Anda di halaman 1dari 4

Izzatiddiena Nur Safira

14050122130048
Teori HI
Kelas 18

Resume Chapter 2: Anarchy And The Struggle For Power” Dalam Buku “The Tragedy Of
Great Power Politics” Oleh John J. Mearsheimer

Why State Pursue Power


Alasan mengapa negara mengejar kekuasaan dapat diturunkan dari lima asumsi mengenai
sistem internasional, yakni:
1. Asumsi bahwa sistem internasional bersifat anarki. Realisme menggambarkan
dunia yang penuh dengan keamanan dan perang. Selain itu, kedaulatan dianggap
sebagai kekuasaan tertinggi dan tidak ada kekuasaan yang lebih berkuasa
diatasnya.
2. Asumsi bahwa negara dengan kekuasaan besar (great powers) memiliki
kemampuan militer yang bersifat ofensif (menyerang) sehingga mereka memiliki
kesempatan untuk memburu dan menghancurkan satu sama lain.
3. Asumsi bahwa tidak ada negara yang bisa mengetahui dan yakin akan niat negara
lain. Ada banyak kemungkinan yang melatarbelakangi agresi dan tidak ada negara
yang bisa yakin tentang alasan tersebut.
4. Asumsi bahwa tujuan utama dari negara dengan kekuasaan besar adalah survive
atau bertahan. Negara boleh memiliki tujuan lain, namun tujuan utama mereka
adalah keamanan (security).
5. Asumsi bahwa negara berkekuatan besar adalah aktor yang rasional. Mereka
sadar akan lingkungan eksternal dan dapat memikirkan strategi untuk bertahan.
Asumsi-asumsi jika dilihat secara terpisah kurang mampu untuk menjadi alasan mengapa
negara-negara bersifat agresif satu sama lain. Namun apabila digabungkan dapat menjadi alasan
kuat bagi negara-negara great powers untuk berpikir dan bertindak secara ofensif. Secara
singkat, tiga pola umum dari perilaku agresif adalah ketakutan, survival, dan memaksimalkan
kekuasaan.
State Behaviour
Negara great powers memiliki ketakutan satu sama lain. Ketakutan ini berdasar bahwa di
dunia ini negara great powers mempunyai kapabilitas untuk saling menyerang dan terdapat motif
untuk melakukan hal tersebut. Negara yang bertahan harus curiga terhadap negara lain dan tidak
mudah percaya mudah. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah negara-negara memandang satu
sama lain tidak hanya sebagai pesaing tapi juga musuh yang mematikan. Tidak ada aliansi yang
abadi, aliansi hari ini bisa jadi adalah musuh di hari esok dan begitu pula sebaliknya. Seperti
hubungan yang terjadi antara United States, China, dan Uni Soviet.
Negara-negara memahami bahwa cara untuk bertahan adalah dengan menjadi negara
paling kuat dalam sistem. Semakin kuat suatu negara dibandingkan dengan negara pesaingnya,
semakin kecil kemungkinan negara pesaing tersebut akan menyerang dan mengancam
kelangsungan hidup negara. Sebagai konsekuensi, negara-negara menjadi sangat teliti tentang
bagaimana kekuasaan terdistribusi. Kekuasaan tersebut dapat berupa ekonomi, diplomasi, dan
militer untuk menyesuaikan balance of power. Perjalanan mencari kekuasaan akan berhenti
ketika hegemoni (dominasi) telah diraih. Jadi pada intinya, kekuasaan itu tidak ada yang tahu dan
tidak ada yang bisa mengatur karena tidak adanya standar. Solusinya negara-negara great powers
mengubah targetnya, bukan menjadi paling kuat, paling kaya, atau paling apapun itu tetapi harus
mendominasi.
Security dilemma merupakan sebuah konsep yang dikenal dalam literatur studi hubungan
internasional dimana konsep ini merefleksikan logika dasar dari realis ofensif. Inti dari dilema ini
adalah tindakan yang diambil suatu negara untuk meningkatkan keamanan negaranya akan
menjadikan keamanan negara lain turun. Karenanya, suatu negara akan sulit meningkatkan
peluang survival negaranya sendiri tanpa mengancam keamanan negara lain. Menurut Herz, cara
paling baik bagi suatu negara untuk survive dalam sistem anarki adalah untuk mengambil
keuntungan dari negara lain dan memanfaatkan hal tersebut. Pertahanan yang baik adalah
penyerangan yang baik.

Calculated Aggression
Negara great powers tidak selalu dalam posisi menyerang karena perilaku negara tidak
hanya dipengaruhi oleh apa yang diinginkan oleh negara tapi juga kapasitas untuk merealisasikan
keinginan mereka. Negara realis itu tidak selalu menyerang tapi mereka juga mempertimbangkan
balance of power dan mempertimbangkan reaksi negara lain apaila mereka melakukan suatu hal.
Jika menurut negara tersebut hal itu tidak worth, maka negara tersebut akan diam menunggu ada
yang bergerak lebih dulu dan trs mengambil keuntungan darinya. Misalnya, suatu negara yang
lebih lemah yang berusaha menghalangi negara yang lebih kuat kemungkinan besar akan
membesar-besarkan kekuatannya untuk mencegah calon agresor melakukan serangan. Di sisi
lain, negara yang cenderung melakukan agresi kemungkinan besar akan menekankan tujuan
damainya sambil membesar-besarkan kelemahan militernya, sehingga calon korban tidak akan
membangun senjatanya sendiri sehingga rentan terhadap serangan.
Negara dengan great powers seringkali berada di posisi dimana mereka harus membuat
keputusan penting dengan informasi yang tidak lengkap, hal ini membuat perhitungan menjadi
salah dan berakibat buruk bagi mereka sendiri. Negara yang menyerang seringkali merugi lebih
banyak, maka sebagai solusinya mereka memilih untuk bertahan dan menerima balance of power
apa adanya. Jika melihat dari history tracking, agresor (penyerang) itu tidak selalu kalah, tapi
pendapat ini dibantah oleh defensive realis yang menggembor-gemborkan bahwa bertahan itu
lebih baik daripada menyerang. Namun sejatinya yang paling bagus adalah dengan perhitungan
yang baik kapan harus menyerang dan kapan harus diam.

Hegemony’s Limits
Hegemoni berarti dominasi sistem, dimana biasanya diaplikasikan untuk seluruh dunia.
Namun ada juga konsep dominasi dalam lingkup yang lebih sempit. Hal inilah yang
membedakan antara global hegemons dengan regional hegemons. Menurut penulis, global
hegemons adalah sesuatu yang tidak mungkin sebab hegemoni global menyangkut semua aspek.
Negara great power biasanya lebih condong pada regional hegemons karena jaraknya lebih dekat
dan mudah diakses.

Power and Fear


Perbedaan antara potential dan actual power adalah, potential power diukur dari jumlah
populasi dan kekayaan, sementara actual power dilihat dari kekuatan militer. Ketakutan negara
biasanya diakibatkan oleh sistem internasional (multipolar, unipolar, bipolar). Selain itu, negara
yang wilayahnya dikelilingi lautan juga cenderung ditakuti negara lain karena sistem militer
yang sudah pasti lebih bagus. Meski demikian, ketakutan negara sebenarnya bukan merupakan
sesuatu yang absolut mengingat changes of power, karenanya, suatu negara akan mengukur
kekuatan menyerang dari negara lain daripada hanya menebak intensinya saja karena intensi
bukanlah sesuatu yang pasti.

The Hierarchy of State Goals


Tujuan utama suatu negara adalah survival yang merupakan bagian dari security, namun
ada banyak hal selain security yang bisa dijadikan tujuan seperti ekonomi, karena negara yang
kaya jelas bisa mendominasi. Namun terkadang upaya mencapai tujuan non-keamanan
bertentangan dengan logika balance of power, yang mana negara biasanya bertindak berdasarkan
realisme.

Creating World Order


Sebuah kedamaian dalam world order susah untuk dicapai, karena negara dengan paham
realis tidak akan menyetujui ide tentang perdamaian dan negara great powers tidak akan mau
mengeluarkan usaha lebih untuk perdamaian internasional karena mereka tidak mendapat
kepastian tentang balasan yang akan mereka dapat untuk usaha mereka.

Cooperation Among States


Negara sebenarnya bisa bekerjasama, tapi faktor yang ditakutkan adalah kecurangan
(cheating) terutama dalam konteks militer. Kerjasama tidak bisa dilakukan di dunia yang
kompetitif dan saling memangsa satu sama lain.

Conclusion
Stuktur sistem internasional mengakibatkan munculnya tindakan dan pikiran yang ofensif
dan penuh dengan hegemoni.

Anda mungkin juga menyukai