Anda di halaman 1dari 17

Makalah Penelitian

POTENSI KEGAGALAN SUATU NEGARA BERDASARKAN


KETIADAAN EMPIRICAL STATEHOOD: STUDI KASUS SOMALIA
SEBAGAI FAILED STATES
Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Budi Winarno

Disusun oleh:

Adhiffa Dzia Alfirdausi (18/430713/SP/28557)


Adwin Anandhia Hanif (18/430714/SP/28558)
Aldo Priyo Banyu Aji (18/430715/SP/28559)
Amadeus Daniel Utomo (18/430716/SP/28560)
Annisa Sabilillah R (18/430717/SP/28561)
Astri Arusya C (18/430718/SP/28562)
Aurellia C (18/430719/SP/28563)

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam beberapa tahun belakangan, angka negara yang mengalami krisis yang berat
dikatakan meningkat. Dalam beberapa kasus, gerakan ini sudah masuk kearah
penyebaran kekerasan politik yang mengarah ke keadaan chaos masyarakatnya. Keadaan
ini berbentuk seperti pembajakan, perompakan, gerakan terorisme, dan pemberontakan.
Sehingga, bukanlah hal asing lagi apabila kerap ditemukan penggunaan kata failed states
atau state collapse terutama bila sasarannya adalah negara-negara dunia ketiga.
Setidaknya tercatat 24 negara berada dalam posisi terancam krisis, menurut data yang
diberikan oleh IMF, dimana 40% dari mereka adalah negara-negara miskin dan
jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari lima tahun yang lalu1.
Selain perekonomian, negara-negara yang berada dalam posisi krisis ini juga
banyak yang disebabkan karena sistem politik yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya, Negara-negara seperti Nigeria, Madagaskar, dan Nepal adalah contoh bentuk
negara yang gagal dalam pelaksanaan demokrasinya yang mengarah kepada kudeta atau
perang. Sedangkan negara-negara seperti Venezuela, Sudan, Eritrea, Zimbabwe, Afrika
Selatan, Korea Utara, adalah contoh-contoh negara yang jatuh karena keadaan politik
yang dipenuhi dengan tingginya tingkat korupsi dan pihak-pihak yang melakukan
kebijakan untuk kepentingan sendiri. Bagaimanapun, definisi kegagalan negara tidak
dapat dijelaskan berdasarkan satu aspek atau indikator saja. Para ahli memiliki definisi
yang berbeda mengenai kegagalan suatu negara.
Salah satu negara yang juga memiliki indikator kegagalan negara yang tinggi
adalah Somalia. Somalia saat ini memiliki keadaan negara yang dikatakan rapuh: tidak
ada pemerintah pusat, supremasi hukum, keamanan, stabilitas, atau kemakmuran.
Namun, beberapa aspek yang disebutkan ini dapat dianggap sebagai efek dari faktor
nyata yang berkontribusi terhadap kegagalan negara Somalia: panglima perang,
rendahnya pendapatan, dan munculnya terorisme. Ketiga faktor utama ini berjalan
seiring ketika menganalisis mengapa Somalia adalah negara gagal yang paling simbolis

1
“A Debt Crisis Seems To Have Come Out Of Nowhere,” NPR.org, accessed October 25, 2018,
https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2018/04/20/604169277/a-debt-crisis-seems-to-have-come-out-of-nowhere.
di dunia. Kondisi di Somalia telah menjadi sangat berbahaya sehingga mengakibatkan
ketidakmampuan pemerintah untuk memiliki kontrol berdaulat atas wilayahnya sendiri.
Somalia, yang terletak di tanduk Afrika, adalah negara yang dihadapi dan hingga
saat ini memiliki jumlah kemiskinan yang besar tanpa adanya pemerintah pusat dan
kemampuan untuk mengendalikan perbatasannya sendiri. Ditambah dengan tingginya
angka terorisme dan kurangnya kebutuhan dasar untuk rakyat. Tulisan ini akan
membahas lebih lanjut mengenai indikator suatu kegagalan negara dan bagaimana negara
Somalia menjadi salah satu negara yang dapat digolongkan dalam indikator tersebut.

B. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana ketiadaan empirical statehood di dalam suatu negara dapat berpotensi
menggagalkan suatu negara?

C. LANDASAN TEORI
a. TEORI QUASI STATES
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Quasi States, yaitu sebuah
teori yang dikemukakan oleh Robert Jackson. Quasi states, menurutnya, merupakan
suatu negara yang mana diakui sebagai sebuah partisipan dalam sistem kenegaraan,
tetapi tidak memiliki empirical statehood dari sebuah kenegaraan, seperti monopoli
terhadap kekerasan dan kontrol terhadap teritorinya2. Teori ini menekankan bahwa
suatu kegagalan negara berpusat kepada bagaimana negara tersebut gagal
memberikan empirical statehood yang seharusnya ada pada suatu negara, sehingga
menyebabkan sendi-sendi pemerintahannya rapuh dan menghasilkan keadaan chaos
dalam negara tersebut.

b. TEORI STRUGGLE FOR POWER


Teori struggle for power adalah teori yang mana kelompok-kelompok dalam suatu
negara memperjuangkan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk dapat menguasai
suatu daerah dengan cara menyerang pihak-pihak lain yang sekiranya dianggap
menjadi penghalang3. Teori ini kami dasarkan atas beberapa kegagalan negara yang

2
“Jackson, Robert H. Quasi-States: Sovereignty, International Relations and the Third World. Cambridge Studies in International Relations.
Cambridge: Cambridge University Press, 1991. Doi:10.1017/CBO9780511559020.,” n.d.
3
Jaap W. Nobel, “Morgenthau’s Struggle with Power: The Theory of Power Politics and the Cold War,” Review of International Studies 21,
no. 1 (January 1995): 61–85, https://doi.org/10.1017/S0260210500117528.
disebabkan adanya klan-klan yang berkepentingan di dalam negara dan melakukan
kudeta untuk mengambil alih pemerintah pusat. Klan-klan ini memiliki keinginan
untuk menguasai suatu daerah dan mencapai kekuasaan yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Untuk mendapatkan ini, mereka tidak berjuang sendirian dikarenakan
setiap klan tentu memiliki keinginan yang sama, sehingga mereka harus berjuang
untuk menjatuhkan satu sama lain demi mendapatkan posisi atau kedudukan yang
diinginkan.

c. TEORI DEPENDENSI
Dependensi merupakan teori ketergantungan terhadap hubungan antar negara atau
sektor-sektor perekonomian yang diandalkan. Gunder Frank mengasumsikan adanya
permasalahan ketergantungan yang ada pada suatu negara lebih dilihat atau memiliki
kecenderungan untuk dilihat sebagai permasalahan perekonomian4. Teori dependensi
lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara
dunia ketiga. Dalam penelitian kami, penggunaan teori dependensi digunakan dalam
studi kasus Somalia. Dimana Somalia sebagai negara menggantungkan sektor
perekonomiannya hanya dari tiga hal utama: (1) Pajak bandara, (2) Pajak pelabuhan,
dan (3) Bantuan dari perekonomian Internasional. Ini menandakan bahwa sebagai
negara, Somalia tidak dapat untuk tidak bergantung kepada bantuan-bantuan lain dari
negara yang bersimpati terhadap Somalia.

d. PERSPEKTIF REALISME
Tulisan ini juga menggunakan perspektif realisme. Realisme diyakini sebagai
salah satu pemikiran dasar dalam Ilmu Hubungan Internasional, selain Liberalisme.
Ada beberapa tahapan dialektika pemikiran dalam Ilmu Hubungan Internasional
bahwa pemikiran Realisme seringkali menempati posisi khusus dan jelas dalam
dialektika tersebut. Realisme pada dasarnya memiliki dua cabang: Klasik dan
Neoklasik. Karakter dasar dari pemikiran Realisme Klasik menurut Jackson dan
Sorensen yaitu: (1) Kondisi manusia adalah kondisi yang tidak aman dan berkonflik
yang harus diperhatikan dan dihadapi; (2) terdapat kumpulan pengetahuan politik,
atau kebijaksanaan, untuk menghadapi masalah keamanan, dan masing-masing

4
“Andre Gunder Frank & Dependency Theory | Our Politics,” accessed August 28, 2018, https://ourpolitics.net/andre-gunder-frank-
dependency-theory/.
pemikir realis klasik ini mencoba untuk mengidentifikasi elemen pokoknya5.
emikiran pesimistik ini kemudian menjadi pemicu Morgenthau (1965)
dalam pemikiran Realisme Neoklasiknya.
Dalam menggunakan realisme, kami melihat bahwa kegagalan negara merupakan
suatu yang wajar terjadi dan memang seharusnya terjadi apabila negara tersebut tidak
dapat menjalankan fungsi empirisnya sebagai negara. Kedaulatan negara tidak hanya
didasarkan kepada keberadaan negara tersebut di dalam peta, namun juga harus
dinilai melalui empirical statehood yang dimiliki negara tersebut. Untuk itu, kami
memandang bahwa failed states memang sejatinya ada dan bila perlu, sudah tidak
dapat lagi dikategorikan sebagai negara yang berdaulat.

D. ARGUMENTASI UTAMA
Ketiadaan empirical statehood sebuah negara turut berkontribusi terhadap
kegagalan sebuah negara. Apabila negara tidak memiliki empirical statehood seperti
pencegahan terhadap kekerasan (perang saudara), kontrol terhadap teritorinya, dan
kesejahteraan rakyatnya, dapat menggiring negara pada sebuah kegagalan. Ketiadaan
empirical statehood sebuah negara dapat berarti sebuah negara tidak memiliki kontrol
dalam menjalankan pemerintahannya, sehingga dapat memicu reaksi negatif dari
masyarakatnya, dan menciptakan keadaan negara yang tidak stabil 6.
Ketidakberadaan empirical statehood suatu negara seperti ketidakberadaan
negara yang tersentralisasi menyebabkan bergejolaknya konflik di antara kelompok-
kelompok klan yang terpencar di seluruh wilayah negara, dengan demikian negara gagal
untuk mewujudkan sentralisasi politik, penegakan hukum dan ketertiban yang diperlukan
untuk menggerakkan roda perekonomian dan memberikan pelayanan terhadap
pemenuhan hak-hak warga negaranya. Kekacauan sentralisasi pemerintah akan
memunculkan elemen masyarakat yang menumbangkan institusi ekonomi dan merampok
aset yang seharusnya dimiliki rakyat banyak serta menghambat mekanisme ekonomi
pasar sehingga rakyat terjebak dalam kekacauan kesejahteraan ekonomi yang dibebabkan
oleh kekacauan sistem pemerintahan negara.
Bukti nyata yang menunjukkan bahwa kegagalan empirical statehood dalam
suatu negara memiliki hubungan kuat dengan kegagalan negara tersebut terjadi dalam
kasus Somalia yang kami angkat menjadi studi kasus penelitian. Somalia, negara kecil di

5
Robert Jackson and Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2005).
6
Robert I Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators,” n.d., 26.
tanduk Afrika ini sudah dalam posisi yang cukup rawan, bahkan data menunjukkan
bahwa ia menduduki peringkat pertama dalam fragile states index7. Indikator-indikator
yang tersebut dalam argumen awal kami menjelaskan mengapa Somalia menjadi negara
yang gagal dan tidak dapat mendirikan pemerintahannya dengan baik.
Data yang ditunjukkan oleh Bank Dunia juga menampilkan dalam dua tahun
setelah pecahnya perang saudara di Somalia pada tahun 1988, lembaga-lembaga negara
Somalia runtuh dan sebagian besar infrastruktur dan aset ekonomi dan sosial telah
dihancurkan8. Perang saudara tersebut menjatuhkan pemerintahan yang sah kala itu, dan
setelah itu setiap kubu yang terlibat perang saudara saling berebut kekuasaan. Sehingga,
lembaga-lembaga dan instrumen negara yang seharusnya berfungsi sebagai pemegang
kontrol atas negara, menjadi tidak efektif atau bahkan tidak berjalan.
Meski Somalia bukanlah satu-satunya negara yang terindikasi sebagai negara
yang gagal, indikator yang kami ambil dalam penelitian ini adalah indikator hilangnya
empirical statehood dalam suatu negara. Sebab, kegagalan negara juga dapat dinilai dari
kegagalan sistem perekonomian, sistem pemerintahan, maupun aksi kudeta dan korupsi
dari pemerintahan sendiri. Somalia, dalam kasusnya, telah kehilangan empirisnya sebagai
negara sehingga indikator dan definisi yang dibangun lebih cocok untuk menggambarkan
Somalia sebagai negara yang gagal.

7
“Global Data | Fragile States Index,” accessed November 13, 2018, http://fundforpeace.org/fsi/data/.
8
World Bank and UNDP, “Country Re-Engagement Note,” April 2003,
http://documents.worldbank.org/curated/en/830051468781503521/pdf/282760Somalia0Country0reengagement0note.pdf.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP NEGARA GAGAL


Dalam memahami maksud dari arti negara gagal, ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan. Pendekatan pertama disampaikan oleh William Zartman dan Robert Rotberg,
dimana kedua tokoh ini melihat bahwa negara sebagai tokoh utama yang menyediakan
servis atau jasa terhadap rakyatnya. Menurut William Zartman, suatu negara telah
dikatakan gagal apabila fungsi dasar dari negara tersebut sudah tidak dapat lagi
dilaksanakan9. Artinya, negara telah dinyatakan gagal apabila negara tersebut tidak dapat
lagi menyediakan jasa dan layanan yang sebelumnya pernah menjadi bagian dari negara
tersebut. Alternatif yang mirip dengan konsep ini adalah dengan mendefinisikan suatu
negara yang tidak bisa mendirikan syarat-syarat berdirinya suatu negara. Robert Rotberg,
sebagai salah satu tokoh yang juga memberikan penilaiannya terhadap negara gagal,
mendefinisikan negara gagal sebagai ketidakmampuan suatu negara untuk menyediakan
layanan politik kepada rakyatnya10.
Dinilai dari kedua konsep tersebut, Zartman dan Rotberg juga memberikan indikator
tentang apa yang perlu dipenuhi dan disediakan oleh suatu negara: mulai dari keamanan
hingga supremasi hukum, perlindungan terhadap urusan perdata, hak untuk berpartisipasi
dalam politik, dan akses terhadap infrastruktur seperti layanan sosial, kesehatan, dan
pendidikan. Layanan ini membentuk suatu hierarki, setidaknya itu pendapat yang
diberikan oleh Rotberg. Ia menilai bahwa keamanan adalah sesuatu yang paling krusial
dalam suatu negara, dengan artian keamanan dalah suatu kondisi yang menjadi penentuan
adanya layanan-layanan yang lain. Rotberg juga memberikan argumennya bahwa
kegagalan seharusnya dilihat sebagai suatu langkah baru dalam membangun negara
tingkat lanjut, daripada memandang kegagalan negara sebagai indikator yang menentukan
kuat atau tidaknya suatu negara tersebut.
Dengan definisi yang disampaikan oleh Rotberg dan Zartman, maka dapat
disimpulkan bahwa mayoritas negara, bahkan negara-negara barat, dapat dikategorikan
sebagai negara yang gagal – karena pada dasarnya, tidak semua negara dapat benar-benar
memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sehingga untuk melihat bahwa negara adalah suatu pihak

9
“Development in Fragile/Failed States,” accessed November 13, 2018,
http://www.comm.ucsb.edu/faculty/mstohl/failed_states/1999/papers/Sorensen.html.
10
Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators.”
yang menyediakan layanan hanya akan memberikan jawaban yang cenderung sangat
normatif. Alih-alih konsep ini cocok untuk menganalisis keadaan negara yang saat ini
telah ada, tetap ada jurang pemisah antara kenyataan yang ideal dan empiris dan
bagaimana perlakuan pernyataan ini dijustifikasi. Bagaimanapun, ini meninggalkan isu
baru tentang bagaimana negara-negara yang ada dapat tidak berasosiasi dengan indikator-
indikator kegagalan negara yang ada tersebut.
Sedangkan untuk pendekatan yang kedua, suatu kegagalan negara didefinisikan
sebagai negara yang tidak dapat mengontrol teritorial dan menegakkan kekerasan
monopoli mereka11. Pendekatan ini disampaikan oleh seorang pakar Ilmu Hubungan
Internasional, Robert Jackson dan Stephen Krasner. Dengan poin ini, maka kata ‘gagal’
tidak sepenuhnya mengarah kepada ketidakmampuan suatu negara untuk melaksanakan
tugas yang semestinya. Justru definisi ini memberikan arti yang lebih sempit, dimana lebih
memperhatikan pada tipe kegagalan yang lebih spesifik, dinamakan kegagalan untuk
mengontrol teritorialnya dan memonopoli pemakaian kekerasan.
Robert Jackson memulai teorinya ini dengan fakta bahwa setelah era kolonialisme
berakhir, semua negara dianggap sama dalam suatu sistem internasional. Sehingga, semua
negara memiliki kedaulatan (negatif maupun eksternal), dengan artian keberadaan mereka
diakui oleh negara lain, berpartisipasi dalam organisasi internasional dan telah mendirikan
hubungan diplomasi dengan negara lain. Mereka adalah pihak yang legal dalam hukum
internasional dan mereka memiliki hak untuk mengadakan hubungan politik dalam negeri
tanpa adanya ikut campur pihak luar.
Di waktu yang sama, banyak negara kekurangan apa yang Robert Jackson sebut
dengan kedaulatan yang positif. Mereka tidak memberikan kontrol terhadap teritorial
mereka, kemungkinan berhadapan dengan beberapa pemberontak bersenjata dan memiliki
kemampuan yang sangat kecil untuk mengimplementasikan kebijakan atau
mempromosikan perkembangan ekonomi. Namun, mereka tetap bertahan dan
menginginkan diri mereka untuk diakui keberadaannya sebagai suatu negara. Jackson dan
Rosberg berargumen bahwa pengakuan ini adalah salah satu alasan mengapa negara-
negara Afrika yang lemah masih tetap bertahan hingga saat ini – bukan karena pengakuan
seperti ini memberikan negara tersebut akses terhadap sumber daya substansial dalam
bentuk bantuan. Di lain kata, pengakuan internasional yang membuat suatu negara tetap
ada meskipun kontrol nyata terhadap teritorial mereka benar-benar dibatasi. Jackson

11
Robert H. Jackson, “Quasi-States, Dual Regimes, and Neoclassical Theory: International Jurisprudence and the Third World,”
International Organization 41, no. 4 (1987): 519–49.
mendeskripsikan hal ini sebagai quasi states. Quasi states, menurutnya, yang mana diakui
sebagai sebuah partisipan dalam sistem kenegaraan, tetapi tidak memiliki fitur empiris dari
sebuah kenegaraan, seperti monopoli terhadap kekerasan dan kontrol terhadap teritorinya.
Meskipun ia tidak benar-benar menggunakan kata failed state, konsepnya terhadap quasi-
state memiliki arti yang nyaris sama.
Seperti Jackson, Krasner terfokus terhadap institusi dari kedaulatan dan dalam relasi
internasional. Menurut Krasner, kedaulatan modern memiliki tiga komponen12. Pertama,
kedaulatan yang legal atau pengakuan dari satu negara oleh yang lain. Sehingga, aturan
dasar tentang kedaulatan legal internasional adalah bahwa pengakuan yang legal
didasarkan secara entitas teritorial yuridis yang independen, yang mana mampu memasuki
pengaturan kontrak yang sukarela. Sehingga, untuk menjadi negara berdaulat yang legal
adalah dengan mendapat pengakuan dari negara lain. Kedua, kedaulatan dapat diartikan
sebagai suatu pengecualian dari pihak luar untuk dapat ikut campur dalam pembuatan
keputusan dalam negeri. Ini berarti bahwa negara yang berdaulat bersifat independen dari
semua struktur kausa eksternal dan tidak ada aktor eksternal yang memiliki hak untuk ikut
campur dalam pembuatan keputusan negara yang berdaulat. Ketiga, kedaulatan dapat
berarti posisi negara sebagai pemilik kewenangan tertinggi dalam teritorialnya. Krasner
menyebut ini sebagai domestic sovereignity. Suatu negara berdaulat dapat mendefinisikan
hukumnya, yang mana seluruh rakyatnya berkewajiban untuk menaati dan melaksanakan
aturan tersebut. Untuk menjadi berdaulat dalam kasus ini, suatu negara harus memiliki
monopoli terhadap tindak kekerasan dan kontrol terhadap teritorial nya. Krasner pun
mendefinisikan kegagalan negara sebagai bentuk absen dari satu atau lebih fitur-fitur yang
tersebut diatas. Dalam prakteknya, bagaimanapun, semenjak pengakuan eksternal dan
penerimaan secara formal dari suatu prinsip anti-ikut campur dapat dipahami kurang lebih
semacam itu, kegagalan memerlukan bentuk kerusakan kedaulatan domestik.

B. PENYEBAB FAILED STATES


Penggunaan istilah failed states memasuki ranah politik dan kebijakan politik
dimulai pada pertengahan 1990 untuk mendeskripsikan dunia pasca perang dingin. Lebih
spesifiknya, konsep mainstream hubungan internasional terkait failed states bukanlah
sesuatu yang dianggap efektif untuk dapat melihat dinamisme dari kegagalan negara. Ada
banyak indikator yang digunakan untuk mempertimbangkan kegagalan negara, mulai dari

12
STEIN SUNDSTØL ERIKSEN, “‘State Failure’ in Theory and Practice: The Idea of the State and the Contradictions of State Formation,”
Review of International Studies 37, no. 1 (2011): 229–47.
yang sederhana hingga ke sifat yang lebih kompleks. Failed State Index yang dikeluarkan
oleh Foreign Policy Magazine dan Fund For Peace menciptakan 12 indikator sebagai
bagian dari Conflict Assesment System Tool (CAST) dan meranking sebanyak 148
negara13. Ke-12 indikator ini meliputi indikator sosial, ekonomi, dan politik yang dimulai
dari kejahatan terkait kemanusiaan hingga kriminalisasi atau deligitimasi dari negara itu
sendiri. Indikator-indikator ini bertujuan untuk menilai apakah negara tersebut bersifat
lemah (weak), menuju kegagalan (failing), atau gagal dan telah jatuh (failed and
collapsed).
Setiap negara memiliki kapasitas, kemampuan, dan political will yang berbeda.
Perbedaan inilah yang dapat menggambarkan posisi suatu negara dalam sistem
internasional dapat didefinisikan sebagai negara yang kuat, lemah, atau gagal. Label ini
masih dapat dipertukarkan karena mereka menunjukkan perbedaan level negara dalam
lingkup sistem internasional. David Morton memberikan argumennya bahwa failed states
ini dinilai berdasarkan karakter internal dari negara itu sendiri14.
Negara adalah sebuah blok bangunan dari tatanan dunia dan juga menjelaskan
mengapa konsep sebuah negara gagal cukup bermasalah untuk di konseptualisasi dan di
resusitasi15. Sepanjang sejarah manusia, bangsa, rezim, dan kekaisaran telah mengalami
masa kejayaan dan kejatuhan. Negara berbangsa adalah kerangka normatif dalam teori
hubungan internasional dan sebuah realitas politik yang mengatur manusia, hukum, dan
keamanan. Negara berbangsa adalah aktor politik yang dianggap berasal dari aturan dan
ekspektasi yang berasosiasi dengan kedaulatan, tetapi tidak semua negara memiliki
political will atau kapasitas untuk memenuhi kewajiban negaranya, political goods, atau
ekspektasi dari kedaulatan yang dimiliki.
Kapasitas dan kemampuan negara berbeda dari satu negara ke negara lain. Robert H.
Jackson memperkenalkan konsep quasi-states yang menjadi teori penulisan makalah ini,
untuk menyorot ketergantungan sistem politik global pada unit analisis dan paradigma
semacam itu. Jackson prihatin dengan negara-negara lemah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan tradisional dari kedaulatan suatu negara. Jackson berpendapat bahwa masalah
yang terdapat pada negara berkembang mengklaim baik hak keamanan dan hak
pembangunan dan komunitas internasional ingin mengakui kedua klaim namun aturan
klasik sistem kenegaraan yang berdaulat harus menghalangi. Negara-negara yang

13
“Indicators | Fragile States Index,” accessed November 13, 2018, http://fundforpeace.org/fsi/indicators/.
14
Pinar Bilgin and Adam David Morton, “Historicising Representations of ‘Failed States’: Beyond the Cold-War Annexation of the Social
Sciences?,” Third World Quarterly 23, no. 1 (February 1, 2002): 55–80, https://doi.org/10.1080/01436590220108172.
15
Laura Khor, “SOMALIA: TERRORIST HAVEN AND PROXY WARS,” 2004, 26.
seharusnya tidak dianggap sebagai negara, di pengertian hukum klasik, beroperasi pada
tingkat definisi yang berbeda dengan negara lain dan bertahan karena bantuan yang lebih
kuat dan fleksibilitas dari sebuah permainan kedaulatan. Suatu failed states, merupakan
anggota dari sistem internasional namun realita politiknya sangatlah berbeda dengan
realita konseptual. Keamanan negara rumit dengan masalah keamanan dan indikator
seperti patrimonialisme, panglima perang, perekonomian yang buruk, kurangnya atau
memburuknya masyarakat sipil, dan institusi pemerintahan yang lemah dieksploitasi oleh
kalangan elit.
Kinerja negara berdasarkan pembebasan political goods sangat penting untuk
memahami perbedaan antara kondisi menuju kegagalan, gagal, dan runtuh. Negara dan
kinerja negara harus dikonseptualisasikan sebagai suatu kontinum efektivitas pemerintah
yang digambarkan sebagai negara yang kuat, negara-negara yang lemah, negara-negara
yang menuju kegagalan, negara-negara gagal, dan negara-negara yang runtuh. Negara kuat
dan negara lemah memiliki perbedaan utama. Robert I. Rotberg mengartikulasikan bahwa
negara-negara yang kuat mengungguli negara-negara yang lemah dalam kinerja political
will dengan memberikan political goods16.
Namun, perlu ditekankan bahwa semua negara yang lemah tidak selalu masuk ke
dalam kategori menuju kegagalan, gagal atau runtuh. Ambang batas antara kelemahan
negara yang berubah menjadi kegagalan negara memiliki indikator tambahan yang
mengubah negara menjadi kegagalan. Ada perbedaan signifikan antara status gagal dan
diciutkan. Negara yang gagal memiliki ketidaktetapan dalam status atau sejarah mereka
dan dapat menunjukkan lebih dari satu karakteristik negara yang gagal sekaligus. Indikator
khusus mengidentifikasi Negara Gagal. A.J. Christopher menyoroti disintegrasi
pemerintahan pusat dan lokal sebagai salah satu penyebab yang menyebabkan kegagalan
negara17. Negara yang gagal mungkin memiliki rezim yang menargetkan warga mereka
sendiri, mendorong atau bahkan menjadi penyebab konflik, yang mengakibatkan
meningkatnya kekerasan kriminal dalam batas-batas negara. Legitimasi negara hilang
ketika infrastruktur negara memburuk atau benar-benar hancur; ekonomi terputus
kemudian runtuh; indikator kunci untuk mengidentifikasi kegagalan negara. Secara
keseluruhan, negara yang telah gagal entah tidak mampu atau tidak mau melanjutkan
Kontrak Sosial Hobbes18. Runtuhnya infrastruktur negara dan kegagalan masyarakat

16
Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators.”
17
A. J. Christopher, “South Africa: The Case of a Failed State Partition,” Political Geography 13, no. 2 (March 1, 1994): 123–36,
https://doi.org/10.1016/0962-6298(94)90017-5.
18
“Social Contract Theory | Internet Encyclopedia of Philosophy,” accessed November 13, 2018, https://www.iep.utm.edu/soc-cont/.
dilihat pada suatu kontinum yang saling terkait dan saling terkait satu sama lain. Satu
tahap kegagalan pasti mengarah ke yang lain. Semua negara gagal tidak dapat diteliti
sebagai entitas yang sama. Kegagalan negara dapat dipahami bukan sebagai satu tingkat,
melainkan berbagai tingkatan.
Untuk memahami kegagalan negara, seseorang harus memahami struktur yang
memungkinkan keadaan semacam itu ada. Negara adalah unit kekuasaan dan kedaulatan
bagi rakyat. Suatu negara memiliki definisi dan fungsi yang jelas. Quasi states, negara-
negara dengan “limited empirical statehood”, telah beroperasi dalam sistem internasional
yang memungkinkan mereka beroperasi tanpa memenuhi dasar-dasar kedaulatan positif.
Dalam sistem Westphalia, semua negara diperlakukan sama meskipun banyak negara lebih
kuat dari yang lain dalam memberikan barang-barang positif kepada warga mereka
Pendekatan teoritis dan kebijakan yang diimplementasikan berfokus pada
pembangunan kembali yang lengkap dari institusi dan legitimasi negara yang gagal.
Dalam kasus Somalia, istilah-istilah itu digunakan untuk merujuk pada sebuah negara
virtual, istilah itu ada di peta tetapi kenyataan fisik keamanan, kedaulatan, dan
pemerintahan yang terpusat tidak ada. Brigadir Jenderal Latiff menggambarkan situasi
pada awal 1990-an, dan situasi pemerintah di Somalia selama operasi PBB. Dalam sebuah
wawancara, Brigadir Jenderal Latiff menyoroti agenda spoiler yang menantang mandat
PBB untuk upaya rekonstruksi dan stabilisasi bagi Somalia. Ada banyak upaya untuk
membentuk pemerintahan yang terpusat di Somalia; pemerintah saat ini adalah
Pemerintahan Federal Transisi yang telah beroperasi sejak Oktober 200419.

C. STUDI KASUS: SOMALIA SEBAGAI NEGARA GAGAL


Somalia mendapatkan kemerdekaannya pada 1 Juni 1960 ketika koloni Inggris dan
Italia bersatu untuk membentuk Republik Somalia. Kemudian lahirlah kemerdekaan pada
tanggal 26 Juni 1960 dari British Somaliland dan pada 1 Juli 1960 dari Italian Somaliland
ketika kedua negara ini bersatu untuk membentuk negara pasca kolonialisme20.
Masyarakat Somali di kedua negara kolonial ini berbagi bahasa yang sama, menganut
agama Islam dan memiliki adat serta tradisi. Sejak awal terbentuk, Somalia memiliki lima
klan yang mendominasi: Dir, Hawiye, Isaq, Darod, dan Rahanweyn 21. Negara ini
dibangun dengan sistem politik dengan sistem multipartai yang berbasis klan.

19
“Somalia’s Transitional Government,” Council on Foreign Relations, accessed November 13, 2018,
https://www.cfr.org/backgrounder/somalias-transitional-government.
20
Khor, “SOMALIA: TERRORIST HAVEN AND PROXY WARS.”
21
Daisuke Yoshimura, “ACCORD Austrian Centre for Country of Origin & Asylum Research and Documentation,” n.d., 30.
Analisis studi kasus ini dimulai pada tahun 1990, dengan kemunculan panglima
perang di Somalia. Panglima perang yang dimaksud disini adalah para pejuang-pejuang
yang mewakili tiap klan-klan atau kelompok-kelompok yang ada di Somalia. Staff
kementerian luar negeri Amerika Serikat saat itu, Robert P. Jackson mengklaim bahwa
pada situasi keadaan negara yang gagal, panglima perang berusaha untuk mendirikan
kembali stabilitas melalui pembangunan kembali jaringan-jaringan patronase dan
menegakkan kontrak melalui kekerasan. Dengan mendirikan kekuasaan dan identitas yang
mereka dirikan sendiri. Para panglima perang Somalia dapat bangkit dan menggulingkan
kekuasaan Presiden Mohammad Said Barre pada tahun 1991. Jatuhnya presiden tersebut
diikuti dengan jatuhnya pemerintahan pusat Somalia. Aksi anarkis ini meninggalkan
negara Somalia dalam posisi yang problematik dan hingga saat ini masih terjadi.
Pencopotan pemerintah ini meninggalkan Somalia menjadi negara yang lemah dan rentan.
Panglima perang ini justru semakin meningkatkan kekuatannya dan ketegangan di dalam
pemerintahan semakin meningkat. Pasca kegagalan pemerintah tahun 1991, ibukota
Somalia, Mogadishu yang ditinggali oleh dua juta masyarakat. Somalia telah diambil alih
seutuhnya oleh para panglima perang. Para panglima perang berbeda mulai berpecah
menjadi klan-klan baru yang lebih kecil dan mengklaim daerah-daerah lain di Somalia.
Krisis ekonomi di Somalia juga digolongkan dalam keadaan parah. Hingga saat ini,
GDP Somalia masih belum dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya 22. Negara ini berdiri
dengan bantuan internasional dan dukungan pemerintahan luar negeri yang secara kolektif
membentuk pendapatan Somalia didapat dari dua sumber: pajak pelabuhan dan pajak
bandara Somalia hanya mengumpulkan sebesar $300 juta dollar pajak pertahunnya dan
menghabiskan seluruh pendapatannya untuk kebutuhan parlemen dan presidensial23.
Akibatnya, masyarakatnya juga tidak menerima pendidikan dan layanan kesehatan yang
layak. Krisis ekonomi di Somalia masih menjadi faktor utama kegagalan berdirinya
Somalia sebagai negara. Angka literasi Somalia hanya sebesar 37,8%24. Tingginya tingkat
iliterasi ini juga disebabkan karena kurangnya pendapatan yang dimiliki Somalia sebagai
negara.

22
“Six Things to Know About Somalia’s Economy,” IMF, accessed November 13, 2018,
https://www.imf.org/en/News/Articles/2017/04/11/NA041117-Six-Things-to-Know-About-Somalia-Economy.
23
International Relations Society, “The World’s Most Failed State: Somalia,” International Relations Society (blog), January 25, 2018,
https://irsocietyjcu.com/2018/01/25/the-worlds-most-failed-state-somalia/.
24
“Somalia Literacy - Demographics,” accessed November 13, 2018, https://www.indexmundi.com/somalia/literacy.html.
Tingginya tingkat terorisme di Somalia juga meningkatkan potensi Somalia sebagai
negara gagal25. Ketika panglima perang dan ketegangan klan-klan di Somalia sudah mulai
mereda, terorisme justru semakin meningkat. Lebih spesifiknya, para kelompok jihadis
fundamental yang ada di Afrika Timur, Al Shabaab, yang merebak luas di ujung Afrika 26.
Al-Shabaab berarti pemuda dalam Bahasa arab, dan didefinisikan sebagai advokasi paham
Wahabi yang diadopsi dari Saudi, dimana mayoritas masyarakat Somali adalah penganut
Islam Sufi. Para grup-grup pemuda ini telah kehilangan pengaruhnya di banyak kota-kota,
namun masih mendominasi daerah-daerah kecil seperti desa maupun dusun yang
mengimplementasikan hukum Syariah. Al-Shabaab terletak di bagian selatan Somalia dan
mendapat dukungan dari masyarakat dengan menyampaikan janji-janji dan memberikan
masyarakat Somalia apa yang tidak mereka miliki: keamanan.
Selain Al-Shabaab, grup terorisme seperti ISIS juga mulai memasuki daerah Puntland,
disebabkan oleh posisi geografis Puntland yang cukup strategis yaitu penuh dengan
pegunungan sehingga memudahkan ISIS untuk melakukan gerakan infiltrasinya. The
United States Department of State’s Country Reports on Terrorism meluncurkan
pernyataan pasca kejadian 9/11 di Amerika Serikat yang mengatakan bahwa rendahnya
fungsi pemerintahan pusat di Somalia, keadaan yang tidak stabil akibat aksi kekerasan
jangka panjang, garis pantai yang panjang dan tidak memiliki penjagaan, perbatasan yang
berlubang, dan kedekatan dengan semenanjung Arab membuat negaranya menjadi lokasi
yang potensial untuk para teroris internasional membangun transit atau titik peluncuran
untuk membangun sebuah operasi27.
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa Somalia ini sebagai surganya para teroris.
United States Department telah mengidentifikasi sejumlah kelompok terorisme yang
beroperasi di Somalia seperti Harakat al-Islah, Ahlu Sunna wal Jamaa, Majma Ulimadda
Islaamka ee Soomaaaliya, Takfir wal-Hijra, dan Ittihad al-Islami. Kelompok-kelompok
kecil ini dikatakan masih bernaung dibawah Al-Qaeda dan dapat berdiri akibat ibukota
Mogadishu yang tidak memiliki hukum yang tegas dan dipimpin oleh klan-klan besar,
bukannya pemerintah28.
Meski saat ini panglima perang di Somalia mulai berkurang jumlahnya, namun
tingginya ancaman terorisme dalam Somalia menjadi sebuah tantangan tersendiri. Ini

25
Zakaria Ousman Ramadane, “Somalia: State Failure, Poverty and Terrorism,” Counter Terrorist Trends and Analyses 6, no. 7 (2014): 13–
16.
26
Syed Huzaifah Alkaff, “Al-Shabaab: A New Phase?,” Counter Terrorist Trends and Analyses 5, no. 9 (2013): 12–15.
27
Ramadane, “Somalia.”
28
Andrew McGregor, “Into the Somali Void: Somalia’s Islamists Target Uganda’s Peacekeepers,” Perspectives on
Terrorism 1, no. 3 (2007): 17–19.
semakin mempersulit pemerintah Somalia untuk membuat negara yang aman dan
berdaulat untuk masyarakatnya. Dengan bantuan tenaga eksternal dan misi perdamaian
yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi internasional, seperti AMISOM (African
Union Mission in Somalia) dibandingan dengan 10 tahun yang lalu, masalah Somalia lebih
tertampung – namun tetap, belum terselesaikan29. Indikator-indikator yang tersebut diatas
meyakinkan penelitian kami bahwa Somalia termasuk dalam golongan failed states.
Somalia, dalam keberadaannya sebagai sebuah negara, tidak memiliki empirical statehood
yang benar-benar bekerja.

29
Stephen F. Burgess, “Stabilization, Peacebuilding, and Sustainability in the Horn of Africa,” Strategic Studies Quarterly 3, no. 1 (2009):
81–118.
BAB II

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

“A Debt Crisis Seems To Have Come Out Of Nowhere.” NPR.org. Accessed October 25,
2018. https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2018/04/20/604169277/a-debt-
crisis-seems-to-have-come-out-of-nowhere.
Alkaff, Syed Huzaifah. “Al-Shabaab: A New Phase?” Counter Terrorist Trends and Analyses
5, no. 9 (2013): 12–15.
“Andre Gunder Frank & Dependency Theory | Our Politics.” Accessed August 28, 2018.
https://ourpolitics.net/andre-gunder-frank-dependency-theory/.
Bilgin, Pinar, and Adam David Morton. “Historicising Representations of ‘Failed States’:
Beyond the Cold-War Annexation of the Social Sciences?” Third World Quarterly 23,
no. 1 (February 1, 2002): 55–80. https://doi.org/10.1080/01436590220108172.
Burgess, Stephen F. “Stabilization, Peacebuilding, and Sustainability in the Horn of Africa.”
Strategic Studies Quarterly 3, no. 1 (2009): 81–118.
Christopher, A. J. “South Africa: The Case of a Failed State Partition.” Political Geography
13, no. 2 (March 1, 1994): 123–36. https://doi.org/10.1016/0962-6298(94)90017-5.
“Development in Fragile/Failed States.” Accessed November 13, 2018.
http://www.comm.ucsb.edu/faculty/mstohl/failed_states/1999/papers/Sorensen.html.
ERIKSEN, STEIN SUNDSTØL. “‘State Failure’ in Theory and Practice: The Idea of the
State and the Contradictions of State Formation.” Review of International Studies 37,
no. 1 (2011): 229–47.
“Global Data | Fragile States Index.” Accessed November 13, 2018.
http://fundforpeace.org/fsi/data/.
“Indicators | Fragile States Index.” Accessed November 13, 2018.
http://fundforpeace.org/fsi/indicators/.
Jackson, Robert H. “Quasi-States, Dual Regimes, and Neoclassical Theory: International
Jurisprudence and the Third World.” International Organization 41, no. 4 (1987):
519–49.
“Jackson, Robert H. Quasi-States: Sovereignty, International Relations and the Third World.
Cambridge Studies in International Relations. Cambridge: Cambridge University
Press, 1991. Doi:10.1017/CBO9780511559020.,” n.d.
Jackson, Robert, and Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:
PT Pustaka Pelajar, 2005.
Khor, Laura. “SOMALIA: TERRORIST HAVEN AND PROXY WARS,” 2004, 26.
McGregor, Andrew. “Into the Somali Void: Somalia’s Islamists Target
Uganda’s Peacekeepers.” Perspectives on Terrorism 1, no. 3 (2007): 17–19.
Nobel, Jaap W. “Morgenthau’s Struggle with Power: The Theory of Power Politics and the
Cold War.” Review of International Studies 21, no. 1 (January 1995): 61–85.
https://doi.org/10.1017/S0260210500117528.
Ramadane, Zakaria Ousman. “Somalia: State Failure, Poverty and Terrorism.” Counter
Terrorist Trends and Analyses 6, no. 7 (2014): 13–16.
Rotberg, Robert I. “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators,”
n.d., 26.
“Six Things to Know About Somalia’s Economy.” IMF. Accessed November 13, 2018.
https://www.imf.org/en/News/Articles/2017/04/11/NA041117-Six-Things-to-Know-
About-Somalia-Economy.
“Social Contract Theory | Internet Encyclopedia of Philosophy.” Accessed November 13,
2018. https://www.iep.utm.edu/soc-cont/.
Society, International Relations. “The World’s Most Failed State: Somalia.” International
Relations Society (blog), January 25, 2018. https://irsocietyjcu.com/2018/01/25/the-
worlds-most-failed-state-somalia/.
“Somalia Literacy - Demographics.” Accessed November 13, 2018.
https://www.indexmundi.com/somalia/literacy.html.
“Somalia’s Transitional Government.” Council on Foreign Relations. Accessed November
13, 2018. https://www.cfr.org/backgrounder/somalias-transitional-government.
World Bank, and UNDP. “Country Re-Engagement Note,” April 2003.
http://documents.worldbank.org/curated/en/830051468781503521/pdf/282760Somali
a0Country0reengagement0note.pdf.
Yoshimura, Daisuke. “ACCORD Austrian Centre for Country of Origin & Asylum Research
and Documentation,” n.d., 30.

Anda mungkin juga menyukai