Anda di halaman 1dari 5

Negara

Muhammad Azhar Shiroth Mustaqim

Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant. Sesuatu yang sempurna adalah dari
bagian – bagiannya. Merupakan pernyataan dari Cicero, seorang filsuf romawi terkenal dalam
bukunya yang Bernama “De Re Republica”. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa kesempurnaan
yang dimaksud ialah suatu entitas tergantung pada integritas, keselarasan, dan keseimbangan
komponen – komponennya. Sehingga kesempurnaan dapat diakui jika semua bagian – bagiannya ada
dan berfungsi dengan baik.

Manusia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial, yang memiliki
kecenderungan ilmiah untuk berkelompok dan hidup dalam seuatu komunitas atau kelompok sosial.
Prof. Suko Wiyono dalam pengantar di buku ilmu negara karya Prof. Isrok menyebutkan, dalam
perkembangan kelompok sosial, ia akan berevolusi mengikuti perkembangan sosial budaya dimana
suatu kelompok tersebut menjalankan kehidupannya. Semakin maju tingkat sosial budaya nya,
semakin maju dan kompleks pula bentuk komunitas sosialnya. Saat ini komunitas sosial tersebut
adalah negara. Teguh Ilham, Dosen Institut Pemerintahan dalam Negeri, dalam kuliah umumnya
pada tanggal 1 juni 2021 menjelaskan bahwa pada awalnya entitas politik sebelum adanya istilah
negara ialah Kerajaan, kekaisaran, atau kota. Ciri – ciri dari entitas politik tersebut ialah seringkali
diatur secara personal dan sangat terdesentralisasi, sehingga entittas dibawahnya tidak diatur oleh
entitas yang lebih kuat yang dalam hal ini ialah negara modern. Lalu Ia juga tidak memiliki fitur
terstruktur dan formal negara, terutama otoritas kedaulatan untuk mengatur penduduk di wilayah
tertentu yang tak sekompleks seperti saat ini. Setelah mengalami perkembangan, munculah istilah
negara. Ide modern tentang negara muncul ketika abad ke keenam belas dan kedelapan belas yang
dimana mulai sering digunakan pada menjelang akhir periode tersebut. Istilah negara atau state
berasal dari bahasa latin status yang berarti kondisi atau cara berdiri. Soetomo dalam “Ilmu negara”
(1993) juga menambahkan bahwa “negara” berasal dari bahasa Sanskerta “Nagiri” atau “Nagara”
yang berarti kota. Sehingga secara luas dapat diartikan bahwa negara dalam modern memiliki
kompleksitas didalamnya dan merupakan kesatuan sosial yang diatur secara institusional untuk
mewujudkan kepentingan bersama.

Definisi negara bersifat dinamis. Muhammad Junaidi dalam “Ilmu Negara, Sebuah Kontruksi
Ideal Negara Hukum” (2016) menyebutkan bahwa hal tersebut karena definisi negara bergantung
kepada konteks Sejarah, budaya, dan ideologi. Hotma Pardomuan Sibuea dalam “Ilmu Negara”
(2014) menjelaskan bahwa ada beberapa cara untuk memahami definisi negara. Pertama dengan
pendekatan linguistik, dan kedua dengan pendekatan doktriner atau doktrin dari pakar. Pendekatan
linguistik bertujuan untuk memahami definisi negara dengan membahas konsep – konsep negara
yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Yakni melalui istilah – istilah yang digunakan untuk
menggambarkan pengertian dari negara.

Prof. Isrok dalam “Ilmu Negara” (2012) menyebutkan bahwa pada zaman kuno (600 SM-400
SM) negara adalah kumpulan manusia, dimana negara harus selaras dengan manusia dan manusia
harus selaras dengan alam. Lalu pada zaman peradaban Yunani, Aristoteles dalam “Politica”
menjelaskan bahwa negara hanya sebatas wilayah kecil yang disebut sebagai polis, yang dalam
Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai negara-kota. Pemikiran tersebut berasal dari socretes, guru
dari plato, yang menjelaskan bahwa polis lahir dari manusia yang menginginkan keamanan dan
ketentraman lalu membangun benteng dan berkumpul menjadi satu kelompok. Sehingga saat itu
sistem pemerintahan bersifat demokratis dengan rakyat ikut andil dalam pembuatan kebijakan. Hal
tersebut dapat dilakukan karena hanya merupakan kota kecil dan rakyat yang sedikiti, sehingga
kepentingan rakyat tidak banyak (Soehino 1980 : 15). Ketika abad ke 17, merujuk pada Muhammad
Junaidi dalam “Ilmu Negara, Sebuah Kontruksi Ideal Negara Hukum” (2016) mengungkapkan tiga
sarjana terkemuka pada saat itu, yakni Thomas Hobbes, John Locke, dan Rouseeau memberikan
definisi negara sebagain sebuah perjanjian masyarakat akibat dari keadaan alamiah (statue of nature)
yang kemudia perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum didalamnya. Saat ini, merujuk pada
Muhammad Junaidi pada buku yang sama, Definisi negara tidak bisa hanya didefinisikan sebagai
sebuah perjanjian oleh masyarakat. Lebih dari itu, negara merupakan perjanjian masyarakat yang
mendapat pengakuan negara lain, kejelasan dalam wilayah negara, adanya penduduk dan legitimasi
pemerintahan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan
Patricia Leopold dalam Constitutional and Administrative Law (2001) yang menyebutkan bahwa ada
4 unsur pokok negara. Yakni (i) a definite territory, (ii) population, (iii) a government, dan (iv)
sovereignity. Hal ini menurut Prof. Soehino dalam “Ilmu negara” (1998) menjadi pengertian formil
suatu negara. Ini juga diperkuat dengan pernyataan Prof. Isrok dalam “Ilmu Negara” (2006) yang
menjelaskan bahwa negara dalam arti formil adalah negara yang ditinjau dari aspek kekuasaan,
negara sebagai organisasi kekauasaaan dengan suatu pemerintahan pusat dan pemerintahan
tersebut menjelma sebagai aspek formil negara.

Pendekatan doktriner dalam memahami definisi negara bertujuan untuk memahami konsep
negara dnegan bertitik tolak dari definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu kenegaraaan, ilmu
politik, sosiologi, ataupun ilmu hukum. Nasroen dalam “Asal Mula Negara” (1986) memberikan
definisi negara dari sudut pandang sosiologis yakni “negara adalah suatu bentuk pergaulan hidup dan
oleh sebab itu harus ditinjau secara sosiologis agar sesuatunya dapat jelas dan dipahami”. Definisi
tersebut dijelaskan oleh Hotma P. Sibuea dalam “Ilmu Negara” (2014) dengan “ Negara sebagai
suatu pergaulan hidup baik sebagai suatu paguyuban, pertembayan, atau kombinasi dari keduanya
adalah suatu organisasi yang secara sengaja dibentuk oleh sekelompok anggota masyarakat demi
mencapai tujuan bersama”. Disisi lain, Miriam Budiarjo dalam “Dasar – dasar ilmu politik” (2008)
menjelaskan bahwa negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan – tujuan dari kehidupan bersama itu. Lebih jelasnya ia menyatakan bahwa negara adalah
organisasi pokok dari kekuasaan politik. Harold J. Laski dalam “The State in Theory and Practice”
(1935) mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia
yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan mereka bersama.
Masyarakat merupakan negara jika cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun
masyarakat didasarkan kepada wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.

Dari ketiga pendapat ahli tersebut dapat kita pahami bahwa definisi dari negara itu sendiri
berbeda – beda. Namun menurut Prof. Soehino dalam “Ilmu Negara” (1998) yang menjadi objek
ilmu negara itu adalah negara dalam pengertiannya yang umum – abstrak – universil. Yakni yang
dinamakan negara itu adanya hanya dalam alam pikiran, dalam angan – angan, artinya kita
memikirkan adanya sesuatu, sesuatu itu kemudian kita angkat ke alam pikir, dan disinilah kita
membayangkan adanya apa yang dinamakan negara itu. Lebih lanjut, Prof. Soehino menjelaskan
dengan perumpamaan sebuah Gedung. Sebuah Gedung jika dipelajari pasti terdapat banyak bagian
yang menyongsong didalamnya. Seperti tangga, lantai, tiang, dinding, pintu, atap, dan sebagainya.
Bagian – bagian tersebut sebenarnya telah menjadi apa yang dinamakan Gedung tadi, dan tentunya
juga sudah menjadi suatu kesatuan dan suatu keutuhan. Sebab kalau bagian – bagian tersebut hanya
tertumpuk saja, maka tidak ada sifat keteraturan dan kesatuan dan tidak dapat disebut sebagai
sebuah negara. Perumpamaaan tersebut dinyatakan sebagai syarat negara secara materiil oleh Prof.
Soehino. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Prof. Isrok dalam “Ilmu Negara”(2006) yang menyebutkan
bahwa negara secara materiil adalah negara sebagai Persekutuan hidup. Maksutnya ialah bahwa
negara adalah perkumpulan orang yang saling membutuhkan dan bekerja secara bersama – sama
dalam mencapai tujuan bersama dalam lingkup wilayah tertentu.

Pengertian – pengertian tersebut akan mengarah kepada suatu ilmu yang menjadikan negara
sebagai objek. Yakni ilmu negara. Ilmu negara menurut Prof. Isrok dalam “Ilmu negara” (2006) terdiri
dari kata “ilmu” dan “negara”. Ilmu merupakan pengetahuan atau kepandaian, baik yang termasuk
jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan alam dan sebagainya. Sementara negara
telah dijelaskan secara lengkap di awal. Sehingga ilmu negara adalah ilmu yang mempelalajari atau
menyelidiki negara. F. Isjwara dalam “Pengantar Ilmu Politik” (1980) menyebutkan bahwa terdapat
beberapa metode yang dipergunakan ilmu negara dalam proses penyelidikan pada umumnya. Antara
lain :

1. Metode Induksi
Suatu metode yang merupakan kesimpulan – kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan
proses pemikiran, setelah mempelajari peristiwa – peristiwa khusus atau konkrit
2. Metode Deduksi
Suatu Metode berdasarkan atas asas – asas umum yang dipergunakan untuk menerangkan
peristiwa – peristiwa khusus atau konkrit
3. Metode Dialektis
Suatu metode dengan tanya jawab untuk mencari pengertian tertentu. Pencetus dari metode
ini ialah Socrates dan dikembangkan oleh Frederich Hegel sehingga timbul tiga macam unsur,
yakni :
a. These (dalil)
b. Anti These (anti dalil)
c. Synthese (Jalan Tengah)
4. Metode Filosofis
Suatu metode yang menyelidiki masalah – masalah fundamental di dalam ilmu yang diselidiki
dan berusaha menjelaskan sesuai essensi – essensi dan arti dari objek yang diselidiki dan
dihubungkan dengan suatu ide abstrak yang menjadi pedoman dari penyeldiikan tersebut.
Metode ini bertindak deduktif dan spekulatif, bahkan adakalanya bersifat metafisis.
5. Metode perbandingan
Dengan mendasarkan pada perbandingan antara 2 objek atau lebih dengan tujuan untuk
menambah dan memperoleh pengetahuan tentang objek – objek yang diselidiki, baik
persamaan maupun perbedaan. Biasanya metode ini didasarakan pada metode deskripsi,
analisis, dan evaluasi
6. Metode Sejarah
Didasarkan terhadap analisis dan kenyataan Sejarah baik pertumbuhan dan perkembangan
7. Metode Sistematik
Dengan menghimpun bahan yang sudah ada dan diuraikan dengan analisis lalu
diklasifikasikan dalam golongan tertentu.
8. Metode Hukum
Menitik beratkan kepada segi hukum (yuridis) sedangkan non yuridis dikesampingkan.
9. Metode Sinkretis
Meninjau serta membahas objek penyelidikan dengan menggabungkan factor yuridis dan
non yuridis.
Dari pengertian negara serta metode yang digunakan ilmu negara dalam melakukan
penyelidikan, dapat dipahami bahwa dalam memahami suatu negara atau memutuskan negara itu
adalah negara merupakan hal yang cukup kompleks. Dalam hal ini dapat kita lihat dalam analisis
terhadap negara Republik Demokratik Kongo.

Central Intelligence Agency dalam World Factbook menjelaskan bahwa Republik Demokratik
Kongo adalah nama baru dari negara yang dulunya Bernama Republik Zaire pada masa kekuasaan
diktator Mobutu Sese Seko. Negara ini terletak di kawasan Afrika tengan dengan wilayah seluas
2.345.409 km. Negara bekas jajahan Belgia tersebut merdeka pada tanggal 30 Juni 1960. Pada
pemilihan umum parlemen, partai Mouvement National Congolais(MNC), yang dipimpin oleh Patrice
Lumumba, memenangkan parlemen tersebut, dan menjadikannya Perdana Menteri. Sedangkan
Joseph Kasavubu dari partai Alliance des Bakongo (ABAKO) terpilih sebagai Presiden. Setelah
memperoleh kemerdekaannya Belgian Congo merubah nama menjadi Republik Kongo. Pada 5
September 1960, terjadilah perselisihan antara Kasavubu dan Lumumba, antara Presiden dan
Perdana Menteri, yang menyebabkan terjadinya krisis nasional di Republik Kongo. Joseph Mobutu
yang merupakan kepala staff dari angkatan bersenjata Kongo ( Armee Nationale Congolaise (ANC)),
memanfaatkan situasi tersebut. Dia mulai mencari dukungan dari pihak militer untuk dapat merebut
kekuasaan. Akhirnya pada tahun 1965, Joseph Mobutu berhasil meng-kudeta pemerintahan yang
dijalankan oleh Kasavubu. Joseph Mobutu mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, karena dia
menyatakan menentang pemerintahan komunis dan menolak ideology itu untuk dapat masuk ke
dalam wilayah Afrika. Oleh karena itu dia mendapatkan dukungan dari Dunia Barat. Setelah
memenangkan kudeta tersebut Mobutu segera membentuk sistem satu partai di Republik Kongo dan
dia sebagai Presidennya. Pada tahun 1966, Mobutu mengganti nama Negaranya menjadi Republik
Demokratik Kongo, agar dapat di bedakan dengan Republik Kongo yang berada di wilayah Barat. Lalu
pada tahun 1971, Mobutu kembali mengganti nama negaranya menjadi Zaire. Namun selama masa
pemerintahannya, banyak sekali terjadi pemberontakan dari rakyat karena Mobutu yang
menerapkan pemerintahaan otoriter dengan kediktatoran yang kuat. Pergolakan tersebut akhirnya
semakin menguat hingga Joseph Kabila, oposisi terkuat ketika masa Mobotu, terpilih sebagai
presiden Republik Demokratik Kongo (RDK) pada bulan Agustus 1998, dan ini merupakan simbol
kemenangan rakyat bagi Negara yang terletak di Afrika Bagian tengah ini untuk menggulingkan dan
mengakhiri kediktatoran seorang pemimpin negara. Selama lebih dari 32 tahun, semasa masih
bernama Zaire, negara ini berada dalam cengkeraman kekuasaan rezim otoriter dibawah
kepemimpinan Presiden Mobutu (1965 – 1997). Mobutu dikenal sebagai pemimpin diktator di Zaire,
negara yang kini berubah nama menjadi Republik Demokratik (RD) Kongo.

Jika kita menggunakan metode dialektis dalam memahami negara Republik Demokratik
Kongo sebagai sebuah negara. Maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Republik Demokratik
Kongo adalah sebuah negara. Seperti yang diketahui bahwa definisi negara terdapat yang formill dan
materiil. Secara formil negara adalah susunan pemerintahnya. Secara materill negara adalah sebagai
Persekutuan hidup. Dalam kasus Republik Demokratik Kongo, negara tersebut memiliki susunan
pemerintahan namun tidak stabil sebagai Persekutuan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya konflik yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya yang menyebutkan bahwa Republik
Demokratik Kongo telah mengalami ketidakpastian keabsahan penguasa, ditandai dengan sering
terjadinya pergolakan sehingga timbul pergantian penguasa, sehingga dinilai tidak memenuhi arti
materiil dari negara. Namun jika melihat dari arti formiil, Republik Demokratik Kongo sudah
memenuhi definisi dari negara. Karena dari struktur pemerintahannya, walau tak stabil tetaplah ada.
Ditambah RDK telah memenuhi aspek negara sesuai dengan yang disebutkan oleh O. Hood Phillips,
Paul Jackson, dan Patricia Leopold dalam Constitutional and Administrative Law (2001). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Republik Demokratik Kongo adalah sebuah negara.
Berdasarkan uraian diatas telah jelas bahwa objek atau pokok pembahasan dari ilmu negara
adalah “negara”. Apabila dihubungkan dengan ilmu yang lain, akan ditemukan banyak sekali ilmu –
ilmu lain yang membicarakan tentang “negara”. Terlebih Prof. Isrok dalam “Ilmu Negara” (2006)
menyebutkan bahwa ilmu negara adalah mata kuliah pengantar atau atau mata kuliah persiapan
yang erat berkaitan dengan ilmu lain. Prof. Lintje Anna dalam “Ilmu negara” (2018) menyebutkan
beberapa ilmu yang berkaitan dengan ilmu negara. Diantaranya:

1. Hukum Tata negara


Hukum Tata Negara berarti memandang ilmu negara dalam pengertian yang konkret –
khusus – statis yang meliputi penyelidikan terhadap hal – hal yang lebih khusus.
2. Hukum Administrasi Negara
Berfungsi mengamati dan mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan
3. Ilmu Politik

Anda mungkin juga menyukai