Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MKDU 4111

Modul 1
KB.1 Negara, Bangsa, dan Masyarakat Indonesia
Negara ialah tatanan dari rakyat, wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh pemerintahan yang sah dan berdaulat. Negara
mempunyai kewenangan yang istimewa; membentuk angkatan bersenjata, lembaga peradilan, pemerintahan, parlemen,
mencetak uang, menggunakan kekerasan di wilayah kedaulatannya. Berdirinya suatu negara, harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu adanya pemerintahan yang berdaulat, wilayah, warga negara, dan pengakuan pihak lain.

1. Menurut Aristoteles, negara merupakan persekutuan daripada keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang
sebaik-baiknya.
2. Bluntschli juga pernah mengemukakan bahwa negara adalah suatu diri rakyat dimana disusun dalam suatu organisasi
politik di suatu daerah tertentu.
3. Berikutnya ada Hans Kelsen mengatakan bahwa negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan
adanya tata paksa.
4. Harold J. Lashi juga berpendapat bahwa negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
5. Negara meupakan suatu persekutuan sempurna dari orang-orang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum,
merupakan konsep yang pernah disampaikan oleh Hugo de Groot.
6. Negara menurut Holgerwerf merupakan suatu kelompok terorganisir, mempunyai tujuan, pembagian tugas dan
perpaduan kekuatan-kekuatan dimana negara memiliki kekuasaan tertinggi yang diakui kedaulatannya, memonopoli
kekuasaan dan berwenang memaksa dan memakai kekuasaan.
7. Sementara menurut Kranenburg, pengertian negara merupakan suatu sistem dari tugas-tugas umum dari organisasi
organisasi yang diatur dalam usaha negara untuk mencapai tujuannya yang juga menjadi tujuan rakyat atau masyarakat dan
juga mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
8. Jean Bodin menerangkan negara adalah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya
dimana dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
9. Menurut Mac lever, negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam
suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah dimana untuk maksud
tersebut diberikan kekuasaan yang memaksa.
10. Roger H. Soltau juga menjelaskan negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authority) dimana mengatur atau
mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
11. Nega menurut Sri Sumantri merupakan suatu organisasi kekuasaan, oleh karenanya dalam setiap organisasi bernama
negara selalu kita jumpai adanya organisasi atau alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan
kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempat tinggal di wilayah kekuasaannya.

TEORI ASAL USUL NEGARA

1. Teori Ketuhanan. Teori ini menganggap bahwa terjadinya negara memang sudak kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Anggapan
ini berawal dari determinasi relegius, yaitu segala sesuatu terjadi ini sudah takdir Allah. Misalnya, dapat membaca UUD 1945
atas berkat rahmat Allah dan seterusnya.
2. Teori Kenyataan. Teori menganggap bahwa negara itu timbul karena kenyataan, artinya berdasarkan syarat-syarat tertentu
yang sudah dipenuhi, misalnya adanya pemerintahan, wilayah, penduduk, dan pengakuan dari dalam dan luar negeri.
3. Teori Perjanjian dan Kontrak Sosial. Teori inim menganggap negara itu terbentuk berdasarkan perjanjian bersama. Perjanjian
ini dapat antar individu yang bersepakat mendirikan suatu negara ataupun perjanjian antar individu yang menjakah dan yang
dijajah.
4. Teori Penaklukan. Teori ini menganggap bahwa negara itu timbul karena adanya kelompok manusia mengalahkan kelompok
manusia yang lain. Dengan demikian pembentukan negara dapat terjadi karena proklamasi, peleburan dan penguasaan atau
pemberontakan. Teori ini juga disebut teori kekuatan karena dalam teori ini kekuatan membuat hukum, dan kekuatan itu
sendiri adalah pembenaran.
5. Teori Alamiah. Teori ini menganggap bahwa negara adalah ciptaan alam karena manusia dianggap sebagai mahluk sosial dan
sekaligus mahluk politik. Oleh karena itu, manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara. Jadi dalam situasi dan kondisi setempat
yang ada, negara terebetuk dengan sendirinya.
6. Teori Filosofis. Teori Filosofis ini juga dikenal sebagai teori idealistis, teori mutlak, teori metafisis. Teori ini bertsifat filosofis
karena merupakan renungan-renungan tentang negara dan bagaimana negara itu seharusnya ada. Bersifat idealis karena
merupakan pemikiran tentang negara sebagaimana negara itu seharusnya ada, “Negara sebagai ide” bersifat mutlak karena
melihat negara sebagai suatu kesatuan yang omnipeten dan omnokompeten. Bersifat metafisis karena adanya negara terlepas
dari individu yang menjadi bagian dari bangsa. Negara mempunyai atau memiliki kemauan sendiri, kepentingan sendiri, dan
nilai moral sendiri.
7. Teori Historis. Teori ini menganggap bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tetapi timbul secara evolusioner sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Oleh karenanya lembaga-lembaga sosial kenegaraan itu dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi dari lingkungan setempat, waktu, dan tuntutan zaman sehingga secara historis berkembang menjadi negara-negara
seperti yang kita lihat sekarang ini.
8. Teori Organis. Teori ini menganggap bahwa negara sebagai manusia. Pemerintah dianggap sebagai tulang, undang-undang
dianggap sebagai syaraf, kepala negara dianggap sebagai kepala, masyarakat dianggap sebagai daging. Dengan demikian,
negara itu dapat lahir, tumbuh, dan berkembang lalu mati.
9. Teori Patrilineal dan Matrilineal. Teori ini menganggap bahwa negara itu timbul dari perkembangan kelompok keluarga yang
dikuasai oleh garis keturunan Ayah (Patrilineal) atau garis keturunan Ibu (Matrilineal). Keluarga tersebut berkembang menurut
garis keturunan yang ada dan menjadi benih-benih negara sampai terbentuk pemerintahan yang terdesentralisi.
10. Teori Kadaluwarsa. Teori ini menganggap bahwa negara terbentuk karena memang kekuasaan raja (diterima atau ditolak oleh
rakyat) sudah kadaluwarsa memiliki kerajaan (sudah lama memiliki kekuasaan) dan pada akhirnya menjadi hak milik oleh
karena kebiasaan. Menurut teori ini, raja bertahta bukan karena hak-hak ketuhanan, tetapi berdasrkan kebiasaan. Laju dan
organisasinya yaitu negara kerajaan timbul karena adanya milik yang sudah lama yang kemudian melahirkan hak milik. Raja
bertahta oleh karena hak milik itu yang didasarkan pada hukum kebiasaan.

B. NEGARA DAN BANGSA


Bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, satu jiwa, dan satu asas spiritual yang tercipta oleh pengorbanan masa lalu demi
masa depan generasi penerusnya.
Badan Aparatur Negara disebut pemerintah,parlemen,militer,lembaga peradilan,hukum.
Ciri Negara modern:
1.kesejahteraan penduduknya terjamin
2. keamanan negara terjamin
3. memiliki kepastian hukum
4. tegaknya sistem demokrasi
5. adanya kebebasan pers
6.memiliki hubungan internasional yang mulus.
7. Memiliki permasalahan yang cepat diselesaikan
8. perekonomian lebih maju
9. teknologi maju dan modern
10. kehidupan penduduk difasilitasi dengan terkucukupi.

Ciri Negara yang sedang berkembang:


1. sistem perekonomian yang lemah
2. pendapatan perkapita rendah
3. teknologi dapat dikalahkan dan terbelakang
4. keamanan wilayah tidak terjamin
5. Kesehatan penduduk buruk
6. banyaknya angka kematian
7. pertumbuhan penduduk pesat
8. banyaknya jumlah pengangguran
9. masih menggunakan teknologi tradisional
10. jumlah impor lebih tinggi dari pada ekspor.

Pemerintah adalah kelompok sosial yg pada periode terbatas diberi kesempatan memegang kewewenangan seperti menjadi
puncak pimpinan eksekutif yg memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara.
Tempat istimewa dalam masyarakat modernberkat adanya bangsa (nation) adalah basis suatu proses menyatukan kelompok2
masyarakat dalam bidang politik historis,sosiokultural,sosio ekonomis,sosio budaya dengan interaksi lewat komunikasi
sehingga menjadi kelompok yg begitu besar dr kelompok regional.
Faktor yang mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia sebagai bangsa ialah kesamaan latar belakang sejarah,
tekad untuk hidup bersama guna mencapai cita-cita masa depan yang lebih baik (masyarakat adil dan makmur aman sentosa). 
Bangsa indonesia bukan dr nenek moyang kita tp dr kesatuan solidaritas (Ernest-Renan 1823-1842)
-Sumpah Pemuda 28 okto 1928
-Nasional integration antar indo dg india smp 1942

Berikut adalah macam-macam teori kedaulatan yang berkembang


dalam kehidupan dunia : 
a. Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah dan mengajarkan bahwa kepala negara
anak/turunan tuhan,oleh karenanya segala titahnya harus ditaati karena suara tuhan tidak bisa dibantah.. Adapun tokoh-tokoh
yang menjadi pelopor
teori kedalulatan Tuhan, seperti Augustinus, Thomas Aquino, F. Hegel, dan F.J.Stahl. 
b. Teori Kedaulatan Raja, merupakan teori yang menggap bahwa raja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dimana
kekuasaan raja berada di
atas konstitusi serta tidak perlu menaati hukum moral agama karena statusnya sebagai representasi atau wakil Tuhan di dunia,
maka pada saat itu kekuasaan raja berupa tirani bagi rakyatnya. Adapun untuk tokoh yang menjadi peletak dasar utama dari
teori kedaulatan raja adalah Niccolo Machiavelli yang kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobes. 
c. Teori Kedaulatan Negara menagnggap Segalnya demi negara karena negara menurut kodratnya mempunyai kekuasaan
mutlak.. Berdasarkan teori ini,kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatunegara, hukum dan konstitusi lahir
menurut kehendak negara dan diabdikan kepada kepentingan negara. Tokoh-tokoh yang menjadi peletak dasar teori ini antara
lain Jean Bodin, G.Jellinek, dan Paul Laband.
d. Teori Kedaulatan Hukum merupakan teori yang menganggap bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang
berlaku dimana hukum yang membimbing kekuasaan pemerintah. Pelopor teori kedaulatan hukum antara lain Hugo de Groot,
Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Daguit. 

e. Teori Kedaulatan Rakyat atau Teori Demokrasi menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dimana
pemerintah harus menjalankan kehendak rakyat dan konstitusi menjamin hak asasi manusia.  Pelopor dari teori kedaulatan
rakyat, seperti JJ. Rousseau, Johanes Althusius, John Locke, dan Mostesquieu.

Ada dua asas yang dipakai dalam penentuan  Kewarganegaraan, yaitu asas Ius Soli dan asas Ius Sanguinis.
Asas ius soli (kewarganegaraan ganda) menentukan warga negaranya berdasarkan tempat tinggal/kelahiran di suatu negara,
adalah warga negara tersebut. Sebagai contoh, apabila Kita punya anak lahir di Amerika Serikat karena Amerika Serikat
menganut asas ius soli ini secara otomatis anak tersebut mempunyai  Kewarganegaraan Amerika Serikat. (dilihat dari sisi
Amerika Serikat).
Asas ius sanguinis, menentukan warga negaranya berdasarkan keturunan (pertalian darah), dalam arti siapa pun anak kandung
(yang sedarah seketurunan) akan mengikuti  Kewarganegaraan orang tuanya. Dengan kedua asas tersebut dapat menimbulkan
implikasi sebagai berikut.(Pewarganegaraan/naturalisasi)
a. Mereka yang mempunyai  Kewarganegaraan ganda atau bipatride karena negara asal orang tua yang bersangkutan
menganut asas ius sanguinis sedangkan yang bersangkutan melahirkan anak, tinggal di negara yang menganut asas ius soli.
b. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai  Kewarganegaraan (apatride) karena yang bersangkutan dilahirkan di negara yang
menganut asas ius sanguinis sedangkan negara asal orang tua yang bersangkutan menganut asas ius soli.
Masyarakat adalah keseluruhan kompleks hubungan individu yang luas dan terpola dalam lingkup yang besar (negara) atau
kecil dalam suatu suku bangsa atau kelompok sosial lainnya. Masyarakat warga negara (civil society) atau masyarakat madani
bukan berarti masyarakat sipil. Civil society adalah wilayah atau ruang publik yang bebas, di mana individu, warga negara
melakukan kegiatan secara merdeka menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. Pancasila merupakan falsafah,
pandangan hidup, ideologi/paham, dan dasar negara yang tercantum dan tak terpisahkan dalam UUD 1945. Dalam mencapai
tujuan nasional diperlukan teori-teori atau asas-asas yang diyakini kebenarannya sebagai pedoman dasar, Wasantara sebagai
doktrin dasar dan Tannas sebagai doktrin pelaksanaan.
Soal : 1. Ciri sebuah negara /persyaratan suatu negara antar lain....
Jawab:
1. Adanya pemerintahan yang sah dan berdaulat
2.Adanya rakyat sebagai warga neggara dan bangsa dalam negara
3.Memiliki wilayah yang dikuasai sbg milik bangsa dan negara yg diakui oleh negara lain
2. Bangsa indonesia pernah bermusuhan dengan negara terjadi pada saat....
Jawab :pemerintah majapahit & pemerintah militer jepang
2.Pemerintah adalah aparatur negara,aparatur lainya .....
Jawab:militer,parlemen,lembaga peradilan
3.Bangsa indonesia terbentuk berdasarkan......
Jawab :Kesamaan latar belakang sejarah,kesepakatan hidup bersama

KB 2 Makna dan Landasan Hukum Pendidikan  Kewarganegaraan


Pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai “Usaha sadar’
1. Upaya sadar.
2. Menyiapkan calon pemimpin.
3. Mempunyai kecintaan, kesetiaan, dan keberanian, membela bangsa dan negara.

Dasar sejarah
1. Upaya pada masa penjajahan Belanda seperti cut nyak dien,imam bonjol,diponegoro,patimura
2. Gerakan yang dimulai pada tahun 1908.gerakan mendirikan budi utomo tgl 20 mei 1908 Tujuan menyatukan bangsa
indonesia melalui pendidikan dan pengajaran 
3. Ikrar Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dikenal dengan sumpah pemuda
4. Semangat pemuda pada masa Jepang. Mempersiapkan kemerdekaan
5. Proklamasi kemerdekaan.17 agustus 1945
6. Perjuangan pada awal masa kemerdekaan.untuk melawan belanda yg ingin kuasai lg indonesia 
7. Pejuangan bangsa indonesia menghadapi Pengkhianatan, pemberontakan, dan penyelewengan.

Dasar Hukum
a. UUD 1945:
1)Tujuan dan aspirasi bangsa indonesia tentang kemerdekaan yg tercantum pada alenia kedua & keempat Pembukaan,UUD
1945
2)Hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara Pasal 30 ayat (1),
3)Hak setiap warga negara untuk memperoleh pengajaran tercantum Pasal 31 ayat (1).
b. Surat keputusan Bersama Mendikbud-Menhankam No. 06IU/1985 KEP/002/43/II/ 1985
c. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI yang disempurnakan
dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang UU Pertahanan Negara. Skep Bersama Mendikbud-Menhankam No. 001 /N/1982
KEP/002/II/1985.
d. UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional yang di sempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem  Pendidikan  Nasional.
e. Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa 
f. Keputusan dengan Dikti No 38/Dikti/Kep/2002.  

Soal
1. Pendidikan kewarganegaraan dilaksanakan mahasiswa agar memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara dengan....(selalu
siap siaga menghadapi ATHG)
2. Contoh pemimpin perusahaan dalam membela negara dengan....(Menjadi sponsor sosial kelompok mahasiswa tertentu)
3. Pernyataan menurut UUD 1945....(Hak & Kewajiban setiap bangsa negara)
4. Kaitan pendidikan kewarganegaraan dengan aspirasi bangsa indonesia tentang kemerdekaan yg tercantum pada alenia II
dan IV Pembukaan UUD 1945 berarti pendidikan kewarganegaraan........(memupuk kesadaran bela negara,meningkatkan
tannas untuk menjamin kemerdekaan & kelangsungan hidup bangsa)

KB.3 Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan  Kewarganegaraan diselenggarakan untuk menumbuhkan kesadaran bela negara serta kemampuan berpikir secara
komprehensif integral.
Untuk mencapai tujuan itu  Pendidikan  Kewarganegaraan membahas Wasantara, Tannas, politik dan strategi nasional, politik
dan strategi pertahanan keamanan, serta sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.
Kesadara bela negara mengandung :
1. Kecintaan kepada tanah air
2. Kesadaran berbangsa & bernegara
3. Keyakinan akan pancasila & UUD 1945
4. Kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara
5. Sikap dan perilaku awal bela negara

Kaitan Hubungan Antara Materi Dengan Tujuan Pendidikan  Kewarganegaraan


Bangsa Indonesia mempunyai konsep kemampuan (power) yang merupakan derivasi dari Pancasila, yaitu “Tannas”.
Kemampuan/kekuatan (power) diwujudkan melalui pembangunan nasional. Kebijaksanaan dan strategi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan nasional diwujudkan dalam bentuk GBHN (sekarang Propenas) oleh MPR setiap tahun. Oleh
karena itu, pada hakikatnya GBHN (Propenas) adalah Politik Nasional dan Strategi Nasional.
Cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara dalam kerangka Tannas yang diwujudkan dalam Pembangunan
Nasional sesuai dengan arahan GBHN. Sekarang Propenas mutlak disertai dengan kerelaan berkorban untuk membela
bangsa dan negara.

Modul 2 .
WAWASAN NUSANTARA
 Budi Utomo berdiri 20 mei 1908 .Tonggak sejarah bangsa indonesia “SUMPAH PEMUDA”yg diikrarkan pada 28
Oktober 1928 berisi Bertanah air satu tanah air indonesia (tanah dan air tdk dipisahkan melainkan satu kesatuan
yg memisahkan pulau2 dg sendirinya diganti dg perairan yg menghubungkan pulau2 jadi satu kesatuan)
Berbangsa satu yaitu bangsa indonesia (menggambarkan satu kesatuan politik)
Berbahasa satu yaitu bhs indonesia(menggmbarkan satu kesatuan sosbud)
Melaui lagu indonesia raya menurut mayoritas(39 org) anggota BPUPKI melakukan pemungutan suara pd
sidang BPUPKI pd tgl 11 Juli 1945 konsep wilayah yg diajukan Prof Dr moh yamin SH mencakup wilayah Hindia
belanda,Borneo (Kalimantan),Malak,Papua,Timor timur.
Tahun 1973 wawasan tsb memperoleh kekuasaan hukum dicantumkan TAP MPR No.IV/MPR/1973 tantang
GBHN.sebagai wawasan kesatuan yg mencakup kepulauan nusantara sbg satu kesatuan :
politik,sosbud,ekonomi,pertahanan&keamanan. Baru pada tahun 1982, konvensi Hukum Laut menerima asas
negara kepulauan atau asas nusantara diterima sebagai hukum internasional, dan bersamaan dengan itu pula
ditetapkan perluasan yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas atau ZEE. Hasil konvensi ini disahkan pada
bulan Agustus 1983 di New York.

Soal :
1. Wujud kecintaan terhadap tanah air....(Membanggakan karya bangsa,menggunakan bhs indo dg baik &
benar,Menolak keuntungan diberikan pihak yg lain)
2. Perwujudan bela negara......(membuka pameran seni diluar negeri)
3. Kemampuan berfikir komprehensif integral bersifat..... (Holistik)
4. Dalam menerapkan pola pemikiran komprehensif integral jika anda diminta menyelesaikan perselisihan di
lingkungan tempat tinggal anda....(mempelajari persoalan dari berbagai aspek konsepsi)
5. Untuk mengenal indonesia sbg satu kesatuan wilyah dg segala isinya maka ilmu paling tepat dipelajari....
(Geografi Regional Indonesia)

B. MENGENALI GEOGRAFI, GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI BANGSA INDONESIA


A1. MENGENALI GEOGRAFI
Kondisi geografis dan kedudukan geografis dalam kaitannya dengan percaturan dunia serta kebijakan-kebijakan
dalam pemanfaatan kondisi dan kedudukan geografi turut menentukan dalam pembentukan wawasan nasional.
Kepulauan Nusantara merupakan kepulauan terbesar di dunia. Bentuknya memanjang di sekitar katulistiwa. Negara
kepulauan yang luas dan jumlah penduduk yang besar (ke-4 dunia) kalau kita rinci karakteristik geografi dan
penduduknya adalah sebagai berikut.
a. Panjang wilayah 1/8 katulistiwa (1/8 X 40.000 km).
b. Jarak terjauh Utara-Selatan 1.118 km dan jarak terjauh Timur-Barat 5.110 km.
c. Dilalui oleh garis Katulistiwa, berada di antara 6° Lintang Utara – 11o Lintang Selatan; 95° Bujur Timur – 141°
Bujur Timur.
d. Berada di antara dua buah benua Asia - Australia; dan di antara dua buah samudra, yaitu Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia.
e. Terdiri dari 17.508 buah pulau besar dan kecil.
f. Luas daratan ± 1,9 juta km dan luas perairan 2/3 dari seluruh wilayah.
g. Indonesia bagian Barat dominan daratan daripada perairan, sedangkan Indonesia bagian Timur lebih dominan
perairan daripada daratan.
h. Pada umumnya tanahnya subur, kecuali di beberapa tempat di Kalimantan dan Irian.
i. Bumi mengandung kekayaan alam (mineral) yang potensial. Dari 11 mineral terpenting di dunia, 7 jenis terdapat di
Indonesia.
j. Penduduk yang cukup besar menduduki urutan ke-4 di dunia. Namun, dari jumlah penduduk yang besar tersebut
penyebarannya tidak merata. Daerah Jawa, Madura, Bali dan Lombok (JAMBAL) dikategorikan sebagai daerah
terpadat, sedangkan daerah lainnya masih jarang penduduknya.

Kondisi geografi berupa kepulauan yang luas dan panjang dengan penduduk yang majemuk (ratusan suku bangsa
yang berbicara dalam 746 bahasa daerah (12% dari jumlah bahasa di dunia) memang sulit dipersatukan.

A2. mengenali GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI


Kebijakan dan pelaksanaan dalam memanfaatkan keuntungan letak geografi yang strategis berkaitan dengan
geopolitik dan geostrategi bangsa Indonesia.
geopolitik ini mengandung pengertian kebijakan politik yang mengaitkan pengaruh letak geografi bumi yang menjadi
wilayah (ruang hidup) manusia yang tinggal di atas permukaan bumi. Bagi bangsa Indonesia, geopolitik merupakan
pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor- faktor geografis wilayah negara untuk mencapai tujuan nasional.
Artinya, geopolitik adalah kebijaksanaan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan
letak geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.
Sedangkan geostrategi ialah kebijaksanaan pelaksanaan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarana
tersebut guna mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara.Geopolitik Indonesia
dikembangkan sesuai dengan Pancasila sehingga tidak mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun
kekerasan.
Pada geostrategis, keadaan dan letak negara Indonesia pada posisi silang memberikan pengaruh terhadap segenap
kehidupan bangsa. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menguntungkan, tetapi juga mengundang berbagai bentuk
ancaman. Analisis posisi silang negara Indonesia itu tidak hanya mengenai segi fisik-geografisnya saja, melainkan
mengenai aspek-aspek kehidupan sosial, yaitu:
a) demografi (kependudukan) antara daerah yang berpenduduk padat di utara dan daerah yang berpenduduk jarang
di selatan;
b) ideologi antara komunisme di utara dan liberalisme di selatan;
c) politik antara demokrasi rakyat di utara (Asia Daratan bagian utara) dan demokrasi parlementer di selatan;
d) ekonomi antara sistem ekonomi terpusat di utara dan sistem ekonomi liberal di selatan;
e) sosial antara komunisme atau sosialisme (komune) di utara dan individualisme di selatan;
f) budaya antara kebudayaan Timur di utara (Budha/Kong Hu Chu) dan kebudayaan Barat di selatan;
g) hankam antara sistem pertahanan kontinental (kekuatan di darat) di utara dan sistem pertahanan maritim di
barat, selatan dan timur.

Pokok Teori karl haushofer berdasarkan pada pandangan ratzel &kjellen :


1.kekuasaan imperial daratan yg mantap akan mengejar kekuasaan imperium maritim &akan menguasai pengawasan
di laut
2. beberapa negara besar didunia akan timbul (jerman,italia,jepang)&akan menguasai eropa & asian barat

Sehubungan dengan konsep geopolitik &geostrategi perlu diketahui beberapa konsep kekuatan :
1.Konsep Kekuatan di darat (sirhalford mackinder 1861-1917)
2.Konsep kekuatan di laut (sir walter releight 1554-1618 dan alfred thaher mahan)
3.Konsep kekuatan di udara (W mitchel 1877-1946 A savensky 1894)menyatakan bahwa kekuatan di udara
merupakan daya tangkis yg ampuh terhdp sgl ancaman
4.Teori daerah batas (Rimland) dr nicholas spykman merupakan wawasan yg bnyk diikuti oleh ahli geopolitik

Menurut Ratzel perkembangan suatu negara karena teknologi,ttpi mengemukakan dlm perjuangan mempertahankan
kelangsungan hdp suatu bangsa&hukum alam ttp berlaku.Kemampuan teknologi dpt meningkatkan konsis ekonomi
suatu negara
 
KB 2 HAKIKAT & UNSUR DASAR WAWASAN NUSANTAR
 Tujuan nasional bangsa indonesia:
1.membentuk negara kesatuan republik indonesia yg melindungi segenap bangsa indo&tanah tumpah drh indo
2. memajukan kesejahteraan umum&mencerdaskan kehidupan bangsa
3.ikut melaksanakan ketertiban dunia berdsrkan kemerdekaan
Pandangan bangsa indo ttg diri & lingkungan sesuai ideologi nasional yaitu pancasila & UUD 1945
Tujuan wasantara adl persatuan &kesatuan yg harmonis dlm segenap aspek kehidupan bangsa dlm upaya
mewujudkan kesejahteraan & ketentraman bagi bangsa indo
Tjuan wasantara ke dalam :Mewujudkan persatuan & kesatuan dlm aspek kehdpn nasional
Ke luar :Mewujudkan kebahagiaan & perdamaian dunia
Unsur dasar Wasantara :
-Wadah :Ruang hdp yg mempunyai batas dan wujud
-Isi
-tata laku

Soal :
1. Wasantara ditetapkan bangsa indo agar dapat....(Menjamin Kepentingan sosial)
2. Wasantara merupakan....(Cara Pandang bangsa indo ttg diri & lingk sesuai dg falsafah pancasila &UUD)
3. Tujuan Wasantara......(agar wilyah indo bersatu dlm semua aspek kehidupan & dpt trut serta dlm
mewujudkan dunia yg damai)
4. Tindakan2 berikut sesuai dg cita2/tujuan bangsa indo kecuali...(Menjdi anggota suatu pakta pertahann sprt
pakta atlantik utara)

KB.3 WASANTARA SEBAGAI LANDASAN TANNAS & PEMBANGUNAN NASIONAL


Wasantara :
1.wawasan wilayah - Hukum laut & PBB
2.Wawasan hukum -Hukum nasional
3.Wawasan Hankam -Sishankamnas
4.Wawasan Nasional -Ketahanan Nasional
Wajah Wasantara :
1.Wawasan Nasioanal--TANNAS
2.Wawasan Bangnas--pola dasar bangnas
3.Wawasan kewilayahan--hukum laut PBB
4. Wawasan Hankam-- Sishankamnas

Soal :
1. Wasantara adl cara pandang bangsa indo berdasarkan pancasila 7 UUD 1945 melihat indo sbg satu kesatuan
yg utuh antara aspek....(Fisik geografik,Sosial)
2. Tujuan nasional dlm wasantara memnadang kita sbg bangsa ttpi juga bgimna cr memanfaatkan kondisi
fisik-geografik wasantara berperan sbg....(geopolitik&geostrategi)
3. Menjamin kehidupan bangsa menuju kejayaan diperlukan TANNAS.pd hakekatnya tannas adal...
(Kemampuan & ketangguhan Bangsa
4. Pembangunan nasional adl pembangunan smua aspek khdupan bangsa.Pembangunan nasional
merupakan...(Perwujudan wasantara,memperkokoh tannas,meningkatkan kesejahteraan
5.

Modul 3
Ketahanan Nasional
KB 1.Sejarah Bangsa dan Latar belakang Tannas

Perjuangan mengusir penjajah mulai dari perlawanan Sultan Agung dari kerajaan Mataram pada tahun 1613 sampai
perlawanan Sisingamangaraja (Batak) pada tahun 1900 tidak pernah berhasil. Hal ini karena di satu sisi, tidak
adanya persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia dan di sisi lain “keragaman” bangsa Indonesia mudah
dieksploitasi dengan politik “pecah belah” atau “adu domba” atau secara populer disebut juga politik “de vide et
impera”.
Perjuangan selanjutnya memunculkan angkatan perintis kemerdekaan (1908) yang ditandai dengan berdirinya Budi
Utomo, dan 20 tahun kemudian muncul angkatan “Penegas” Sumpah Pemuda (1928).. Hasil perjuangan yang
menonjol dalam periode ini adalah tumbuh semangat atau jiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (ingat
ikrar Sumpah Pemuda).
Periode selanjutnya, masa penjajahan Jepang (1942 babak baru perjuangan bangsa Indonesia. Pada mulany1945),
merupakana bangsa Indonesia bersimpati pada penjajah baru ini.. Hasil bumi maupun ternak rakyat banyak disita
untuk kepentingan penjajah. Banyak rakyat Indonesia dipaksa menjadi “Romusha” (pekerja paksa) baik di Indonesia
maupun dikirim ke luar negeri, untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang pada waktu itu yang sedang
terdesak oleh tentara Sekutu. Kesempatan emas itu datang dengan ditaklukkannya Jepang kepada Sekutu 15 Agustus
1945. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, dan terbentuklah Negara
Republik Indonesia.
Untuk lebih memahami latar belakang tannas dari sisi sejarah sejak perlawanan Sultan Iskandar Muda (Kerajaan
Aceh) sampai dengan Kemerdekaan RI disajikan dalam ringkasan di atas. . Pasukan tentara Sekutu yang tergabung
dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang seharusnya bertugas menerima penyerahan tentara
Jepang, membebaskan tawanan perang, menjamin keadaan damai dan penyerahan pemerintahan ke pihak sipil,
ternyata diboncengi tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) dan menginjak-injak harga diri bangsa
Indonesia yang telah menyatakan dirinya merdeka.
di Medan Area (Sumatra Utara) Desember 1945 Bandung, Maret 1946 (ingat peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret
1946) dan tempat-tempat lainnya di wilayah Indonesia.peringati sebagai hari pahlawan), di Ambarawa November
April 1946, pertempuran diPertempuran terjadi di Surabaya (ingat peristiwa 10 November yang kita Desember
1945,
350 Tahun lebih menderita, hasilnya adalah Kemiskinan dan Penderitaan Lahir Batin
Upaya Perlawanan yang dilakukan oleh Bangsa
Indonesia, antara lain:
- Iskandar Muda di Aceh (1636)
- Sisingamangaraja dari Batak (1900) Perjuangan tersebut Penjajah
Imam Bonjol di daerah Minangkabau (1822 belum berhasil Politik, pecah- 1837)
- Badarudin di daerah Palembang (1817) belah dan
- Sultan Tirtayasa dari Banten (1650) kuasa (Sistek
- Untung Suropati dari Jatim (1670) dan Sissos)
- Jalantik dari Bali (1850) Kurang adanya persatuan
- Anak Agung Made dari Lombok (1895) 
- Pangeran Antasari dari Kalsel (1860)
- Hasanuddin dari Makasar (1660)
- Pattimura dari Maluku (1817)

Tahap Perjuangan selanjutnya: Cara Perjuangan terhadap Penjajah diubah


(1) Angkatan Perintis (1908)dengan jalan:
Dirintis oleh Budi Utomo yakni Di didik untuk memajukan Bangsa
(2) Angkatan Penegas (1928):Hasil perjuangan yang menonjol "Jiwa Sumpah Pemuda    Persatuan Bangsa
Indonesia".
Pada periode Penjajahan Jepang (19421945)
Merupakan babak Penjajahan Baru sehingga timbul berbagai pemberontakan melawan Jepang sebab penjajahan
jepang tetap menimbulkan Kemiskinan dan Penderitaan

Perlawanan terhadap tentara Belanda (NICA), terjadi setelah usai perundingan Linggar Jati, Belanda melakukan
kecurangan dengan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Perlawanan terus dilanjutkan dan berakhir pada
perundingan Renvile 8 Desember 1947 yang membuat Indonesia menjadi bagian dari Uni Indonesia Belanda.
Setelah perjanjian Renvilee timbul pula pengkhianatan Partai Komunis Indonesia yang memproklamasikan negara
Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948. Selesai peristiwa Madiun (affair Madiun) Belanda
(NICA) melakukan agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Hal itu membawa Indonesia-Belanda ke
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949.
Hasil KMB membuat Indonesia menjadi Negara Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian. Ternyata
kemudian bentuk negara federal ini tidak dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Hikmah perjuangan bangsa dan negara RI dari peristiwa perlawanan terhadap tentara asing sejak proklamasi
kemerdekaan sampai 17 Agustus 1950 adalah sebagai berikut.
1. Kendatipun Tentara Inggris dan Belanda lebih modern persenjataan dan organisasinya, tidak membuat perjuangan
rakyat Indonesia pupus, semangat juang terus dikobarkan. Keberanian berkorban demi bangsa dan negara (membela
tanah air) membudaya di kalangan pemuda (ingat semboyan merdeka atau mati!).
2. Politik devide et impera Belanda gagal. Bangsa Indonesia mengutamakan persatuan dan kesatuan.

Sementara itu, di dalam negeri terjadi konflik akibat kekacauan politik dan gerakan pembangkangan Kartosuwirjo
yang tidak puas terhadap hasil perundingan Renvile. Kartosuwiryo mengumumkan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) tanggal 7 Agustus 1949 (latar belakang ideologi agama) di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat (Darul Islam di
Sulawesi Selatan dan Aceh). Ketidakpuasan politik dan golongan terhadap pemerintah Pusat (PRRI/Permesta),
bermotifkan ideologi komunis (Pemberontakan Gerakan 30 September/PKI) sampai kepada pemberontakan yang
bermotifkan “nostalgia” pada zaman kolonial (pemberontakan Kapten Andi Azis, RMS/APRA)., konflik-konflik yang
bersifat lokal dan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan) kerap terjadi, namun dapat diatasi
dengan baik.

KB.2 Pengertian Landasan dan Ciri Tannas


Tannas  pada hakikatnya adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan
hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.. Tannas dilandasi oleh Wasantara dalam upaya mencapai tujuan dan
cita-cita bangsa sebagai pengejawantahan Pancasila.

Asas tannas, yaitu (1) pendekatan kesejahteraan dan keamanan,    (2) komprehensif dan integral. Sebagai doktrin ia
merupakan cara terbaik yang diakui kebenarannya dan dijadikan pedoman dalam memenuhi tuntutan
perkembangan, bangsa dan lingkungan untuk kelangsungan hidup dan kejayaan bangsa dan negara.
Sebagai metode pemecahan masalah maka ia akan menjelaskan: 
1. kondisi kehidupan nasional dalam suatu waktu;
2.  memprediksi kehidupan nasional pada waktu yang akan datang;
3. mengendalikan kehidupan nasional agar sesuai dengan kondisi yang diharapkan atau ditetapkan.

Selain mempunyai asas ia juga mempunyai sifat, yaitu   


              (1) manunggal, (2) mawas ke dalam dan ke luar, (3) kewibawaan,        (4) berubah menurut waktu, (5) tidak
membenarkan adu kekuatan atau adu kekuasaan, dan (6) percaya pada diri sendiri.

Tannas sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan sistem kehidupan nasional mempunyai wajah dan fungsi.
Wajah tannas dalam bentuk kondisi, doktrin, dan metode. Sebagai kondisi merupakan totalitas segenap aspek
kehidupan bangsa yang didasarkan nilai persatuan dan kesatuan (Wasantara) untuk mewujudkan daya tangkal, daya
kekebalan dan daya kena dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai doktrin ia merupakan cara terbaik yang ada
untuk mengimplementasikan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Sebagai metode ia merupakan cara
pemecahan masalah nasional dalam perkembangan bangsa dan untuk kelangsungan hidup bangsa dan negara.
* Fungsi tannas adalah sebagai doktrin perjuangan nasional, metode pembinaan kehidupan nasional, pola dasar
pembangunan nasional dan sebagai sistem kehidupan nasional.

KB.3 Keterkaitan Antargatra Dalam Tannas dan Ketahanan Gatra Tannas 

Pengelompokan bidang kehidupan bangsa Indonesia dibuat dalam    8 kelompok gatra (model) bidang kehidupan.
Kedelapan gatra tersebut (Astagatra) dibagi dalam dua kelompok, yaitu trigatra (geografi, sumber kekayaan alam,
dan demografi) dan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam).
Gatra-gatra tersebut dapat dibedakan secara teoretik tetapi tidak bisa dipisahkan karena keterkaitan yang kuat satu
sama lain. Oleh karena itu, astagatra ini harus dilihat secara holistik dan integral (bulat utuh menyeluruh).
Trigatra bersifat statis dan Pancagatra bersifat dinamis. Trigatra merupakan modal dasar untuk meningkatkan
Pancagatra. Kelemahan di dalam satu gatra dapat mempengaruhi gatra yang lain dan sebaliknya meningkatnya
kekuatan pada salah satu gatra dapat meningkatkan gatra yang lain (sinergi).
Tannas pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan. Dalam rangka itu, peranan
gatra terhadap kondisi kesejahteraan dan keamanan sebagai berikut. 
1. Ada gatra yang sama besar peranannya untuk kesejahteraan dan keamanan.
2. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk kesejahteraan daripada keamanan.
3. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk keamanan daripada kesejahteraan.

Trigatra, ideologi, politik peranannya sama besar dalam kesejahteraan dan keamanan.
Gatra Ekonomi, sosial budaya lebih besar untuk kesejahteraan daripada keamanan.
Hankam lebih besar untuk kesejahteraan keamanan daripada kesejahteraan. Tannas merupakan resultan (hasil) dari
ketahanan masing-masing aspek kehidupan (gatra).

TRI GATRA
Kelompok gatra alamiah adalah:
1. Kondisi Geografi Negara,
2. Kekayaan alam,        
3. Demografi (Keadaan & kemampuan penduduk)
    
PANCA GATRA
Kelompok gatra sosial adalah: 
1. Ideologi
2. Politik
3. Ekonomi  
4. Sosial Budaya
5. Hankam

Alfred thayer dalam buku sea power of nations mengemukakan pembidangan:


1.letak geografi
2.betuk/wujud buni,
3.Luas wilayah
4.jumlah penduduk
5.watak nasional bangsa
6.sifat pemerintah

Unsur kekuatan Nasional menurut palmer & perkins :


Land,resources,population,technology,ideology,morale,leadership

B. Hubungan antargatra
1. Hub antragtra di dlm trigatra
-antar kondisi geografis dg kekayaan alam
-antar penduduk dg kondisi geografi
-antar kekayaan alam & Penduduk
2. Hub antargatra di dlmpancagatra
-ideologi sbg fisafah hdp bngs &landasan ideal negara dst
-tingkah laku politik dipengaruhi olehberbagai faktor yg saling berkaitan
-ketahanan di bidang ideologi
-keadaan sosial yg serasi,stabil
-keadaan yg stabil dibidang politik
*gatra demografi mencakup jumlah penduduk
*gtra ideolagi berangkat dr filsafah yaitu renungan pendirian yg didorong oleh keinginan untk mencari hikmah
kbnran
Landasan Tannas
Tannas sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan sistem kehidupan nasional di dalam pelaksanaannya
mempunyai landasan yang kuat yaitu Pancasila, UUD 1945 dan Wasantara.

Perwujudan Tannas

Pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, pada dasarnya untuk mewujudkan tannas. Titik berat
pembangunan nasional pada bidang ekonomi karena bidang ekonomi ini mempunyai “daya biak” terhadap bidang-
bidang kehidupan lainnya, untuk meningkatkan spektrum kemampuan kita sebagai bangsa dan negara.

Sifat Gatra & Sistem TANNAS :


-Trigatra bersifat statis & pancagatra bersifat dinamis
-Trigatra dipergunakan sbg modal dsr untuk meningktkan pancagatra
-gatra2 dlm sistem TANNAS dpt dibedakan scra teoritik ttp tdk dpt dpshkan satu sm lain
- kelemahan dlm satu gatra akn melemahkan gatra yg lain & mempengaruhi pula kedaan sluruhnya

Soal  :
1. Keunggulan dr gatra geografi indonesia adl....(posisi strategis ditengah dunia,kekayaan sumber alam yg
beragam,beriklim tropis)
2. Kelemahan gatra demografi indo dilihat dr.....(Kualitas rendah&Penyebaran tdk merata)
3. Kekuatan yg dmiliki pd gatra sumber kekayaan alam indo adl.....(potensi sumber kekayaan alam hayati non
hayati yg ckup bsr&jenis sumber kekayaan alam beragam)
4. Untuk meningkatkan tannas indo di bidang ideologi mk diperlukan upaya....(menghayati dan mengamalkan
pncasila,taqwa kepd Tuhan YME)
5. Pemerataan kesempatan dlm persamaan kesempatan dlm pembangunan nasional berkaitan dg sila...
(Keadilan sosial & Kemanusiaan yg adil dan beradap)
 
Modul 4
Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi
Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi” di bidang teknologi
komunikasi atau informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T.
Pemikiran Naisbitt menyatakan menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan munculnya berbagai
paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi” akan menghilangkan negara bangsa (nation state)?
Disisi lain globalisasi haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity) untuk meningkatkan, Konsep
globalisasi baru masuk kajian dalam universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologi
yang dicetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh.
Globalisasi menyebabkan  “bazar global” karena dunia sebenarnya telah merupakan pasaran bersama dengan adanya
alat-alat komunikasi serta entertainment global melalui jaringan TV, internet, film, musik maupun majalah-majalah
maka dunia dewasa ini telah merupakan suatu pasar yang besar (global cultural bazaar).
Menurut Champy, lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalah Pertama, lingkungan yang
merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan konsumen. Kedua, untuk memenuhi selera pasar
“konsumen”, diperlukan manusia-manusia yang menguasai ilmu dan keterampilan tertentu serta menjalankan
instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, masyarakat masa depan merupakan masyarakat
“meritokrasi”, yaitu masyarakat yang menghormati prestasi daripada statusnya dalam organisasi. Keempat,
lingkungan yang menghormati seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan
kedudukannya di dalam organisasi.
Transformasi ini berjalan dengan menghadapi tantangan sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, globalisasi
mengandung berbagai paradoks.
Menurut Kartasasmita (1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling menunjang, yaitu
perdagangan dan teknologi.
. John Naisbitt mengatakan globalisasi mengandung berbagai paradoks, di antaranya berikut ini.
1. Budaya global vs Budaya lokal
2. Universal vs Individual
3. Tradisional vs Modern
4. Jangka Panjang vs Jangka Pendek
5. Kompetisi vs Kesamaan kesempatan
6. Keterbatasan akal manusia vs Ledakan IPTEK
7. Spiritual vs Material

Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkretisme budaya yang sifatnya transnasional.
Sebagai bangsa Indonesia, dengan berpijak pada budaya Pancasila, untuk menghadapi kekuatan global tersebut,
perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam segenap aspek kehidupan (Astagatra). Kekuatan
yang kita miliki dalam Astagatra (geografi, sumber kekayaan alam, demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, dan Hankam) yang harus dipertahankan, ditingkatkan dan dikembangkan, sedangkan kelemahan-
kelemahan yang ada hendaknya dapat diatasi dan diubah menjadi kekuatan untuk meningkatkan tannas di dalam
menghadapi era globalisasi.. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional untuk mencapai tingkat tannas yang kita
harapkan di dalam era globalisasi ini diperlukan pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra.
Dalam aspek Trigatra diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan kesejahteraan
dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan, pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan
asas manfaat, daya saing dan kelestarian. Dalam aspek pancagatra diperlukan pemahaman penghayatan dan
pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penghayatan budaya
politik Pancasila, mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk
mencapai kesejahteraan yang meningkat bagi seluruh rakyat, memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal
Ika, dan memantapkan kesadaran bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Soal :
1. Dunia merupakan suatu pasar besar indikator hal ini yaitu...(manjamurnya mal2 dg produk luar
negeri,berkeliaran turis2 indo ke mancanegara,tersebarnya tekstil&pakaian jdi indo di kota2 bsr dunia
2. Di era globalisasi umat manusia dipersatukan jenis proses yg mempersatukan umat manusia.....(Citra
global,mal global & tmpt kerja global,keuangan global)
3. Nilai positif globalisasi mempunyai dimensi2 baru yg negatif & tdk pernah dikenal sblmnya yaitu....
(kriminalitas & pembjkn internasional,demokrasi & kesadaran lingk hdp yg baik)
4. Akibat Eksploitasi SDA yg intensif gaya hdp yg konsumerisme & kerusakan lingk yg tdk dpt dipechkan scra
lokal krn berdmpk negatif terhdp planet bumi secara keseluruhan maka muncul gagasan global ttg......
(Global Village & Global goverment)
5. Kenichi ohmae menulis buku Dunia tanpa batas dlm buku tsb bidang yg tnpa batas adl...
(Komunikasi&Perdagangan)
6. Dari sisi birokrasi dpt merusak rasa nasionalisme yg ditunjukkan dg....(skt krg tnggp trhdp kepentingan
rakyat, tndkn bertentangan dg khdpn rkyat,arogansi & pelanggaran hak2 rakyat
7. Objek nasionalisme masa kini adl...(bangsa&negara)

MODUL 5
POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
Politik nasional adalah asas, haluan dan kebijaksanaan negara tentang pembinaan serta penggunaan potensi
nasional dalam bangnas untuk mencapai tujuan nasional. Politik nasional mencakup politik dalam negeri, politik
ekonomi, politik pertahanan dan keamanan. Faktor yang mempengaruhi politik nasional ialah ideologi, ekonomi,
sosial budaya dan Hankam.
Stranas adalah “tata cara” untuk melaksanakan politik/kebijaksanaan nasional untuk mencapai sasaran dan tujuan
nasional. Kebijaksanaan nasional (National Policies) yaitu rencana alokasi sumber kemampuan bangsa, dari
rincian langkah-langkah dan tahapan waktu yang diperlukan untuk mencapai sasaran nasional.
Sasaran nasional (National Objectives) yaitu kondisi nyata yang hendak dicapai dengan melibatkan usaha dan
sumber kemampuan yang tersedia yang telah ditetapkan melalui kebijaksanaan nasional. Sasaran nasional ini
kemudian diwujudkan melalui sejumlah kegiatan nasional (National Commitment). Landasan politik dan strategi
nasional ialah Tannas, Wasantara, UUD 1945, dan Pancasila. Sistem perencanaan strategik adalah perangkat untuk
mengendalikan seluruh tingkat perencanaan dalam upaya mencapai sasaran nasional.
. Polstranas pada hakikatnya adalah kebijaksanaan nasional dalam menentukan cita-cita, tujuan, sasaran, program,
dan cara-cara mencapainya.
Wujud Polstranas dalam negara kesatuan Republik Indonesia adalah GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Untuk
melaksanakan GBHN tersebut MPR menugaskan kepada Presiden/Mandataris MPR. Selain melaksanakan GBHN,
MPR menugaskan kepada Presiden/Mandataris MPR menyusun dan menetapkan Repelita.

Cakupan Politik Nasional :


-Politik dlm negeri
-politik Luar Negeri
-politik ekonomi
-Politik Hankam

Faktor yg mempengaruhi politik nasional :


-Ideologi
-Ekonomi
-Hankam

Komponen konsep strategi :


-ada Tjuan yg ingin di capai
-ada sarana yg digunakan
-Ada tata cara penggunaan sarana

Landasan Polstranas :
-Tannas
-Wasantara
-UUD 1945
-Pancasila

Inisiasi 6 Demokrasi dan HAM


Oleh 
FR Wulandari, M. Si

Istilah demokrasi sudah merupakan kata yang merakyat dan membumi, sehinga cakupannya menjadi luas dan
digunakan bukan saja menunjuk pada politik praktis melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Misalnya Demokrasi Ekonomi, Demokrasi Sosial. Pada awalnya,
istilah demokrasi ini merupakan kata yang berasal dari Latin yaitu, “demos” dan “cratein atau cratos” ; dimana
demos berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein berarti kekuasaan atau kedaulatan. Intinya rakyat
yang berkuasa, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian zaman
abad pertengahan dari (476 M - 1500 M) dan zaman modern (1500 M – sekarang) dimana tiap masa memiliki
rumusan demokrasi yang kontekstual, sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada zaman
modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi didorong oleh menyebarnya
paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite
(Persamaan), Fraternite (Persaudaraan) dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia timur, Dr. Sun
Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan. 
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum karena dominan pengaruh hak-hak
individu. Negara dan pemerintah tidak banyak turut campur dalam urusan warganya, kecuali berkaitan dengan
kepentingan umum. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit memerintah. Negara seperti penjaga
malam. Konsep laisses faire laisses aller berpeluang mandiri, tetapi juga berpeluang menuju penindasan atas sesama.
Wajah baru demokrasi    abad XX berangkat dari pengalaman abad XIX tersebut. Negara dan pemerintah berperan
luas. Penjaga malam tidak hanya bertugas secara pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur kehidupan dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat. 
Adapun karakteristik demokrasi universal, antara lain : (1) kehidupan masyarakat dimana warganegaranya berperan
serta dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; (2) pemerintahan yang menjamin kemerdekaan berbicara,
beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ; (3) pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok
minoritas; (4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang sama kepada seluruh warganegaranya. Dari hal
tersebut, dapat dilihat bahwa fokus wacana demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity dan demokrasi sebagai pelembagaan dari
kebebasan. Artinya, rakyat yang menjadi kriteria dasar demokrasi.
1965, dan sejak runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru melaksanakan demokrasi Pancasila sampai
sekarang. Gejala dalam demokrasi parlementer pemerintahan tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan
pembangunan terhambat. Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan presiden sebagai pusat kekuasaan dan
melemahnya kekuatan partai politik. Begitu pula dalam demokrasi Pancasila di zaman orde baru dominasi eksekutif
masih tetap kuat ,parlemen seolah olah merupakan subordinasi dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan sejalan
dengan pergantian orde baru dengan orde reformasi. UU Dasar diamandemen, MPR terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, begitu juga presiden dipilih langsung oleh rakyat. Praktik
demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Praktik musyawarah mufakat merupakan bagian
integral dari demokrasi. Sejak kemerdekaan Indonesia 1945 sampai tahun 1959 Indonesia melaksanakan demokrasi
parlementer dalam pemerintahan, kemudian melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 1959 
Adapun CICED (1998) sebagai Center for Indonesia Civic Education, menjabarkan demokrasi sebagai dimensi yang
multidimensional, yaitu (a) secara filosofis, demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; (b) secara sosiologis sebagai
sistem sosial, dan (c) secara psikologis sebagai wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab, CICED
merumuskan demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip :
dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku
dan sikap individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan dipelihara. 
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar (USIS:1995). Antara lain, (1)
kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4)
hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan
hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme sosial,
ekonomi, politik dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut Sanusi
(1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan
YME; (2) demokrasi dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan pembagian
kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6) demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan
otonomi daerah; (8) demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial. 
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia adalah pilar demokrasi yang
berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh
Maududi dan kaum muslim sebagai teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME,
sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3 tradisi pemikiran politik.
Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu, antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory;
(3) Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan
seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan penerapan
Roman Law dan popular sovereignity, sehingga demokrasi diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat. Lain lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican maka demokrasi
disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni. 
Lebih jelas lagi, Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai formal democracy dan substantive
democracy. Dari aspek formal democracy yang dilihat adalah demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan.
Kemudian dari aspek substantive democracy yang dilihat adalah proses demokrasi, yang diklasifikasikan dalam
empat bentuk demokrasi. Antara lain : (1) protective democracy menitik beratkan kepada kekuasaan ekonomi pasar,
sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk memajukan kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara;
(2) developmental democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat mengembangkan kemampuan dan
kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi demokratis sebagai jalur utama bagi pengembangan diri; (3)
equilibrium democracy atau pluralist democracy menekankan penyeimbangan nilai partisipasi daan pentingnya
apatisme, sebab apatisme di kalangan mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi demokrasi. Partisipasi yang
intensif dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional ; (4) participatory democracy menekankan bahwa
perubahan sosial dan partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu sama lain saling
memiliki ketergantungan. 
Oleh sebab itu perlu diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan wahananya yaitu pendidikan kewarganegaraan,
sebab ethos demokrasi bukan suatu warisan tetapi sebagai suatu konsep yang harus dipelajari dan dialami atau
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya proses demokrasi tidak hanya merupakan suatu proses yang
berkembang pesat di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya beragama kristen seperti yang telah
dipersepsikan oleh Huntington (1991). Tetapi sesungguhnya proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di
dunia termasuk di negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan Voll (1996) dengan studi
komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11)
kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam kontek global dinamis dan kedua proses
tersebut saling mengisi. Demokratisasi di dunia muslim menekankan (1) hanya satu kedaulatan yakni Tuhan, (2)
khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakat, (3) syura sebagai tradisi musyawarah, (4) ij’ma sebagai
bentuk persetujuan dan (5) ijtihad sebagai bentuk penafsiran mandiri. Sehingga proses demokrasi tidak selalu dapat
diukur dari kriteria demokrasi barat tetapi dilihat secara kontektual menurut perkembangan situasi sosial kultural
setempat. 
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan
dan persatuan kesatuan bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga faktor
tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222
– 223). Konsep masyarakat madani di Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat
dengan proses demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari warga negara
secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya.
Menurut Hikam, ciri utama masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap
negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Secara kualitatif masyarakat madani
Indonesia ditandai oleh (a) ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b) adanya jaminan hak azasi manusia, (c) adanya
partisipasi luas warga negara dalam pengambilan keputusan publik dalam berbagai tingkatan, (d) adanya penegakan
rule of law dan (e) adanya pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan demokrasi dapat dilakukan dalam
pendidikan formal, informal dan non formal, sesuai visi pendidikan demokrasi yaitu learning democracy, through
democracy, and for democracy atau secara jelas dijabarkan sebagai wahana substantif, pedagogis dan sosio kultural
untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap dan ketrampilan demokrasi bagi warganegara melalui
pengalaman hidup berdemokrasi. Misi pendidikan demokrasi adalah : (1) memfasilitasi warganegara untuk
mendapatkan berbagai akses dan memakai secara cerdas berbagai sumber informasi; (2) memfasilitasi warganegara
melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita,
instrumentasi dan praksis demokrasi untuk mendapatkan keyakinan dalam pengambilan keputusan individual
ataupun kelompok. Praksis politik diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip dan nilai demokrasi yang
melibatkan individu dan masyarakat dengan keseluruhan aspek lingkungannya; (3) memfasilitasi warganegara untuk
memperoleh kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis kehidupan demokrasi di
lingkungannya. Untuk itu strategi dasar pendidikan demokrasi adalah pemanfaatan multimedia dan sumber belajar,
kajian interdisipliner, pemecahan masalah sosial, penelitian sosial, aksi sosial, pembelajaran berbasis portfolio,
pembelajaran yang kukuh atau powerful learning (meaningful, integrative, value-based, challenging and active).
Model pendidikan demokrasi berbasis portfolio versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran yang
menggunakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses berpikir yang
didukung sejumlah data yang relevan, yang melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang
dialami siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Di dalam model ini, ada simulasi public hearing kemudian
dilanjutkan kegiatan refleksi bagi individu dan keseluruhan siswa untuk merenungkan dampak perjalanan panjang
proses belajar demokrasi bagi perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara. Adapun untuk perguruan tinggi,
menurut Udin S. Winataputra ( 2002: 35) model pendidikan demokrasi dikembangkan sesuai paradigma pendekatan
perluasan lingkungan dan meningkatkan tingkat kompetensi mahasiswa ke higher-order intellectual abilities..
Demikian pengayaan tentang demokrasi.
Pada dewasa ini, krisis kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kemerosotan pembangunan dan kehidupan
sosial politik bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Sedemikian besarnya krisis kepercayaan terhadap
pemimpin, telah menyebabkan pergeseran persepsi masyarakat tentang figur ideal pemimpin bangsanya, contohnya
di Amerika Serikat yang dulu sangat mengidolakan presiden dari kaum kulit putih, kini mulai melirik dari ras kulit
berwarna yang ditandai dengan majunya Obama sebagai capres. Masyarakat sudah mulai bosan dengan dinamika
politik yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia yang kini mulai melirik capres atau cabup, cagub dari kalangan bukan elit politik yang dianggap rentan
terhadap penyalahgunaan wewenang dan ingkar janji. Lebih-lebih dengan banykanya kasus KKN yang terkuak pada
lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman dan lainnya. 
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan kurangnya keteladanan figur
pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and negara. Perhatikan berita di media massa yang memperlihatkan
lemahnya control sosial bahkan di kampus sekalipun, sehingga tawuran antarmahasiswa sering terjadi yangn
dibarengi dengan tindakan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum, contohnya adanya pemakian
narkoba dari jenis ganja sampai sabu, kepemilikan senjata tajam illegal baik dari senjata rakitan sampai yang
pabrikan. Sungguh ironis, terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan motivasi untuk merdeka dalam
diri rakyatnya yang didorong oleh semangat juang pemuda sebagai trigger nilai juang yang pantang menyerah
melakukan perubahan ke arah kebaikan; sekarang dikotori oleh pikiran divide et impera akibat perbedaan kelompok
dan kepentingan. Padahal jika perbedaan kelompok dan kepentingan dijadikan kekayaan mental, pemikiran dan
kolaborasi kepentingan yang saling menguatkan and melayani, kehidupan bermasyarakat, berbangsa and bernegara
akan berlangsung indah dan harmoni. 

DAFTAR PUSTAKA

Budhisantosa, S., (2002) Pancasila dan Kebangsaan dalam Masyarakat Majemuk dengan Keanekaragaman
Kebudayaan. Yogyakarta : DIKTI (makalah).
Winataputra, Udin S., Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. Yogyakarta: DIKTI.

Amin, Zainul I. (2007)MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UT


Terakhir diperbaharui: Selasa, 18 Oktober 2011, 09:41
 
 

INISIASI 7
 
I. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Disarikan dari tulisan  Dr.Zainul Itthad Amin,Drs.,M.Si

A. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1.  Perbedaan Konsep

Ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan


terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat
Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya
berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa
memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan
kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan
interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan
dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai
intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah
Pusat. 
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam mengambil
keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan
pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi
(Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik
luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional;
perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta
konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan).
Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan
lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan
yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).Variasi interpretasi konsep otonomi
tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang
kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. 
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari suatu institusi (lihat
Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif
cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih
terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi
untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu
otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan
keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas
yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga
diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat
Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai
sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal
terlepas dari pengaruh lingkungannya. Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49)
sebagai keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini
didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna
ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian. 
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD
1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan”
namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang
dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola
dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa
diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan,
sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi
daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat
berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut
mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan dengan
kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan
tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal
lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22
Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan
khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut. 
Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan
risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan pendekatan
metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang
terbaik tersebut diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang
ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok
yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada
inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999
Pasal 4    ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan
kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. 
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal 9).
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas
bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hampir 400
daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-
departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat
dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek
UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti
Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat
Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat
dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7
dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif,
yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan kewenangan
itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan
desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang
hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan”
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam
Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara
Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya
sebuah undang-undang dilaksanakan          5 (lima) tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan
memerlukan waktu. 
Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu
UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie
menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah
tersebut berlaku resmi. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan.
Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang
merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis
lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level
kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak
bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi
daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti
kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power
untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan
interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan
elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma
politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi
publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa.
Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga
merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut
untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan,
inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu
memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi
dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan
berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena
birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar
otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52)
yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan
sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di
Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai
upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi
masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat
dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus
Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata,
tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah. 
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan
nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya
dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal
ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena
masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang
tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-
aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan
tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam
menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan
proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya
masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di
instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan
kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post
Bureaucratic 

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat tidak efektif
karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari
pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan
masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di
era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada
masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini
memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur
mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. KESALAHAN STRATEGI

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan
kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan
kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini
sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi
kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi
dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan
pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun
di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini,
yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan
berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja. 
Jika dikaji UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-
kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang
telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih
berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang
orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi
dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk
berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM
aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-
masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means)
untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.Dalam hubungan ini, seperti dikatakan Moh. Hatta,
bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya
auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh
rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki
nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.

II. GOOD GOVERNANCE KUNCI MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH

Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu kelemahan yang dihadapi adalah standar penilaian kinerja
pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means)
daripada tujuan (ends). Seharusnya di era otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma
reinventing government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan atau visi
organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat Gaebler dan Osborne 1992). Pada saat ini
tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk diakomodasikan dalam standar penilaian
kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama
karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan. 
1. Visi Strategis
    Apakah Kabupaten/Kota memiliki visi, misi yang jelas.
2.  Transparansi
    Apakah pemerintahan kabupaten/kota menyediakan informasi ke publik  secara terbuka sehingga publik dapat
mempertanyakan mengapa suatu keputusan dibuat, apa kriteria yang digunakan sehingga masyarakat dapat
melakukan kontrol, memonitor kinerja lembaga-lembaga publik.
3.  Responsivitas
Apakah pemerintah kabupaten atau kota dapat tanggap terhadap masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat yang
mereka layani.
4.  Keadilan
Apakah pemerintah kabupaten/kota telah memberikan semua orang kesempatan yang sama dalam meningkatkan
atau memperbaiki kesejahteraannya.
5.  Konsensus
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapai
persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.
6.  Efektivitas dan Efisiensi
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan memanfaatkan sumber
daya dengan cara yang baik atau melalui manajemen sektor publik yang efektif dan efisien.
7.  Akuntabilitas
Pemerintahan kabupaten atau kota harus bertanggung jawab kepada publik dalam konteks kinerja lembaga dan
aparat yang baik dalam bidang manajemen, organisasi maupun dalam ”kebijakan publik”.
8.  Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul,
berorganisasi dan berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depannya. 
9.  Penegakan Hukum
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah menciptakan aturan dan menegakkan hukum yang membentuk situasi
dan kondisi yang aman dan tertib serta kondusif bagi masyarakat.
10. Demokrasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong proses demokrasi di masyarakat.
11. Kerja sama dengan organisasi masyarakat
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang ada dalam
memecahkan masalah-masalah dan pelayanan kepada publik.
12. Komitmen pada pasar
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada lingkungan
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota memperhatikan masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah mengembangkan dan membudayakan unit-unit kelembagaan lokal
agar dapat mengambil kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal.

Apabila nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Kabupaten atau kota maka otonomi daerah yang
ideal dapat terwujud. Untuk dapat segera mewujudkan hal itu maka perlu adanya perubahan pola pikir sikap dan
pola tindak para birokrat kita yang sudah lama bercokol dari orientasi birokrasi lama ke orientasi birokrasi baru
seperti diungkapkan dalam good governance. 

III. CAPACITY BUILDING SEBAGAI AKSELERATOR  GOOD GOVERNANCE  UTK MEWUJUDKAN DAERAH
OTONOM

Langkah awal pemberian otonomi daerah yang harus dilakukan adalah capacity building sebagaimana
direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintah daerah Dengan Capacity Building ini dapat mempercepat
terwujudnya good governance di era otonomi daerah

A. PENGERITAN CAPACITY BUILDING

Capacity Building untuk pemerintahan didefinisikan sebagai serangkaian strategi yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian
kepada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan atau
lingkungan. Dalam definisi ini capacity building terkandung upaya-upaya untuk melakukan perbaikan kualitas
sumber daya manusia, mendorong organisasi agar berfungsi lebih baik, dan merubah konteks lingkungan yang
dibutuhkan organisasi dan individu SDM agar dapat berfungsi dengan baik.
Berdasarkan pemahaman terhadap literatur tersebut maka untuk mewujudkan suatu otonomi  daerah  pada  saat 
sekarang diperlukan persiapan yang berkenaan dengan (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga
pemerintahan daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi
pemerintahan daerah,    (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintahan daerah, (5)
pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintahan daerah, (6) perbaikan budaya organisasi 
pemerintahan  daerah, (7) peningkatan SDM aparat pemerintahan daerah, (8) pengembangan sistem jaringan
(network) antarkabupaten dan kota, dan dengan pihak lain, dan      (9) pengembangan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan lingkungan pemerintahan daerah yang kondusif kesatuan dari sebuah sistem, yang kalau dibenahi
yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam
penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback
(perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif).

B. ELEMEN-ELEMEN CAPACITY BUILDING

Pengembangan Visi dan Misi daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sampai sekarang belum ada
kejelasan mengenai ke mana suatu kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain,
visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Karena itu,
bidang-bidang strategis apa yang dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai visi tersebut juga tidak jelas.
Untuk itu, diperlukan pada saat ini adalah pengembangan          (1) Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan
(2) Rencana Strategis Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan. Bidang-bidang strategis yang harus dikembangkan dalam Rencana
Strategis tersebut sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan yang perlu dikembangkan (dalam
program, proyek dan kegiatan-kegiatan), tipe dan jumlah serta kualitas institusi-institusi pemerintahan yang
diperlukan, jenis dan tingkat keterampilan manajerial skills yang diperlukan termasuk tipe kepemimpinan, dan
sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan
harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis yang telah dirumuskan dalam Rencana
Strategis Daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, yang perlu dilakukan dalam
pengembangan kelembagaan, meliputi (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan organisasi, (3)
pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya
organisasi.
Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis tersebut juga
seharusnya menentukan jenis, jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di daerah khususnya pada lembaga
pemerintahan kabupaten/kota. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali pengembangan SDM tidak dikaitkan
dengan kebutuhan strategis daerah, bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi pemerintahan daerah itu
sendiri. Dalam konteks SDM ini perlu difokuskan pengembangan  (1) keterampilan dan keahlian, (2) wawasan dan
pengetahuan, (3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif bekerja, dan (5) moral dan etos kerjanya.
Pengembangan Network Pemerintahan. Rencana Strategis telah memberikan arah pengembangan SDM dan
kelembagaan yang ada di daerah. Dalam melakukan berbagai pengembangan tersebut daerah pasti memiliki
berbagai keterbatasan. Karena itu, harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain dan
tidak harus dengan pemerintah pusat sebagaimana selama ini terjadi. Seharusnya di masa mendatang daerah diberi
kebebasan untuk belajar dari atau saling belajar dengan (1) kabupaten atau kota yang lain baik dari dalam maupun
dari luar negeri, (2) lembaga-lembaga vertikal yang ada, dan (3) pusat-pusat pengembangan seperti perguruan tinggi
dan LSM yang sesuai dengan kebutuhan mereka, melalui suatu ”jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara
mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah.
Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan. Di samping semua perbaikan dan peningkatan
tersebut, pemerintahan daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dapat dimanfaatkan
untuk berbuat yang terbaik bagi daerah. Di sini daerah harus mengupayakan (1) pemanfaatan lingkungan fisik dan
nonfisiknya secara optimal dan bertanggung jawab, (2) pemanfaatan peraturan perundangan lebih tinggi dan (3)
penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di daerah. Peraturan perundangan yang mendukung
pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan
bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Dalam konteks ini, daerah harus memelihara, melanggengkan
dan memanfaatkan lingkungannya agar masyarakat merasa aman sementara ia dapat bekerja memberikan yang
terbaik bagi masyarakatnya.. Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki tersebut harus dilihat sebagai
satu.

Sumber : Modul 8 MKDU4111


Terakhir diperbaharui: Sabtu, 29 Oktober 2011, 12:01
 

Inisiasi 9
Dirangkum oleh FR Wulandari, M.Si

Konflik dan Perang


Dalam sejarah manusia mendambakan dunia yang aman, damai, dan sejahtera. Setiap berakhirnya perang besar,
dilakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya perang baru. Liga Bangsa-bangsa didirikan setelah Perang Dunia
I, untuk menjaga perdamaian. Akan tetapi, situasi damai di Eropa hanya bertahan selama 20 tahun, kemudian
disusul oleh perang yang lebih dahsyat lagi yaitu Perang Dunia II.
Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu te1991). Malahan pada saat ini masih berkecamuk perang di Kamboja,
Konggo; Somali, Sudan, Bosnia. Belum lagi gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa
bersenjata dalam negeri lainnya, bahkan juga di negara industri maju, seperti di Irlandia Utara, daerah
Basque.1978; Irak - Kuwait 1990; Libya - Tunisia 1980; Syria - Libanon 1976; Kampuchea - Vietnam 19791983;
Etiopia - Somalia 19771988; Equador - Peru 1981rjadi peperangan dan sengketa bersenjata lainnya. Setelah Perang
Dunia II selesai didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun perang tidak pernah berhasil dihapus. Selama
dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80 negara terlibat dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di
antaranya 58 negara di dunia ketiga (negara sedang berkembang/miskin) dengan perincian 29 negara tersebut
terlibat dalam perang saudara (Civil War) dan 24 negara dalam perang antarnegara (seperti Burkina Faso - Mali
1986; Iran - Irak 1980
Mengutip Ivan S. Block (The Future War) yang menulis bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 SM, suatu
kurun waktu selama 3357 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap 1
tahun damai terdapat 13 tahun perang. Melihat sejarah manusia itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia
adalah sejarah kekerasan bersenjata. Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan keadaan damai malah menjadi
keadaan yang tidak normal. Situasi damai hanya berlangsung selama terdapat suatu tata dunia yang cukup tegar dan
efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kemampuan memberikan ganjaran setimpal atau lebih keras
terhadap negara/ kekuatan yang melakukan perang/kekerasan militer.
Menurut Quincy Wright (1941)  dalam bukunya A Study of War  Volume 1, menyatakan, penyebab perang (The
Problem of War), yakni berikut ini.
1. Dunia yang mengerut (The Shrinking of the world)
Diakibatkan oleh kemajuan teknologi transportasi. Komunikasi antarmanusia menjadi lebih cepat dan manusia
menjadi saling tergantung dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik. Orang menjadi lebih siaga
menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya peperangan. 
2. Percepatan jalannya sejarah (The acceleration of history)
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi menyebabkan ide dan pendapat umum/opini mempercepat
perubahan sosial. 
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang (The progress of military invention)
Akibat kemajuan teknik persenjataan, perang menjadi total sasaran penghancuran tidak hanya instalasi militer,
tetapi semua yang ada di wilayah negara. 
4. Peningkatan demokrasi (The rise of democracy)
Peningkatan komunikasi, kecerdasan manusia, dan standar hidup menyebabkan kesadaran berbangsa dan bernegara
meningkat.

14, perang ekonomi.14, dinamakan perang panas, 410 dinamakan perang dingin, 911, dikatakan damai secara
teknis, 614 bersifat tidak terkendali. Kedudukan/status antara 110. Dari nomor 11Dalam kajian sejarah,
konflik/peperangan banyak dipicu oleh masalah-masalah perekonomian dan klaim teritorial, yang berkembang ke
masalah-masalah yang lebih luas. Henry E. Eccles membuat Spektrum konflik. Spektrum konflik yang bersifat dapat
dikendalikan atau terkendali, yaitu dari nomor 1
14 perang tak terbatas.11, perang terbatas, dan 128 peningkatan ketegangan, 95 damai relatif, 62, dikatakan
damai absolut, 3Kondisi umum 1

A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN 
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu persengketaan yang terjadi antarbangsa dari
persengketaan yang terjadi di dalam negeri.

1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat kepentingan nasional, kebudayaan, dan
penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan masyarakat lingkungannya maupun antara
golongan masyarakat itu sendiri bertemu bermacam-macam kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat.
Perbedaan atau pertentangan pendapat dapat menimbulkan persengketaan, apabila perbedaan atau pertentangan
tersebut mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat mereka
berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diselesaikan melalui dialog, diskusi, seminar atau
musyawarah untuk mencapai mufakat atau setidak-tidaknya konsensus, sebagai usaha meniadakan atau
menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini
menemui jalan buntu maka diadakan usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum.
Perbedaan atau pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar yang pada umumnya menyangkut dasar
negara, bentuk negara, dan tujuan negara, biasanya sulit dipertemukan. Persengketaan tentang hal ini dapat berjalan
tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi” almarhum Mahatma Gandhi di India. Namun, adakalanya
persengketaan tentang dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan
kekerasan senjata, misalnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,

B. HAKIKAT PERANG DAN PERANG DEWASA INI

1. Hakikat Perang
Perang menurut Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain; pada hakikatnya perang
adalah pertarungan antara dua kekuatan atau lebih yang saling bertentangan dengan menggunakan kekerasan
bersenjata. Perang pada dewasa ini tidak lagi merupakan persoalan bagi pimpinan dan ahli-ahli perang saja, tetapi
sudah menjadi persoalan seluruh rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Adapun
sebab-sebabnya adalah berikut ini.
a. Perubahan dalam sistem nilai dan moral.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata mutakhir.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, mempererat hubungan antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan. 
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “suatu negara ingin hidup damai maka ia harus mempersiapkan diri
untuk berperang” (sivis pacem para bellum). Kesiapan untuk berperang dapat merupakan faktor pencegah (deterrent
factor) terhadap usaha perang atau keinginan untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya
konsep keseimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering merupakan dasar dari
pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari luar negeri

C. PERANG PEMBEBASAN NASIONAL


Perang pembebasan nasional ditimbulkan dan berkembang melalui kegiatan pemberontakan yang pada tingkatnya
didahului oleh tindakan subversi.

Pengantar Sistem Pertahanan Keamanan Negara Indonesia


A. SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, KHUSUSNYA DI BIDANG PERTAHANAN-KEAMANAN
SEJAK TAHUN 1945

Penentuan sistem Pertahanan-Keamanan suatu negara dilakukan berdasarkan 3 kemungkinan/cara berikut ini.
1. Peniruan dari sistem pertahanan keamanan bangsa lain. Cara ini biasanya dilakukan oleh negara-negara yang
menerima kemerdekaannya dari negara-negara yang telah menjajahnya dan hal ini mungkin kurang sesuai dengan
situasi dan kondisi negara-negara yang bersangkutan
2. Pemilihan secara kebetulan dengan kemungkinan-kemungkinan kurang sesuai dengan keadaan sebenarnya dari
negara dan bangsa yang memilihnya.
3. Usaha suatu bangsa di bidang pertahanan keamanan berdasarkan falsafah, identitas, kondisi lingkungan, dan
kemungkinan-kemungkinan kondisi yang mengancam keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa tersebut.
Penentuan sistem ini yang dapat dikatakan yang paling tepat karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa
yang bersangkutan.

1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut dengan invasi, ialah ancaman dari pihak
Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh dari dua kurun waktu.
1947a. Kurun waktu 1945
Oktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement, Tentara Pendudukan Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-
pasukannya di kota-kota besar di seluruh Indonesia (Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang,
Surabaya, Medan).Pada bulan September
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara Jepang (RAPWI = Repatriation Allied
Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan unsur-unsur alat penjajah Belanda (NICA:
Netherland Indies Civiel Affrairs) dan akhirnya mendapatkan perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia.
1949b. Kurun waktu 1948
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda mendapat kesempatan untuk berkonsolidasi dan
menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada serangan Belanda yang lalu maka Indonesia pun
mengadakan persiapan-persiapan menghadapi segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil
dan kesatuan-kesatuan teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI
(Jenderal Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus. 
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan serangan terhadap ibu kota RI yang selanjutnya kita kenal
dengan Perang Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil presiden,
dan beberapa menteri. Setelah itu dilakukan perlawananan melalui Serangan Umum.  Sasaran-sasaran yang telah
dicapai di dalam Serangan Umum ini ialah berikut ini.
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia internasional. 
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap dipertahankan sehingga
memberikan semangat yang lebih tinggi kepada semua pasukan. 

2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun tanggal 18 September 1948 pada
waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian menyusul peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di
Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku Selatan
(RMS) di Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera dan
Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di mana-mana. 
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan konvensi Jenewa) dan
tidak kontroversial serta kemampuan menggunakan keadaan wilayah sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang sekarang kita kenal
dengan manunggalnya ABRI dan rakyat. 
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap memberi inspirasi serta sekaligus mahir
mengelola sumber-sumber kekuatan.

B. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PERTAHANAN-KEAMANAN

Faktor-faktor tetap yang mempengaruhi suatu sistem pertahanan-keamanan adalah faktor lingkungan yang terdiri
dari faktor geografi, sumber alam, dan demografi.

C. HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA RI

Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara yang
dilandasi asas: 
a. keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri; 
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan); 
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan selalu diusahakan dengan cara-cara damai.
Perang adalah jalan terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa. 
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pengertian tidak agresif dan tidak
ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian sedini mungkin mengambil langkah dan
tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap kemungkinan timbulnya ancaman. 
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan bersifat kerakyatan
dan kesemestaan.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)


Sishankamrata adalah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang komponennya terdiri dari seluruh potensi,
kemampuan, dan kekuatan nasional untuk mewujudkan kemampuan dalam upaya pertahanan dan keamanan negara
(tujuan Hankamneg) dalam mencapai tujuan nasional.
Sishankamrata bersifat semesta dalam konsep, semesta dalam ruang lingkup dan semesta dalam pelaksanaannya.
Komponen kekuatannya terdiri dari berikut ini.
1. Komponen dasar, yaitu rakyat terlatih.
2. Komponen utama, yaitu ABRI dan cadangan TNI.
3. Komponen Perlindungan Masyarakat (Linmas). 
4. Komponen pendukung, yaitu sumber daya dan prasarana nasional.

Pengalaman penyelenggaraan hankam menghasilkan berbagai doktrin pertahanan dan keamanan, yaitu doktrin
perang gerilya rakyat semesta, doktrin perang wilayah, doktrin perang rakyat semesta dan doktrin pertahanan dan
keamanan rakyat semesta.
Sasaran operasi Hankamnas, yaitu mencegah dan menghancurkan serangan terbuka, menjamin penguasaan dan
pembinaan wilayah nasional RI dan ikut serta memelihara kemampuan hankam Asia Tenggara bebas dari campur
tangan asing.
Pola operasi Hankamrata, yaitu operasi pertahanan, operasi keamanan dalam negeri, operasi intelijen strategis dan
pola operasi kerja sama pertahanan dan keamanan Asia Tenggara. Pola operasi pertahanan bertujuan untuk
menggagalkan serangan dan ancaman nyata dari kekuatan perang musuh. Pola operasi keamanan dalam negeri
bertujuan untuk memelihara atau mengembalikan kekuatan pemerintah/negara RI pada salah satu atau beberapa
daerah (bagian wilayah) negara yang terganggu keamanannya.
Pola operasi intelijen strategis (Intelstrat) bertujuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam
pelaksanaan strategi nasional dan operasi-operasi Hankam, menghancurkan sumber-sumber infiltrasi, subversi, dan
spionase yang terdapat di wilayah musuh, dan mengadakan perang urat syaraf dan kegiatan-kegiatan tertutup
lainnya untuk mewujudkan kondisi-kondisi strategis yang menguntungkan.
Pola operasi kerja sama, yaitu usaha bersama kemungkinan gangguan keamanan stabilitas nasional dan perdamaian
khususnya di Asia Tenggara.

Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta

Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan tanggung jawab (hak, kewajiban, dan
kehormatan) setiap warga negara dan bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan kesadaran, dan partisipasi setiap
warga negara dalam upaya bela negara. 
Persepsi tentang bela negara dihadapkan kepada tantangan/ancaman yang dihadapi seca1949 bela negara
dipersepsikan identik dengan perang kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa wujud partisipasi warga negara dalam
pembelaan negara adalah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik secara bersenjata maupun tidak
bersenjata.ra kontekstual dalam periode waktu tertentu. Pada periode tahun 1945 
1965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan dan keamanan yang dilaksanakan melalui
komponen-komponen hankam, seperti ABRI, HANSIP, PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan dengan kondisi
tantangan dan ancaman yang kita hadapi pada periode itu, yaitu menghadapi pemberontakan di dalam negeri,
peperangan Trikora, membebaskan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.Pada periode 1950 
Pada periode Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas daripada periode sebelumnya. ATHG
tersebut dapat muncul dari segenap aspek kehidupan bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
hankam). Oleh karena itu, dalam konteks ini bela negara dapat dilakukan dalam bidang-bidang kehidupan nasional
tersebut dalam upaya mencapai tujuan nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini, bela
negara dapat dikatakan pula sebagai partisipasi warga negara dalam menciptakan dan membangun tannas di
segenap aspek kehidupan bangsa. 
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan merupakan pengertian atau penafsiran yang cukup luas (segala aspek
kehidupan bangsa). Dalam pengertian yang lebih sempit diartikan sebagai upaya pertahanan dan keamanan yang
dilandasi oleh dasar negara Pancasila, UUD 1945 (Pasal 30 ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang
Pertahanan dan Keamanan Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 tentang Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dilakukan melalui pemberian kesadaran bela negara yang dilakukan sejak dini di sekolah
dasar dan berlanjut sampai perguruan tinggi dan di luar sekolah melalui kegiatan pramuka dan organisasi sosial
kemasyarakatan. 
Di sekolah dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang diintegrasikan ke dalam
kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di pendidikan tinggi diwujudkan dalam mata kuliah
Kewiraan (sekarang Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wujud bela negara dibakukan
dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI, Cadangan ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang merupakan
komponen khusus dalam Pertahanan dan Keamanan Negara. 

Politik serta Strategi Pertahanan dan Keamanan


Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan
Hankam dan fungsi sebagai kekuatan sosial politik. 
Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara
aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung
jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamik di segenap aspek kehidupan
bangsa dalam rangka memantapkan tannas untuk mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Pancasila.
Lahirnya ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia
merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman sejarah itu mengakibatkan bagaimana
ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk
memberikan jasanya kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya dalam
memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh kondisi internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk
lingkungan strategik internasional.
1959 ketika pemimpin politik sipil juga tidak mampu mengatasi pemberontakan daerah, ABRI tampil
menyelamatkan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan
sipil gagal menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis, lagi-lagi ABRI tampil di depan
menyelamatkan Republik ini. Secara historis dan budaya dwi fungsi ABRI dapat diterima oleh rakyat Indonesia
kendatipun harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.1949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-
pemimpin politik ditangkap Belanda, peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun 1957Pada tahun 1948
Peran serta politik tersebut semakin besar setelah penumpasan G 30 S/PKI sehingga memungkinkan ABRI turut
menentukan kebijaksanaan nasional dalam pembangunan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI ke
dalam berbagai bidang; lembaga pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun
demikian tidak berarti militer menggantikan peranan sipil. Perluasan peran biasanya pada posisi-posisi kunci dengan
cara penempatan (kekaryaan) dan yang diminta oleh lembaga instansi terkait, serta dengan memperhatikan
perkembangan pembangunan dan kehidupan bangsa.
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat
menimbulkan silang pendapat yang menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI (fungsi sospol) di masa depan. 
Aktualisasi dwi fungsi ABRI di masa depan ini akan efektif apabila ada keseimbangan kepentingan, yaitu
keharmonisan antara kepentingan militer dan kepentingan sipil. Konsensus selalu dapat dibuat atas dasar tidak satu
pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan terhadap golongan lain harus dihindari, kearifan harus
ditumbuhkan agar konflik internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu tannas. 
Runtuhnya rezim orde baru diganti dengan orde reformasi mengeliminasi peran TNI (militer) dalam negara secara
bertahap. TNI diharapkan menjadi kekuatan, pertahanan yang profesional sebagaimana layaknya kekuatan
pertahanan di negara-negara yang sudah maju untuk itu segala keperluannya harus didukung oleh pemerintah dan
pengelolaan yang profesional.

Anda mungkin juga menyukai