Anda di halaman 1dari 36

TUGAS UAS

SEJARAH KETATANEGARAAN

Di Susun Oleh

NURFIRAYANI H

A 311 19 084

KELAS B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
IDENTITAS BUKU

NAMA PENULIS : Dr.Aman, M.Pd. Dan Muhammad Fendi Aditya, M.Pd

JUDUL : Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia

PENERBIT : Ombak (Anggota IKAPI)

TAHUN TERBIT : 2019

HALAMAN : 198 Hal

ISBN : 978-602-258-547-3

PENDAHULUAN

Membahas sejarah tata negara baik secara makro maupun mikro, berarti masuk ke
kawasan politik. Wilayah politik itu sendiri dapat dikaji dari segi: sejarah politik, sosiologi
politik, antropologi politik, dan ilmu politik. Dimensi ini saling mengoreksi dan melengkapi
dalam pembahasannya sehingga ditemukan fenomena yang utuh tentang konsep sejarah tata
negara. Oleh karena itu, dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan memerlukan suatu terminologi yang lebih multidimensional dalam pendekatannya.

Pertama sejarah politik. Dari segi epistemologis sejak Thucydides menulis Perang
Peloponesianya sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat didominasi oleh sejarah politik.
Lebih-lebih dalam abad ke-19 sebagai abad nasionalisme dan formasi negara nasional di Eropa
Barat, sejarah politiklah yang sangat menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang
sangat menonjol di suatu pihak, dan di lain pihak peranan para raja, panglima perang, dan
negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat pengaruhnya sampai sekarang.
Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian
politik, diplomasi, perang, dan aktivitas militer. Di samping itu, ada pula teori orang besar, yang
mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah. Fenomena ini terbukti dari
banyaknya karya biografi tokoh-tokoh sampai pada Perang Dunia II. Perkembangan itu sejajar
dengan berkembangnya sejarah nasional yang pada masa tersebut sedang mengalami
pertumbuhan yang pesat.

Kedua sosiologi politik, yang merupakan interdisiplin sosiologi yang pernah


dikembangkan secara metodologis oleh Ma x Weber abad ke-19. Sosiologi politik dapat
membicarakan tipe kepemimpinan yang menurut teori Weber ada tiga yaitu: (1) otoritas
tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan atau turun-temurun; (2) otoritas karismatik,
yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; dan (3) otoritas legal rasional yang dimiliki
berdasarkan jabatan serta kemampuannya. Di negara-negara berkembang, tipe kepemimpinan
rasional dan karismatik sering digabungkan menjadi satu. Contohnya sebagai refleksi, dalam
diskusi mengenai korupsi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan Nasional
tahun 2000 antara lain dibahas mengenai "Merit Sistem", yang artinya bahwa kedudukan atau
jabatan harus didasarkan pada prestasi sehingga praktik KKN tidak terjadi. Ini berarti bahwa
Merit Sistem didasarkan pada tipe kepemimpinan rasional. Selain membahas tipe kepemimpinan
baik formal maupun informal, juga membahas struktur politik, partai politik, partisipasi politik,
hubungan sipil-militer, tokoh politik, dan peranan serta fungsi kelembagaan politik.

Ketiga antropologi politik. Pada awalnya, antropologi politik membicarakan


perkembangan masyarakat kesukuan, hal ini karena antropologi lebih menekankan pada sistem
kekerabatan. Kemudian antropologi politik berkembang pengkajiannya pada simbol-simbol
politik, strategi politik, hubungan kebudayaan politik, serta adat istiadat setempat dalam
hubungannya dengan politik. Antropologi politik sangat erat hubunganya dengan antropologi
sosial. Sebagai permisalan, kolusi dan korupsi yang terjadi dalam pemerintah politik, akan lebih
tajam pembahasannya jika dikaji dengan antropologi politik. Hal ini karena menyangkut masalah
kebudayaan politik dalam hubungannya dengan korupsi.

Untuk membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah kiranya analisis
antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya, yang mencakup otoritas
karismatis atau tradisional, patrionalisme, feodalisme, birokrasi tradisional, dan lain sebagainya.
Banyak antropolog semacam itu misalnya Cunningham, Schorl, dan Schulte-Nordholt. Pada
hakikatnya yang mereka hasilkan lebih merupakan sejarah struktural dengan pendekatan
sinkronis. Maka dari itu, tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang sama secara
diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.
Keempat ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan konsentrasinya
hanya negara-negara modern, yaitul negara-negara yang muncul menjelang Perang Dunia I
terutama kerajaan kerajaan yang mulai meninggalkan tradisi monarki, dan pembahasannya
diteruskan pada negara-negara setelah Perang Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario politik
baik di tingkat makro maupun mikro, dapat digambarkan secara rinci berdasarkan analisis ilmu
sosial sedemikian rupa, sehingga dapat diekstrapolasikan, antara lain, (1) gejala atau pola umum
perjuangan politik, (2) kecenderungan dalam proses politik yang menunjukkan keteraturan
(regularities). Kedua gejala ini akan menambah makna kejadian-kejadian serta memberi
kemungkinan untuk membuat suatu perbandingan serta generalisasi.

PEMBAHASAN

BAB II (NEGARA DALAM KONSEP UMUM)

A. Pengertian Negara (State)


Secara etimologis, konsep "negara" muncul dari terjemahan bahasa asing Staat
(Jerman dan Belanda) dan State (bahasa Inggris). Dua konsep itu, baik Staat maupun
State berakar dari bahasa Latin, yaitu statum atau status, yang berarti menempatkan
dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan menempatkan. Kata status juga dapat
diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan sifat atau keadaan tegak dan tetap.
Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh J.H.H. Logemaan dalam
buku Over De Theorie van Een Stelling Staadrecht, yakni bahwa keberadaan negara
bertujuan untuk menyelenggarakan dan mengatur masyarakat yang dilengkapi dengan
kekuasaan tertinggi. Definisi itu menempatkan negara sebagai organisasi kekuasaan
(Budiyanto 1997). Terminologi seperti itu kemudian diikuti oleh Harold J. Laski, Max
Weber, dan Leon Duguit.
Dalam konsepsi itu, Kansil (1978) menyatakan bahwa negara adalah suatu
organisasi kekuasaan dari manusia-manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang akan
dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pengertian luas, negara merupakan
kesatuan sosial yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan
bersama.
Berikut beberapa pengertian tentang negara yang dikemukakan oleh para pakar
kenegaraan.
1. Kranenburg
Dalam konsepsi Kranenburg, negara merupakan suatu organisasi yang timbul karena
kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
2. Roger F. Soltau
Negara adalah suatu alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama yang mengatasnamakan masyarakat.
3. George Jellinek
Dalam terminologi Jellinek, negara merupakan organisasi kekuasaan dari sekelompok
manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
4. G.W.F. Hegel
Negara adalah organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan
individual dan kemerdekaan universal.
5. Soenarko
Negara adalah organisasi masyarakat yang memiliki daerah tertentu, yang kekuasaan
negaranya berlaku sepenuhnya sebagai kedaulatan.
6. R. Djokosoetono
Negara adalah organisasi sekelompok manusia yang berada di bawah suatu
pemerintahan yang sah.

Dapat disimpulkan bahwa negara merupakan suatu organisasi yang di dalamnya


harus ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintahan yang berdaulat (baik ke
dalam maupun ke luar). Dalam konsep negara sebagai organisasi kekuasaan, di dalam
negara terdapat suatu mekanisme atau tata hubungan kerja yang mengatur suatu
kelompok manusia/rakyat agar berdaulat atau bersikap sesuai dengan kehendak negara.
Untuk dapat mengatur rakyatnya, maka negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat
memaksa seluruh anggotanya untuk mematuhi segala peraturan atau ketentuan yang
telah ditetapkan oleh negara. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang sewenang-
wenang, di sisi lain negara juga menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana
kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan,
organisasi maupun oleh negara itu sendiri.

B. Terjadinya Negara, Tujuan, dan Fungsi


A. Terjadinya Negara
Suatu negara tidak serta-merta muncul, tetapi ada latar belakang pendorongnya.
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya suatu negara, antara lain adalah sebagai
berikut.
a. Teori Kenyataan
Dalam teori ini, terjadinya suatu negara adalah suatu kenyataan Ketika unsur-
unsur negara (pemerintahan yang berdaulat, bangsa dan wilayah) ada, maka pada
saat itu juga suatu negara sudah menjadi kenyataan.
b. Teori Ketuhanan
Terjadinya suatu negara adalah kehendak Tuhan. Menurut teori ini segala sesuatu
tidak akan terjadi apabila Tuhan tidak menghendakinya Kalimat-kalimat seperti
"Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa"... "by the grace of God..."
menunjuk ke arah teori ini.
c. Teori Perjanjian
Berdasarkan teori ini, terjadinya negara dikarenakan oleh adanya perjanjian yang
dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama
lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diselenggarakan agar kepentingan
bersama terpelihara dan terjamin,
agar orang yang satu tidak merupakan binatang buas bagi orang yang lain (homo
homini lupus, menurut Hobbes). Perjanjian itu disebut perjanjian masyarakat
(social contract menurut ajaran Rousseau). Dapat pula terjadi suatu perjanjian
antara daerah jajahan, misalnya kemerdekaan Filipina pada tahun 1946 dan India
pada tahun 1947.
d. Teori Penaklukan
Berdasarkan teori ini, terjadinya negara disebabkan oleh sekelompok manusia
menaklukkan daerah kelompok lain. Agar daerah itu tetap dapat dikuasai,
dibentuklah suatu organisasi yang berupa negara. Selain itu, terjadinya negara
dapat pula disebabkan oleh adanya faktor berikut.
1) Pemberontakan terhadap negara lain yang menjajah, seperti Amerika Serikat
terhadap Inggris pada tahun 1776-1783.
2) Peleburan (fusi) antara beberapa negara manjadi satu negara baru, misalnya:
Jerman bersatu pada tahun 1871.
3) Suatu daerah yang belum ada rakyatnya atau pemerintahannya
diduduki/dikuasai oleh bangsa/negara lain.
4) Suatu daerah tertentu melepaskan diri dari yang tadinya menguasainya dan
menyatakan dirinya sebagai suatu negara baru (misalnya Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945).
Secara teoretis, suatu negara dianggap ada apabila telah dipenuhi ketiga unsur
negara yaitu: pemerintahan yang berdaulat, bangsa, dan wilayah. Konsepsi seperti
ini memengaruhi pula perdebatan di dalam PPKI, baik di dalam membahas
wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan yang sebenarnya
direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Suatu kenyataan pula bahwa tidak satu
pun warga negara Indonesia yang tidak menganggap bahwa terjadinya NKRI
adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, sekalipun ada pihak-pihak
(terutama luar negeri) yang beranggapan berbeda dengan dalih teori yang
universal.
B. Tujuan dan Fungsi Negara
Dalam sistem feodal, tujuan negara adalah penguasaan atas tanah. Oleh karena
itu, pemupukan kekayaan oleh penguasa menjadi tujuan utama dan kekayaan yang
melimpah pada penguasa (negara) akan "tertumpah" pada rakyatnya Rakyat cukup
menyerahkan diri pada penguasa apabila ingin makmur. Itulah tujuan bernegara yang
feodalistik atau yang sering kali terjelma pula dalam sistem perekonomian
"merkantilistik" bahkan etatisme. Secara kiasan sering diungkapkan bahwa rakyat
harus menunggu "membesarnya kue" yang akan dibagi.
Mengenai fungsi negara, mengisyaratkan bahwa setiap negara menyelenggarakan
fungsinya sebagai negara. Adapun fungsi negara adalah sebagai berikut: (1)
melaksanakan penertiban dan keamanan negara, yaitu untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah terjadinya disintegrasi bangsa maka negara harus berperan
melaksanakan penertiban; (2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
(3) pertahanan; dan (4) menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan
peradilan. Menurut Mac Iver, fungsi negara dapat dibedakan menjadi tiga macam
yaitu: (1) ketertiban, (2) perlindungan, dan (3) pemeliharaan dan perkembangan.
C. Bentuk dan Unsur Negara
1. Bentuk Negara
Bentuk negara adalah penjelmaan dari organisasi negara secara nyata di
masyarakat. Ia mencerminkan suatu pola tertentu atau dengan orientasi sistemik,
merupakan suatu sistem berorganisasi atau puncaknya manusia dalam kehidupan
berkelompok. Berdasarkan teori-teori modern, bentuk negara yang terpenting
adalah Negara Kesatuan (Unitarisme) dan Negara Serikat (Federasi). Dilihat dari
segi ini maka bentuk organisasi negara bukan lagi masalah republik atau monarki,
Aristokrasi, melainkan negara kesatuan dan negara serikat.
a. Negara Kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yaitu di
seluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah pusat yang mengatur
seluruh daerah. Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk mengatur seluruh wilayahnya melalui pembentukan daerah-
daerah dalam wilayah negara. Dalam negara kesatuan pelaksanaan
pemerintahan Negara dapat dilaksanakan dengan sistem sentralisasi dan
desentralisasi.
b. Negara Serikat (Federasi) adalah suatu negara yang merupakan gabungan
beberapa negara, yang menjadi negara negara bagian dari negara serikat itu
Negara-negara bagian itu semula merupakan suatu negara yang merdeka dan
berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara
serikat, negara yang tadinya berdiri sendiri itu kemudian menjadi negara
bagian, melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkan kepada
negara serikat.
2. Unsur Negara
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa suatu negara harus memenuhi
syarat-syarat: (1) rakyat yang bersatu, (2) daerah atau wilayah, (3) pemerintah
yang berdaulat, dan mendapat pengakuan dari negara lain (Budiyanto 1997).
Konvensi Montevideo pada 1933 menyebutkan unsur unsur berdirinya suatu
negara antara lain berupa rakyat, wilayah yang tetap, dan pemerintah yang
mampu mengadakan hubungan internasional. Dari pendapat tersebut, unsur
rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat merupakan unsur konstitutif
karena keberadaannya mutlak harus ada. Pengakuan dari negara lain merupakan
bersifat formalitas, karena diperlukan dalam rangka memenuhi unsur tata unsur
deklaratif yang aturan pergaulan internasional. Kansil (1978) menyatakan bahwa
pada umumnya negara itu harus memenuhi unsur-unsur atau syarat: (a) harus ada
wilayahnya; (b) harus ada rakyatnya; (c) harus ada pemerintahan yang berkuasa
terhadap seluruh daerah dan rakyatnya, dan (d) harus ada tujuannya.
BAB III (Konsep Negara Dalam Masyarakat Primitif)

A. Kepemimpinan Masyarakat Kesukuan


Masyarakat kesukuan yang primitif termasuk budayanya mencakup tahap
ontologi, yaitu tahap ketika hakikat dasar hidupnya sangat bergantung pada alam. Tahap
ini diperkuat dengan tahap mistis, yaitu tahap memitoskan alam dengan berbagai ritual
seperti upacara. Dalam masyarakat modern, tahapannya sudah memasuki tahap
fungsional, yaitu logika, nalar, pikiran, mulai digunakan untuk menguasai alam, dan tidak
bergantung pada alam. Dalam beberapa kasus, masyarakat modern sering kali lari pada
tahap mistis.
Terbentuknya kepemimpinan masyarakat kesukuan dapat dimulai dari Indonesia
dan membandingkannya dengan suku lain di dunia terutama Afrika dan Amerika Latin.
Untuk Indonesia dapat dipilih tentang masyarakat kesukuan yang ada di Papua. Adapun
alasannya adalah: (1) di Papua hingga saat ini, masyarakat kesukuan masih dapat dilacak
ciri ciri aslinya; (2) Ada sebagian masyarakat kesukuan di Papua, misalnya di Jaya
Wijaya yang merupakan wilayah perbatasan dengan Papua Nugini, yang meninggalkan
zaman neolitikum baru sekitar dua dekade atau 20 tahun. Ini berarti bahwa masyarakat
kesukuan dapat direkam ciri-ciri kepemimpinan kesukuan yang dalam beberapa literatur
disebut primus interpares, yaitu satu-satunya tokoh dari sekian banyak orang. Salah satu
buku yang menjelaskan primus interpares dalam masyarakat internasional adalah
Indonesian Sociological Studies, karangan B. Schrieke. Dalam konsep primus interpares
ini, pembahasan mengenai masyarakat kesukuan masih sangat relevan. Pada umumnya
konsep kepemimpinan primus interpares tidak dianut dalam masyarakat demokratis dan
masyarakat modern. Suku-suku Papua, dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia
masih dapat menunjukkan hubungan yang erat dengan lingkungan sekitarnya sehingga
tahap pemikirannya dapat dimasukkan dalam tahap mistis dan ontologis, sedangkan suku
bangsa lainnya yang sudah modern, dapat digolongkan dalam tahap fungsional.
B. Tribe Communities Dan Feudal Society
Perkembangan negara dilihat dari keanekaragaman perkembangan masyarakat kesukuan
tribe communities dan feudal society, tampaknya agak sulit untuk menarik suatu
hubungan linear bahwa masyarakat feodal merupakan perkembangan dari "tribe
communities". Dalam kenyataannya, ada "tribe communities" yang selamanya menjadi
komunitas kesukuan. Tetapi di beberapa masyarakat di dunia, masyarakat kesukuan
berkembang menjadi masyarakat kerajaan, misalnya masyarakat kesukuan di Benua
Afrika. Di Indonesia, pengertian masyarakat kerajaan bukan merupakan perkembangan
langsung dari masyarakat kesukuan, misalnya pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-
kerajaan di Jawa Tengah dan bergeser ke Jawa Timur, tidak dapat disebut sebagai
perkembangan masyarakat kesukuan. Hingga saat ini keragaman suku di Papua,
meskipun dalam era modern, tidak membentuk masyarakat kerajaan. Berpuluh puluh
suku di Papua, dengan bahasa lokalnya yang berbeda-beda tetap menjadi masyarakat
kesukuan dengan ciri-cirinya berburu, beternak, dan sebagian ada yang berpindah-pindah.
Itulah sebabnya diperlukan teori-teori secara empiris tentang munculnya masyarakat
feodal, yang dinamikanya ada di dalam birokrasi kerajaan.
C. Patronase dan Paternalistik Masyarakat Kesukuan di Afrika
Paternalistik dan patronase masyarakat kesukuan di Afrika, memiliki karakteristik yang
unik dan menarik. Keterbelakangan masyarakat Afrika sebagai benua, berlangsung
sampai akhir abad ke-19. Dalam konsepsi ini, orang Barat memberinya predikat sebagai
The Dark Continent, suatu sebutan yang cukup menyakitkan bagi orang orang Afrika.
Mereka menyebut sebagai benua gelap karena Afrika secara keseluruhan baru mengenal
tulisan pada akhir abad ke-19. Padahal jika mengkaji sejarah Afrika Utara, maka di situ
terdapat Mesir yang pada abad 5000 tahun Sebelum Masehi sudah mengenal tulisan Itu
artinya ada suatu pengecualian bahwa Mesir sudah memasuki zaman sejarah sejak
sebelum Masehi. Bahkan pada zaman tersebut Mesir sudah dapat dikatakan sebagai state.
Patront-Client
Membahas patront-client berarti membahas dua bidang yaitu: (1) membahas teori
Barat yang berhubungan dengan patront-client, (2) membahas pengalaman masyarakat
dalam mengembangkan kebudayaannya sehingga terbentuk struktur masyarakat. Dari
segi teori-teori Barat, hubungan patront-client, berarti membahas teori teori
kepemimpinan R. Bendix dan Max Weber. Bendix adalah seorang pemikir Italia, yang
menjelaskan bahwa dalam masyarakat dunia selalu terdiri dari pemimpin dan orang yang
dipimpin. Yang dipimpin adalah rakyat yang selalu didominasi oleh para kaum kolonial.
Itulah sebabnya Bendix menyebut istilah sub-ordinasi, yaitu sebagai masyarakat yang
dikuasai. Oleh karena itu, menurut Bendix, pemimpin selalu mempunyai dua hal yaitu
power dan authority. Dalam kajiannya, Bendix lebih banyak menjelaskan power dan
authority masyarakat feodal di Eropa.

BAB IV (NASIONALISME INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN TATA


NEGARA INDONESIA)

Nasionalisme dalam dimensi historisitas dan normativitas, merupakan sebuah


penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling
kurang dalam dasawarsa seratus tahun terakhir. Tidak ada satu pun ruang geografis-sosial
di muka bumi yang lepas sepenuhnya dari pengaruh ideologi ini. Tanpa ideologi
nasionalisme, dinamika sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya Perang
Dingin dan semakin merebaknya konsepsi dan arus globalisme (internasionalisme) pada
dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan
informasi yang berkembang dengan sangat pesat, tidak dengan serta-merta membawa
keruntuhan bagi nasionalisme. Sebaliknya, medan-medan ekspresi konsepsi nasionalisme
menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan komunikasi sosial, politik, kultur,
dan bahkan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika
Serikat, Jerman, dan Prancis, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti India,
Cina, Malaysia, dan Indonesia. Nasionalisme tetap menjadi payung sosiokultural negara
negara manapun untuk mengukuhkan integritasnya.
Sebagai suatu paham kebangsaan, nasionalisme merupakan "ruh" sosial-kultur
untuk membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri bangsa yang
telah memiliki martabat kemerdekaan. Meskipun sering dianggap usang untuk dikaji dan
diperdebatkan dalam komunikasi ilmiah, namun sejatinya nasionalisme tidak sekadar
cukup untuk diperbincangkan dan dipertentangkan sebagaimana konsepsinya yang sering
dianggap bias, melainkan perlu suatu penghayatan yang tulus untuk ditanamkan dalam
kehidupan berbangsa, dan terinternalisasi serta terintegrasi dalam kultur kehidupan
bernegara. Apalagi dalam konteks kebangsaan Indonesia yang plural atau heterogen,
maka diperlukan ikatan ideologis yang menjadi rasa milik bersama yang bersifat kolektif.
Nasionalisme sebagai gejala historis memiliki peranan urgent pada abad ke-20
dalam proses nation formation negara-negara nasional modern di Asia dan Afrika.
Ideologi kolektif nasionalisme tersebut memiliki fungsi teleologis serta memberi orientasi
bagi suatu masyarakat sehingga terbentuk solidaritas yang menjadi landasan bagi proses
pengintegrasiannya sebagai nasion atau komunitas politik. Sebagai ideologi kebangsaan,
nasionalisme terbentuk counter-ideology terhadap kolonialisme dan imperialisme yang
sanggup menawarkan realitas tandingan serta menyajikan orientasi tujuan bagi gerakan
politik yang berjuang untuk mewujudkan realitas substantif tersebut. Dalam konsepsi ini,
pengalaman kolektif yang serba destruktif masa penjajahan menawarkan fungsi sejati
nasionalisme sebagai penyatu solidaritas baru, yang jauh melampaui fungsi ikatan
primordialnya. Nasionalisme adalah tawaran, sekaligus harapan bagi bangsa yang
menghendaki kokohnya bangunan integrasi dan kedaulatan di atas fondasi moral
humanistik.
Hubungan antara nasionalisme dan nation state, sangat erat. Nasionalisme
merupakan semangat, kesadaran, dan kesetiaan bahwa suatu bangsa itu adalah suatu
keluarga dan atas dasar rasa sebagai suatu keluarga bangsa, dan oleh karena itu
dibentuklah negara. Dalam konsepsi ini berarti negara merupakan nasionalisme yang
melembaga. Oleh karena itu, pada dasarnya nasionalisme merupakan dasar universal bagi
setiap negara. Bangsa lebih menunjuk pada penduduk suatu negeri yang dipersatukan di
bawah suatu pemerintahan tunggal yang disebut negara. Sedang negara lebih menunjuk
kepada suatu badan politik dari rakyat atau bangsa yang menempati wilayah tertentu yang
terorganisir secara politis di bawah suatu pemerintah yang berdaulat, dan/atau tidak
tunduk kepada kekuasaan dari luar.
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang
merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya (Putra dalam
Kompas Rabu, 11 Juni 2003). Tetapi secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana
definisi itu, melainkan selalu dialektis dan interpretatif, karena nasionalisme bukan
pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam
menjawab tantangan hidupnya. Dalam sejarah Indonesia dibuktikan bahwa kebangkitan
rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, karena mereka merasa
ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya. Dalam konsepsi ini,
paling kurang ada lima fase pertumbuhan nasionalisme di Indonesia yakni sebagai
berikut.
Pertama gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam dinamika sejarah
diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa
kedokteran Stovia, sekolahan anak para priayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda
di Jakarta. Mengenai tahun dan nama organisasi sebagai tonggak kebangkitan nasional
Indonesia, masih menjadi objek Perdebatan para ahli sejarah, karena Boedi Oetomo,
tidaklah menasional organisasinya, tetapi hanya melingkupi Jawa saja. Jadi, patut
pertanyakan sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia.
Kedua kebangkitan nasionalisme tahun 1928, yakni 20 tahun pasca kebangkitan
nasional, ketika kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam satu
negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para pemuda yang sudah mulai
terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong
Sumatera dan lain sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan
menyelenggarakan Sumpah Pemuda di tahun 1928.
Ketiga masa revolusi fisik kemerdekaan. Peranan nyata para pemuda pada masa
revolusi fisik kemerdekaan, tampak ketika mereka menyandera Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka sangat
bersemangat untuk mewujudkan nation state yang berdaulat dalam kerangka
kemerdekaan. Hasrat dan cita cita mengisi kemerdekaan yang sudah banyak didiskusikan
oleh Soekarno, Hatta, Soepomo, Sjahrir, dan lain sebagainya sejak mereka masih
berstatus mahasiswa, harus mengalami pembelokan implementasi di lapangan, karena
Soekarno yang semakin otoriter dan keras kepala dengan cita cita dan cara yang
diyakininya. Akhirnya, Soekarno banyak ditinggalkan teman-teman seperjuangan yang
masih memegang idealismenya, dan mencapai puncaknya ketika Hatta, sebagai salah
seorang proklamator, harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, karena tidak
kuat menahan diri untuk terus menyetujui sikap dan kebijakan Presiden Soekarno yang
semakin otoriter.
Keempat, perkembangan nasionalisme tahun 1966 yang menandai tatanan baru
dalam kepemerintahan Indonesia. Selama 20 tahun pasca kemerdekaan, terjadi huru-hara
pemberontakan Gestapu dan eksesnya. Tampaknya tanpa peran besar mahasiswa dan
organisasi pemuda serta organisasi sosial kemasyarakatan di tahun 1966, Soeharto dan
para tentara sulit bisa memperoleh kekuasaan dari penguasa Orde Lama Soekarno. Tetapi
sayang, penguasa Orde Baru mencampakkan para pemuda dan mahasiswa yang telah
menjadi motor utama pendorong terbentuknya NKRI, dan bahkan sejak akhir tahun 1970-
an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam ruang-
ruang kuliah di kampus, Sementara para tentara diguritakan ke dalam tatatan masyarakat
sipil lewat dwifungsi ABRI.
Kelima perkembangan nasionalisme masa reformasi. Nasionalisme tidak selesai
sebatas masa pemerintahan Soeharto, melainkan terus bergulir ketika reformasi menjadi
sumber inspirasi perjuangan bangsa meskipun melalui perjalanan sejarah yang cukup
panjang.

BAB V (SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MASA PEMERINTAHAN


KOLONIAL BELANDA)

Belanda merupakan salah satu negara yang sering melakukan perjalanan untuk mencari
tempat baru yang akan dijadikan sebagai target untuk menambah devisa negara. Pejabat lokal di
Amsterdam paham benar mengapa mereka perlu melakukan penjelajahan samudra, sebab yang
paling jelas adalah dari sisi geografis negara yang terletak di utara dari benua biru ini kurang
menguntungkan, hal tersebut memaksa otoritas kerajaan bekerja keras dan berpikir ekstra untuk
mendapatkan income dari sisi keuntungan finansial dengan salah satu cara penjelajahan samudra
mencari tempat baru yang akan dieksploitasi terutama dari segi kekayaan alam, terlebih lagi
diperparah dengan keadaan Eropa pasca-perang salib, kekalahan Romawi Timur dengan
jatuhnya Bizantium ke tangan Khilafiyah Utsmaniah merupakan pukulan berat untuk negara-
negara di semenanjung barat Eropa tak terkecuali Belanda.

Penguasa lokal Belanda tidak tinggal diam atas hal ini, penjelajahan samudra dan
mencari daerah lain untuk mendapatkan keuntungan agar kurs Gulden bisa selalu mengimbangi
emas merupakan harga mati yang harus dilakukan. Dalam paketan penjelajahan yang dilakukan,
bangsa ini selalu dibekali misi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang Desar untuk
bangsanya, di balik misi untuk menjelajah samudra terselip nisi lain untuk menduduki daerah
baru yang ditemukan dan menguasainya agaimanapun cara akan ditempuh. Dalam misi ini
Belanda memang ukup sukses, wilayah jajahan yang hampir setiap benua ada merupakan Dukti
nyata yang tak terbantahkan. Dalam proyek pencanangan misi tersebut negara induk dalam hal
ini adalah negeri Belanda yang di Eropa memiliki pandangan bahwa setiap daerah pendudukan
harus dikuasai secara mutlak serta harus dibentuk sebuah organisasi pemerintahan mandiri, tetapi
masih berada di bawah naungan kerajaan secara penuh, inilah yang disebut sebagai pemerintahan
negeri seberang termasuk Indonesia yang diduduki selama lebih dari 3,5 abad.

Sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk mengusai Indonesia, terutama


bangsa-angsa Barat. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang sangat strategis dan kekayaan
alamnya berlimpah-limpah. Dikatakan strategis karena Indonesia berada di persimpangan dua
samudra dan dua benua. Selain itu, Indonesia juga terletak di jalur perdagangan dunia. Di
samping tanahnya sangat subur, Indonesia juga mempunyai kandungan alam yang banyak,
seperti minyak, emas, dan tembaga. Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia,
Belandalah yang paling bernafsu menguasai Indonesia. Untuk melaksanakan tekadnya itu
Belanda mendirikan VOC. VOC adalah kongsi dagang Belanda yang mencari keuntungan
sebesar-besarnya di Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak menghiraukan kemajuan Indonesia.

Nusantara merupakan suatu wilayah yang begitu menarik perhatian bangsa-bangsa di


seluruh dunia. Sejak era pemerintahan kerajaan kerajaan kuno sampai kolonialisme dan
imperialisme modern wilayah ini selalu menjadi incaran bangsa-bangsa besar di seluruh dunia.
Romawi walaupun secara langsung belum pernah mengirimkan pasukan ke dalam wilayah ini,
akan tetapi mencoba merebut perhatian melalui bidang ekonomi yang juga berpengaruh secara
signifikan terhadap pola pengembangan perekonomian terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Mata uang Romawi begitu besar memonopoli kawasan Selat Malaka dan Semenanjung Malaya
ketika itu. Beberapa bukti yang ditemukan oleh para arkeolog menyebutkan bahwa uang koin
berlapis emas yang bergambar Julious Caesar dan Octavianus De Augusta dua raja yang
mendapat julukan "La Secundo Grande Imperatore" atau dapat diartikan sebagai dua raja
terbesar merupakan mata uang yang digunakan dalam perdagangan di sekitar Selat Malaka
ketika itu.

A. Penerapan Sistem Pemerintah Kolonial Belanda

Reglement op beleid der regering van Nederlandsch Indie merupakan peraturan dasar
ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda, dalam peraturan ini tidak mengenal desentralisasi.
Menurut reglement ini, Hindia Belanda diperintah secara sentralistik, tetapi pada pemerintahan
yang sentralistik ini dijalankan pula dekonsentrasi. Dekosentrasi adalah tugas pemerintah yang
dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat pejabat pusat yang lebih rendah
tingkatannya secara hierarkis dari masing-masing lingkungan wilayah jabatan tertentu yang
disebut daerah administratif. Daerah administratif menurut reglement ini adalah Gewest
(kemudian disebut residentie) yang masing masing selanjutnya dibagi dalam afdeeling, district
dan onderdistrict. Susunan Pemerintah Hindia Belanda yangs sentralistik berlangsung sampai
permulaan abad ke-20. Timbulnya perkembangan baru yang bermula dari suara-suara kalangan
penduduk Eropa Timur Asing dan elite Indonesia yang menyerukan agar pemerintahan disusun
secara modern. Di kalangan bangsa Belanda sendiri, timbul gerakan ethishce politiek yang
kesemuanya itu mendorong pemerintahan Kerajaan Belanda pada 1903 mengeluarkan Undang-
Undang Tentang Desentralisasi

B. Alat Kelengkapan Negara

Belanda merupakan salah satu negara kerajaan yang tergolong sudah lama di kawasan Eropa
dengan sistem ketatanegaraan yang menganut paham Eropa Kontinental yang mengacu kepada
sistem hukum Eropa daratan yang merujuk kepada kebijakan dan keputusan dari raja yang
didasarkan atas perihal birokrasi yang begitu kuat dipengaruhi oleh penguasa gereja Katolik.
Negeri ini mengonsep negara jajahannya di berbagai wilayah di belahan lain di dunia ini dengan
begitu detail dalam segala hal yang berkaitan tentang eksistensi kekuasaan Belanda. Dari segi
aturan hukum, birokrasi, dan dari segi administrasi sangat diperhatikan yang tentu dengan tujuan
utamanya adalah melindungi dan menguatkan kedudukan Negeri Bunga Tulip di tanah air.
Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, alat-alat perlengkapan Hindia Belanda sebagai berikut.

1. Gouverneur General (Gubernur Jenderal)


Pegawai tertinggi di Hindia Belanda adalah Gebernur Jenderal, yaitu pegawai yang
menjalankan pemerintahan di Indonesia selaku Wakil Raja (Onderkoning) yang mewakili
pemerintah Belanda, yang disebut juga wali Negara (Landvoogd). Pengangkatan seorang
Gubernur Jenderal dilakukan oleh raja/ratu yang peraturan pengangkatannya tercantum
dalam Koninklijk Besluit. Beberapa lamanya Gubernur Jenderal harus memegang
jabatannya tidak ditentukan dalam UU, tetapi sudah menjadi kebiasaan bahwa sesudah 5
tahun ia meletakkan jabatannya dengan diberi pensiun. Sebenarnnya yang berpengaruh
dalam pengangkatan Gubernur Jenderal adalah Menteri jajahan yang terutama
bertanggung jawab kepada parlemen Belanda, tentang pemerintahan di Indonesia yang
dijalankan oleh Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal harus orang Belanda berumur
minimum 30 tahun. Sebelum memangku jabatannya, di muka sidang terbuka Volkstraad
ia bersumpah setia kepada raja dan menurut segala pemerintahannya.

2. Raad van Indie


Raad van Indie adalah suatu badan yang berdiri di samping Gubernur Jenderal yang
bertugas untuk memberikan nasihat-nasihat kepada Gubernur Jenderal yang perlu bagi
kepentingan pemerintahan Negara. Gubernur Jenderal pada umumnya boleh meminta
nasihat kepada Raad van Indie (jadi tidak diharuskan). Namun, dalam beberapa hal ada
ketentuan bahwa Gubernur Jenderal wajib meminta nasihat Raad van Indie seperti halya
berikut ini.
a. Pembuatan perjanjian dengan raja-raja.
b. Pengangkatan kepala departemen (Regent).
c. Penyusunan rancangan-rancangan Ordonanntie
3. Dapartemen-dapartemen
Gubernur Jenderal pada perkembangannya didampingi oleh departemen (direksi) yang
masing-masing berdiri sendiri. Pada tahun 1933, terdapat 8 departemen, sebagai berikut:
Departement van Justitie (Departemen Kehakiman), Departement van Financiean
(Departemen keuangan), Departement van Binenland Bestuur (Departemen dalam
negeri), Departement van Onerwijs en Eredeinst (Departemen pendidikan dan Agama),
Departement Economische Zaken (Departemen Perekonomian). Departement Verkeer en
Waterstaat (Departemen Lalu Lintas Jalan dan Pengairan), Departement van Oorlog
(Departemen Angkatan Darat), Departement van Marine (Departemen Angkatan Laut).
4. Algemene Secretarie (Sekertariat Negara)
Merupakan lembaga penting pada masa Hindia Belanda yang bertugas mengumpulkan,
memproses, dan memproduksi informasi di Hindia Belanda. Lembaga ini merupakan
lembaga penghubung antara penguasa Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) dengan
pemerintah pusat Belanda di Hague (khususnya Kementerian Koloni). Seriusnya pihak
Belanda mengurus dan memanfaatkan arsip bahkan pada masa ketika teknologi digital
masih sangat langka. Keseriusannya menjaga dan memanfaatkan arsip adalah hal yang
masih langka dilakukan oleh Indonesia yang notabene banyak arsip penting yang
dibiarkan tak terurus dan sulit diakses publik bahkan, hilang tidak jelas rimbanya
5. Volksraad (Dewan Rakyat)
Semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16
Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur
Jenderal J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda
Thomas Bastiaan Pleyte. Awalnya, lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai
penasihat. Baru pada 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama
Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh Belanda. Karena Gubernur Jenderal memiliki hak
veto, kewenangan Volksraad sangat terbatas. Selain itu, mekanisme keanggotaan
Volksraad dipilih melalui pemilihan tidak langsung

C. Sumbangsih Pemikiran Sir Thomas Stamford Raffles (Inggris 1811-1816)

Inggris merupakan salah satu negara yang juga memiliki misi untuk menancapkan
kekuasaannya di berbagai wilayah di dunia, terbukti negeri yang terletak di sebelah utara dari
benua biru tersebut memiliki kekuasaan kolonial di hampir seluruh wilayah di muka bumi ini.
Kedudukan Inggris yang sangat kuat bisa dilihat di kawasan Asia Selatan dengan menjadikan
India sebagai tempat untuk mengembangkan dan menguatkan kekuatan kolonialisme kekhasan
kemaritiman ala Inggris. EIC atau yang merupakan kongsi dagang yang sangat kuat menguasai
perdagangan sepanjang garis pantai Hindustan sampai kepada wilayah Sri Lanka telah
memberikan warna tersendiri dalam sejarah kolonialisme dunia. Ketika Belanda mengalami
goncangan hebat sebagai imbas dari ketidakstabilan politik yang berkembang di Eropa memaksa
Negeri Bunga Tulip untuk menyerahkan kekuasaan Belanda di Nusantara kepada Inggris,
padahal secara umum Inggris merupakan kompetitor dari Belanda dalam persaingan memperoleh
dominasi perdangangan di kawasan selatan Asia

D. Peraturan-peraturan yang Diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Kehidupan


Berbangsa dan Bernegara

Menurut Soejito dan Irawan dalam bukunya Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia,
peraturan perundang-undangan dan lembaga Negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah
sebagai berikut.

1. Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938


Dalam Pasal 62 konstitusi Kerajaan Belanda tersebut ditentukan:
Ayat 1: Ratu Belanda memegang pemerintahan tertinggi atas Hindia Belanda, Suriname
dan Curacau
Ayat 2: Sepanjang dalam konstitusi atau WET wewenang tertentu tidak diberikan kepada
Ratu Belanda, pemerintahan umum dijalankan atas nama Ratu Belanda, di Hindia
Belanda oleh Gubernur Jenderal, di Suriname dan Curacau oleh Gubernur yang
ditentukan oleh WET.
Ayat 3: Ratu Belanda setiap tahun menyampaikan kepada Parlemen Belanda laporan
lengkap tentang pemerintahan dan keadaan di Hindia Belanda, Suriname, dan Curacau.
2. ndische Staatsregeling (IS)
Pada hakikatnya adalah undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur tentang
pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka
secara riil 1S dapat dianggap sebagai Undang Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat ditarik pemahaman
bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi Dengan demikian,
secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai kepala
wilayah atau alat perlengkapan pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-
bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah:
WET, adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah
Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan
kata lain, WET di dalam pemerintah Indonesia bisa disebut Undang-Undang AMVB
(Algemene Maatregedling Van Bestuur), adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota
Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur
tangan dari Parlemen. Dengan kata lain, Algemene Maatregedling Van Bestuur di
Indonesia bisa disebut Peraturan Pemerintah (PP). Ordonantie, yang dimaksud dengan
Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama
sama dengan Voolksraad (dewan rakyat Hindia Belanda) Ordonantie sejajar dengan
Peraturan daerah (perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini RV (Regering
Verardening), adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda tanpa
adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan
Gubernur

BAB VI (KETATANEGARAAN INDONESIA MASA PEMERINTAH MILITER


JEPANG)

Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942 dengan
ditandatanganinya Perjanjian Kalijati, yang di dalamnya disebutkan bahwa pemerintah Hindia
Belanda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Dengan
ditandatanganinya perjanjian tersebut, sejak tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah masa penjajahan
Belanda sekaligus dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia. Langkah selanjutnya yang
diambil oleh Pemerintah Militer Jepang adalah membentuk pemerintahan militer untuk
memobilisasi potensi rakyat Indonesia untuk mempercepat berakhirnya Perang Pasifik. Struktur
ketatanegaraan masa pemerintahan Jepang hampir sama dengan masa Hindia Belanda Pada masa
Hindia Belanda sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah sentralistik dan militeristik

A. Struktur Pemerintahan

Ketika bangsa Jepang mulai meningkatkan rencana ekspansinya ke Selatan, termasuk ke


Indonesia, salah satu persiapan penting yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang adalah
merencanakan pemerintahan di seluruh wilayah Selatan yang diduduki oleh militer Jepang. Ada
dua dokumen yang menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan militer Jepang di Indonesia
dalam kurun waktu 1942-1945. Dokumen pertama adalah "Asas-Asas Mengenai Pemerintahan di
Wilayah-Wilayah Selatan yang Diduduki" (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo) yang
disahkan dalam Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet
pada tanggal 20 November 1941. Dokumen tersebut memuat empat rencana pokok pemerintahan
pasca penguasaan daerah Selatan oleh militer Jepang

Pertama, sasaran pemerintah militer adalah (a) memulihkan ketertiban umum; (b)
mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan nasional; dan (c) menjamin
berdikari di bidang ekonomi bagi personel militer. Kedua, status terakhir wilayah-wilayah yang
diduduki dan pengaturannya pada masa depan akan ditentukan terpisah. Ketiga, dalam
pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada akan
dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi tradisional dan
kebiasaan-kebiasaan penduduk setempat. Keempat, penduduk setempat akan dibina sedemikian
rupa sehingga mempunyai kepercayaan kepada pasukan pasukan Jepang dan penggairahan
secara prematur dari gerakan-gerakan kemerdekaan penduduk setempat harus dihindarkan

Dokumen kedua adalah "Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut
Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-Wilayah yang Diduduki" (Nampo Senryochi Gyosei
Jisshi ni Kansuru riku kaigun Chuo Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam Konferensi
Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada tanggal 26 November
1941. Berdasarkan dokumen ini, Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang
secara bersama-sama akan menjalankan wewenang politiknya atas wilayah Indonesia

Dengan mengacu pada kedua dokumen itu, sejak Kapitulasi Kalijati tanggal 8 Maret
1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia.

1. Pertama, Pulau Sumatra diperintah oleh Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan
Bukittinggi sebagai markas besarnya.
2. Kedua, di Pulau Jawa Bali lahirlah pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara
Ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan Batavia (kemudian diubah namanya menjadi
Jakarta) sebagai markas besarnya.
3. Ketiga, Angkatan Laut Jepang membentuk pemerintah militer atas Pulau Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pelaksana dari pemerintahan militer ini
adalah Armada Ke-3 Angkatan Laut Jepang (kemudian berubah menjadi Armada
Wilayah Barat Daya) dengan Makassar sebagai markas besarnya.

Meskipun demikian, kalau dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Jepang, kedudukan Pemerintahan Militer Tentara Ke-16 di Pulau Jawa memiliki pengaruh
dominan atas hegemoni Jepang di Indonesia. Hal ini tidaklah terlalu aneh mengingat kedudukan
Pulau Jawa sebagai pusat aktivitas bagi seluruh wilayah Indonesia sejak zaman Pemerintah
Hindia Belanda.

B. Pemerintahan Sumatra

Pemerintahan di Sumatra dilaksanakan oleh Tentara Ke-25 Angkatan Darat Rikugun.


Tentara Ke-25 Angkatan Darat Jepang di bawah pimpinan Letjen Yamashita Tomoyuki baru
berhasil menguasai Sumatra sepenuhnya pada tanggal 12 Maret 1942. Namun, daerah-daerah
vital di pulau ini telah dikuasai oleh Tentara Ke-25 sejak tanggal 16 Februari 1942. Sebelum
Tentara Ke-25 membentuk gunseikanbu, Letjen Yamashita Tomoyuki membagi Pulau Sumatra
menjadi 10 keresidenan (syu) yang membawahkan bunsyu (subkeresidenan), gun dan son.
Kesepuluh syu itu adalah Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu,
Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka Biliton. Setiap syu dipimpin oleh syuchokan yang
dipegang oleh orang-orang Jepang.

Pada pertengahan tahun 1943, Panglima Tentara Ke-25 berhasil membentuk


gunseikanbu, yaitu staf pemerintahan militer pusat sebagai organ pelaksana pemerintahan di
Sumatra. Staf pemerintahan militer pusat ini dipimpin oleh seorang gunseikan yang dipegang
langsung oleh Panglima Tentara Ke-25. Dalam melaksanakan pemerintahannya, gunseikan
membentuk sepuluh departemen yang dikepalai oleh seorang direktur. Kesepuluh departemen itu
adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Kepolisian, Departemen Kehakiman,
Departemen Industri, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Perhubungan, Departemen Penerangan, Departemen Pemindahan dan Pengiriman, dan
Departemen Meteorologi. Kesepuluh direktur ini diawasi oleh Direktur Dalam Negeri yang
bertindak sebagai Wakil Gunseikan. Sementara itu, setiap pemerintahan syu memiliki tiga buah
departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kepolisian, dan Departemen
Kesejahteraan Sosial.
C. Pemerintahan Indonesia Timur

Pelaksanaan pemerintahan militer untuk wilayah Indonesia Timur dilaksanakan oleh


Armada Ke-3, yang kemudian menjadi Armada Wilayah Barat Daya (Nansei Homen Kantai)
angkatan laut Jepang dengan Makassar sebagai pusat pemerintahannya. Pemerintahan militer
yang dijalankan oleh Angkatan Laut ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Minseifu
(pemerintahan sipil) yang membawahkan tiga buah minseibu, yaitu: wilayah Kalimantan dengan
Balikpapan sebagai markas besarnya; Sulawesi dengan markas besarnya di Makassar; dan
Maluku-Nusa Tenggara dengan markas besarnya di Ambon. Sementara, Irian Barat (berubah
nama menjadi Irian Jaya kemudian Papua) ditempatkan dalam satu pemerintahan dengan Papua
Nugini. Penggabungan ini semata-mata dilakukan oleh Angkatan Laut Jepang karena
pertimbangan strategi mereka dalam menghadapi Perang Pasifik.

Masing-masing minseibu membawahkan syu, ken, bunken (subkabupaten), gun, dan son.
Sebelum bulan Agustus 1942, beberapa orang Indonesia memegang jabatan tinggi. Akan tetapi,
sejak bulan Agustus 1942 jabatan yang dipegang oleh orang-orang Indonesia hanya terbatas
sampai gunco dan kenco.

D. Pemerintahan di Jawa

Roda pemerintahan atas Pulau Jawa dilaksanakan oleh Tentara Ke 16 Angkatan Darai
Jepang dengan pusat pemerintahannya di Jakarta. Sehari sebelum Kapitulasi Kalijati, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 1942, Panglima Tentara Ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Pasal
1. Osamu Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang menjadi pokok dari berbagai peraturan tata negara pada
waktu pendudukan Jepang. Undang-undang tersebut antara lain memuat hal-hal sebagai berikut.

Pasal 1: Bala tentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-
daerah yang ditempatinya agar mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.

Pasal 2: Pembesar bala tentara Nippon memegang kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi
dan segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan gubernur jenderal.

Pasal 3: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang undang dari pemerintahan
terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer.
Pasal 4: Bala tentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai
yang setia kepada Nippon.

E. Organisasi Jepang

Dalam rangka melakukan mobilisasi rakyat Indonesia, langkah pertama yang dilakukan
oleh Saiko Shikikan adalah membentuk organisasi Gerakan Tiga A yang dijiwai oleh semboyan
Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia pada 29 April 1942
yang dipimpin oleh Mr. Sjamsudin, seorang nasionalis kurang terkenal. Tujuannya adalah
sebagai upaya menanamkan tekad penduduk agar berdiri sepenuhnya di belakang pemerintah
militer Jepang Meskipun demikian, usia dari Gerakan Tiga A tidak lama. Pemerintah Militer
Jepang menganggap gerakan ini tidak efektif dalam upaya mengerahkan bangsa Indonesia untuk
kepentingan perang Jepang sehingga pada bulan Desember 1942 gerakan ini dibubarkan oleh
Saiko Shikikan.

Pada tanggal 9 Maret 1943, Pemerintah Militer Jepang meresmikan berdirinya Poesat Tenaga
Rakjat (Poetera) di bawah pimpinan "Empat Serangkai", yakni Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Kewajiban Poetera adalah memimpin rakyat untuk
bersama-sama menghapus pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda; mengambil bagian dalam
usaha mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Jepang-Indonesia;
mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang; serta membina dan memusatkan potensi
bangsa Indonesia untuk kepentingan perang Jepang. Poetera mempunyai pimpinan pusat dan
pimpinan daerah, yang masing masing dibagi-bagikan atas penjabatannya yaitu, Penjabatan
Susunan Pembangunan, Penjabatan Usaha dan Budaya, dan Pejabatan Propaganda. Pimpinan
tingkat daerah itu sesuai dengan tingkat daerah yaitu pimpinan Syu, Ken, dan Gun
(Poesponegoro & Notosusanto 1990:19-20). Meskipun di bawah pengawasan yang sangat ketat,
para pemimpin Poetera dapat memanfaatkan gerakan ini untuk mempersiapkan bangsa Indonesia
mewujudkan kemerdekaannya. Para pemimpin Poetera berusaha menanamkan nasionalisme
kepada bangsa Indonesia.
BAB VII (TERBENTUKNYA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA)

A. Kondisi Sosial-Politik di Indonesia Setelah KMB

Adanya halangan psikologis, ternyata masih ditambah realitas politik yang berkembang
saat itu. Dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (RI) yang
sesungguhnya tidak lebih dari satu di antara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih
tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi RI tidak bergantung kepada RIS.
Hal itu lebih diperparah lagi, dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara
bagian, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pasundan yang lebih menaati aturan-aturan dari
Ibu Kota RI Yogyakarta dibandingkan terhadap Jakarta. Keadaan itu sering kali menimbulkan
administrasi ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai negeri sipil yang
berusaha mengatur teritorial yang sama dengan dua aturan yang sangat mungkin berbeda.

Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan


negara-negara bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya
tidak pernah diakui oleh Pemerintah RI di Yogyakarta. Tindakan yang kemudian diambil oleh
Pemerintah RI adalah mendirikan pemerintahan bayangan di negara negara bagian, mulai dari
desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi RI di daerah yang
kemudian dikenal sebagai Bijenkomst voor Federaal Overleg (BFO) ini, dikirim uang ORI
(Oeang Republik Indonesia). Dengan tindakan itu, secara ekonomis dan politis, RI masih eksis di
wilayah BFO (Swasono 1980:184-187). Faktor lainnya adalah prestise RI yang tinggi karena
dianggap sebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin
meningkat dengan terjaminnya law and order di wilayah RI, kelancaran administrasi
pemerintahan, dan korupsi yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara bagian
lainnya

B. Gerakan Pembubaran Negara Federal di Daerah

Negara bagian yang memelopori pembubaran pemerintahannya adalah Pasundan.


Tindakan itu dilakukan bahkan sebelum Pemerintahan RIS resmi terbentuk dan berkuasa di
Indonesia. Jadi, di Pasundan gerakan menentang bentuk federal sudah dilakukan bahkan ketika
negara Indonesia belum resmi berbentuk federal. Kemunculan gerakan anti negara federal
dimulai dengan adanya resolusi dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan
wilayahnya dengan RI. Keadaan itu sebagian besar disebabkan kurang mampunya Pemerintah
Pasundan untuk memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Situasi itu mendorong
adanya resolusi dari Indramayu yang di antaranya ditujukan kepada Presiden RI dan ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat. Isi resolusi itu mendesak Pemerintah RIS supaya sebelum
pengakuan kedaulatan selekas mungkin mengubah status Jawa Barat menjadi daerah RI dengan
cara menghapus Negara Bagian Pasundan. Tindakan itu dilakukan supaya keadaan di Jawa Barat
aman tenteram. Resolusi itu muncul berdasarkan kejadian di desa-desa yang keamanannya tidak
terjamin. Hal itu membuktikan bahwa Negara Bagian Pasundan tidak dapat menjamin keamanan
dan ketenteraman rakyatnya.

Keadaan itu semakin memperkuat posisi kaum republikan di Parlemen Pasundan. Dimotori oleh
Oli Setiadi dan Dr. Hasan Nata Begara Cs, mereka mendesak parlemen agar Negara Pasundan
dibubarkan saja (Sewaka 1955:171). Dengan kondisi politik yang seperti itu, akhirnya melalui
Keputusan Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan untuk
menggabungkan Negara Pasundan ke dalam Negara RI. Keputusan itu kemudian disahkan
dengan lahirnya Surat Keputusan RIS No. 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa
wilayah Pasundan termasuk ke dalam Negara RI. Pemerintah RIS di Jawa Barat kemudian
diganti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh M.
Sewaka, yang sebelumnya bertugas sebagai Komisaris RIS di Pasundan

C. Peleburan Federal Menjadi Negara Kesatuan

Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elite yang ada di
NIT dan NST untuk berunding dengan pemerintah RIS Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5
Mei 1950 diadakan perundingan antara PM RIS, M. Hatta, Presiden NIT Sukawati, dan PM NST
DI Mansyur Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada
tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatra Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian,
Dewan Sumatra Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat NST
dileburkan ke dalam RIS bukan ke dalam RI. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar
penduduk Sumatra Timur, tetapi PM. Hatta mendukung Dewan NST Keputusan Hatta itu
didasari situasi di Sumatra Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan RI. Hatta berpikir
bahwa apabila diambil jalan penggabungan NST langsung ke dalam RI, mungkin dapat
mendorong para bekas KNIL yang saat itu masih menjadi anggota batalion keamanan NST untuk
memberontak sebagaimana tindakan yang teman-temannya di Ambon diambil

Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai
tindak lanjut diadakan perundingan antara PM RIS, Hatta yang mewakili NIT beserta dengan
NST di satu pihak dan PM RI, A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya
persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 di antara kedua belah pihak untuk membentuk NKRI.
Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana
yang dikehendaki seluruh rakyat Indonesia

Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi
RIS. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam RIS (RI akan
menjadi satu-satunya negara bagian dari RIS sehingga RIS akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas
anggota KNIL. Di samping itu, ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar
negeri. Jika seluruh negara bagian bergabung dengan RI, maka akan timbul kesulitan.
Persoalannya adalah RI yang masih eksis adalah RI sebagai negara bagian RIS(sebagai akibat
persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah RIS yang telah
dilikuidasi. Dengan perkataan lain, proses kembali dari RIS ke NKRI melalui cra ini berarti
peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah
negara baru. Oleh karena itu, agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secara yuridis
maka pembubaran RIS harus dihindari.

Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi RIS. Jadi,
secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS sebagai negara federal menjadi negara berbentuk
kesatuan. Melalui cara itu, terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional. Apabila
RIS dibubarkan dan digantikan oleh RI sebagai negara bagian dalam tubuh RIS, maka negara
baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal. Hal
itu disebabkan RI sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional.
Akan lain persoalannya apabila RIS berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan
ada permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja,
bukan negaranya.
BAB VIII (KETATANEGARAAN INDONESIA TAHUN 1945-1949)

Indonesia merupakan negara yang paling bersejarah karena mempunyai sejarah yang
sangat hebat dalam melakukan perjuangan terhadap kemerdekaan. Sejarah inilah yang sangat
kita butuhkan untuk menjadi negara yang hebat, karena negara yang hebat itu adalah negara yang
bisa mempelajari sejarah yang terjadi pada negara tersebut pada sistem pemerintahan Indonesia
tahun 1945-1949 adalah berisi seputar badan-badan negara. Pada periode ini, yang menjadi
konstitusi negara adalah Undang-Undang Dasar 1945. Memang awal mula kemerdekaan adalah
menggunakan UUD 1945 (pada periode ini dari 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1949). Pada saat kemerdekaan, dipilihlah presiden dan wakil presiden dari persetujuan kawan-
kawan pembela kemerdekaan yaitu yang sebagai presiden adalah Ir. Soekarno dan wakilnya
adalah Drs. Mohammad Hatta. Presiden dan wakilnya menjabat dari awal periode sampai 19
Desember 1948. Jabatan ketua PDRI diduduki oleh Syafrudin Prawiranegara pada 19 Desember
1948-13 Juli 1949. Pada periode ini, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Karena
pada saat itu, bertujuan untuk mempersatukan wilayah negara yang dijajah oleh Belanda dengan
cara menyatukannya. Selain bentuk negara, pemerintahannya juga berbasis republik.

Secara umum, terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 1945 antara lain:

1. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan
wewenang MPR.
2. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer
berdasarkan usul BP-KNIP. Pada masa ini, lembaga lembaga negara yang diamanatkan
UUD 1945 belum dibentuk, karena UUD 1945 pada saat ini tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya mengingat kondisi Indonesia yang sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan
Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, diputuskanlah bahwa
KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk, pada tanggal
14 November 1945 dibentuklah Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang
pertama. Peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih
demokratis.

Pada era perjuangan kemerdekaan, situasi dan kondisi politik Indonesia belum stabil. Masih
terjadi pergolakan politik pasca proklamasi kemerdekaan dan melawan upaya-upaya penjajahan.
Dalam era perjuanagan kemerdekaan terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil
menjadi parlementer. Terjadi 9 kali perombakan kabinet dalam kurun waktu 4 tahun (1945-
1949).

1. 1945-1945 Presidensial: Presiden Ir. Soekarno

2. 1945-1946 Syahrir 1: Perdana Menteri Sutan Syahrir

3. 1946-1946 Syahrir II: Perdana Menteri Sutan Syahrir

4. 1946-1947 Syahrir III: Perdana Menteri Sutan Syahrir

5. 1947-1947 Amir Syarifuddin I: Perdana Menteri Amir Syarifuddin

6. 1947-1949 Darurat:Perdana Menteri S. Prawiranegara

7. 1948-1949 Hatta I: Perdana Menteri Moh. Hatta

8. 1949-1949 Hatta II: Perdana Menteri Moh. Hatta

A. Sistem Pemerintahan Masa Kepemimpinan Ir. Soekarno

Pada awal kemerdekaan, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.


Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 maka Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dan
dibantu oleh menteri-menteri sebagai pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada tanggal 12 September 1945
dibentuklah Kabinet Presidensial (Kabinet RI I) dengan 12 departemen dan 4 menteri negara.
Selain itu, wilayah Indonesia yang begitu luas dibagi menjadi 8 provinsi dan 2 daerah istimewa
yang masing masing wilayah dipimpin oleh gubernur.

Sistem Presidensial pernah berganti Sistem Parlementer, dengan kepala pemerintahan


dipimpin oleh Perdana Menteri Perdana Menteri Pertama Indonesia adalah Sutan Syahrir.
Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia pada saat itu adalah pengaruh kuat dari kaum
sosialis (KNIP). Selain itu, Indonesia pada awal kemerdekaan juga masih belajar tentang
bagaimana menjalankan pemerintahan. Dengan sistem parlementer ini maka Indonesia saat itu
memiliki DPR yang anggotanya dipilih oleh rakyat. Sistem ini juga memungkinkan adanya
banyak partai. Maksud dari sistem ini adalah untuk membatasi kewenangan presiden. Jika pada
sistem presidensial kabinet bertanggung jawab kepada presiden maka sistem parlementer,
Presiden bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Karena sering mengalami kegagalan kabinet
dan banyak menimbulkan gerakan-gerakan pemberontakan yang menyebabkan stabilitas negara
terganggu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret pada 5 Juli 1959 yang isinya antara lain
mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 dan bentuk pemerintahan kembali ke sistem
presidensial.

B. Sistem Pemerintahan Kabinet Syahrir I

Syahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan RI yang merupakan jembatan untuk


mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari
kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan
bangsa dari genggaman feodalisme, dan menuju pendewasaan bangsa.

C. Sistem Pemerintahan Kabinet Syahrir II

Setelah kabinet Syahrir I runtuh, soekarno meminta pihak oposisi untuk membentuk
kabinet baru. Namun, karena heterogenitas yang tinggi dalam komposisi pihak oposisi sendiri,
komitmen di antara mereka hilang. artinya pihak oposisi terpecah-pecah dengan kepentingan
kelompoknya masing-masing terutama pascaruntuhnya kabinet Syahrir. Tan Malaka kesulitan
mengonsolidasikan kembali pihak oposisinya, termasuk ketika mengadakan pertemuan kembali
pada 15 Maret 1946 di Madiun. Grup grup beraliran kiri menyatakan diri keluar dari
persekutuan.

D. Sistem Pemerintahan Kabinet Syahrir III

Pada pertengahan bulan Agustus 1946, KNIP yang bersidang di Yogyakarta membuat
usulan tentang perubahan Kabinet Syahrir yang kedua menjadi kabinet koalisi, yang bertanggung
jawab pada KNIP Berhubung keadaan sudah mulai normal kembali, pada 2 Oktober Maklumat
Presiden No. 1 tahun 1946 dengan harapan kabinet dan badan resmi lainnya dapat bekerja
kembali. Untuk menanggapi usul KNIP presiden menunjuk Syahrir untuk ketiga kalinya sebagai
formatur kabinet koalisi. Pada tanggal 2 Oktober diumumkan kabinet koalisi baru di bawah
Perdana Menteri Syahrir.

E. Sistem Pemerintahan Kabinet I, II Amir Sjarifuddin

Kabinet Amir Sjarifuddin adalah kabinet Indonesia pada masa era Kemerdekaan periode
kabinet ini dari 3 Juli 1947-11 November 1947. Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada
bulan Juli, pengganti Syahrir sebagai perdana menteri ialah Amir Sjarifuddin. Berikut susunan
Kabinet Amir Sjarifiddin (Maulwi 2001:63).

F. Sistem Pemerintahan Syafruddin Prawiranegara

Pemerintahan darurat Republik Indonesia periode 22 Desember 1948-13 Juli 1949


dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan kabinet darurat, sesaat
sebelum pemimpin Indonesia saat itu Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19
Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara untuk mmembentuk pemerintahan sementara.

G. Sistem Pemerintahan Kabinet Moh. Hatta I dan II

Kabinet Hatta Pertama atau Kabinet Hatta I adalah kabinet ketujuh yang dibentuk di
Indonesia. Kabinet ini dibentuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, atas perintah Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948, hari yang sama saat kabinet sebelumnya dinyatakan
bubar. Kabinet ini bertugas pada periode 29 Januari 1948-4 Agustus 1949. Hatta dipandang
memiliki kedudukan yang kuat baik ke luar dalam bidang diplomasi maupun ke dalam untuk
menyatukan berbagai pertikaian partai politik. Kebijakan Hatta terbukti mampu menyatukan
partai-partai politik sehingga Kabinet Hatta merupakan Kabinet yang tidak dapat dijatuhkan oleh
kekuatan-kekuatan di luar parlemen meskipun kabinet ini mendapat oposisi yang hebat dari
sayap kiri.
BAB IX (KETATANEGARAAN INDONESIA PADA MASA KONSTITUSI RIS 1949-
1950)

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik". Sebagai negara kesatuan, negara Republik Indonesia hanya ada satu
kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Tidak ada pemerintah negara bagian seperti yang berlaku
di negara negara serikat (federasi). Kepala negara dijabat oleh presiden yang dipilih melalui
pemilu, bukan berdasar keturunan. Kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi
"Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat". Sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi "Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar". Pasal
tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial Presiden
sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana
tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan
kepada DPR. Lembaga-lembaga tertinggi negara menurut UUD 1945 sebelum amandemen
adalah sebagai berikut.

1) MPR
2) Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) DPR
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 6. Mahkamah Agung (MA)

A. Latar Belakang Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat


Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Belanda masih nerasa mempunyai
kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu Negara bekas ajahan masih di bawah kekuasaan
Kerajaan Belanda, dengan alasan berikut ini.
1. Ketentuan Hukum Internasional. Menurut Hukum Internasional suatu
wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti
bahwa Hindia Belanda yang diduduki oleh bala tentara Jepang masih
merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, setelah
Jepang menyerah, kekuasaan di Hindia Belanda adalah Kerajaan
Belanda sebagai pemilik/penguasa semula.
2. Perjanjian Postdan, yaitu pernjajian diadakan menjelang berakhirnya
Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara Sekutu dengan pihak
Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah
Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga
negara ini akan dikembalikan kepada penguasa semula.

Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda pada tanggal 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan Linggajati) yang antara lain
menetapkan hal-hal berikut ini.

a. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra, di
wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah
b. Belanda.Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS. Belanda dan
Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda

Selain itu, Hasil perundingan ini sesungguhnya merugikan bangsa Indonesia karena
kedaulatan wilayah Indonesia semakin sempit. timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda
Indonesa mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda.

a. Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga
hubungan luar negeri/internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
b. Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama
Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan
oleh Indonesia.
c. Belanda meminta dibuat polisi bersama, tetapi Indonesia menolak. Akibat adanya
penafsiran ini, terjadi Clash I (Agresi Militer I) pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II
(Agresi Militer II) tanggal 19 Desember 1948.
B. Sistem dan Perkembangan Ketatanegaraan Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai
Muatan Konstitusi RIS
1. Sifat Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
2. Sistematika dan isi pokok konstitusi RIS
3. Daerah negara republik Indonesia serikat
4. Perbedaan pokok antara UUD 1945 dengan Konstitusi RIS
5. Bentuk negara republik Indonesia serikat
6. Alat perlengkapan Negara
7. Sistem pemerintahan Republik Indonesia serikat
8. Hubungan negara dengan rakyat
C. Faktor-faktor Penyebab Runtuhnya Negara
Republik Indonesia Serikat Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949,
perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang federalistik a tersebut
dilakukan rakyat semakin kuat. Rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang
unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-
tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor kesamaan pemikiran
ini beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia. Hal
ini dibenarkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat; LN No. 16 Tahun
1950 mulai berlaku 9 Maret 1950. UU Darurat tersebut sebagai pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 44 konstitusi RIS. "Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula
masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada,
hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah-sungguhpun sendiri bukan daerah bagian
menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU federal, dengan menjunjung asas-asas
seperti tersebut dalam Pasal 43, dan sekadar hal itu mengenai masuk atau
menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan"

BAB X (INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959))

A). Pengertian Demokrasi

Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang
berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi, dalam demokrasi, rakyatlah yang berkuasa. Setelah
Perang Dunia II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Di
antara semakin banyak aliran pemikiran yang menamakan dirinya sebagai demokrasi, ada dua
aliran penting, yaitu demokrasi konstitusional dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya
"demokrasi" namun pada dasarnya menyandarkan dirinya pada komunisme. Demokrasi yang
dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan.
Mengenai sifat dan cirinya masih terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada
perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami tiga
periodisasi penerapan demokrasi.

1. Demokrasi Liberal (1950-1959)


2. Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
3. Demokrasi Pancasila (1966-sekarang)
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori
kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang
Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat.
Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding bandingkan dengan
demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.

B). Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)

Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3
November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang
meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai
1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu
(PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering
menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-
ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut.
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.
3. Presiden bisa dan berhak. membubarkan DPR. 4. Perdana Menteri diangkat oleh
Presiden.
KELEBIHAN

Buku ini memiliki sampul yang tebal,memiliki halaman pada daftar isi sehingga pembaca dapat
mengetahui dimana letak materi yang mereka cari, tulisannya rapid an kertas yang berkualitas,
identitas kedua penulis juga lengkap dan memiliki profil agar pembaca bisa mengenal penulis
buku ini.

KEKURANGAN

Buku ini tidak memiliki catatan kaki sehingga pembaca sulit untuk mencari referensinya dan
penulis tidak menuliskan indeks pada buku.

KESIMPULAN

Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau nasion di
masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus
menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya
atau sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya.
Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah
kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian
atau identitasnya.

Berdasarkan pernyataan tadi, dapat diambil beberapa butir kesimpulan antara lain:

1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah pada umumnya, dan
sejarah nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup secara komprehensif segala
aspek kehidupan bangsa yang terwujud sebagai tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha
atau kerjanya mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya, meningkatkan taraf
hidupnya, menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial, politik, religius, dan menghayati
kebudayaan politik beserta ideologi nasionalnya, kelangsungan masyarakat dan
kulturnya.
2) sejarah nasional mencakup segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya,
subkulturnya. Sejarah nasional mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem
hukum adatnya, bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai