Sedangkan HAN KELSEN melihat NEGARA dari satu aspek yaitu SEGI YURIDIS
Kajian dalam ALLGEMEINE SOZIALE STL :
Eksekutif
Kekuasaan eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang.
Kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang kepala negara, bisa berupa presiden, perdana
menteri, atau raja. Selain menjalankan undang-undang, kekuasaan eksekutif juga memiliki
kewenangan di bidang diplomatik, yudikatif, administratif, legislatif, dan militer.
Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif ini, presiden selaku kepala negara dibantu
oleh wakil presiden, para pejabat dan menteri-menteri dalam kabinet, sesuai yang diatur
dalam undang-undang.
Legislatif
Kekuasaan legislatif merupakan lembaga yang berwenang dalam
membuat dan menyusun undang-undang. Kekuasaan legislatif dipegang
oleh parlemen yang menjadi perwakilan rakyat. Selain kekuasaan
membuat undang-undang, kekuasaan legislatif berwenang mengawasi
dan meminta keterangan pada kekuasaan eksekutif.
Adanya kekuasaan legislatif juga berfungsi untuk membatasi
kekuasaan eksekutif atau presiden, sehingga presiden tidak bisa
sewenang-wenang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu.(MPR, DPR, dan DPD)
Yudikatif
Kekuasaan yudikatif merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan
dan kewenangan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang
menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga
yudikatif dibentuk sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material,
penyelesaian penyelisihan, hak mengesahkan peraturan hukum atau
membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar negara.
Fungsi kekuasaan yudikatif penting untuk memutus pelanggaran
hukum yang terjadi dalam struktur ketatanegaraan, termasuk juga
menyelesaikan sengketa dan perselisihan lainnya.
(MA, MK, dan KY)
Konsep Rule of Law
a. berkembang secara evolusioner
b. bertumpu pada sistem hukum yang disebut
common law.
c. Tujuan hukum keadilan
CIRI-CIRI RULE OF LAW
Supremacy of law
Hukum berada pada tingkatan tertinggi atau kekuasaan tertinggi
1. Negara Ideologi (Daulatul Fikrah): negara berasas cita-cita terlaksananya ajaran-ajaran Al-
ur’an dan Sunah Rasul dalam kehidupan masyarakat, demi kebahagiaan dunia dan akhirat;
2. Negara Hukum (Daulat Qanuniyah): Negara (penguasa dan rakyat) yang tunduk kepada
aturan-aturan hukum Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3. Negara Teo-demokrasi: negara yang berasaskan ajaran-ajaran Tuhan dan Rasulnya, dalam
realisasinya berlandaskan prinsip musyawarah.
4. Negara Islam (Darul Islam): predikat negara Islam dalam kitab-kitab fiqih dipergunakan
untuk membedakan dengan negara-negara bukan Islam, yaitu negara sahabat atau negara
perjanjian (Darul ‘Ahdi) dan negara perang atau negara musuh (Darul Harbi), dalam rangka
pembahasan hubungan antarnegara.
Negara Hukum Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dlm penjelasn, yg berbunyi: “Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Materi
penjelasan tersebut kemudian diangkat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ( perubahan ketiga) berbunyi:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Istilah rechtsstaat tidak lagi dimuat dlm UUD 1945. Demikian
pula tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri diangkat dari penjelasan menjadi muatan UUD 1945
Pasal 24 ayat (1). Hal ini akan menguatkan konsep negara hukum Indonesia.
Menurut Mahfud MD, penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD 1945 tersebut bukanlah masalah
semantik atau gramatik semata, melainkan juga menyangkut masalah yang substantif dan
paradigmatik. Istilah rechtsstaat lebih menekankan pada pentingnya hukum tertulis (civil law) dan
kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau
menggunakan ukuran formal, artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang tertulis dalam hukum
tertulis, hakim adalah corong UU.
Negara Hukum Indonesia
Sedangkan the rule of law lebih menekankan pada pentingnya hukum tak tertulis
(common law) demi tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum
lebih berpijak pada substansi keadilan daripada kebenaran formal-prosedur semata;
artinya benar dan adil itu belum tentu tercermin dalam hukum tertulis melainkan bisa
yang tumbuh di dalam hidup di masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat
disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena titik berat the rule of law
adalah keadilan, maka dalam membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada bunyi
hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.
Menurut Mahfud, sejak perubahan ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah
mengarahkan negara penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara
seimbang segi-segi baik dari konsep rechtsstaat dan the rule of law sekaligus, yakni
menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan substansial.