Anda di halaman 1dari 15

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di akhir kekuasaan rezim Orde Baru, pernah muncul polemik dan


perdebatan di kalangan akademisi seputar konsep atau pandangan negara
Integralistik. Polemik itu berupa implikasi dari konsep negara
integralistik Soepomo terhadap sistem demokrasi di masa Orde Baru.
Kerangka berpikir yang berkembang secara dominan berpendapat bahwa
penafsiran tentang konsep negara integralistik tanpa disadari telah
melahirkan rezim otoritarian yang dibungkus secara apik oleh Orde Baru
dalam Demokrasi Pancasilanya.
Perdebatan itu memunculkan aneka versi pandangan terhadap
sosok dan pemikiran filosofis Soepomo ini. Ada yang menilainya secara
negatif dengan mengatakan bahwa konsep negara integralistik itu
merupakan benih subur bagi berkembangnya kekuasaan yang otoriter
dari para penguasa selama kurun waktu yang panjang itu. Akan tetapi,
ada juga yang membela Soepomo. Mereka menyatakan bahwa konsep
negara integralistik itu sesuai dengan jati diri Indonesia tanpa
memaksudkan akan lahirnya sistem kekuasaan yang otoriter.
Pemikiran Soepomo tentang konsep negara integralistik atau
paham negara kekeluargaan menurut banyak pihak sangat berpengaruh
dalam perumusan UUD 1945. Tanggal 31 Mei 1945, di Gedung Chuo
Sangi In di jalan Pejambon 6 Jakarta, Soepomo berpidato di hadapan
sidang umum BPUPKI. Soepomo dalam pidato yang cukup panjang itu
menguraikan tiga teori yang bisa dipilih sebagai dasar dan prinsip negara
yang akan dibentuk. Pertama, ia menyebut teori perseorangan atau teori
individualistik. Kedua, Soepomo “menawarkan” teori pertentangan kelas
atau teori golongan .Ketiga, Soepomo mengajukan teori yang ia sebut
sebagai teori atau konsep negara integralistik yang didasarkan pada ide

1
2

Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Menurut Soepomo, integralistik


berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan
masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya,
segala golongan, segala bagian, semua individu berhubungan erat satu
sama lain. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara
pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya.
Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran
ketimuran. Lagi menurutnya, pemikiran ini juga didasarkan pada struktur
sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di
Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan
kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur sosial Indonesia meliputi aliran
pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya bersifat
persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar
dan dunia batin. Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan
antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo
sebagai ide atau konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan
antara rakyat dan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat
gotong- royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa
Indonesia. Hakekat republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar
dengan unsur dan wawasan yang modern.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan teori Integralistik ?


2. Apa maksud dari Indonesia Sebagai Negara Integralistik?
3. Apa hubungan antara teori Integralistik dengan Pancasila?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari makalah ini, yaitu
1. Untuk mengetahui pengertian teori Integralistik
2. Untuk mengetahui maksud dari Indonesia Sebagai Negara Integralistik
3

3. Untuk mengetahui hubungan antara teori Integralistik dengan


Pancasila
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari makalah ini, yaitu
1. Memahami pengertian teori Integralistik
2. Memahami maksud dari Indonesia Sebagai Negara Integralistik
3. Memahami hubungan antara teori Integralistik dengan Pancasila
2 BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Integralistik

“Integralistik” berasal dari kata “Integral”, berarti mengenai


keseluruhan, meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap,
utuh, bulat, sempurna, tidak terpisahkan, terpadu. Integralistik memiliki
makna yaitu merupakan satu keseluruhan. Teori Integralistik merupakan teori
yang menjelaskan bahwa Negara adalah tidak untuk menjamin kepentingan
seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat
seluruhnya sebagai persatuan. Paham integralistik ingin menggabungkan
kemauan rakyat dengan penguasa (negara). Paham integralistik beranggapan
bahwa negara didirikan bukan hanya untuk kepentingan perorangan atau
golongan tertentu saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat
negara yang bersangkutan.Tanggal 31 Mei 1945, di Gedung Chuo Sangi In di
jalan Pejambon 6 Jakarta, Soepomo berpidato di hadapan sidang umum
BPUPKI. Soepomo dalam pidato yang cukup panjang itu menguraikan tiga
teori yang bisa dipilih sebagai dasar dan prinsip negara yang akan dibentuk.
Pertama, ia menyebut teori perseorangan atau teori individualistik.
Teori ini diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Herbert
Spencer dan Laski. Menurut teori ini, negara adalah masyarakat hukum yang
disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat demi
menjamin hak-hak individu di dalam masyarakat.
Kedua, Soepomo “menawarkan” teori pertentangan kelas atau teori
golongan sebagaimana diajarkan oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Dalam
teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan yang kuat untuk
menindas golongan yang lemah.
Ketiga, Soepomo mengajukan teori yang ia sebut sebagai teori atau
konsep negara integralistik yang didasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller
dan Hegel. Menurut Soepomo, integralistik berarti negara tidak untuk

4
5

menjamin kepentingan individu. Bukan pula untuk kepentingan golongan


tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhya sebagai satu
kesatuan yang integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat
yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala golongan,
segala bagian, semua individu berhubungan erat satu sama lain. Pemikiran ini
didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip
persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini
cocok dengan alam pikiran ketimuran. Lagi menurutnya, pemikiran ini juga
didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat
di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan
ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur sosial Indonesia meliputi
aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya bersifat
persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar dan
dunia batin. Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan antara
rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide atau
konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan
pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong- royong dan
kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Hakekat republik
Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan yang
modern.
Ciri-Ciri Tata Nilai Integralistik
1. Bagian atau golongan yang terlibat berhubungan erat dan merupakan
kesatuan organis„
2. Eksistensi setiap unsur hanya berarti dalam hubungannya dengan
keseluruhan
3. Tidak terjadi siatusi yang memihak pada golongan yang kuat atau yang
penting
4. Tidak terjadi dominasi mayoritas dan tirani minoritas
5. Tidak memberi tempat bagi paham individualisme, liberalisme dan
totaliterisme
6

6. Yang diutamakan keselamatan maupun kesejahteraan, kebahagiaan


keseluruhan (bangsa dan negara)
7. Mengutamakan memadu pendapat daripada mencari menangnya sendiri„
8. Disemangati kerukanan, keutuhan, persatuan, kebersamaan, setia
kawan,gotong royong
9. Saling tolong menolong, bantu membantu dan kerja sama
10. Berdasarkan kasih sayang,pengorbanan, kerelaan
11. Menuju keseimbangan lahir batin, pria dan wanita, individu dan
masyarakat serta lingkungan.
2.2 Indonesia Sebagai Negara Integralistik

Negara Indonesia merupakan negara yang berbentuk negara kesatuan.


Para founding fathers telah menetukan arah masa depan yang akan dijalankan
oleh bangsa Indonesia. Pada saat dibentuknya Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) cikal bakal negara nantinya
berbentuk apa telah menjadi salah satu pokok pembicaraan para aktor
BPUPKI tersebut. Diantaranya adalah Muhammad Yamin, Soepomo dan
Soekarno yang menyampaikan gagasan mereka. Konsep negara integralistik
atau paham negara ‘kekeluargaan’ pertama kali dikemukakan oleh seorang
ahli hukum adat yaitu, Prof. Dr. Mr. R. Soepomo SH. di Sidang Pertama
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
disebut juga dengan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai pada tanggal 31 Mei
1945. Paham integralistik dalam kehidupan bernegara mengasumsikan negara
kesatuan Republik Indonesia sebagai patron yang dengan sendirinya
mengayomi clien, rakyat indonesia
Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara
integralistik itu, tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan,
akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan.
Segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri
akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri sebagai bagian
organik dari negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus
oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada
pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil; itu semuanya
7

akan tergantung daripada "doelmatigheid", berhubungan dengan waktunya,


tempatnya dan juga soalnya.Misalnya soal ini, pada masa ini, dan pada
tempat ini lebih baik diurus oleh pemerintah daerah. Sedangkan soal itu, pada
masa itu, dan tempat itu lebih baik diurus soleh pemerintah pusat. Jadi dalam
negara totaliteratau integralistik, negara akan ingest kepada segala keadaan,
hukum negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-
golongan yang bermacam-macam adanya ditanah air kita itu. Dengan
sendirinya dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar,
banyak soal-soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah
daerah. Sekian tentang bentuk susunan negara.
Di akhir kekuasaan rezim Orde Baru, pernah muncul polemik dan
perdebatan di kalangan akademisi seputar konsep atau pandangan negara
Integralistik, yaitu
Polemik dalam Sidang BPUPKI
Soepomo mencoba meyakinkan para hadirin bahwa negara yang
merupakan kesatuan masyarakat organis, yang tersusun secara integral, di
mana negara bertujuan menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai
kesatuan, adalah konsep yang hendaknya menjadi pilihan bersama.Adalah
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin yang menurut banyak ahli menjadi
penentang serius dari konsep negara yang diajukan oleh Soepomo ini. Mereka
berdua menuntut agar hak warga negara dijamin oleh Konstitusi. Hatta dan
Yamin mengungkapkan kekhawatirannya akan konsep Soepomo, karena
menurut mereka ide itu memberi celah bagi munculnya negara kekuasaan.
Argumentasi Hatta dan Yamin ini akhirnya melahirkan “kompromi” yang
hasilnya bisa kita simak dari pasal 28 UUD 1945. Isinya menjamin
kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapat. Kendati kadarnya masih minimal, kompromi itu menjadi
pengakuan paling tua dari konstitusi Indonesia atas hak-hak warga negara.
Polemik Akademis Sampai Akhir Kekuasaan Orde Baru
Konsep negara integralistik mendapat kritikan tajam dari beberapa
pakar hukum tata negara. Para pengkritik tersebut di antaranya adalah J. H. A.
Logemann, Ismail Suny, Yusril Ihza Mahendra dan Marsilam Simanjuntak.
8

Kritik-kritik mereka terutama berkisar pada pidato Soepomo di sidang


BPUPKI. Para akademisi ini mengungkapkan bahwa konsep negara
integralistik memang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
negara, khususnya kepala negara dalam kehidupan kenegaraan dan
pemerintahan Indonesia.
Pendapat J.H.A. Logemann
Logemann adalah pakar hukum pertama yang mengkritik pandangan
integralistik Soepomo. Logemann menyatakan bahwa konsep negara
integralistik itu pada hakekatnya tidak lain daripada konsep negara organik.
Logemann meragukan kemungkinan keberhasilan dari struktur desa yang
agraris itu jika dipindahtangankan (overgeplant) ke dalam struktur negara
modern. Menurutnya, pidato Soepomo tidak memperhatikan faktor perubahan
sosial akibat perkembangan struktur ekonomi dari agraris ke industri di
negara-negara modern. Ia menganggap bahwa struktur desa Indonesia akan
tetap langgeng karena struktur itu merupakan struktur asli masyarakat
Indonesia. Menurut Logemann ini merupakan suatu pandangan yang utopis.
Kritik Logemann yang paling penting adalah ketika ia melihat bahwa
dalam pidato Soepomo tidak disinggung tentang kedaulatan rakyat.
Logemann menyatakan bahwa rupanya dalam konstruksi ini, kehendak rakyat
tidak memerlukan jaminan khusus maupun organ khusus. Dengan demikian,
menurut Logemann sudah jelas bahwa pemimpin negara yang bertugas
memelihara keselarasan (de harmonie) memperoleh kedudukan yang paling
kuat. Dengan begitu maka sikap otorianisme dan totalitarianisme akan
berkembang.
 Pendapat Ismail Suny
Kritik berikutnya dilancarkan oleh Ismail Suny. Ia mengambil sikap
tidak sepakat dengan anggapan bahwa UUD 1945 menganut pandangan
integralistik Soepomo karena beberapa alasan. Pertama, dengan berlandaskan
pada pendapat Logemann, Suny menyatakan bahwa meski pengaruh
integralistik Soepomo dalam UUD 1945 tidak dapat dipungkiri, namun orang
tidak boleh mengatakan bahwa UUD 1945 terlalu didominasi oleh
Soepomo. Kedua, Ismail Suny menyatakan bahwa kedaulatan rakyat yang
9

oleh Soepomo dikatakan terjelma dalam diri pribadi Presiden dan bukan
dalam DPR dalam hal pembentukan undang-undang, telah luput karena
pendapat seorang anggota Panitia Kecil.
Pendapat itu menyatakan bahwa bahwa tanpa adanya persetujuan
yang diharuskan antara presiden dan parlemen tentang suatu undang-undang,
kedaulatan rakyat tidak cukup terjamin. Ketiga, Ismail Suny mengatakan
bahwa dengan masuknya asas kedaulatan rakyat ke dalam UUD 1945 dan
terdapatnya pasal-pasal mengenai hak-hak asasi manusia, maka pandangan
integralistik Soepomo itu telah ditolak.
Pendapat Marsilam Simanjuntak
Kritik Marsillam Simanjuntak terhadap konsep Soepomo dimulai
dengan mengungkapkan kemungkinan alasan munculnya paham integralistik
di masa Orde Baru. Ia beranggapan bahwa paham integralistik di masa Orde
Baru menjadi alat legitimasi untuk menjelaskan sistem politik pemerintahnya
yang tidak menganut kebebasan. Itu dipakai pula untuk meredam tuntutan hak
asasi manusia. Konsep ini sekaligus memberi dasar dan peran pemerintah
yang luas dalam rangka stabilisasi politik pada periode setelah Soekarno.
Dengan meninjau pandangan Hegel dan membandingkannya dengan
pidato Soepomo, Marsilam sangat yakin akan adanya unsur Hegelian dalam
pandangan integralistik yang dikemukakan Soepomo. Walaupun yang
dikatakan Soepomo tidak banyak dan belum bisa diraba di mana terjalinnya
prinsip-prinsip negara menurut Hegel, namun ia sudah melihat
semacam countour Hegelian yang mulai nampak samar-samar. Ini tampak
dalam sebagian implikasinya, seperti antara lain dari kata-kata Soepomo,
“persatuan masyarakat organis,” “penghidupan bangsa seluruhnya,”
“kepentingan seluruhnya, bukan kepentingan perseorangan.” Dengan
kesimpulan tersebut, Marsilam menguraikan unsur-unsur Hegel yang terdapat
dalam staatsidee Soepomo. Misalnya di bidang bentuk negara, Soepomo tidak
berkeberatan Negara Indonesia dipimpin oleh raja dengan hak turun-temurun
sekalipun. Di bidang kedaulatan rakyat Soepomo tidak menjelaskan letak
kedaulatan rakyat dalam konsep staatsidee-nya. Dan di bidang hak-hak warga
10

negara Soepomo juga secara tidak langsung “menentang” jaminan hak-hak


dasar warga Negara dalam UUD.
Marsilam Simanjuntak berkesimpulan bahwa konsep pandangan
integralistik Soepomo memang mengandung ajaran Hegel. Dalam
perkembangannya, konsep negara integralistik itu secara nyata tidak tahan uji
terhadap asas-asas demokrasi, terutama asas kedaulatan rakyat yang
kemudian masuk ke dalam UUD 1945. Dalam proses penyusunan UUD 1945,
secara praktis usul Soepomo tersebut telah ditampik dan boleh dikatakan
gugur.
 Pendapat Yusril Ihza Mahendra
Kritiknya diawali dengan mengetengahkan pendapat bahwa acuan
yang lebih tepat untuk memahami pemikiran Soepomo adalah pidatonya
tanggal 16 Juli 1945, bukan pidatonya tanggal 31 Mei 1945. Dalam pidato
terakhirnya ini, Soepomo menunjukkan suatu kompromi yang sangat longgar
dengan cara menampung berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh
dalam sidang-sidang BPUPKI sebelumnya.
Menurut Mahendra, uraian awal Soepomo dalam pidato tanggal 16
Juli 1945 memang masih mengandung jiwa pidatonya yang tertanggal 31 Mei
1945, walau ia tidak lagi menggunakan istilah “integralistik.” Akan tetapi,
dalam uraian-uraian berikutnya, Soepomo sudah bersikap akomodatif dan
kompromistis terhadap aspirasi dan pendapat dari golongan lain. Menurut
Mahendra, Soepomo telah bersifat akomodatif dengan ide kedaulatan rakyat
yang tidak disinggungnya dalam pidato tanggal 31 Mei 1945. Soepomo
mengatakan, “Oleh karena itu, sistem negara yang nanti akan terbentuk
dalam undang-undang dasar haruslah berdasarkan kedaulatan rakyat dan
berdasar atas permusyawaratan perwakilan.”
Selanjutnya dinyatakan oleh Mahendra bahwa Soepomo yang membayangkan
desa sebagai sesuatu yang ideal merupakan suatu reduksi yang abstrak.
Idealisasi desa itu cenderung mengabaikan aneka kelemahan yang mungkin
dimiliki oleh kepala desa. Ia juga mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih
tinggi, yang justru cenderung eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa.
Selain itu, juga mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan
11

oposisi terhadap kepala desa yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan


pribadi tertentu.

Konsep negara integralistik Soepomo menurut penulis memang


multitafsir. Artinya, orang bisa saja mengatakan bahwa di dalamnya
terkandung benih-benih otoritarianisme dan totalitarianisme yang
memungkinkan pemimpin negara berkuasa secara inkonstitusional. Akan
tetapi, jelas Soepomo tidak menghendaki hal itu terjadi. Oleh sebab itu, ia
dengan lapang dada mengakomodir dan bersikap kompromistis (seperti yang
dikemukakan beberapa pakar) terhadap usulan agar diakuinya hak-hak dasar
rakyat dalam UUD 1945. Hanya saja dalam hal ini penulis tidak sependapat
dengan ide yang mengatakan bahwa dengan masuknya ide kedaulatan rakyat
berarti ide Soepomo telah gugur atau ditolak. Proses kompromi adalah
indikasi nyata dari kebulatan tekad, kesatuan pendapat dan kedewasaan
pribadi serta ideologi para pendiri negara untuk mendirikan dan membentuk
Indonesia yang merdeka. Dengan demikian, maka tidak ada lagi Soepomo,
Soekarno, Hatta, Yamin dan sebagainya. Yang ada hanyalah Indonesia
merdeka.
Pemahaman Integralistik Indonesia Tidak sama dengan Paham Integralistik
ala Jerman
Paham integralistik ala jerman menimbulkan disiplin mati (kadaver
discipline) yang menumbuhkan negara kekuasaan totaliter.
ciri khas     : du bist nicht deine volk ist alles
artinya       : bahwa kamu sebagai orang seseorang tidak ada artinya, yang
penting adalah bangsa.

Paham integralistik yang diungkapkan oleh Supomo dikombinasi dengan


pemikiran Bung Hatta menghasilkan Paham INTEGRALISTIK ala
INDONESIA.
ciri khas     : kepentingan masyarakat diutamakan, namun harkat dan martabat
manusia dihargai.
ciri dan paham integralistik ini dapat dijumpai di kehidupan desa
2.3 Hubungan Antara Teori Integralistik dengan Pancasila
12

Paham Integralistik berakar pada keanekaragaman budaya bangsa


namun hal itu justru mempersatukan dalam suatu kesatuan integral yang
disebut Negara Indonesia. Pancasila sebagai asas kerohanian bangsa dan
negara Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu asas kebersamaan, asas
kekeluargaan serta religius. Dalam pengertian inilah maka bangsa Indonesia
dengan keanekaragamannya tersebut membentuk suatu kesatuan integral
sebagai suatu bangsa yang merdeka.Bangsa Indonesia yang membentuk suatu
penelitian hidup dengan mempersatukan keanekaragaman yang dimilikinya
dalam suatu kesatuan integral yang disebut negara Indonesia. Bangsa
Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu penjelmaan dari sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam pengertian
yang demikian ini maka manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang
saling tergantung, sehingga hakikat manusia itu bukanlah total individu dan
juga bukan total makhluk sosial.
Dengan pengertian ini paham integralistik memberikan suatu prinsip
bahwa negara adalah suatu kesatuan integral dari unsur yang menyusunnya,
negara mengatasi semua golongan bagian-bagian yang membentuk negara,
negara tidak memihak pada suatu golongan betapapun golongan tersebut
sebagai golongan terbesar. Paham integralistik yang terkandung dalam
Pancasila meletakkan azas kebersamaan hidup, mendambakan keselarasan
dalam hubungan antara individu maupun masyarakat. Dalam pengertian ini
paham negara integralistik tidak memihak kepada yang kuat, tidak mengenal
dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal tirani minoritas. Maka
didalamnya terkandung nilai kebersamaan, kekeluargaan, ke “Bhinneka
Tuggal Ika”an, nilai religius serta selaras.
Berdasarkan pengertian paham integralistik tersebut maka rincian pandangan
tersebut adalah sebagai berikut :

1. Negara merupakan suatu susunan masyarakat yang integral.


2. Semua golongan bagian, bagian dan anggotanya berhubungan erat satu
dengan lainnya.
3. Semua golongan, bagian dan anggotanya merupakan persatuan masyarakat
yang organis.
13

4. Yang terpenting dalam kehidupan bersama adalah perhimpunan bangsa


seluruhnya.
5. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan atau perseorangan.
6. Negara tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat.
7. Negara tidak hanya untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan
saja.
8. Negara menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu
kesatuan integral.
9. Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
3 BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Integralistik memberikan suatu prinsip bahwa negara adalah suatu


kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya, negara mengatasi
semua golongan bagian-bagian yang membentuk negara, negara tidak
memihak pada suatu golongan betapapun golongan tersebut sebagai golongan
besar.
Dalam perjalan waktu untuk menemukan data atau bukti tentang istilah
‘negara integralistik’ tidak dapat ditemukan dalam sumber-sumber
kepustakaan ilmu negara, hukum tata negara mapun sejarah. Kecuali,
didapatkan dalam pidatonya Prof. Mr. Dr. R. Supomo didepan sidang
Dokuritsu Junbi Cosakai, pada tanggal 31 Mei 1945 di Jakarta.
Supomo tentu tidak mengacu pada rumusan [empiris] seperti tatkala
menyebut totaliter, meskipun pendekatan kolektif atau kebersamaan, yaitu
unsur supremasi masyarakat (community) terhadap hak-hak individu,
memang menjadi dasar bertolaknya. Ini di capai melalui peniadaan (Asas)
pemisahan kekuasaan dan kebebasan lembaga peradilan, kewenangan polisi
rahasia yang mengatasi lainnya, pengawasan negara terhadap semua lembaga
umum maupun pribadi dan suatu mekanisme pengadilan politik yang ketat
3.2 Saran
Globalisasi yang tak terelakkan, serta perkembangan teknologi yang
membuat dunia menjadi tanpa batas, harus direspon dengan jawaban yang
tepat pula. Maka Indonesia harus menyesuaikan dengan kondisi nyata dan
panggilan jaman; menjadi satu dengan rakyatnya; dan tidak berpihak pada
golongan tertentu, akan selalu relevan hingga masa mendatang.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://lina-embun.blogspot.co.id/2011/11/integralistik-kehidupan-nasional.html

http://noercholish-rustam.blogspot.co.id/2012/12/konsep-tentang-pandangan-
negara.html

http://simplenews05.blogspot.co.id/2014/01/penjelasan-mengenai-teori-
integralistik.html

http://infoadasemua.blogspot.co.id/2014/11/paham-intergralistik-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai