SEJARAH KETATANEGARAAN
Di Susun Oleh
NURFIRAYANI H
A 311 19 084
KELAS B
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
IDENTITAS BUKU
ISBN : 978-602-258-547-3
PENDAHULUAN
Membahas sejarah tata negara baik secara makro maupun mikro, berarti masuk ke
kawasan politik. Wilayah politik itu sendiri dapat dikaji dari segi: sejarah politik, sosiologi
politik, antropologi politik, dan ilmu politik. Dimensi ini saling mengoreksi dan melengkapi
dalam pembahasannya sehingga ditemukan fenomena yang utuh tentang konsep sejarah tata
negara. Oleh karena itu, dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan memerlukan suatu terminologi yang lebih multidimensional dalam pendekatannya.
Pertama sejarah politik. Dari segi epistemologis sejak Thucydides menulis Perang
Peloponesianya sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat didominasi oleh sejarah politik.
Lebih-lebih dalam abad ke-19 sebagai abad nasionalisme dan formasi negara nasional di Eropa
Barat, sejarah politiklah yang sangat menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang
sangat menonjol di suatu pihak, dan di lain pihak peranan para raja, panglima perang, dan
negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat pengaruhnya sampai sekarang.
Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian
politik, diplomasi, perang, dan aktivitas militer. Di samping itu, ada pula teori orang besar, yang
mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah. Fenomena ini terbukti dari
banyaknya karya biografi tokoh-tokoh sampai pada Perang Dunia II. Perkembangan itu sejajar
dengan berkembangnya sejarah nasional yang pada masa tersebut sedang mengalami
pertumbuhan yang pesat.
Untuk membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah kiranya analisis
antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya, yang mencakup otoritas
karismatis atau tradisional, patrionalisme, feodalisme, birokrasi tradisional, dan lain sebagainya.
Banyak antropolog semacam itu misalnya Cunningham, Schorl, dan Schulte-Nordholt. Pada
hakikatnya yang mereka hasilkan lebih merupakan sejarah struktural dengan pendekatan
sinkronis. Maka dari itu, tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang sama secara
diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.
Keempat ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan konsentrasinya
hanya negara-negara modern, yaitul negara-negara yang muncul menjelang Perang Dunia I
terutama kerajaan kerajaan yang mulai meninggalkan tradisi monarki, dan pembahasannya
diteruskan pada negara-negara setelah Perang Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario politik
baik di tingkat makro maupun mikro, dapat digambarkan secara rinci berdasarkan analisis ilmu
sosial sedemikian rupa, sehingga dapat diekstrapolasikan, antara lain, (1) gejala atau pola umum
perjuangan politik, (2) kecenderungan dalam proses politik yang menunjukkan keteraturan
(regularities). Kedua gejala ini akan menambah makna kejadian-kejadian serta memberi
kemungkinan untuk membuat suatu perbandingan serta generalisasi.
PEMBAHASAN
Belanda merupakan salah satu negara yang sering melakukan perjalanan untuk mencari
tempat baru yang akan dijadikan sebagai target untuk menambah devisa negara. Pejabat lokal di
Amsterdam paham benar mengapa mereka perlu melakukan penjelajahan samudra, sebab yang
paling jelas adalah dari sisi geografis negara yang terletak di utara dari benua biru ini kurang
menguntungkan, hal tersebut memaksa otoritas kerajaan bekerja keras dan berpikir ekstra untuk
mendapatkan income dari sisi keuntungan finansial dengan salah satu cara penjelajahan samudra
mencari tempat baru yang akan dieksploitasi terutama dari segi kekayaan alam, terlebih lagi
diperparah dengan keadaan Eropa pasca-perang salib, kekalahan Romawi Timur dengan
jatuhnya Bizantium ke tangan Khilafiyah Utsmaniah merupakan pukulan berat untuk negara-
negara di semenanjung barat Eropa tak terkecuali Belanda.
Penguasa lokal Belanda tidak tinggal diam atas hal ini, penjelajahan samudra dan
mencari daerah lain untuk mendapatkan keuntungan agar kurs Gulden bisa selalu mengimbangi
emas merupakan harga mati yang harus dilakukan. Dalam paketan penjelajahan yang dilakukan,
bangsa ini selalu dibekali misi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang Desar untuk
bangsanya, di balik misi untuk menjelajah samudra terselip nisi lain untuk menduduki daerah
baru yang ditemukan dan menguasainya agaimanapun cara akan ditempuh. Dalam misi ini
Belanda memang ukup sukses, wilayah jajahan yang hampir setiap benua ada merupakan Dukti
nyata yang tak terbantahkan. Dalam proyek pencanangan misi tersebut negara induk dalam hal
ini adalah negeri Belanda yang di Eropa memiliki pandangan bahwa setiap daerah pendudukan
harus dikuasai secara mutlak serta harus dibentuk sebuah organisasi pemerintahan mandiri, tetapi
masih berada di bawah naungan kerajaan secara penuh, inilah yang disebut sebagai pemerintahan
negeri seberang termasuk Indonesia yang diduduki selama lebih dari 3,5 abad.
Reglement op beleid der regering van Nederlandsch Indie merupakan peraturan dasar
ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda, dalam peraturan ini tidak mengenal desentralisasi.
Menurut reglement ini, Hindia Belanda diperintah secara sentralistik, tetapi pada pemerintahan
yang sentralistik ini dijalankan pula dekonsentrasi. Dekosentrasi adalah tugas pemerintah yang
dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat pejabat pusat yang lebih rendah
tingkatannya secara hierarkis dari masing-masing lingkungan wilayah jabatan tertentu yang
disebut daerah administratif. Daerah administratif menurut reglement ini adalah Gewest
(kemudian disebut residentie) yang masing masing selanjutnya dibagi dalam afdeeling, district
dan onderdistrict. Susunan Pemerintah Hindia Belanda yangs sentralistik berlangsung sampai
permulaan abad ke-20. Timbulnya perkembangan baru yang bermula dari suara-suara kalangan
penduduk Eropa Timur Asing dan elite Indonesia yang menyerukan agar pemerintahan disusun
secara modern. Di kalangan bangsa Belanda sendiri, timbul gerakan ethishce politiek yang
kesemuanya itu mendorong pemerintahan Kerajaan Belanda pada 1903 mengeluarkan Undang-
Undang Tentang Desentralisasi
Belanda merupakan salah satu negara kerajaan yang tergolong sudah lama di kawasan Eropa
dengan sistem ketatanegaraan yang menganut paham Eropa Kontinental yang mengacu kepada
sistem hukum Eropa daratan yang merujuk kepada kebijakan dan keputusan dari raja yang
didasarkan atas perihal birokrasi yang begitu kuat dipengaruhi oleh penguasa gereja Katolik.
Negeri ini mengonsep negara jajahannya di berbagai wilayah di belahan lain di dunia ini dengan
begitu detail dalam segala hal yang berkaitan tentang eksistensi kekuasaan Belanda. Dari segi
aturan hukum, birokrasi, dan dari segi administrasi sangat diperhatikan yang tentu dengan tujuan
utamanya adalah melindungi dan menguatkan kedudukan Negeri Bunga Tulip di tanah air.
Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, alat-alat perlengkapan Hindia Belanda sebagai berikut.
Inggris merupakan salah satu negara yang juga memiliki misi untuk menancapkan
kekuasaannya di berbagai wilayah di dunia, terbukti negeri yang terletak di sebelah utara dari
benua biru tersebut memiliki kekuasaan kolonial di hampir seluruh wilayah di muka bumi ini.
Kedudukan Inggris yang sangat kuat bisa dilihat di kawasan Asia Selatan dengan menjadikan
India sebagai tempat untuk mengembangkan dan menguatkan kekuatan kolonialisme kekhasan
kemaritiman ala Inggris. EIC atau yang merupakan kongsi dagang yang sangat kuat menguasai
perdagangan sepanjang garis pantai Hindustan sampai kepada wilayah Sri Lanka telah
memberikan warna tersendiri dalam sejarah kolonialisme dunia. Ketika Belanda mengalami
goncangan hebat sebagai imbas dari ketidakstabilan politik yang berkembang di Eropa memaksa
Negeri Bunga Tulip untuk menyerahkan kekuasaan Belanda di Nusantara kepada Inggris,
padahal secara umum Inggris merupakan kompetitor dari Belanda dalam persaingan memperoleh
dominasi perdangangan di kawasan selatan Asia
Menurut Soejito dan Irawan dalam bukunya Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia,
peraturan perundang-undangan dan lembaga Negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah
sebagai berikut.
Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 dengan
ditandatanganinya Perjanjian Kalijati, yang di dalamnya disebutkan bahwa pemerintah Hindia
Belanda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Dengan
ditandatanganinya perjanjian tersebut, sejak tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah masa penjajahan
Belanda sekaligus dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia. Langkah selanjutnya yang
diambil oleh Pemerintah Militer Jepang adalah membentuk pemerintahan militer untuk
memobilisasi potensi rakyat Indonesia untuk mempercepat berakhirnya Perang Pasifik. Struktur
ketatanegaraan masa pemerintahan Jepang hampir sama dengan masa Hindia Belanda Pada masa
Hindia Belanda sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah sentralistik dan militeristik
A. Struktur Pemerintahan
Pertama, sasaran pemerintah militer adalah (a) memulihkan ketertiban umum; (b)
mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan nasional; dan (c) menjamin
berdikari di bidang ekonomi bagi personel militer. Kedua, status terakhir wilayah-wilayah yang
diduduki dan pengaturannya pada masa depan akan ditentukan terpisah. Ketiga, dalam
pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada akan
dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi tradisional dan
kebiasaan-kebiasaan penduduk setempat. Keempat, penduduk setempat akan dibina sedemikian
rupa sehingga mempunyai kepercayaan kepada pasukan pasukan Jepang dan penggairahan
secara prematur dari gerakan-gerakan kemerdekaan penduduk setempat harus dihindarkan
Dokumen kedua adalah "Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut
Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-Wilayah yang Diduduki" (Nampo Senryochi Gyosei
Jisshi ni Kansuru riku kaigun Chuo Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam Konferensi
Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada tanggal 26 November
1941. Berdasarkan dokumen ini, Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang
secara bersama-sama akan menjalankan wewenang politiknya atas wilayah Indonesia
Dengan mengacu pada kedua dokumen itu, sejak Kapitulasi Kalijati tanggal 8 Maret
1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia.
1. Pertama, Pulau Sumatra diperintah oleh Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan
Bukittinggi sebagai markas besarnya.
2. Kedua, di Pulau Jawa Bali lahirlah pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara
Ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan Batavia (kemudian diubah namanya menjadi
Jakarta) sebagai markas besarnya.
3. Ketiga, Angkatan Laut Jepang membentuk pemerintah militer atas Pulau Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pelaksana dari pemerintahan militer ini
adalah Armada Ke-3 Angkatan Laut Jepang (kemudian berubah menjadi Armada
Wilayah Barat Daya) dengan Makassar sebagai markas besarnya.
Meskipun demikian, kalau dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Jepang, kedudukan Pemerintahan Militer Tentara Ke-16 di Pulau Jawa memiliki pengaruh
dominan atas hegemoni Jepang di Indonesia. Hal ini tidaklah terlalu aneh mengingat kedudukan
Pulau Jawa sebagai pusat aktivitas bagi seluruh wilayah Indonesia sejak zaman Pemerintah
Hindia Belanda.
B. Pemerintahan Sumatra
Masing-masing minseibu membawahkan syu, ken, bunken (subkabupaten), gun, dan son.
Sebelum bulan Agustus 1942, beberapa orang Indonesia memegang jabatan tinggi. Akan tetapi,
sejak bulan Agustus 1942 jabatan yang dipegang oleh orang-orang Indonesia hanya terbatas
sampai gunco dan kenco.
D. Pemerintahan di Jawa
Roda pemerintahan atas Pulau Jawa dilaksanakan oleh Tentara Ke 16 Angkatan Darai
Jepang dengan pusat pemerintahannya di Jakarta. Sehari sebelum Kapitulasi Kalijati, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 1942, Panglima Tentara Ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Pasal
1. Osamu Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang menjadi pokok dari berbagai peraturan tata negara pada
waktu pendudukan Jepang. Undang-undang tersebut antara lain memuat hal-hal sebagai berikut.
Pasal 1: Bala tentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-
daerah yang ditempatinya agar mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2: Pembesar bala tentara Nippon memegang kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi
dan segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubernur jenderal.
Pasal 3: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang undang dari pemerintahan
terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer.
Pasal 4: Bala tentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai
yang setia kepada Nippon.
E. Organisasi Jepang
Dalam rangka melakukan mobilisasi rakyat Indonesia, langkah pertama yang dilakukan
oleh Saiko Shikikan adalah membentuk organisasi Gerakan Tiga A yang dijiwai oleh semboyan
Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia pada 29 April 1942
yang dipimpin oleh Mr. Sjamsudin, seorang nasionalis kurang terkenal. Tujuannya adalah
sebagai upaya menanamkan tekad penduduk agar berdiri sepenuhnya di belakang pemerintah
militer Jepang Meskipun demikian, usia dari Gerakan Tiga A tidak lama. Pemerintah Militer
Jepang menganggap gerakan ini tidak efektif dalam upaya mengerahkan bangsa Indonesia untuk
kepentingan perang Jepang sehingga pada bulan Desember 1942 gerakan ini dibubarkan oleh
Saiko Shikikan.
Pada tanggal 9 Maret 1943, Pemerintah Militer Jepang meresmikan berdirinya Poesat Tenaga
Rakjat (Poetera) di bawah pimpinan "Empat Serangkai", yakni Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Kewajiban Poetera adalah memimpin rakyat untuk
bersama-sama menghapus pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda; mengambil bagian dalam
usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Jepang-Indonesia;
mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang; serta membina dan memusatkan potensi
bangsa Indonesia untuk kepentingan perang Jepang. Poetera mempunyai pimpinan pusat dan
pimpinan daerah, yang masing masing dibagi-bagikan atas penjabatannya yaitu, Penjabatan
Susunan Pembangunan, Penjabatan Usaha dan Budaya, dan Pejabatan Propaganda. Pimpinan
tingkat daerah itu sesuai dengan tingkat daerah yaitu pimpinan Syu, Ken, dan Gun
(Poesponegoro & Notosusanto 1990:19-20). Meskipun di bawah pengawasan yang sangat ketat,
para pemimpin Poetera dapat memanfaatkan gerakan ini untuk mempersiapkan bangsa Indonesia
mewujudkan kemerdekaannya. Para pemimpin Poetera berusaha menanamkan nasionalisme
kepada bangsa Indonesia.
BAB VII (TERBENTUKNYA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA)
Adanya halangan psikologis, ternyata masih ditambah realitas politik yang berkembang
saat itu. Dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (RI) yang
sesungguhnya tidak lebih dari satu di antara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih
tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi RI tidak bergantung kepada RIS.
Hal itu lebih diperparah lagi, dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara
bagian, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pasundan yang lebih menaati aturan-aturan dari
Ibu Kota RI Yogyakarta dibandingkan terhadap Jakarta. Keadaan itu sering kali menimbulkan
administrasi ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai negeri sipil yang
berusaha mengatur teritorial yang sama dengan dua aturan yang sangat mungkin berbeda.
Keadaan itu semakin memperkuat posisi kaum republikan di Parlemen Pasundan. Dimotori oleh
Oli Setiadi dan Dr. Hasan Nata Begara Cs, mereka mendesak parlemen agar Negara Pasundan
dibubarkan saja (Sewaka 1955:171). Dengan kondisi politik yang seperti itu, akhirnya melalui
Keputusan Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan untuk
menggabungkan Negara Pasundan ke dalam Negara RI. Keputusan itu kemudian disahkan
dengan lahirnya Surat Keputusan RIS No. 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa
wilayah Pasundan termasuk ke dalam Negara RI. Pemerintah RIS di Jawa Barat kemudian
diganti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh M.
Sewaka, yang sebelumnya bertugas sebagai Komisaris RIS di Pasundan
Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elite yang ada di
NIT dan NST untuk berunding dengan pemerintah RIS Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5
Mei 1950 diadakan perundingan antara PM RIS, M. Hatta, Presiden NIT Sukawati, dan PM NST
DI Mansyur Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada
tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatra Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian,
Dewan Sumatra Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat NST
dileburkan ke dalam RIS bukan ke dalam RI. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar
penduduk Sumatra Timur, tetapi PM. Hatta mendukung Dewan NST Keputusan Hatta itu
didasari situasi di Sumatra Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan RI. Hatta berpikir
bahwa apabila diambil jalan penggabungan NST langsung ke dalam RI, mungkin dapat
mendorong para bekas KNIL yang saat itu masih menjadi anggota batalion keamanan NST untuk
memberontak sebagaimana tindakan yang teman-temannya di Ambon diambil
Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai
tindak lanjut diadakan perundingan antara PM RIS, Hatta yang mewakili NIT beserta dengan
NST di satu pihak dan PM RI, A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya
persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 di antara kedua belah pihak untuk membentuk NKRI.
Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana
yang dikehendaki seluruh rakyat Indonesia
Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi
RIS. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam RIS (RI akan
menjadi satu-satunya negara bagian dari RIS sehingga RIS akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas
anggota KNIL. Di samping itu, ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar
negeri. Jika seluruh negara bagian bergabung dengan RI, maka akan timbul kesulitan.
Persoalannya adalah RI yang masih eksis adalah RI sebagai negara bagian RIS(sebagai akibat
persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah RIS yang telah
dilikuidasi. Dengan perkataan lain, proses kembali dari RIS ke NKRI melalui cra ini berarti
peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah
negara baru. Oleh karena itu, agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secara yuridis
maka pembubaran RIS harus dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi RIS. Jadi,
secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS sebagai negara federal menjadi negara berbentuk
kesatuan. Melalui cara itu, terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional. Apabila
RIS dibubarkan dan digantikan oleh RI sebagai negara bagian dalam tubuh RIS, maka negara
baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal. Hal
itu disebabkan RI sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional.
Akan lain persoalannya apabila RIS berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan
ada permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja,
bukan negaranya.
BAB VIII (KETATANEGARAAN INDONESIA TAHUN 1945-1949)
Indonesia merupakan negara yang paling bersejarah karena mempunyai sejarah yang
sangat hebat dalam melakukan perjuangan terhadap kemerdekaan. Sejarah inilah yang sangat
kita butuhkan untuk menjadi negara yang hebat, karena negara yang hebat itu adalah negara yang
bisa mempelajari sejarah yang terjadi pada negara tersebut pada sistem pemerintahan Indonesia
tahun 1945-1949 adalah berisi seputar badan-badan negara. Pada periode ini, yang menjadi
konstitusi negara adalah Undang-Undang Dasar 1945. Memang awal mula kemerdekaan adalah
menggunakan UUD 1945 (pada periode ini dari 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1949). Pada saat kemerdekaan, dipilihlah presiden dan wakil presiden dari persetujuan kawan-
kawan pembela kemerdekaan yaitu yang sebagai presiden adalah Ir. Soekarno dan wakilnya
adalah Drs. Mohammad Hatta. Presiden dan wakilnya menjabat dari awal periode sampai 19
Desember 1948. Jabatan ketua PDRI diduduki oleh Syafrudin Prawiranegara pada 19 Desember
1948-13 Juli 1949. Pada periode ini, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Karena
pada saat itu, bertujuan untuk mempersatukan wilayah negara yang dijajah oleh Belanda dengan
cara menyatukannya. Selain bentuk negara, pemerintahannya juga berbasis republik.
Secara umum, terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 1945 antara lain:
1. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan
wewenang MPR.
2. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer
berdasarkan usul BP-KNIP. Pada masa ini, lembaga lembaga negara yang diamanatkan
UUD 1945 belum dibentuk, karena UUD 1945 pada saat ini tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya mengingat kondisi Indonesia yang sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan
Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, diputuskanlah bahwa
KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk, pada tanggal
14 November 1945 dibentuklah Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang
pertama. Peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih
demokratis.
Pada era perjuangan kemerdekaan, situasi dan kondisi politik Indonesia belum stabil. Masih
terjadi pergolakan politik pasca proklamasi kemerdekaan dan melawan upaya-upaya penjajahan.
Dalam era perjuanagan kemerdekaan terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil
menjadi parlementer. Terjadi 9 kali perombakan kabinet dalam kurun waktu 4 tahun (1945-
1949).
Setelah kabinet Syahrir I runtuh, soekarno meminta pihak oposisi untuk membentuk
kabinet baru. Namun, karena heterogenitas yang tinggi dalam komposisi pihak oposisi sendiri,
komitmen di antara mereka hilang. artinya pihak oposisi terpecah-pecah dengan kepentingan
kelompoknya masing-masing terutama pascaruntuhnya kabinet Syahrir. Tan Malaka kesulitan
mengonsolidasikan kembali pihak oposisinya, termasuk ketika mengadakan pertemuan kembali
pada 15 Maret 1946 di Madiun. Grup grup beraliran kiri menyatakan diri keluar dari
persekutuan.
Pada pertengahan bulan Agustus 1946, KNIP yang bersidang di Yogyakarta membuat
usulan tentang perubahan Kabinet Syahrir yang kedua menjadi kabinet koalisi, yang bertanggung
jawab pada KNIP Berhubung keadaan sudah mulai normal kembali, pada 2 Oktober Maklumat
Presiden No. 1 tahun 1946 dengan harapan kabinet dan badan resmi lainnya dapat bekerja
kembali. Untuk menanggapi usul KNIP presiden menunjuk Syahrir untuk ketiga kalinya sebagai
formatur kabinet koalisi. Pada tanggal 2 Oktober diumumkan kabinet koalisi baru di bawah
Perdana Menteri Syahrir.
Kabinet Amir Sjarifuddin adalah kabinet Indonesia pada masa era Kemerdekaan periode
kabinet ini dari 3 Juli 1947-11 November 1947. Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada
bulan Juli, pengganti Syahrir sebagai perdana menteri ialah Amir Sjarifuddin. Berikut susunan
Kabinet Amir Sjarifiddin (Maulwi 2001:63).
Kabinet Hatta Pertama atau Kabinet Hatta I adalah kabinet ketujuh yang dibentuk di
Indonesia. Kabinet ini dibentuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, atas perintah Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948, hari yang sama saat kabinet sebelumnya dinyatakan
bubar. Kabinet ini bertugas pada periode 29 Januari 1948-4 Agustus 1949. Hatta dipandang
memiliki kedudukan yang kuat baik ke luar dalam bidang diplomasi maupun ke dalam untuk
menyatukan berbagai pertikaian partai politik. Kebijakan Hatta terbukti mampu menyatukan
partai-partai politik sehingga Kabinet Hatta merupakan Kabinet yang tidak dapat dijatuhkan oleh
kekuatan-kekuatan di luar parlemen meskipun kabinet ini mendapat oposisi yang hebat dari
sayap kiri.
BAB IX (KETATANEGARAAN INDONESIA PADA MASA KONSTITUSI RIS 1949-
1950)
Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik". Sebagai negara kesatuan, negara Republik Indonesia hanya ada satu
kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Tidak ada pemerintah negara bagian seperti yang berlaku
di negara negara serikat (federasi). Kepala negara dijabat oleh presiden yang dipilih melalui
pemilu, bukan berdasar keturunan. Kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi
"Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat". Sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi "Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar". Pasal
tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial Presiden
sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana
tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan
kepada DPR. Lembaga-lembaga tertinggi negara menurut UUD 1945 sebelum amandemen
adalah sebagai berikut.
1) MPR
2) Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) DPR
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 6. Mahkamah Agung (MA)
Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda pada tanggal 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan Linggajati) yang antara lain
menetapkan hal-hal berikut ini.
a. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra, di
wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah
b. Belanda.Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS. Belanda dan
Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda
Selain itu, Hasil perundingan ini sesungguhnya merugikan bangsa Indonesia karena
kedaulatan wilayah Indonesia semakin sempit. timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda
Indonesa mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda.
a. Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga
hubungan luar negeri/internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
b. Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama
Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan
oleh Indonesia.
c. Belanda meminta dibuat polisi bersama, tetapi Indonesia menolak. Akibat adanya
penafsiran ini, terjadi Clash I (Agresi Militer I) pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II
(Agresi Militer II) tanggal 19 Desember 1948.
B. Sistem dan Perkembangan Ketatanegaraan Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai
Muatan Konstitusi RIS
1. Sifat Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
2. Sistematika dan isi pokok konstitusi RIS
3. Daerah negara republik Indonesia serikat
4. Perbedaan pokok antara UUD 1945 dengan Konstitusi RIS
5. Bentuk negara republik Indonesia serikat
6. Alat perlengkapan Negara
7. Sistem pemerintahan Republik Indonesia serikat
8. Hubungan negara dengan rakyat
C. Faktor-faktor Penyebab Runtuhnya Negara
Republik Indonesia Serikat Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949,
perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang federalistik a tersebut
dilakukan rakyat semakin kuat. Rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang
unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-
tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor kesamaan pemikiran
ini beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia. Hal
ini dibenarkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat; LN No. 16 Tahun
1950 mulai berlaku 9 Maret 1950. UU Darurat tersebut sebagai pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 44 konstitusi RIS. "Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula
masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada,
hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah-sungguhpun sendiri bukan daerah bagian
menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU federal, dengan menjunjung asas-asas
seperti tersebut dalam Pasal 43, dan sekadar hal itu mengenai masuk atau
menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan"
Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang
berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi, dalam demokrasi, rakyatlah yang berkuasa. Setelah
Perang Dunia II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Di
antara semakin banyak aliran pemikiran yang menamakan dirinya sebagai demokrasi, ada dua
aliran penting, yaitu demokrasi konstitusional dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya
"demokrasi" namun pada dasarnya menyandarkan dirinya pada komunisme. Demokrasi yang
dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan.
Mengenai sifat dan cirinya masih terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada
perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami tiga
periodisasi penerapan demokrasi.
Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3
November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang
meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai
1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu
(PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering
menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-
ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut.
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.
3. Presiden bisa dan berhak. membubarkan DPR. 4. Perdana Menteri diangkat oleh
Presiden.
KELEBIHAN
Buku ini memiliki sampul yang tebal,memiliki halaman pada daftar isi sehingga pembaca dapat
mengetahui dimana letak materi yang mereka cari, tulisannya rapid an kertas yang berkualitas,
identitas kedua penulis juga lengkap dan memiliki profil agar pembaca bisa mengenal penulis
buku ini.
KEKURANGAN
Buku ini tidak memiliki catatan kaki sehingga pembaca sulit untuk mencari referensinya dan
penulis tidak menuliskan indeks pada buku.
KESIMPULAN
Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau nasion di
masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus
menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya
atau sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya.
Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah
kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian
atau identitasnya.
Berdasarkan pernyataan tadi, dapat diambil beberapa butir kesimpulan antara lain:
1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah pada umumnya, dan
sejarah nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup secara komprehensif segala
aspek kehidupan bangsa yang terwujud sebagai tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha
atau kerjanya mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya, meningkatkan taraf
hidupnya, menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial, politik, religius, dan menghayati
kebudayaan politik beserta ideologi nasionalnya, kelangsungan masyarakat dan
kulturnya.
2) sejarah nasional mencakup segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya,
subkulturnya. Sejarah nasional mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem
hukum adatnya, bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya.