentuk sistem dunia internasional sebagai fondasi abad ke-21. Di masa lalu, Amerika Serikat dan Eropa telah memiliki hubungan aliansi yang kuat. Hubungan erat kedua negara digambarkan oleh keadaan setelah Perang Dunia II misalnya, dimana dapat dikatakan Eropa tidak akan dapat pulih dari dampak yang dideritanya selama perang apabila bukan berkat kontribusi Marshall Plan yang dimiliki oleh Amerika Serikat demi membantu rehabilitasi Eropa. Di masa Perang Dingin, kedua pihak ini bersatu melawan Uni Soviet dengan ideologi komunismenya di bawah kerangka aliansi transatlantik. Amerika Serikat dan Eropa bersatu untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan liberal yang dianutnya bersama. Kini pembangunan di Eropa telah matang. Setelah sejak 50 tahun lebih beraliansi dengan erat demi membangun benua Eropa yang damai, makmur, serta aman dari ancaman, hubungan transatlantik kini memasuki era baru. Musuh yang sebelumnya dihadapi bersama-sama pun telah hilang dan tujuan-tujuan utama telah banyak tercapai.2 Makalah ini akan berusaha melihat usaha Amerika Serikat dalam merumuskan arah hubungan aliansi Amerika Serikat-Eropa di era modern, yakni
1

Kutipan dari Strategic Concept Lisbon Summit (November 2010), dalam Website NATO, What is NATO?, diakses dari http://www.nato.int/welcome/brochure_WhatIsNATO_en.pdf, pada tanggal 31 Desember 2012, pkl. 21.20 WIB. 2 Ronald D. Asmus dan Kenneth M. Pollack, The New Transatlantic Project: A Response to Robert Kagan, dalam Policy Review Magazine, (Oktober-November 2002), hal. 1-2.

pasca Perang Dingin, pada bidang keamanan. Menurut John J. Mearsheimer, hubungan aliansi membutuhkan keberadaan musuh bersama atau common enemy.3 Memasuki abad 21, demi mempertahankan aliansi transatlantiknya dengan Eropa, Amerika Serikat tentu ditantang untuk mampu mengadopsi arah dan tujuan-tujuan baru bagi hubungan ini. Prinsip common enemy yang menjadi karakteristik sebuah aliansi dipertanyakan lagi seiring dengan hilangnya sosok tersebut dari masa sebelumnya. 1.2. Pertanyaan Permasalahan Pertanyaan permasalahan yang diangkat: Bagaimanakah hubungan aliansi transatlantik Amerika Serikat-Uni Eropa dilihat berdasarkan prinsip common threat pasca Perang Dingin?
1.3.

Kerangka Konsep Makalah ini akan menggunakan pendekatan dari sudut pandang realisme,

sedangkan konsep utama yang digunakan adalah konsep aliansi atau alliance. John J. Mearsheimer memberikan lima asumsi dasar bagi sistem internasional dalam pandangan realisme.4 Asumsi pertama, aktor utama dalam world politic adalah great power atau negara dengan kekautan besar yang beroperasi dalam sebuah sistem yang anarki, atau tanpa ada kekuatan pengatur (authority) yang berposisi lebih tinggi daripada state. Asumsi kedua, semua negara memiliki kapabilitas militer ofensif. Maksudnya di sini adalah setiap negara mampu memberikan ancaman pada negara lainnya. Asumsi ketiga, negara tidak akan pernah mampu merasa yakin atas perilaku negara lain (tidak dapat ditebak, kawan dapat menjadi lawan kapan saja, dan sebaliknya). Yang dapat dirasakan dan dijadikan rasa keingintahuan oleh negara lain hanyalah apakah negara-negara lain ini bersifat revisionis (tidak puas dan ingin melakukan perubahan pada keseimbangan yang sedang ada) atau status quo (bersifat puas dan tidak punya niat untuk memaksakan perubahan). Tentu yang menjadi masalah di sini adalah kepastian dari sifat ini sendiri dan niatan terpendam di balik tiap negara.
3

John J. Mearsheimer, Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War, dalam International Security, 15,1 (1990), hal. 47. 4 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, (New York: W. W. Norton & Co, Inc., 2001), hal. 30-32.

Asumsi keempat, tujuan utama bagi negara adalah keselamatan dirinya. Hal ini mencakup integritas wilayah teritorialnya, hingga otonomi atas wilayah politiknya. Asumsi kelima yaitu bahwa negara merupakan aktor yang rasional. Yang dimaksud rasional di sini adalah kemampuan negara untuk melakukan pertimbangan terbaik untuk dirinya dengan menghasilkan strategi-strategi yang dapat digunakan untuk memaksimalkan prospek mereka untuk selamat. Tentunya sifat rasional ini tidak menutup kemungkinan akan miskalkulasi (biasanya disebabkan oleh keterbatasan informasi). Kelima asumsi di atas bersatu dan membentuk situasi sistem internasional yang berpatokan pada power, balance of power, dan fear. Dari pendekatan realisme ini, kemudian konsep utama yang akan digunakan dalam pembahasan makalah adalah konsep aliansi. Mearsheimer menyatakan bahwa terbentuknya aliansi didasari karena negara-negara memiliki beban yang sama dalam menangkal atau melawan suatu agresor atau common threat (common enemy). Sehubungan dengan ini beliau pun menyebutkan bahwa resiko dalam suatu aliansi terletak pada pembagian beban di antara negara-negara yang beraliansi ini.5 Stephen M. Walt dalam artikel Alliance Formation and the Balance of World Power menggambarkan bagaimana aliansi tercipta sebagai respon terhadap ancaman, dan respon ini pun beliau golongkan atas dua perilaku.6 Saat membentuk atau memasuki aliansi, negara akan melakukan antara perilaku balancing (beraliansi sebagai lawan dari sumber ancaman atau bahaya) atau perilaku bandwagoning (beraliansi dengan negara atau pihak yang justru menjadi sumber ancaman atau bahayanya). 1.) Perilaku Balancing7 Perilaku negara untuk menghindari dominasi atau ancaman dari suatu pihak dengan bergabung dalam suatu aliansi. Menurut hipotesa dan perilaku ini, negara akan memilih untuk beraliansi untuk melindungi dirinya sendiri dari negara atau pihak yang berpotensi memberikan ancaman. Alasan atas perilaku balancing terbagi dua. Pertama, negara akan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri apabila gagal untuk membatasi suatu potensi ancaman sebelum menjadi terlalu kuat. Asumsinya, strategi yang paling aman bagi suatu negara adalah dengan membentuk aliansi dengan
5 6

Ibid, hal. 156-157. Stephen M. Walt, Alliance Formation and the Balance of World Power, dalam International Security, Vol. 9, No. 4 (1985), hal. 4. 7 Ibid, hal. 5.

negara yang tidak dapat dengan begitu saja mendominasi negaranya. Kedua, dengan bergabung dengan pihak yang sama keadaannya, maka pengaruh suatu negara dalam aliansi tersebut tentu dapat terakomodasikan, sedangkan bergabung dengan potensi ancaman/potensi musuh justru akan mengurangi pengaruh suatu negara. Perilaku menghadapi common threat ini dapat berdampingan dengan faktor similar interest. 2.) Perilaku Bandwagoning8 Perilaku ini terjadi berdasarkan pemikiran bahwa negara akan cenderung beraliansi, ketimbang melawan, dengan bergabung pada pihak yang menjadi dominator atau sebagai potensi ancaman. Dengan beraliansi, asumsinya adalah tanpa perlu melakukan usaha perlawanan (seperti yang dilakukan pada perilaku balancing) suatu negara telah dapat meminimalisir hingga menghilangkan potensi ancaman yang diberikan oleh negara sumbernya. Perilaku bandwagon memunculkan pemikiran bahwa negara bersifat selalu tertarik dengan kekuatan. Semakin kuat, semakin terdemonstrasikan kekuatan yang dimiliki, maka akan semakin besar kemungkinan negara lain untuk memilih beraliansi pada suatu negara. Dari kedua tipe ini, Walt mengembangkan motif terbentuknya aliansi dari faktor-faktor seperti agregat power, jarak, kapabilitas ofensif, dan intensi ofensif yang mempengaruhi penilaian negara akan datangnya ancaman:
1.) Agregat Power

Faktor perbedaan kekuatan menjadi determinan karena semakin besar sumber daya total dari suatu negara (mencakup kapabilitas teknologi, industri, dan lain-lain), semakin besar potensi ancaman yang ia berikan. Negara dapat menjadi sumber ancaman, dapat pula menjadi sebagai penggerak karena kapasitas reward and punishment yang ia miliki seiring dengan tumbuhnya power.
2.) Jarak atau proximity.

Karena kemampuan untuk memproyeksikan power dapat merosot dengan jarak, maka semakin dekat negara, ancaman yang ia berikan semakin besar. 3.) Kapabilitas ofensif. Negara dengan kapabilitas ofensif yang besar akan lebih cenderung memberikan provokasi bagi aliansi ketimbang negara yang secara militer lemah atau hanya berkapabilitas defensif.
8

Ibid, hal. 6-7.

4.) Intensi ofensif. Negara yang terlihat lebih agresif akan lebih memprovokasi negara-negara lain untuk melakukan balancing terhadapnya. Faktor-faktor ini berpengaruh pada apakah negara lain akan melakukan balancing (dinilai sebagai ancaman) ataupun bandwagoning (bisa jadi masih dinilai sebagai ancaman, namun negara mampu menyeimbangkan kenaikan power dengan bungkus-bungkus diplomasi, pembentukan citra baik, dan lain-lain). Konsep aliansi digunakan dalam kasus hubungan aliansi transatlantik Amerika Serikat-Eropa untuk mengeksplorasi perkembangan (merenggang atau menguat, dan lain-lain) hubungan aliansi ini setelah Perang Dingin.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Aliansi Transatlantik Amerika Serikat-Eropa Pasca Perang Dingin Hubungan Amerika Serikat dengan Eropa di masa Perang Dingin secara garis besar tebentuk atas dasar persamaan musuh atau common enemy, yakni terhadap Uni Soviet dan Komunisme. Sebelumnya setelah Perang Dunia II, hubungan baik antara Amerika Serikat dengan Eropa terbentuk karena program-program revitalisasi yang dijalankan oleh Amerika Serikat bagi pembangunan pasca perang di Eropa. Hal ini memang bisa jadi merupakan tindak berdasar kepentingan tertentu ketimbang berdasar rasa kemanusiaan. Namun program-program inilah yang sebenarnya mampu mendongkrak kondisi Eropa yang telah sebelumnya luluh lantak oleh perang, pada keadaan kemandiriannya saat ini. Atas dasar itu, di masa Perang Dingin Eropa dengan persamaan ideologinya, dalam istilah Hans Morgenthau Ideological Solidarity, berada di pihak Amerika Serikat dalam membentuk dan mempertahankan orde yang liberal dan demokratis di Eropa sendiri bersamaan dengan usaha menahan pengaruh Uni Soviet.9 Ideological Solidarity mengacu pada aliansi yang dihasilkan negara-negara dengan persamaan atas faktor-faktor seperti politik dan kultural. 10 Solidaritas ini tentu masih berlanjut sampai sekarang mengingat sejarah panjang akan persamaan sedemikian di antara kedua pihak. Aliansi transatlantik Amerika Serikat dengan Eropa pada masa Perang Dingin merupakan bentuk dari aliansi atas dasar balancing. Hal ini dikarenakan fakta bahwa aliansi tersebut tercipta untuk menghadapi kekuatan dari timur dalam wujud Uni Soviet dan komunisme. Dengan ideologi yang sama, Amerika Serikat dan Eropa pun memiliki persamaan persepsi akan ancaman, dalam wujud Uni Soviet ini. Segala tindakan yang dilakukan, di wilayah Eropa khususnya, di bawah kerangka aliansi transatlantik Amerika Serika dan Eropa dilakukan selain untuk membangun Eropa dan mengokohkan nilai-nilai liberal dan demokrasi juga dilakukan untuk menahan perkembangan dari komunisme dan pengaruh Uni Soviet. NATO (North Atlantic Treaty Organization) merupakan perwujudan akan hal ini.
9

Thomas Wright dan Richard Weitz, The Transatlantic Alliance in a Multipolar World, dalam Chicago Council Transatlantic Paper Series (September 2010), hal. 7. 10 Walt, Op. Cit., hal. 18.

Seperti yang disebutkan oleh Walt, perilaku negara untuk mebentuk suatu aliansi yang balancing didasari niatan untuk menghindari dan melawan ancaman dari suatu pihak, dalam hal ini Uni Soviet. Hal ini dilakukan untuk melindungi masingmasing dirinya sendiri dan melakukan perlawanan terhadap ideologi komunisme yang dipersepsikan sebagai ancaman oleh kedua pihak. Di sini Amerika Serikat dan Eropa tentu menilai bahwa apabila kekuatan Uni Soviet tidak dibendung, maka pada akhirnya bahaya yang dihasilkannya tidak akan lagi dapat dikontrol. Namun sejak berakhirnya Perang Dingin dan memasuki dunia unipolar Amerika Serikat, posisi keseimbangan dalam aliansi semakin menjauh karena dominasi dari Amerika Serikat sendiri. Apabila dilihat dari konsep aliansi, hubungan transatlantik di era modern ini justru cenderung kepada bentuk aliansi bandwagoning, di mana Eropa melakukan bandwagon kepada Amerika Serikat sebagai dominator. Tentu dalam dunia yang anarki ini, tanpa tau kapan dan darimana datangnya ancaman yang menggangu keselamatan negara (integritas teritori, dan lain-lain), maka dalam hal ini Amerika Serikat dapat saja dinilai sebagai potensi ancaman oleh Eropa. Apalagi terkadang doktrin-doktrin yang dipegang oleh Amerika Serikat cenderung memperlihatkan negaranya yang ingin mempertahankan unipolaritas dan menghalanghalangi negara lain untuk ikut naik pula sebagai rising power. Di sini terlihat pergeseran motif pembentuk aliansi, dari bentuk balancing ke bentuk baru bandwagoning.
2.2.

Perdebatan Akan Keberlangsungan Aliansi Transatlantik Amerika Serikat-Eropa Terdapat perdebatan yang mengatakan bahwa aliansi Eropa dan Amerika

Serikat pasca Perang Dingin berada diambang perpecahan, bahkan hingga prediksi bahwa keduanya akan menjadi great power rivals. Salah satu pernyataan pemimpin politik Eropa yang memperlihatkan argumentas ini dilontarkan oleh Mantan Presiden Perancis Jacques Chirac. Kutipan langsung dari pernyataannya mengenai Amerika yaitu, Any community with only one dominant power is always a dangerous one and provokes reactions. Thats why I favor a multipolar world in which Europe obviously has its place. Tanggapan ini dihubungkan dengan peran dan posisi dominasi Amerika Serikat di Eropa. Chirac beranggapan bahwa bagi Eropa, tidak dibutuhkan dominasi oleh suatu negara dengan pengaruh dominan di benua. Chirac dinilai sebagai
9

representasi Eropa yang memperlihatkan keinginan dan dukungan akan multipolaritas tanpa pengaruh dominan Amerika Serikat di Eropa.11 Eropa memang, memasuki abad ke-21, telah secara langsung dan tidak langsung menyatakan ketidaksukaannya terhadap unipolaritas yang diusung dan dibawa oleh doktrin Amerika Serikat. Tokoh G. John Ikenberry dalam artikelnya Americas Imperial Ambition menyatakan, The twin new realities of our agecatastrophic terrorism and American unipolar powerdo necessitate a rethinking of the organizing principles of international order. America and the other major states do need a new consensus on terrorist threats, weapons of mass destruction (wmd), the use of force, and the global rules of the game.12 Pernyataan Ikenberry memperlihatkan bagaimana posisi Amerika Serikat berusaha dengan segala kapabilitasnya sebagai negara hegemon memang berusaha membentuk tatanan internasional melalui nilai-nilainya. Beberapa penilaian, menurut Robert Lieber, mengungkapkan bahwa semenjak berakhirnya Perang Dingin, berubahnya konstalasi kekuatan dunia internasional karena runtuhnya Uni Soviet telah menyebabkan perubahan pandangan tidak hanya pada konteks keamanan, namun hingga misalnya dalam ekonomi. Sejalan dengan poin tersebut, NATO tidak lagi dinilai sebagai institusi yang dibutuhkan oleh Uni Eropa.13 Oleh karena itu, sebagian pemimpin politik Eropa mengklaim untuk menantang hegemoni Amerika Serikat, We need a means to struggle against American hegemony.14 Namun tentu pendapat yang menyatakan bahwa Eropa pasca Perang Dingin seharusnya muncul sebagai penantang yang melakukan balancing terhadap Amerika Serikat, sehingga kemudian dimungkinkan Eropa dan Amerika Serikat untuk menjadi great power rivals pun belum jelas terbukti dasar argumennya. Fakta memang memperlihatkan munculnya ketidakharmonisan yang dilontarkan oleh beberapa pemimpin politik. Namun sebenarnya beberapa argumen dapat dilontarkan dalam menjawab hal ini. Argumen ini sekaligus mendorong pemikiran dua kali dalam menilai hubungan Amerika Serikat Eropa sebagai hubungan yang telah tidak lagi harmonis. Misalnya, jika permasalahan ini dilihat lebih luas, pernah dilakukan
11

Robert J. Lieber, The American Era: Power and Strategy from the 21st Century, (Cambridge University Press, 2005), hal. 77. 12 G. John Ikenberry, Americas Imperial Ambition, Foreign Affairs, Vol. 81, No. 5 (September-Oktober, 2002), hal. 44-45. 13 Ibid. 14 Ibid, hal. 76.

10

perhitungan bahwa dari 19 anggota (waktu itu, di masa Uni Eropa masih hanya beranggotakan 19 negara) negara Uni Eropa, 16 negara di antaranya cenderung masih mendukung berbagai kebijakan Amerika Serikat. Apalagi jika merujuk pada pengiriman pasukan ke Irak, Amerika Serikat mendapatkan dukungan mayoritas.15 Hal ini otomatis menjadi argumentasi bantahan atas prediksi perpecahan hubungan Amerika Serikat dengan Eropa, meskipun memang ada protes-protes yang bersumber dari Eropa yang kritis mempertanyakan kembali berbagai kebijakan Amerika Serikat dan kenapa kebijakan-kebijakan ini terkadang tidak dilakukan di bawah kerangka aliansi keamanan transatlantik dalam wujud NATO. Tentu suara dari entitas yang dinamakan Eropa pun tidak dapat diwakil oleh beberapa suara saja. Dapat diprediksi pula bahwa Eropa masih akan bergantung pada Amerika Serikat dalam hal ini.16 Hal ini dapat dilakukan di bawah transisi aliansi model balancing menuju model bandwagoning. Kerjasama keamanan Eropa dengan Amerika Serikat menjadi semakin penting, mengingat supremasi Amerika Serikat terhadap dunia. Amerika Serikat pun telah menjadi kekuatan besar dengan status hegemoni di dunia yang anarki. Kekuatan ini terutama terletak pada kemampuannya untuk bertindak di dunia global.17 Dari fakta ini, bandwagon yang dilakukan oleh Eropa dapat berputar di sekitar kebutuhan akan similar interest dengan Amerika Serikat, sekaligus pada kebutuhan akan kemungkinan Amerika Serikat menjadi potensi ancaman. Tentu kemungkinan Amerika Serikat menjadi sumber bahaya atau ancaman tidak akan pernah tertutup, apabila diukur dengan sudut pandang realis. Dari konsep mengenai sumber ancaman yang menjadi motif bagi pembentukan atau berjalannya suatu aliansi termasuk agregat power, jarak, kapabilitas ofensif, dan intensi ofensif. Agregat power antara Amerika Serikat dengan Eropa semakin menjauh, meskipun Eropa saat ini telah banyak berkembang demi mengurangi hegemoni Amerika Serikat di Eropa. Disparitas kekuatan Uni Eropa dan Amerika Serikat cukup memiliki gap yang jauh.18 Hal ini digambarkan dari fakta bahwa anggaran militer 25 anggota Uni Eropa tidak lebih dari 50% anggaran belanja militer Amerika Serikat. Fakta ini yang juga menjadikan dasar dari sudut pandang realis yang

15 16 17 18

Ibid, hal. Ibid, hal. Ibid, hal. ibid, hal.

79. 82. 88. 79.

11

akan menilai bahwa sistem unipolaritas Amerika Serikat cenderung tidak damai karena karena amat berkonsenstrasi pada kapabilitas militernya. Selanjutnya dari komponen jarak dan kapabilitas ofensif, Amerika Serikat memiliki kapabilitas ofensif yang dapat memberikan rasa ancaman bagi setiap negara yang ada di dunia, dengan seluruh keunggulan teknologi dan industry militer yang ia miliki. Intensitas ofensif pun tidak akan dapat diprediksi. Sebagai bukti Amerika Serikat pun tidak jarang menunjukkan intensi ofensifnya pada negara, meskipun tidak pada negara Eropa. Dari sini saja, keberadaan Amerika Serikat sebagai potensi ancaman tidak dapat dengan mudah dieliminasi dari perhitungan negara-negara Eropa. Dengan demikian tindak bandwagon oleh Eropa masih menjadi signifikan peranannya di era modern, menggantikan tindak aliansi balancing transatlantic di era Perang Dingin. Hal ini dapat dilihat dari dominasi Amerika Serikat dibanding dengan Eropa dan fakta bahwa potensi ancaman tidak dapat dengan mudah dihilangkan dari sosok negara superpower seperti Amerika Serikat.
2.3.

Prinsip Common Threat dalam Hubungan Amerika Serikat-Eropa Pasca Sub-bab ini akan membahas bagaimana nilai common threat yang diemban

Perang Dingin aliansi transatlantik sebelumnya di era Perang Dingin telah hilang seiring dengan runtuhnya dunia bipolar dan tantangan pengaruh dominan Uni Soviet sebagai pesaing dunia barat dengan digantikan oleh unipolaritas Amerika Serikat. Prinsip common threat inipun dipertanyakan lagi di masa pasca Perang Dingin. Dari pertanyaan ini muncul sebuah persepsi baru akan common threat bagi dunia barat yang dikemukakan oleh Amerika Serikat. Ancaman ini terwujud dalam bentuk terorisme. Peristiwa pemboman atas Gedung World Trade Center pada 11 September 2001 telah disebut-sebut sebagai titik balik di mana ancaman terorisme benar-benar dirasa nyata, terutama oleh negara pendeklarasi perang atas terorisme, Amerika Serikat. Dari sini anggapan pun muncul bahwa Eropa tidak berada jauh di belakang posisi Amerika Serikat saat ini. Eropa pun sebenarnya apabila dilihat secara motif historis dan identitas, meskipun tidak semua orang akan setuju, memiliki persamaan yang mendalam. Walaupun pada akhirnya akan ada argumentasi yang menyanggah hal ini, argumentasi tersebut belum tentu dirasakan pula oleh para pelaku terorisme. Seperti yang diungkapkan oleh Ronald D. Asmus dan Kenneth M. Pollack yang
12

melihat pula bahwa saat Amerika Serikat menjadi target serangan-serangan ini, Eropa berada tidak jauh di belakangnya. Kedua tokoh ini bahkan mengatakan, Their (terrorists groups) hatred is rooted as much as in who we(United States and Europe/Western Civilization) are.19 Serangan teroris sendiri telah banyak terjadi di Eropa, meskipun targetnya hanya terhadap warga negara Amerika dan Israel, dan bukan spesifik mengincar warga negara Eropa.20 Benua ini pun secara geografis tidaklah jauh dari jangkauan senjata pemusnah masal yang banyak diasumsikan, terutama oleh Amerika Serikat, berasal dari Timur Tengah. Penggunaan senjata ini tentunya paling aman diasumsikan sebagai hanya masalah waktu, mengingat asumsi bahwa ancaman tidak akan dapat diprediksi waktu dan arah datangnya. Ancaman baru ini membentuk kebutuhan akan pemikiran yang baru akan aliansi Amerika Serikat-Eropa dalam kerangka common threat terorisme. Terorisme merupakan musuh seluruh dunia Barat, tidak hanya terbatas pada Amerika Serikat dan nilai-nilainya. Ancaman seperti ini pun hampir tidak mungkin dihadapi sendiri oleh Amerika Serikat. Bahkan melihat dari skala potensi ancaman yang dapat dihasilkannya (potensi penggunaan Weapons of Mass Destruction, serta kepemilikan jaringan informasi yang juga canggih), ancaman ini belum tentu pula dapat diselesaikan meski dilakukan secara bersama-sama. Namun tentu kesempatan lebih besar akan ada di posisi usaha kolektif. Semboyan War on terror yang diserukan Amerika Serikat berbanding terbalik dengan seruan untuk berperang terhadap terorisme yang bersifat global. Salah satu poling mengenai pendapat warga Eropa terhadap terorisme dari majalah German yang berjudul Der Spiegel menyatakan bahwa 3:1 masyarakat Eropa tidak merasakan serangan 11 september 2001 menjadi ancaman yang berarti bagi Eropa sendiri.21 Pendapat yang tergambarkan dari sini adalah dengan berakhirnya Perang Dingin, Eropa tidak lagi membutuhkan perlindungan Amerika Serikat dan ancaman yang menjadi objek perhatian pun berbeda. Tokoh Asmus dan Pollack berargumen bahwa perang terhadap terorisme harus dilakukan secara mendalam, baik secara militer maupun politis, dengan sifat
19

Ronald D. Asmus dan Kenneth M. Pollack, The New Transatlantic Project: A Response to Robert Kagan, dalam Policy Review Magazine, (Oktober-November 2002), hal. 3. 20 Ibid, hal. 4. 21 Lieber, Op. Cit., hal. 83.

13

preemptive.22 Dalam hal ini, mereka menargetkan Timur Tengah sebagai fokus kebijakan melawan terorisme. Kawasan ini dianggap menjadi sumber para teroris, proliferasi senjata pemusnah masal, perang sipil di negara-negaranya, dan gelombang pengungsian. Masalah utama di kawasan ini adalah krisis pemerintahan, yang ditambah dengan ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan modernitas. Kegagalan rejim-rejim di kawasan ini mengakibatkan berkembangbiaknya ideologi dan pergerakan ekstrimis. Dari sini, Amerika Serikat-Eropa diharapkan dapat bekerjasama dalam membangun Timur Tengah yang tidak anti-Barat, demokratis, dengan sistem ekonomi yang mendukung, serta masyarakat yang padu dan mampu bersaing ditengah dunia modern.23 Asmus dan Pollack berargumen bahwa memang saat ini terdapat jurang pemisah yang nyata antara Amerika Serikat dengan Eropa. Pertama misalnya masalah-masalah yang muncul dari fakta bahwa saking terintegrasinya kedua bangsa, perbedaan pendapat terjadi di subjek-subjek permasalahan negara dunia pertama, misalnya lingkungan. Masalah ini justru sebenarnya menandakan kesuksesan dan persatuan dari kedua pihak. Munculnya Doktrin Bush sebagai respons terhadap peristiwa 9/11, merupakan salah satu pemicu semakin intensifnya kritik-kritik Eropa terhadap Amerika Serikat. Saat Amerika Serikat melihat negaranya tengah berperang dengan terorisme, Eropa melihatnya hanya sebagai serangan terhadap Amerika Serikat, dan bukan ancaman bagi dunia.24 Doktrin Bush dan pencerminan ambisi Amerika Serikat untuk mempertahankan unipolaritasnya memunculkan kritik lain yang ditujukan pada keinginan dan kemampuan Amerika untuk menggunakan kekuatannya tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB ataupun pertimbangan pemimpin-pemimpin Eropa. Kritik ini muncul terhadap dua komponen strategi keamanan nasional Amerika Serikat, (1) penggunaan militer preemptive terhadap negara-negara yang dinilainya berbahaya dan berpotensi mengembangkan senjata pemusnah masal; (2) keinginan Amerika Serikat untuk mempertahankan keunggulannya dengan menghalang-halangi naiknya great power lain sebagai penantang.25

22 23 24 25

Asmus dan Pollack, Op. Cit., hal. 6. Ibid, hal. 8-9. Lieber, Op. Cit., hal. 69. Ibid.

14

Masalah perbedaan pandangan mengenai bagaimana masing-masing Amerika Serikat dan Eropa memandang dunia luar, memperhitungkan ancaman, dan menghadapinya sebenarnya dapat diselesaikan. Hal ini dikarenakan meskipun perbedaan-perbedaan ini ada, sebenarnya Amerika Serikat dengan Eropa tidak jauh berbeda. Kurangnya komitmen yang terjadi selama ini ataupun perbedaan-perbedaan pendapat atas cara-cara yang ditempuh seharusnya tidak lagi menjadi suatu masalah dalam menghadapi terorisme, yang dalam hal ini peristiwa 9/11 menjadi pemersatu yang kuat atas suatu common enemy.26 Meskipun terdapat suatu perwujudan common threat dalam bentuk terorisme yang menggantikan common enemy sebelumnya dalam bentuk Uni Soviet dan nilainilai komunisme yang dinilai berbahaya, namun common threat ini belum tentu menjadi sebuah determining variable dalam aliansi transatlantik pasca Perang Dingin ini. Hal ini dikarenakan motif untuk mempertahankan aliansi transatlantik Amerika Serikat dengan Eropa telah bergeser dari yang sebelumnya bersifat balancing ke sekarang sifat bandwagoning dari Eropa pada Amerika Serikat sebagai powerhouse dan supreme power di abad 21. Bentuk aliansi yang dijelaskan oleh Mearsheimer dengan variabel common threat sebagai pendorongnya hanya merupakan satu sisi dari pembentukan aliansi menurut Walt. Apabila digabungkan di sini, common threat yang diajukan oleh Mearsheimer sebagai motif pembentukan aliansi hanya mewakili sisi balancing dari teori yang diajukan Walt.
2.4.

Persamaan Ideologi Amerika Serikat-Eropa: Pengikat atau Pemisah? Terdapat suatu kepercayaan bahwa persamaan dalam ideologi akan membuat

negara semakin erat menjalin atau membentuk sebuah aliansinya. Asumsi pertama atas terciptanya pemikiran seperti ini adalah bahwa aliansi dengan negara yang sama (secara ideologi dan nilai-nilai dasar) dapat dimengerti sebagai suatu usaha untuk mempertahankan prinsip-prinsip politik diri sendiri. Maksudnya, saat negara beraliansi dengan negara berideologi sama, maka dengan kemungkinan besar negara tersebut akan melihat aliansi tersebut sebagai salah satu usahanya untuk memperjuangkan atau mempertahankan ideologi atau prinsip yang negara tersebut anut. Dengan kata lain saat negara percaya bahwa melindungi sistemnya sendiri merupakan suatu keputusan atau pertimbangan yang baik, tentunya usaha untuk
26

Asmus dan Pollack, Op. Cit., hal. 18.

15

mempertahankan atau melindungi negara lain dengan sistem yang sama akan dinilai sebagai suatu kebaikan pula. Kedua, negara-negara dengan nilai-nilai atau ideologi yang sama, dengan perlengkapan instrumen politik dan sistem pengambilan keputusan yang sejalan, akan cenderung mendapati dirinya jarang saling merasakan suatu bentuk fear dari negara sama tersebut. Asumsinya di sini adalah mereka akan sangat sulit untuk menanggap bahwa negara dengan nilai, sistem dan ideologi yang sama (nilai, sistem, dan ideologi yang dinilai baik) itu akan mengambil keputusan untuk menyerang mereka. Ketiga, aliansi dengan negara yang memiliki kesamaan ideologi ini dapat pula mengembangkan legitimasi sebuah rejim yang lemah. Hal ini menjadi sedemikian karena sebuah pergerakan yang tadinya lemah dapat menjadi besar dengan ikut serta/mengikutsertakan negara dengan nilai dan ideologi yang sama (dengan demikian berada di bawah pergerakan yang sama). Keempat, ideologi tertentu terkadang memang sudah didesain untuk mendukung perilaku membentuk aliansi.27 Hal inipun demikian dalam kasus Amerika Serikat dan Eropa. Namun terdapat pula pemikiran lain yang berpendapat bahwa justru kesamaan ideologi dapat memisahkan hubungan aliansi negara. Hal ini misalnya dapat disebabkan oleh keadaan dimana otoritas kepemimpinan dalam aliansi ini bertumpu pada interpretasi atas ideologi yang sama ini, dan berpotensi menyebabkan perselisihan berdasar atau mengenai ideologi. Sedikit perbedaan praktik ideologi pun dapat saja dijadikan alasan pengkhianatan terhadap aliansi, yang berujung pada perpecahan.28 Pembahasan atas persamaan ideologi yang dapat menjadi faktor pemisah ataupun pengikat yang kuat ini menjadi penting karena posisi sejarah atas ideologi yang menjadi vital dalam mempertahankan hubungan aliansi antara Amerika Serikat dengan Eropa.

27 28

Walt, Op. Cit., hal. 20. Ibid, hal. 21.

16

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semenjak runtuhnya bipolaritas di era Perang Dingin, hubungan transatlantik Amerika SerikatEropa memang telah kehilangan common threat yang diakui secara bersama. Namun di era modern, posisi common threat ini dapat secara potensial digantikan oleh terorisme. Meskipun demikian, common threat ternyata tidak selalu menjadi determinan bagi motif terbentuk dan berjalannya suatu aliansi. Terdapat faktor-faktor lain seperti common interest ataupun common value yang mampu mendasar terbentuknya aliansi. Selepas aliansi balancing di era Perang Dingin, pergeseran terhadap aliansi bandwagoning pun mampu mewadahi hubungan aliansi yang tetap berjalan di antara Amerika Serikat dengan Eropa.

17

DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku: Asmus, Ronald D. dan Kenneth M. Pollack. The New Transatlantic Project: A Response to Robert Kagan. Dalam Policy Review Magazine (OktoberNovember 2002). Lieber, Robert J. The American Era: Power and Strategy from the 21st Century. (Cambridge University Press, 2005). Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics. (New York: W. W. Norton & Co, Inc., 2001). Referensi Jurnal: Ikenberry, G. John. Americas Imperial Ambition, Foreign Affairs, Vol. 81, No. 5 (September-Oktober, 2002). Mearsheimer, John J. Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War. Dalam International Security, 15,1 (1990). Walt, Stephen M. Alliance Formation and the Balance of World Power. Dalam International Security, Vol. 9, No. 4 (1985). Wright, Thomas dan Richard Weitz. The Transatlantic Alliance in a Multipolar World. Dalam Chicago Council Transatlantic Paper Series (September 2010). Referensi Internet: Kutipan dari Strategic Concept Lisbon Summit (November 2010), dalam Website NATO, What is NATO?, diakses pada tanggal dari 31 http://www.nato.int/welcome/brochure_WhatIsNATO_en.pdf, Desember 2012, pkl. 21.20 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai