Dalam pengantar kuliah ini sudah ditegaskan bahwa sosiologi politik, untuk
sebagian, dipahami sebagai studi tentang Negara dan kekuasaan politik (Maran,
2014). Negara merupakan institusi sosial yang menjalankan kekuasaan politik.
Sementara kekuasaan merupakan esensi dari praktik kenegaraan. Karena
kedudukannya yang istimewa dalam masyarakar, negara memiliki otoritas atau
wewenang untuk mengambil kebijakan, memberikan perintah, mengatur, dan
menentukan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Tentu praktik ini berkaitan
dengan kekuasaan politik Negara.
Negara merupakan organisasi kekuasaan. Gambaran ini tidak keliru. Karena Negara
memonopli kekuasaan politik dalam suatu masyarakat. Tidak hanya kekuasaan
politik, melainkan juga ekonomi, pertahanan, dan budaya.
Meskipun eksistensi Negara semakin digerogoti, peran dan kekuasaan politik
Negara semakin penting. Di barat orang berbicara tentang 'welfare states' dan
'party states' di Timur semakin ditantang. Debat politik kontemporer diselubingi
oleh gambaran tentang Negara yang memfitnah dan secara potensial menjadi
dahsyat. Hanya melampuai Negara, tampaknya, kehidupan individual manusia yang
patut dan bermartabat dimulai.
Menkritik ekses, ketidakefisienan, dan ketidakadilan Negara, altrnatif-alternatif
dalam kaitannya dengan konstruksi 'free market' dan 'civil society' di mana
pluralitas kelompok, organisasi, dan individu-individu berainteraksi. Perhatian ini
parallel dengan teori sosial, dimana para analis telah menantang teori-teori pluralis
liberal (liberal pluralist) dan deterministic ekonomi (economic determinist) tentang
kekuasaan (power), dan berpendapat bahwa bentuk spesifik (the specific form of
the State) merupakan sesuatu yang krusial dan penting, tidak hanya dalam rangka
memahami relasi-relasi geo-political, melainkan juga bentuk-bentuk modern
menjalankan kekuasaan atas teritori-teritori nasional.
Dalam pengertian yang lebih luas, terdapat beragam definisi tentang Negara, KBBI
mengartikan Negara dalam dua pengertian berikut:
1. Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. (Pemerintahan)
2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya. (Masyarakat)
Negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan poltiis
(India, Jepang, Cina, Malaysia, dll). Kedua, lembaga pusat yang menjadi satu
kesatuan politis tersebut; menata, dan dengan demikian menguasai wilayah
tersebut. Pengertian ini menunjuk pada kekuasaan lembaga yang menjamin
kesatuan politis tersebut.
Negara adalah organisasi politik dengan pemerintahan sentralistik yang
memonopoli penggunaan kekuasaan yang legitim dalam batas geografis
tertentu. (Wikipedia).
Pada abad 19, bentuk-bentuk negara modern mulai bermunculan dengan dasar yang
tidak lagi didasarkan pada penaklukan melainkan atas dasar keinginan masyarakat
lokal (indigenous people) untuk merdeka, serta peletakan batas-batas geografis yang
makin jelas. Di situ negara yang bari muncul mulai memiliki kontrol yang jelas atas
wiayah dan penduduknya. Pada era ini juga, kedaulatan negara atas kekuasaan dan
wilayah ditentukan oleh komunikasi, relasi, dan interaksi antar negara dalam lingkup
internasional. Kita menyebutnya sebagai negara multinasional.
Dengan demikian negara tidak muncul begitu saja melainkan terbentuk dari proses
yang panjang. Studi antropologi politik menunjukkan bahwa dalam era pra-sejarah
(pres-historic), masyarakat hidup tanpa negara (stateless societies). Masyarakat ini
dicirikan dengan tidak adanya otoritas yang terkonsentrasi, tidak adanya ketimpangan
ekonoi, dan dengan demikian juga kekuasaan poltik. Tetapi dalam era neolitik yang
kemudian mucul dengan mulai hidup menetak dan perkembangan dalam bidang
pertanian, kultur ekonomi, budaya, dan politik berubah. Populasi pun meningkat. Divisi
dan spesialisasi kerja pun tak terhindarkan. Stratifikasi sosial mulai terbentuk Hak atas
kepemilikan pribadi atas tanah dan hewan. Di sini bentuk kekuasaan yang sentralistik
diperlukan untuk menjamin kehidupan sosial. Negara muncul sebagai kelas yang
mengatur kekayaan dan privilese sebagai subordinasi dari monarki. Kelas yang
mengatur (the rulling class) itu tidak lain dari negara. Tetapi negara yang sintralistik itu
dikembangan untuk mengatur sistem sosial yang lebih luas dan meregulasi praktik
ekonomi yang semakin kompleks. Bentuk-bentuk negara yang paling kuno tampak pada
kebudayaan mesopotamia yang dianggap sebagai lokasi awal peradaban dengan kota-
kota yang tersentralisasi. Di era ini semkain berkembang divisi kerja, konsentrasi
kekayaan pada kapital, ketimpangan distribusi kekayaan, adanya kelas pemerintah,
komunitas dibentuk berdasarkan tempat kediaman dari pada kekeluargaan (pertalian
darah).
Negara modern mulai terbentuk sekitar abad 16. Homogenisasi kultural dan nasional
menandari munculnya sistem negara modern dengan basis organisasi nasional. Konsep
negara nasional (national state) sinonim dengan negara nasional (nation state) yang
memproklamirkan nasionalisme dan menekankan kesamaan simbol dan identitas yang
dianut bersama.
Tetapi negara dalam arti modern sesungguhnya baru berkembang dalam abad 18,
terutama di Eropa. Di era ini negara menyertakan masyarakat untuk aktif dalam
pemecahan problem sosial; otoritas negara diakui bahka memiliki kekuasaan memaksa
terhadap mereka. Pengakuan otoritas negara meruntuhkan legitmasi tradisional dari
otoritas religius atau karismatik dan digantikan oleh aturan yang dientukan bersama
(kedaultan rakyat), serta kompleksitas organisasi (birokrasi). Di era ini pula, pengaruh
perkembangan teknologi terutama persenjataan untuk melawan ancaman dari luar;
peningkatan produksi demi kesejahteraan; meningkatnya populasi, dan semakin
kompleks dan sentralisasinya negara, tak terhindarkan. Secara kultural, berlangsung
perubahan dari otoritas monarki dan beralih ke otoritas negara modern. Negara moder
mulai menata diri dengan pembentukan undang-undang, menarik pajak,
mengupayakan kesejahteraan warga negara, pertumbuhan ekonomi, kekuatan militer,
kolonialisasi-ekspansi internasional, hubungan internasional, revolusi industri, menjamin
hak milik, kekuasaan yang berdaulat dan sentralistik.
Dalam negara modern, tipe otoritas legal, menggantukan otoritas tradisional, dan
karismatik. Di sini peran pemerintah pun menjadi semakin kompleks, diantaranya:
Peran pemerintahan/negara:
1. Regulatif:membuat undang-undang hukum untuk mengatur relasi, prilaku,
tertib sosial, dan jaminan agar pihak yang kuat tidak memaksakan kehendak
kepada yang lemah.
2. Protektif: perlindungan fisik, mental, moral, harta, kekayaan bagi warga
negara melalui aparat keamanan.
3. Asistif: membantu meneuhi kebutuhkan ekonomi dan sosial warga negara,
terutama yang paling membutuhkan seperti sarana-sarana umum,
kebutuhan ekonomi, sekolah, fasilitas prosuki, dan jaminan kesejahteraan
sosial.
4. Produktif: meningkatkan pendapatan, produksi, kemajuan ekonomi, sumber
daya fisik dan sosial, serta industrialisasi.
5. Humanistik (HAM): memastikan penghormatan dan penegakan keluhuran
martabat manusia dengan menegakkan HAM, terutama mereka yang miskin,
teralienasi, dan didiskriminasi. Negaa memastikan bahwa praktik kekuasaan
tidak curang, diktator, totalitarian, dan tiran.
Seperti perbedaan antara negara dan pemerintahan, begitu juga negara dan negara-
bangsa. Secara konseptual, negara dapat dibedakan dari ‘bangsa” (nation). Bangsa
(nation) menunjuk pada komunitas kultural-politik sekelompok orang. Kesamaan
kultural, tradisi, dan sejarah itulah yang mengikat kesatuan mereka sebagai bangsa.
Sementara negara (state), lebih menunjukkan pada kesatuan dan organisasi formal
yang didasarkan pada tatanan normatif-positif hukum.
Antonio Gramsci percaya bahwa masyarakat sipil (civil society) merupakan lokus utama
aktivitas politik karena pada masyarakat sipil itulah pembentukan identitas, perjuangan
ideologi, aktivitas dan kajian intelektual, dan konstruksi hegemoni berlangsung.
Masyarakat sipil merupakan jantung yang menghubungkan ruang ekonomi dan politik.
Memunculkan tindakan kolektif dari masyarakat sipil itulah yang disebut Gramsi
sebagai sebagai ‘political society’. Masyarakat ini dibedakan dari pandangan tentang
negra yang disebut ‘polity’. Ia mengatakan bahwa politik bukanlah ‘proses managemen
politik satu-arah” melainkan bahwa aktivitas-aktivitas organisasi sipil mengkondisikan
aktivitas-aktivitas partai-partai politik dan institusi negaran, dan sebaliknya dikondisikan
oleh mereka.
Jurgen Habermas berbicara tengan ‘ruang publik’ (‘public sphere’) yang berbeda dari
ruang ekonomi dan politik. Berhadapan dengan peran banyak kelompok sosial dalam
perkembangan kebijakan publik dan hubungan yang begitu luas antara birokrasi negara
dan insititusi lain, menjadi sulit untuk mengidentifikasi batas-batas (wewenang) negara.
Privatisasi, nasionalissi, dan membuat badan-badang regulator baru juga mengubah
batas-batas kewenangan negara dalam hubungannya dengan masyarakat. Sering
hakikat organisasi-organisasi yang setengah-otonom juga menjadi tidak jelas sehingga
menggiring debat antar para ilmuwan politik tentang apakah merekan menjadi bagian
dari negara atau masyaraka sipil. Beberapa ilmuwan politik lebih suka berbicara
tentang jaringan kebijakan (policy networks) dan pemerintahan yang desentralistik
dalam masyarakat modern dari pada birokrasi negara dan kontrol langsung negara
terhadap kebijakan.
Anarkisme adalah pandangan/filsafat politik yang melihat negara sebagai sesuatu yang
immoral, tidak mutlak (unnecessary) dan menyengsarakan (harmful) dan sebagai
gantinya mempromosikan masyarakat tanpa negara (stateless society) atau anarki.
Kaum anarkis percaya bahwa negara pada dasarnya meruapakan instrumen dominasi
dan represi, tidak soal siapaa yang mengontrolnya. Kaum anarkis mencatat bahwa
negara memiliki monopoli atas penggunaan legal dari kejahatan. Tidak seperti kaum
Marxis, kaum anarkis percaya bahwa perampasan revolusioner dari kekuasaan negara
seharusnya tidak merupakan suatu tujuan politik. Sebaliknya mereka percaya bahwa
aparatus negara seharusnya dibuka/dibongkar dan relasi-relasi sosial alternatif dapat
diciptakan, yang tak lagi didasarkan pada kekuasaan negara juga. Pemikir semacam
Jacques Ellul, mengidenifikasi kekuasaan politik seperti hantu dalam buku wahyu.
Perspekif Marxis:
Marx dan Engels sangat jelas menunjukkan bahwa tujuan kaum komunis adalah
masyarakat tanpa kelas (classless society) dimana adanya negara justru
menghancurkan. Teori dan spekulasi mereka melihat negara ‘parasitic’, dibangun di
atas superstruktur ekonomi dan bekerja untuk melawan kepentingan masyarakat dan
sebaliknya menyelamatkan kepentingan kaum kapitalis. Negara merupakan cermin
nyata relasi kelas secara umum dalam masyarakat; bertindak sebagai regulator dan
represor dari perjuangan kelas, dan bertindak sebagai alat kekuasaan politik dan
dominasi bagi kelas yang berkuasa. Dalam the Communist Manifesto, mereka
mengklaim bahwa negara tidak lebih lebih dari “sebuah komite untuk mengatur afair
umum kaum borjuis’.
Bagi kaum Marxis, peran negara non-sosialis ditentukan oleh fungsinya dalam tantanan
kapitalis global. Ralph Miliband mengatakan bahwa kelas yang berkuasa (the ruling
class) menggunakan negara sebagai alat untuk mendominasi masyarakat dengan
kebajikan interpersonal dilekatkan antara aparat negara dan elit ekonomi. Bagi
Miliband, negara didominasi oleh elit yang datang dari berbagai latar belakang sebagai
kelas kapitalis. Aparat negara pun menganut kepentingan yang sama sebagai pemilik
kapital dan dengan demikian membatasi mereka dalam hal sosial, ekonomi, dan politik.
Teori-teori Gramsci tentang negara menekankan bahwa negara satu-satunya institusi
dalam masyarakat dalam masyarakat yang membantu memelihata hegemoni kelas
yang berkuas, dan bahwa kekuasaan negara didukung oleh dominasi ideologis dari
institusi masyarakat sipil seperti agama, sekolah, pendidikan, dan media.
Perspektif Pluralis:
Pluralisme telah menantang dasar yang sebetulnya tidak didukung oleh evidensi
empiris. Survey-survey mencatat bahwa mayoritas orang dalam posisi pemimpin adalah
anggota dari kelas atas yang kaya. Pengritik pluralisme mengklaim bahwa negara lebih
melayani kepetingan kelas atas daripada melaynai kepentingan setiap kelompok sosial
dalam masyarakat.
Michel Foucault percaya bahwa teori politik modern terlalu state-centric. Negara tidak
lebih dari suatu realitas yang terdiri dari realitas gabungan dan sebuah abstraksi yang
dimitologisasi, yang kepentingannya tidak hanya sebatas pada apa yang banyak orang
pikirkan. Teori politik terlalu berfokus pada insititusi-institusi abstrak (abstract
institutions) dan tidak cukup memberi perhatian pada praktik aktual pemerintahan.
Dalam pandangan Foucault, negara tidak punya esensi apa pun. Maka dari pada
mencoba memahami aktivitas pemerintahan dengan menganalisis kekayaan peran
negara (a reified abstraction), para teoretikus politik seharusnya menyelidiki
perubahan-perubahan dalam praktik pemerintahan untuk memahami perubahan-
perubahan pada hakikat negara. Foucault berpendapat bahwa teknologilah yang telah
menciptakan dan membuat negara begitu elusif/sukar dipahami dan successful dari
pada melihat negara sebagai sesuatu yang dirobohkan. Negara harusnya dilihat sebagai
manifestasi teknologi atau sistem dengan banyak kepala. Foucault berpendapat bahwa
perkembanan teknologi ilmiah yang tunggal telah melayani negara. Ilmu dan teknologi
itulah yang memproduksi bagaimana negara modern berhasil diciptakan. Bagi Foucault
negara bangsa (nation state) bukanlah sebuah kecelakaan sejarah tetapi sebuah
produksi deliberatif dimana negara modern sekarang diatur oleh praktik tekonologi.
Demokrasi itu bukan lagi soal desakan para filsuf politik bagi kebebasan politik atau
supaya diterima oleh ‘elit yang berkuasa’ melainkan a part of a skilled endeavour of
switching over new technology. Jadi soal bagaimana mem-persuasi massa dalam
‘industri politik’ melalui agen simbolik melalui bentuk-bentuk teknologi baru (teknologi
biopower yang menghasilkan biopolitik).
Para pemikir otonomi negara percaya bahwa negara merupakan suatu entitias yang
tidak bisa ditembus oleh pengaruh sosial dan ekonomi dari luar; dan memiliki
kepentingannya sendiri. Pemikir semacan Theda Skocpol menyaakan bahwa para aktor
negara mempunyai otonomi yang sangat penting. Dengan kata lain, personel negara
memiliki kepentingan mereka sendiri, yang dapat dan didorong sebaai aktor
independen dlam masyarkat. Karena negara mengongtrol sarana-sarana pemaksaan
dan bergantung pada banyak kelompok dalam masyarakat sipil untuk mencapai
tujuannya, personel negara pada batas tertentu menerapkan preferensi mereka sendiri
terhadap masyafakat sipil.
Munculnya sistem kenegaraan modern merupakan sebuah perubahan besar dalam hal
legitimasi kekuassan dan kontrol. Pada era kerjaaan modern dengan praktik
absolutisme (monarki absolut), Thomas Hobbes dan Jean Bodin meruntuhkan doktrin
‘hak abadi raja’ (divine right king). Mereka berpendapat bahwa kekuasaan raja
seharusnya dijustifikasi dengan merujuk pada rakyat. Hobbes khusunya berpendapat
bahwa kekuasaan politik harus dijustifikasi dengan merujul pada individu, bukan rakyat
yang dipahai secara kolektif. Hoobes dan Bodin sering dipahami sebagai pemikir yang
membela kekuasan raja, dan tidak mendukung demokrasi teapi argumen mereka
tenang hakikat kedaulatan ditolak oleh para pembela kekuasaan raja, karena klaim-
kalim semacam itu membuka jalan bagi klaim-klaim demokrasi.
Max Weber misalnya mengidentifikasi 3 sumber utama legitimasi politik dalam karya-
karyanya. 1) legitimasi yang didasarkan pada keyakinan tradisional bahwa segala
sesuatu harus bercermin pada tradisi di masa lampau dan kekuasaan yang membela
tradisi ini diklaim memiliki kekuasaan yang legitim. 2) legitimasi karismatik: yang
didasarkan pada kepemimpinan (orang ataukelompok) yang memiliki kebajikan dan
kemampuan heroik. 3) otoritas legal-rasional. Yakni bahwa legitimasi kekuasaan negara
dan orang yang memimpun didasarkan pada hukum. Tindak mereka dibenarkan atau
dijustifikasi menurut kode-kode hukum tertulis. Weber percaya bahwa negara modern
dicirikan terutama oleh otoritas legal-rasional.
Dewasa ini legitimasi kekuasaan negara dan pemerintahan dianggap memiliki basis
legal-rasional. Otoritas negara merupakan otoritas legal-rasional. Bahwa negara mesti
memiliki otoritas menurut hukum merupakan sesuatu yang rasional. Setiap orang tidak
bisa mengurusi semua keperluan dan kebutuhannya. Maka perlu ada lembaga
independen yang berdiri diluar individu-individu untuk memastikan pemenuhan
kebutuhan individu. Dan ini merukan sesuatu yang masuk akal alias rasional. Tambahan
pula, kekuasaan itu sendiri dibangun di atas aturan hukum maka sah menurut hukum.
Jadi dasar legitimasi kekuasaan negara adalah hukum itu sendiri.
Pertanyaan: