Anda di halaman 1dari 12

Bab XI

NEGARA DAN KEKUASAAN POLITIK


The state, wrote Nietzsche, is 'the coldest of all cold monsters...(it) lies in all languages of good and evil; and
whatever its says, it lies - and whatever it has, it has stolen ... only there, where the state ceases, does the man
who is not superfluous begin...'1

Dalam pengantar kuliah ini sudah ditegaskan bahwa sosiologi politik, untuk
sebagian, dipahami sebagai studi tentang Negara dan kekuasaan politik (Maran,
2014). Negara merupakan institusi sosial yang menjalankan kekuasaan politik.
Sementara kekuasaan merupakan esensi dari praktik kenegaraan. Karena
kedudukannya yang istimewa dalam masyarakar, negara memiliki otoritas atau
wewenang untuk mengambil kebijakan, memberikan perintah, mengatur, dan
menentukan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Tentu praktik ini berkaitan
dengan kekuasaan politik Negara.
Negara merupakan organisasi kekuasaan. Gambaran ini tidak keliru. Karena Negara
memonopli kekuasaan politik dalam suatu masyarakat. Tidak hanya kekuasaan
politik, melainkan juga ekonomi, pertahanan, dan budaya.
Meskipun eksistensi Negara semakin digerogoti, peran dan kekuasaan politik
Negara semakin penting. Di barat orang berbicara tentang 'welfare states' dan
'party states' di Timur semakin ditantang. Debat politik kontemporer diselubingi
oleh gambaran tentang Negara yang memfitnah dan secara potensial menjadi
dahsyat. Hanya melampuai Negara, tampaknya, kehidupan individual manusia yang
patut dan bermartabat dimulai.
Menkritik ekses, ketidakefisienan, dan ketidakadilan Negara, altrnatif-alternatif
dalam kaitannya dengan konstruksi 'free market' dan 'civil society' di mana
pluralitas kelompok, organisasi, dan individu-individu berainteraksi. Perhatian ini
parallel dengan teori sosial, dimana para analis telah menantang teori-teori pluralis
liberal (liberal pluralist) dan deterministic ekonomi (economic determinist) tentang
kekuasaan (power), dan berpendapat bahwa bentuk spesifik (the specific form of
the State) merupakan sesuatu yang krusial dan penting, tidak hanya dalam rangka
memahami relasi-relasi geo-political, melainkan juga bentuk-bentuk modern
menjalankan kekuasaan atas teritori-teritori nasional.

1. Apakah Negara Itu?


Secara etimologis, kata negara (state ) yang dalam beberapa bahasa Eropa disebut
dengan istilah-istilah yang beragam seperti stato di Italia, estado di Spanyol, état di
Prancis, Staat di Jerman; semuanya berasal cari kata Latin status yang berarti
“keadaan, kedudukan” ("condition, circumstances"). Kata Inggris state memiliki
makna asali "condition, circumstances" dalam kaitannya dengan politik. Dalam
perkembangannya kata tersebut menunjuk pada kelompok sosial tertentu yang
dikaitkan dengan tatanan hukum suatu masyarakat dan aparatur yang
menegakannya. Meskipun muncul jauh sebelum abad 16 yakni pada era imperium
Romawi, pada abad ini karya Machiavelli (Il Principe – The Prince) memainkan peran
kunci dalam mempopulerkan penggunaan kata “state” dalam pengertian yang
sama dengan pemahaman modern. Perbedaan antara gereja dan negara masih
dipertahankan sampai abad 16. Koloni-koloni Amerika di bagian utara menyebut
“state” sudah sejak tahun 1630-an. Ekspresi atau penyataan L'Etat, c'est moi ("I am
the State") yang diberikan Louis XIV dari Perancis mungkin dapat dianggap sebagai
apocryphal, tercatat pada akhir abad 18.

Dalam pengertian yang lebih luas, terdapat beragam definisi tentang Negara, KBBI
mengartikan Negara dalam dua pengertian berikut:
1. Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. (Pemerintahan)
2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya. (Masyarakat)
Negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan poltiis
(India, Jepang, Cina, Malaysia, dll). Kedua, lembaga pusat yang menjadi satu
kesatuan politis tersebut; menata, dan dengan demikian menguasai wilayah
tersebut. Pengertian ini menunjuk pada kekuasaan lembaga yang menjamin
kesatuan politis tersebut.
Negara adalah organisasi politik dengan pemerintahan sentralistik yang
memonopoli penggunaan kekuasaan yang legitim dalam batas geografis
tertentu. (Wikipedia).

Negara merupakan bentuk pemerintahan modern. Karena masyarakat pra-sejarah


sebelumnya (pre-history) hidup dalam masyarakat tanpa negara (stateless society).
Negara pertama terbentuk sekitar 5,500 tahun yang lalu bersamaan dengan muncul
dan berkembangnya kota-kota, munculnya tulisan, dan kodifikasi bentuk-bentuk
baru agama. Seiring perjalanan waktu, berbagai bentuk yang berbeda berkembang,
melibatkan berbagai justifikasi bagi eksistensi mereka (seperti hak ilahi – divine
right, kontrak sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, saat ini negara bangsa (nation-
state) modern merupakan bentuk awal negara. Beberapa negara merupakan
berdaulat, ke dalam dan keluar atau hegemoni di mana kedaulatan itu pada
akhirnya terletak pada negara lain. Istilah negara juga dipakai untuk negara-negara
federal (federated state) yang merupakan anggota dari kesatuan federal yang
merupakan negara yang berdaulat.
Tetapi istilah negara (state) juga dipakai dalam pengertian yang sinonim dengan
pemeritnahan (govermnet). Tetapi kedua kata ini dipakai untuk menenunjukan
kelompok politik yang terorgnaisi yang menjalankan otoritas atas wilayah tertentu.

Sejarah Terbentuknya Negara


Bentuk paling awal negara muncul ketika sentralisasi kekuasaan terjadi. Masyarakat
pertanian tradisional selalu dikaitkan dengan munculnya negara. Karena dari proses
pertanian (agriculture) memungkinkan munculnya masyarakat kelas (social class) yang
tak lagi menghabiskan waktunya demi subsistensi dan kehadiran mereka. Di situ
negara hadir sebagai organisasi yang mengatur dan kehidupan sosial dan sentralisasi
informasi.

Munculnya negara menganti bentuk-bentuk stateless organisasi politik dari


masyarakat tradisional di seluruh penjuru dunia. Masyarakat pemburu dan pengumpul,
masyarakat suku yang didasarkan pada peternakan dan pertanian telah lama eksis
tanpa kehadiran negara. Tetapi persoalan teritori muncul ketika penguasaan wilayah
dilakukan atas dasar penaklukan. Dengan penaklukan, kebudayaan, cita, cita-cita dan
perangkat hukum diterapakan bersamaan dengan kekuasaan penaklukan atas bangsa
(nation) melalui birokrasi dan kekuatan militer. Pada saat itulah negara muncul.

Pada abad 19, bentuk-bentuk negara modern mulai bermunculan dengan dasar yang
tidak lagi didasarkan pada penaklukan melainkan atas dasar keinginan masyarakat
lokal (indigenous people) untuk merdeka, serta peletakan batas-batas geografis yang
makin jelas. Di situ negara yang bari muncul mulai memiliki kontrol yang jelas atas
wiayah dan penduduknya. Pada era ini juga, kedaulatan negara atas kekuasaan dan
wilayah ditentukan oleh komunikasi, relasi, dan interaksi antar negara dalam lingkup
internasional. Kita menyebutnya sebagai negara multinasional.

Dengan demikian negara tidak muncul begitu saja melainkan terbentuk dari proses
yang panjang. Studi antropologi politik menunjukkan bahwa dalam era pra-sejarah
(pres-historic), masyarakat hidup tanpa negara (stateless societies). Masyarakat ini
dicirikan dengan tidak adanya otoritas yang terkonsentrasi, tidak adanya ketimpangan
ekonoi, dan dengan demikian juga kekuasaan poltik. Tetapi dalam era neolitik yang
kemudian mucul dengan mulai hidup menetak dan perkembangan dalam bidang
pertanian, kultur ekonomi, budaya, dan politik berubah. Populasi pun meningkat. Divisi
dan spesialisasi kerja pun tak terhindarkan. Stratifikasi sosial mulai terbentuk Hak atas
kepemilikan pribadi atas tanah dan hewan. Di sini bentuk kekuasaan yang sentralistik
diperlukan untuk menjamin kehidupan sosial. Negara muncul sebagai kelas yang
mengatur kekayaan dan privilese sebagai subordinasi dari monarki. Kelas yang
mengatur (the rulling class) itu tidak lain dari negara. Tetapi negara yang sintralistik itu
dikembangan untuk mengatur sistem sosial yang lebih luas dan meregulasi praktik
ekonomi yang semakin kompleks. Bentuk-bentuk negara yang paling kuno tampak pada
kebudayaan mesopotamia yang dianggap sebagai lokasi awal peradaban dengan kota-
kota yang tersentralisasi. Di era ini semkain berkembang divisi kerja, konsentrasi
kekayaan pada kapital, ketimpangan distribusi kekayaan, adanya kelas pemerintah,
komunitas dibentuk berdasarkan tempat kediaman dari pada kekeluargaan (pertalian
darah).

Negara klasik/kuno dengan sistem pemerintahan yang memadai sebetulnya mulai


terbentuk ketika era keemasan kerajaan Yunani kuno dan Romawi kuno. Era ini juga
dikenal dengan terumuskannya filsafat politik tentang negara yang berisikan analisis
rasional tentang institusi politik. Negara kota Yunani, polis, merupakan bagian penting
dalam perkembangan negara. Kekuasaan negara dibenarkan tidak lagi didasarkan pada
mitos religius. Inovasi politik dari era negara kota Yunani sebelum abad 4 (SM) ini
adalah pengakuan atas hak kewarganegaraan atas kebebasan, dan di Athena hak-hak
ini tercermin pada tuntutan atas demokrasi langsung untuk membentuka
pemerintahan.

Abad pertengahan merupakan era terbentukanya negara feodal dengan prinsip


feodalimse dan hubungan antara tuan dan budak/pengikut merupakan organisasi sosial
yang sentral. Feodalisme mengarah ke perkembangan hirarki sosial yang semakin luas.
Secara politik, terbentuknya perjuangan antara monarki dan elemen sosial masyarakat
menandai terbentuknya negara. Karena secara politik, di era ini terjadi kompromi
antara warga negara, parlemen, dengan kerajaan berkaitan dengan persoalan legal dan
ekonomi meskipun tarik menarik antara dua kepentingan ini tidak pernah mulus.
Karena monarki dengan kekuatan ekonomi dapat melakukan konsentrasi militer dengan
kekuadan ekonomi. Awal abad 15 merupakan era di mana proses sentralisasi
kekuasaan menciptakan negara absolut.

Negara modern mulai terbentuk sekitar abad 16. Homogenisasi kultural dan nasional
menandari munculnya sistem negara modern dengan basis organisasi nasional. Konsep
negara nasional (national state) sinonim dengan negara nasional (nation state) yang
memproklamirkan nasionalisme dan menekankan kesamaan simbol dan identitas yang
dianut bersama.

Tetapi negara dalam arti modern sesungguhnya baru berkembang dalam abad 18,
terutama di Eropa. Di era ini negara menyertakan masyarakat untuk aktif dalam
pemecahan problem sosial; otoritas negara diakui bahka memiliki kekuasaan memaksa
terhadap mereka. Pengakuan otoritas negara meruntuhkan legitmasi tradisional dari
otoritas religius atau karismatik dan digantikan oleh aturan yang dientukan bersama
(kedaultan rakyat), serta kompleksitas organisasi (birokrasi). Di era ini pula, pengaruh
perkembangan teknologi terutama persenjataan untuk melawan ancaman dari luar;
peningkatan produksi demi kesejahteraan; meningkatnya populasi, dan semakin
kompleks dan sentralisasinya negara, tak terhindarkan. Secara kultural, berlangsung
perubahan dari otoritas monarki dan beralih ke otoritas negara modern. Negara moder
mulai menata diri dengan pembentukan undang-undang, menarik pajak,
mengupayakan kesejahteraan warga negara, pertumbuhan ekonomi, kekuatan militer,
kolonialisasi-ekspansi internasional, hubungan internasional, revolusi industri, menjamin
hak milik, kekuasaan yang berdaulat dan sentralistik.

Dalam negara modern, tipe otoritas legal, menggantukan otoritas tradisional, dan
karismatik. Di sini peran pemerintah pun menjadi semakin kompleks, diantaranya:
Peran pemerintahan/negara:
1. Regulatif:membuat undang-undang hukum untuk mengatur relasi, prilaku,
tertib sosial, dan jaminan agar pihak yang kuat tidak memaksakan kehendak
kepada yang lemah.
2. Protektif: perlindungan fisik, mental, moral, harta, kekayaan bagi warga
negara melalui aparat keamanan.
3. Asistif: membantu meneuhi kebutuhkan ekonomi dan sosial warga negara,
terutama yang paling membutuhkan seperti sarana-sarana umum,
kebutuhan ekonomi, sekolah, fasilitas prosuki, dan jaminan kesejahteraan
sosial.
4. Produktif: meningkatkan pendapatan, produksi, kemajuan ekonomi, sumber
daya fisik dan sosial, serta industrialisasi.
5. Humanistik (HAM): memastikan penghormatan dan penegakan keluhuran
martabat manusia dengan menegakkan HAM, terutama mereka yang miskin,
teralienasi, dan didiskriminasi. Negaa memastikan bahwa praktik kekuasaan
tidak curang, diktator, totalitarian, dan tiran.

2. Negara dan Kekuasaan


Ciri utama yang selalu melekat pada negara adalah kekuasaan. Tidak ada negara
tanpa kekuasaan, dan tigak ada kekuasaan modern yang legitim selain negara.
Kekuasaan merupakan karakter esensial dari negara. Lihatlah definisi negara oleh
Max Weber berikut. Weber mendefiniskan negara seabagai ‘a compulsory political
organization with a centralized government that maintains a monopoly of the
legitimate use of force within a certain territory’. Negara dianggap sebagai
organisasi politik yang niscaya (tak terhindarkan) dengan pemerintahan yang
terpusat dan memonopoli penggunaan kekuasaan dalam teritori tertentu. Dalam
koteks itulah, negara membangun insitusi-insitusi negara seperti: administrasi,
birokrasi, sistem hukum, militer, keamanan, ekonomi, lembaga politik, organisasi
sosial dan keagamaan, dan sebagainya.
Padangan ini hampir identik dengan konvensi Motevideo tentang Hak dan
Kewajiban Negara tahun 1933. Dalam konferensi itu itu, negara diakui: “[t]he state
as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a
permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to
enter into relations with the other states”, dan bahwa "[t]he federal state shall
constitute a sole person in the eyes of international law". Oxford English Dictionary
merumuskan negara sebagai: "a. an organized political community under one
government; a commonwealth; a nation. b. such a community forming part of a
federal republic, esp the United States of America".
Negara berbeda dari pemerintahan. Pemerintahan adalah orang atau lembaga,
institusi yang mengelola negara (organization of people) (representasi). Sementara
negara adalah bentuk formal organisasi sosial yang memiliki hak kekuasaan untuk
mengatur pemetintahan (nonphysical person) (agen otoritas). Tetapi sering kali
kedua istilah ini dipahami dalam pengertian yang sama. Tetapi dalam percakapan
sehari-hari, negara (state) dan pemerintahan (government) digunakan dalam
pengertian yang sinonim.

3. Negara dan Masyarakat


Pafa filsuf politik menunjukkan bahwa negara disebut berdaulat jika ia tidak
bergantung pada kekuatan lain di luarnya; atau pada kedaulatan negara lain. Tentu
ini berbeda dengan negara federasi yang terdiri dari negara-negara bagian. Tetapi
toh dipersatukan dalam atau kesatuan (federal union).
Negara (state) dan negara-bangsa (nation-state).

Seperti perbedaan antara negara dan pemerintahan, begitu juga negara dan negara-
bangsa. Secara konseptual, negara dapat dibedakan dari ‘bangsa” (nation). Bangsa
(nation) menunjuk pada komunitas kultural-politik sekelompok orang. Kesamaan
kultural, tradisi, dan sejarah itulah yang mengikat kesatuan mereka sebagai bangsa.
Sementara negara (state), lebih menunjukkan pada kesatuan dan organisasi formal
yang didasarkan pada tatanan normatif-positif hukum.

Negara dan masyarakat sipil (civil society)

Dalam pemahaman klasik, negara diidentikan baik dengan masyarakat politik


sementara masyarakat sipil (civil society) sebagai bentuk komunitas politik (lingkupnya
lebih kecial; kelompok-kelompok politik di luar negara dan pemerintah). Sementara
pemikiran modern membedakan negara bangsa sebagai masyarakat politik dari
masyarakat politik (civil society) sebagai bentuk masyarakat sosial-ekonomi di luar
pemerintahan.

Antonio Gramsci percaya bahwa masyarakat sipil (civil society) merupakan lokus utama
aktivitas politik karena pada masyarakat sipil itulah pembentukan identitas, perjuangan
ideologi, aktivitas dan kajian intelektual, dan konstruksi hegemoni berlangsung.
Masyarakat sipil merupakan jantung yang menghubungkan ruang ekonomi dan politik.
Memunculkan tindakan kolektif dari masyarakat sipil itulah yang disebut Gramsi
sebagai sebagai ‘political society’. Masyarakat ini dibedakan dari pandangan tentang
negra yang disebut ‘polity’. Ia mengatakan bahwa politik bukanlah ‘proses managemen
politik satu-arah” melainkan bahwa aktivitas-aktivitas organisasi sipil mengkondisikan
aktivitas-aktivitas partai-partai politik dan institusi negaran, dan sebaliknya dikondisikan
oleh mereka.

Louis Althusser berpendapat bahwa organisasi-organisasi sipil seperti keluarga,


pendidikan, dan kelompok beragama merupakan bagian dari “aparatus ideologis’ yang
melengkapi ‘apartatus negara yang represif’ (seperti polisi dan militer) dalam
mereproduksi relasi sosial.

Jurgen Habermas berbicara tengan ‘ruang publik’ (‘public sphere’) yang berbeda dari
ruang ekonomi dan politik. Berhadapan dengan peran banyak kelompok sosial dalam
perkembangan kebijakan publik dan hubungan yang begitu luas antara birokrasi negara
dan insititusi lain, menjadi sulit untuk mengidentifikasi batas-batas (wewenang) negara.
Privatisasi, nasionalissi, dan membuat badan-badang regulator baru juga mengubah
batas-batas kewenangan negara dalam hubungannya dengan masyarakat. Sering
hakikat organisasi-organisasi yang setengah-otonom juga menjadi tidak jelas sehingga
menggiring debat antar para ilmuwan politik tentang apakah merekan menjadi bagian
dari negara atau masyaraka sipil. Beberapa ilmuwan politik lebih suka berbicara
tentang jaringan kebijakan (policy networks) dan pemerintahan yang desentralistik
dalam masyarakat modern dari pada birokrasi negara dan kontrol langsung negara
terhadap kebijakan.

4. Diskursus tentang Peran Negara


Mayoritas teori politik tentang negara dapat diklasifikasikan dalam dua kategori. Yang
pertama dikenal dengan teori "liberal" dan yang lainnya dikenal dengan teori
"conservative". Teori-teori ini memperlakukan kapitalisme sebagai sesuatu yang
‘terberi’ (‘given’) dan selanjutnya memusatkan diri pada fungsi-fungsi negara dalam
masyarakat kapitalis. Teori-teori ini cenderung melihat negara sebagai suatu entitias
yang netral, terpisah dari masyarakat dan ekonomi. Teori-teori Marxist dan anarchist di
sisi yang lain, umumnya melihat politik pada akhirnya mengekor pada relasi ekonomi
dan menekankan hubungan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik. Mereka
melihat negara sebagai instrumen partisan yang tujuan utamanya melayani
kepentingan kelas atas.

Perspektif kaum anarkis:

Anarkisme adalah pandangan/filsafat politik yang melihat negara sebagai sesuatu yang
immoral, tidak mutlak (unnecessary) dan menyengsarakan (harmful) dan sebagai
gantinya mempromosikan masyarakat tanpa negara (stateless society) atau anarki.

Kaum anarkis percaya bahwa negara pada dasarnya meruapakan instrumen dominasi
dan represi, tidak soal siapaa yang mengontrolnya. Kaum anarkis mencatat bahwa
negara memiliki monopoli atas penggunaan legal dari kejahatan. Tidak seperti kaum
Marxis, kaum anarkis percaya bahwa perampasan revolusioner dari kekuasaan negara
seharusnya tidak merupakan suatu tujuan politik. Sebaliknya mereka percaya bahwa
aparatus negara seharusnya dibuka/dibongkar dan relasi-relasi sosial alternatif dapat
diciptakan, yang tak lagi didasarkan pada kekuasaan negara juga. Pemikir semacam
Jacques Ellul, mengidenifikasi kekuasaan politik seperti hantu dalam buku wahyu.

Perspekif Marxis:

Marx dan Engels sangat jelas menunjukkan bahwa tujuan kaum komunis adalah
masyarakat tanpa kelas (classless society) dimana adanya negara justru
menghancurkan. Teori dan spekulasi mereka melihat negara ‘parasitic’, dibangun di
atas superstruktur ekonomi dan bekerja untuk melawan kepentingan masyarakat dan
sebaliknya menyelamatkan kepentingan kaum kapitalis. Negara merupakan cermin
nyata relasi kelas secara umum dalam masyarakat; bertindak sebagai regulator dan
represor dari perjuangan kelas, dan bertindak sebagai alat kekuasaan politik dan
dominasi bagi kelas yang berkuasa. Dalam the Communist Manifesto, mereka
mengklaim bahwa negara tidak lebih lebih dari “sebuah komite untuk mengatur afair
umum kaum borjuis’.

Bagi kaum Marxis, peran negara non-sosialis ditentukan oleh fungsinya dalam tantanan
kapitalis global. Ralph Miliband mengatakan bahwa kelas yang berkuasa (the ruling
class) menggunakan negara sebagai alat untuk mendominasi masyarakat dengan
kebajikan interpersonal dilekatkan antara aparat negara dan elit ekonomi. Bagi
Miliband, negara didominasi oleh elit yang datang dari berbagai latar belakang sebagai
kelas kapitalis. Aparat negara pun menganut kepentingan yang sama sebagai pemilik
kapital dan dengan demikian membatasi mereka dalam hal sosial, ekonomi, dan politik.
Teori-teori Gramsci tentang negara menekankan bahwa negara satu-satunya institusi
dalam masyarakat dalam masyarakat yang membantu memelihata hegemoni kelas
yang berkuas, dan bahwa kekuasaan negara didukung oleh dominasi ideologis dari
institusi masyarakat sipil seperti agama, sekolah, pendidikan, dan media.

Perspektif Pluralis:

Kaum pluralis melihat masyarakat sebagai koleksi/kumpulan individu-individu dan


kelompok-kelompok yang saling berebut kekuasaan politik. Mereka melihat negara
sebagai badan yang netral yang sekedar menjalankan keinginan kelompok mana sja
yang mendominasi/memenangkan proses pemilihan umum. Dalam trandisi pluralis,
Robert Dahl, mengembangkan teori tentang negara sebagai sebuah arena netral bagi
pertandingan kepentingan yang berbeda-beda, atau agen-agenya tidak lain dari
sekadar perangkat dari kelompok-kelompok kepentingan. Dengan kekuasaan yang
dikelola secara kompetitif dalam masyarakat, kebijakan negara merupakan produk dari
recurrent bargaining. Meskipun pluralisme mengakui eksistensi ketimpangan atau
ketidaksetaraan (inequality), mereka menegaskan bahwa semua kelompok sosial
memiliki kesempatan untuk menekan negara. Pendekatan kaum pluralis menyatakan
bahwa tindakan-tindakan negara-negara demokratis modern merupakan hasil dari
tekanan yang dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan yang organized . Dahl
menyebut model negara ini sebagai poliarki.

Pluralisme telah menantang dasar yang sebetulnya tidak didukung oleh evidensi
empiris. Survey-survey mencatat bahwa mayoritas orang dalam posisi pemimpin adalah
anggota dari kelas atas yang kaya. Pengritik pluralisme mengklaim bahwa negara lebih
melayani kepetingan kelas atas daripada melaynai kepentingan setiap kelompok sosial
dalam masyarakat.

Perspektif kritis kontemporer

Jurgen Habermas menyatakan bahwa kerangka base-superstructure yang digunakan


oleh banyak kaum Marxis untuk melukiskan relasi antara negara dan ekonomi, terlalu
simplisistik. Menurut Habermas, negara modern menjalankan peran yang sangat luas
dalam menstrukturisasi ekonomi dengan meregulasi aktivitas ekonomi serta produsen-
konsumen ekonomi skala-besar; dan dengan demikian juga aktivitas distributif
kesejahteraan. Karena aktivitas menstrukturisasi kerangka ekonomi ini, Habermas
berpendapat bahwa negara jangan dibatasi/dikunci pada secara pasif merespon
kepentingan kelas ekonomi.

Michel Foucault percaya bahwa teori politik modern terlalu state-centric. Negara tidak
lebih dari suatu realitas yang terdiri dari realitas gabungan dan sebuah abstraksi yang
dimitologisasi, yang kepentingannya tidak hanya sebatas pada apa yang banyak orang
pikirkan. Teori politik terlalu berfokus pada insititusi-institusi abstrak (abstract
institutions) dan tidak cukup memberi perhatian pada praktik aktual pemerintahan.
Dalam pandangan Foucault, negara tidak punya esensi apa pun. Maka dari pada
mencoba memahami aktivitas pemerintahan dengan menganalisis kekayaan peran
negara (a reified abstraction), para teoretikus politik seharusnya menyelidiki
perubahan-perubahan dalam praktik pemerintahan untuk memahami perubahan-
perubahan pada hakikat negara. Foucault berpendapat bahwa teknologilah yang telah
menciptakan dan membuat negara begitu elusif/sukar dipahami dan successful dari
pada melihat negara sebagai sesuatu yang dirobohkan. Negara harusnya dilihat sebagai
manifestasi teknologi atau sistem dengan banyak kepala. Foucault berpendapat bahwa
perkembanan teknologi ilmiah yang tunggal telah melayani negara. Ilmu dan teknologi
itulah yang memproduksi bagaimana negara modern berhasil diciptakan. Bagi Foucault
negara bangsa (nation state) bukanlah sebuah kecelakaan sejarah tetapi sebuah
produksi deliberatif dimana negara modern sekarang diatur oleh praktik tekonologi.
Demokrasi itu bukan lagi soal desakan para filsuf politik bagi kebebasan politik atau
supaya diterima oleh ‘elit yang berkuasa’ melainkan a part of a skilled endeavour of
switching over new technology. Jadi soal bagaimana mem-persuasi massa dalam
‘industri politik’ melalui agen simbolik melalui bentuk-bentuk teknologi baru (teknologi
biopower yang menghasilkan biopolitik).

Nicos Poulantzas, seorang neo-Marxis berkebangsaan Yunani berpendapat bahwa


negara-negara kapitalis tidak selalu melayani kepentingan kelas yang berkuasa; karena
negara memang tidak bekerja lain dari pada itu. Karena negara berada dalam posisi
‘struktural’. Posisi struktural itulah yang membuat negara mampu menjamin
kepentingan jangka panjang dari kapital selalu dominan. Ia berbicara tengan ‘otonomi
relatif’ negara. Negara otonom, tetapi otonominya relatif jika dihadapkan pada
‘fungsionalisme struktural’-nya.

Perspektif otonomi negara (institusionalisme):

Para pemikir otonomi negara percaya bahwa negara merupakan suatu entitias yang
tidak bisa ditembus oleh pengaruh sosial dan ekonomi dari luar; dan memiliki
kepentingannya sendiri. Pemikir semacan Theda Skocpol menyaakan bahwa para aktor
negara mempunyai otonomi yang sangat penting. Dengan kata lain, personel negara
memiliki kepentingan mereka sendiri, yang dapat dan didorong sebaai aktor
independen dlam masyarkat. Karena negara mengongtrol sarana-sarana pemaksaan
dan bergantung pada banyak kelompok dalam masyarakat sipil untuk mencapai
tujuannya, personel negara pada batas tertentu menerapkan preferensi mereka sendiri
terhadap masyafakat sipil.

5. Soal Legitimasi Negara


Negara pada umumnya berurusan dengan klaim atas legitimasi politik. Yakni kekuasaan
untuk mendominasi individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Munculnya sistem kenegaraan modern merupakan sebuah perubahan besar dalam hal
legitimasi kekuassan dan kontrol. Pada era kerjaaan modern dengan praktik
absolutisme (monarki absolut), Thomas Hobbes dan Jean Bodin meruntuhkan doktrin
‘hak abadi raja’ (divine right king). Mereka berpendapat bahwa kekuasaan raja
seharusnya dijustifikasi dengan merujuk pada rakyat. Hobbes khusunya berpendapat
bahwa kekuasaan politik harus dijustifikasi dengan merujul pada individu, bukan rakyat
yang dipahai secara kolektif. Hoobes dan Bodin sering dipahami sebagai pemikir yang
membela kekuasan raja, dan tidak mendukung demokrasi teapi argumen mereka
tenang hakikat kedaulatan ditolak oleh para pembela kekuasaan raja, karena klaim-
kalim semacam itu membuka jalan bagi klaim-klaim demokrasi.

Max Weber misalnya mengidentifikasi 3 sumber utama legitimasi politik dalam karya-
karyanya. 1) legitimasi yang didasarkan pada keyakinan tradisional bahwa segala
sesuatu harus bercermin pada tradisi di masa lampau dan kekuasaan yang membela
tradisi ini diklaim memiliki kekuasaan yang legitim. 2) legitimasi karismatik: yang
didasarkan pada kepemimpinan (orang ataukelompok) yang memiliki kebajikan dan
kemampuan heroik. 3) otoritas legal-rasional. Yakni bahwa legitimasi kekuasaan negara
dan orang yang memimpun didasarkan pada hukum. Tindak mereka dibenarkan atau
dijustifikasi menurut kode-kode hukum tertulis. Weber percaya bahwa negara modern
dicirikan terutama oleh otoritas legal-rasional.

Dewasa ini legitimasi kekuasaan negara dan pemerintahan dianggap memiliki basis
legal-rasional. Otoritas negara merupakan otoritas legal-rasional. Bahwa negara mesti
memiliki otoritas menurut hukum merupakan sesuatu yang rasional. Setiap orang tidak
bisa mengurusi semua keperluan dan kebutuhannya. Maka perlu ada lembaga
independen yang berdiri diluar individu-individu untuk memastikan pemenuhan
kebutuhan individu. Dan ini merukan sesuatu yang masuk akal alias rasional. Tambahan
pula, kekuasaan itu sendiri dibangun di atas aturan hukum maka sah menurut hukum.
Jadi dasar legitimasi kekuasaan negara adalah hukum itu sendiri.

Pertanyaan:

1. Apa yang dimaksud dengan negara?


2. Sebutkan dan jelaskanlah peran negara dalam masyarakat.
3. Mengapa otoritas kewenangan negara disebut legal, rasional, dan ‘memaksa’?
4. Menurut pendapat anda, apakah otoritas karismatik yang dimiliki oleh tokoh-
tokoh masyarakat dapat melampaui otoritas negara? Berilah argumentasi anda
secukupnya.

Anda mungkin juga menyukai