Anda di halaman 1dari 9

MEMAHAMI PERLAIHAN EKONOMI POLITIK INTERNAISONAL

MENUJU KEBANGKITAN DEPENDECY THEORY


Aranung Hirabella Badjideh
L1A021084

Tulisan ini menjelaskan terkait bagaimana teori dependensi merubah pola eknomi
politik internasional dengan Dependensi dapat memiliki berbagai pengaruh bagi
ekonomi politik global. Secara umum, dependensi dapat diartikan sebagai suatu
keadaan di mana suatu negara atau wilayah bergantung pada negara atau wilayah lain
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi atau politik tertentu.

Salah satu pengaruh utama dari dependensi adalah ketidakseimbangan kekuasaan


dan pengaruh politik antara negara-negara yang saling bergantung. Negara-negara yang
lebih tergantung pada negara-negara lain untuk pasokan barang atau kebutuhan
ekonomi lainnya mungkin menjadi lebih rentan terhadap tekanan politik atau ekonomi
dari negara-negara pemasok. Selain itu, negara-negara yang bergantung pada ekspor
terhadap negara-negara tertentu juga dapat terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas
atau kebijakan perdagangan dari negara-negara tujuan ekspor mereka.
Pengaruh dependensi juga dapat terlihat dalam hubungan politik antara negara-
negara yang saling bergantung. Negara-negara yang sangat bergantung pada negara-
negara lain untuk dukungan politik atau militer mungkin cenderung menjadi lebih tidak
berdaya atau tidak berdaya untuk memperjuangkan kepentingan nasional mereka.
Namun, ada juga potensi untuk kerjasama yang positif antara negara-negara yang saling
bergantung. Misalnya, ketergantungan pada energi terbarukan dapat mendorong
kerjasama dan integrasi regional untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi
fosil yang terbatas.

bagaimana kebangkitan Depedency Theory?


Teori ketergantungan adalah kebalikan dari teori untuk memodernisasi, yaitu untuk
menekankan keterbelakangan sebagai produk dari model ketergantungan. Kedua kubu-
kontrol ini sampai pengembangan "proyek penting". Pada akhir 1980-an, ketika studi
pem- bangunan memasuki ‘jalan buntu'. Kedua kubu teoretis dianggap telah gagal. Di
tangan satunya, realitas yang ada sebagai objek di negara dunia ketiga Sementara
pembangunan masih diwarnai dengan berbagai indikator keterbelakangan, di sisi lain
muncul fenomena negara-negara industry baru sebagai kisah sukses. 1
Teori ketergantungan (Dependency Theory) dikembangkan oleh Raul Presibich
(Direktur Economic Commission for Latin America, ECLA) pada akhir 1950-an. Dalam
hal ini, Raul Presbich dan rekan-rekannya berfokus pada pertumbuhan ekonomi di
negara maju yang berkembang pesat tetapi tidak dengan negara yang sedang
berkembang, lintasan yang sama untuk pertumbuhan ekonomi di negara miskin justru
sangat jauh jika di bandingan dengan negara maju. Bahkan, dalam penelitiannya,
mereka menemukan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya seringkali

1
Jeffry Ikechukwu Eke, ‘Dependency Theory and Africa’s Underdevelopment: A Paradigm Shift from Pseudo-
Intellectualism: The Nigerian Perspective’, International Journal of African and Asian Studies-An Open Access
International Journal, 1 (2013), 116.
menimbulkan masalah ekonomi di negara-negara miskin. Teori neoklasik tidak dapat
memprediksi hal ini dan dianggap kontradiktif karena teori neoklasik menganggap
bahwa pertumbuhan ekonomi menguntungkan semua negara, meskipun keuntungan
tersebut tidak selalu terdistribusi secara merata. 2
Kajian Prebisch tentang fenomena ketergantungan menyatakan bahwa negara
miskin mengekspor komoditas ke negara kaya, yang kemudian mengubah komoditas
tersebut men- jadi barang jadi (manufaktur), dan kemudian menjual komoditas tersebut
ke negara miskin. Nilai tambah yang berasal dari kenyataan bahwa barang tersebut
merupakan barang jadi tentu menimbulkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan
produk yang bukan barang jadi. Oleh karena itu, negara miskin tidak selalu mendapatkan
pendapatan yang cukup dari ekspor, karena harus membayar lebih untuk barang impor
yang lebih mudah diperoleh dari negara maju. Presbich kemudian menerbitkan solusi
atas realitas yang ada, yaitu negara miskin harus melakukan program untuk mengganti
atau mencari substitusi barang yang diimpornya, sehingga tidak lagi harus membeli
barang jadi dari negara kaya. Negara miskin sekalipun harus menjual produk primernya
di pasar dunia, tetapi cadangan devisa (devisa cadangan) yang mereka terima dari
penjualan produk primer tersebut tidak boleh digunakan untuk membeli produk
manufaktur dari luar.3
Pada titik ini disebut teori ketergantungan dapat dilihat sebagai penjelasan
mengapa negara miskin tetap miskin. Adapun pendekatannya neoklasikisme tradisional
tidak pernah melihat masalah kemiskinan ini, sebaliknya, mereka mengatakan bahwa
negara miskin

Andre Gunder Frank


Frank adalah seorang ekonom Amerika. Dia mendapat pengaruh Prebisch
tentang hubungan tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Dengan
demikian dalam bukunya Capitalism and Underdevelopment in Latin America, dia
menyatakan keterbe- lakangan, khususnya di Amerika Latin, bukanlah suatu kondisi
alamiah dari sebuah masyarakat dan bukan karena kekurangan modal. Keterbelakangan
merupakan sebuah proses ekonomi, politik,dan sosial yang terjadi sebagai akibat
globalisasi dari sistem kapital- isme. Sehingga, keterbelakangan pada negara-negara
satelit (pinggiran) terjadi dikarenakan pembangunan yang dilakukan oleh negara
metropolis (pusat). Frank mengembalikan konsep hubungan antara negara metropolis dan
satelit seperti Prebisch. Akan tetapi, Frank mengang- gap hubungan keduanya berada pada
hubungan politis antara modal asing dan kelas-kelas di negara satelit. Pada rangka
mencari keuntungan, kaum borjuis negara-negara metropolis akan bekerja sama dengan
pejabat di negara-negara satelit, sehingga kepentingan kaum bor- juis akan dominan. Hal
ini kemudian menyebabkan keputusan kebijakan yang menguntungkan kaum borjuis
lokal dan modal asing. Adapun peran borjuis lokal adalah se- bagai mitra junior berupa

2
Nyimas Rika Rodiah, ‘Analisa Ketergantungan Ekonomi Filipina Kepada Amerika Serikat Menurut Teori
Dependensi Cardoso’, 2018, 1–40 <http://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/8388>.
3
Kumba Digdowiseiso, Teori Pembangunan Daerah, 2020 <http://repository.unas.ac.id/652/1/Buku Teori
Pembangunan.pdf>.
payung politik dan kemudahan operasi terkait modal asing. 4
Lebih lanjut, frank memberikan ciri-ciri kapitalisme pada negara satelit, yaitu
(1) kehidupan ekonomi yang tergantung, (2) Terdapat kerja sama modal asing dan kelas
pen- guasa di negara satelit, (3) Terjadinya ketimpangan antara kelas penguasa dan
rakyat. Agar dapat terlepas dari kondisi ini, Frank menyarankan untuk melakukan
revolusi sosialisme, seperti yang dia tulis dalam bukunya Latin America: Reform or
Revolution5
Ada 4 hipotesis dari prank
1. Hipotesis I : Frank menilai adanya hubungan ketergantungan yang terjadi antara
negara metropolis dengan negara satelit berjalan tidak berimbang sehingga di
satu sisi yaitu negara metropolis akan berkembang dengan pesat namun negara
satelit akan semakin tertinggal serta terbelakang. Adapun bila tampak bahwa
terjadi perkembangan di negara satelit hal tersebut merupakan perkembangan
semu yang rapuh akibat adanya ketergantungan.
2. Hipotesis II : Frank berpendapat bahwa negeri-negeri miskin akan menjadi
negara yang memiliki ekonomi sehat dan industri yang maju bila kaitannya
dengan negara metropolis dan dunia kapitalis tidak adanya ketergantungan.
3. Hipotesiss III : Area-area yang saat ini terbelakang merupakan dampak dari
adanya hubungan dengan negara metropolis dan sistem kapitalis internasional
berupa areal pensuplay bahan mentah yang saat ini menjadi terlantar akibat
perubahan produksi internasional.
4. Hipotesis IV : Pertumbuhan areal kawasan perkebunan bukanlah didasari oleh
adanya hubungan dengan sistem kapitalisme asing. Frank beranggapan bahwa
areal- areal tersebut mampu maju dan berkembang dikarenakan adanya respons
yang pos- itif terhadap kesempatan-kesempatan yang ada6
Kondisi ini terjadi pada negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Filipina, dan India.
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa secara umum strategi pembangunan dalam
paradigma modernisasi adalah dengan melakukan peningkatan investasi pada sektor-
sektor produktif, melakukan pertumbuhan pada satu atau lebih sektor manufaktur dengan
tingkat pertumbuhan tinggi, dan mendirikan lembaga-lembaga politik dan sosial yang
akan me- manfaatkan dorongan ekspansi dan ekonomi modern, bersamaan dengan
lembaga-lembaga terkait dapat menjadikan pertumbuhan sebagai proses
berkesinambungan. Berbeda dengan paradigma modernisasi, dependensi lebih
menekankan pada penyebab keterbelakangan di negara-negara berkembang. Menurut
kaum dependensi, dinamika kapitalisme negara korban imprealis berbeda dengan negara
imprealis tersebut. Oleh karena itu, negara pinggiran di- harapkan tidak hanya meniru
secara kasar strategi yang digunakan negara pusat, melainkan mempelajari dirinya sendiri.
Bahkan, Frank menyarankan terjadinya revolusi sosialisme un- tuk melawan
keterbelakangan atau Dos Santos yang mengatakan bahwa keterbelakangan dapat diatasi
dengan tunduk pada negara pusat.

4
Rıdvan Turhan, ‘The Effect of Dependency Theory on Discussions of “Underdevelopment” in Turkey’,
Philosophy of Globalization, 2018, 269–86 <https://doi.org/10.1515/9783110492415-020>.
5
Turhan.
6
Turhan.
Teori Ketergantungan Baru
Teori Peter Evans tentang Pembangunan dalam Ketergantungan (Dependent
Development)
Peter Evans menggunakan gagasannya “Dependent Development” berpendapat
bahwa produksi telah diserahkan ke negara pinggiran karena adanya kemajuan teknologi
dan menguatnya rasa nasionalisme negara pinggiran. Dalam dependent development
terjadi pembangunan industrialisasi pada negara pinggiran menggunakan kerjasama
borjuis lokal, ada perusahaan multinasional raksasa, otak perusahaan tadi berada pada
negara sentral dan cabang-cabang yang terdapat pada negara pinggiran hanya boleh
mengambil keputusan operasional pada cabang tersebut.7
Kerjasama antara modal asing, pemerintah di negara pinggiran yang
bersangkutan dan borjuasi lokal, merupakan proses dependent development atau
pembangunan dalam ketergantungan. Kerjasama antara pemerintah dan pemodal asing
bersifat ekonomi dalam artian kerjasama tersebut memang diperlukan untuk mendorong
terjadinya proses inaadus- trialisasi. Sedangkan kerjasama antara pemerintah borjuis
lokal bersifat politis dalam artian kerjasama tersebut bertujuan untuk mendapatkan
legitimasi politik kaitannya dengan nasion- alisme negara tersebut. Nasionalisme yang
ada di negara pinggiran dimaksudkan sebagai alat untuk memeras perusahaan
multinasional tersebut. Pembangunan merupakan langkah pemerintah melindungi
operasi perusahaan-perusahaan tersebut secara politis. Disamping itu keikutsertaan
pengusaha lokal dalam kebijakan pemerintahan dapat mendatangkan keun- tungan
tersendiri atas kehadiran perusahaan multinasional.8
Evans menyatakan bahwa pada awalnya industri asing yang masuk ke negara negara
pinggiran bertujuan hanya untuk mengurangi bahan mentah dan menjual bahan industri
mereka, industrinya dibangun di negara pusat karena para industriawan takut kehilangan
kontrol terhadap pabrik-pabriknya. Seiring dengan berkembangnya teknologi
komunikasi produksi barang konsumsi bisa dilakukan dimana saja sehingga masalah jarak
tidak menjadi masalah yang besar sedangkan produksi barang modal dipusatkan di
negara pusat. Hal ini mengakibatkan lokasi pabrik tidak lagi menjadi persoalan besar dan
kendali tetap dipegan oleh pusat perusahaan, oleh karena itu pabrik-pabrik pun muncul di
negara pinggiran dengan industriawan pusat yang masih memegang kendali dan menarik
keuntungan dari proses industrialisasi yang terjadi di negara pinggiran. Pembangunan
dalam ketergantungan di negara-negara pinggiran terjadi pembangunan dan industrialisasi
dimana kaum borjuis lokal ikut terlibat secara aktif, pada hal ini juga muncul perusahaan-
perusahaan multinasional raksasa yang mengendalikan operasi perusahaan perusahaan
ini.9
Secara global semua keputusan ada di negara pusat sedangkan cabang-
cabangnya hanya bisa mengambil keputusan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
operasi per- sahaan cabang lokal tersebut, dengan demikian lahirlah aliansi Tripel yakni
7
Bima Nandaka Putra, ‘Ketergantungan Indonesia Sebagai Dampak Politik Perdagangan Jepang (Studi Kasus
Industri Otomotif)’ (Muhammadiyah Malang, 2018).
8
Andre Gunder Frank, ‘Latin America At the Margin of World System History : East > West Hegemonial Shifts
( 992-1492-1992 )’, 28.28 (1992), 1–40.
9
S Syamsiah, ‘KETERGANTUNGAN INDONESIA SEBAGAI DAMPAK POLITIK PERDAGANGAN
JEPANG (STUDI KASUS INDUSTRI OTOMOTIF)’, Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–
952., 2019.
kerjasama an- tara; Modal asing, Pemerintah di negara pinggiran yang bersangkutan,
dan Borjuis lokal. Kerjasama antara pemerintah dan borjuasi lokal bersifat politis artinya
tujuan kerjasama ter- sebut untuk mendapatkan legitimasi politik, agar pemerintah tersebut
dapat diterima sebagai negara nasional yang memperjuangkan kepentingan bangsanya.10
Nasionalisme memberikan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi
modal di negara tersebut dan sangat berguna untuk berargumentasi melawan
perusahaan-perusahaan multinasional. Nasionalisme juga memberikan legitimasi bagi
birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal, Nasionalisme
satu-satunya yang dijadikan basis bagi pemerintah untuk dapat menyatakan kepada rakyat
bahwa mereka sedang menjalan- kan pembangunan nasional yang hasilnya nanti dapat
bermanfaat dan dinikmati oleh segala lapisan masyarakat. Ketergantungan klasik
dihubungkan dengan negara yang lemah pem- bangunan dalam ketergantungan
dihubungkan dengan negara yang kuat, sehingga konspirasi negara menjadi kuat dan dapat
dikatakan sebagai persyaratan terjadinya tahap pembangunan dalam ketergantungan.
Proses pembangunan dalam ketergantungan bukan lawan dari proses ketergantungan
proses ini merupakan kombinasi antara ketergantungan dan pembangunan. Peter Evans
juga menjelaskan bahwa munculnya New Industrial Countries (NICs).11
Ngara industri baru merupakan bentuk baru dari ketergantungan yang disebut
pem- bangunan dalam ketergantungan (dependent development). Menurutnya, kemajuan
industri yang terjadi di negara satelit masih tetap tergantung pada negara sentral karena
seluruh ke- bijakan industrial di negara satelit dipegang oleh negara sentral. Selain itu,
peraturan mengenai hak cipta, penguasaan dan penggunaan teknologi di negara satelit
masih tetap di- batasi. Jadi, semaju apapun NICs, menurut evans semuanya masih berada
dalam koridor apa yang diinginkan oleh negara pusat.

Teori Ketergsntungan Peter Evans


Teori ketergantungan Peter Evans, atau yang juga dikenal sebagai teori keterbe-
lakangan bergantung, adalah sebuah teori dalam ilmu sosial dan ekonomi yang
menggam- barkan bahwa negara-negara berkembang sering kali terperangkap dalam
pola ketergan- tungan terhadap negara-negara maju. Menurut Evans, negara-negara
berkembang tidak dapat mencapai kemajuan ekonomi dan sosial karena mereka
terperangkap dalam ketergan- tungan pada negara-negara maju, yang memonopoli
teknologi, sumber daya, dan pasar dunia. Negara-negara berkembang sering kali
berperan sebagai pemasok bahan mentah dan sumber daya alam yang murah bagi negara-
negara maju, sementara mereka membeli barang- barang industri dan teknologi yang
mahal dari negara-negara maju. Teori ini menekankan bahwa ketergantungan semacam
ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pem- bangunan sosial di negara-
negara berkembang, karena negara-negara maju cenderung mengambil keuntungan dari
situasi ini dan tidak memperbolehkan negara-negara berkem- bang untuk berkembang
secara mandiri.12
10
S. Leydesdorff, L.; Milojevi´c, ‘International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 2nd Ed.’;,
Frontiers in Endocrinology, 2 (2015), 322–327.
11
Editora Guanabara and others, ‘Dependensi Theory of Development’, 1–5.
12
David M. Fields, ‘Dependency Theory’, Elgar Encyclopedia of Post-Keynesian Economics, 2023, 111–12
<https://doi.org/10.4337/9781788973939.dependency.theory>.
Teori Triple Alliance atau Aliansi Tiga Aksis, juga dikenal sebagai Teori Oligarki,
adalah teori yang dikemukakan oleh Peter Evans pada tahun 1995 untuk menjelaskan
hub- ungan antara negara-negara oligarki, kelompok-kelompok bisnis, dan birokrasi di
negara- negara berkembang. Menurut teori ini, negara-negara berkembang sering kali
dijalankan oleh sebuah "triple alliance" atau aliansi tiga kekuatan yang terdiri dari
oligarki politik, ke- lompok-kelompok bisnis besar, dan birokrasi negara. Ketiga
kekuatan ini saling terkait dan terikat dalam suatu jaringan kepentingan dan kekuasaan
yang saling menguntungkan, dan bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan
mereka dan mengambil keuntungan dari negara dan masyarakat. Namun, aliansi ini
sering kali tidak berfungsi untuk kepentingan masyarakat luas dan bisa menimbulkan
korupsi, krisis ekonomi, dan kekacauan politik. Ev- ans menyebut aliansi ini sebagai
"teknologi politik" yang ditemukan oleh negara-negara berkembang untuk mengatasi
kelemahan mereka dalam mengelola negara dan mengambil keuntungan dari
kekuasaan. Teori Triple Alliance Peter Evans telah mempengaruhi pemikiran dan
studi tentang politik di negara-negara berkembang dan memberikan wawasan tentang
bagaimana kekuasaan dan kepentingan beroperasi di negara-negara tersebut. 19
Jika mencermati apa yang telah dijelaskan oleh evans dikaitkan dengan
fenomena Indonesia yang masih miskin padahal memiliki kekayaan alam yang
melimpah maka dapat diketahui bahwa pemerintah kemudian memiliki kewenangan
untuk mengatur secara baik katakanlah potensi kekayaan alam yang melimpah namun
yang terjadi kemudian bahwa ali- ansi yang dimaksud evans kemudian tidak berjalan
dikarenakan adanya kepentingan-kepent- ingan yang berorientasi keuntungan pribadi
antara tripple alliance tersebut. Contoh kasus seperti tambang emas freeport yang selalu
mengalami konflik internal dikarenakan kesen- jangan-kesenjangan yang terjadi di
perusahaan emas terbesar itu, ketika pemerintah ingin memasuki area yang berkaitan
dengan kebijakan kebijakan strategis yang terjadi adalah perhitungan keuntungan yang
sebenarnya sangat merugikan Negara, dengan devisa yang dihasilkan hanya 2%
pertahunnya membuat suatu kerugian besar bagi bangsa kita. Seperti diketahui,
kepemilikan saham mayoritas PTFI saat ini dipegang oleh pemerintah Indonesia sebesar
51,2 persen yang sisanya digenggam Freeport McMoRan (FCX). Adapun, saham milik
pemerintah itu tertuang dari kepemilikan 26,24 persen PT Inalum (Persero) dan 25
persen PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM). 13
Negara-negara berkembang harus meningkatkan kemampuan mereka untuk
memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya diimpor dari negara-negara maju dan
memperkuat pasar internal mereka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mencapai kemandirian ekonomi. Dengan demikian, teori ketergantungan Cordoso
menjelaskan bahwa negara- negara berkembang tergantung pada negara-negara maju
dalam proses pembangunan ekonominya. Negara-negara berkembang harus mengambil
tindakan untuk membebaskan diri dari ketergantungan tersebut dan memperkuat
kemampuan mereka untuk memajukan ekonomi mereka secara mandiri.14
Teori ketergantungan Cordoso juga relevan untuk menjelaskan krisis ekonomi
yang dialami Meksiko pada tahun 1994. Pada saat itu, Meksiko mengalami
ketergantungan pada modal asing dan krisis keuangan terjadi ketika investor
13
Editora Guanabara and others, ‘Dialogues on Development’.
14
‘Teori Pembangunan.Pdf’.
internasional menarik investasi mereka dari negara tersebut. Meksiko kemudian
terpaksa meminta bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank
Dunia. Pada 20 Desember 1994, bank sentral Meksiko mendevaluasi peso antara 13 dan
15 persen. Bertujuan untuk membatasi pelarian modal yang berlebihan, bank
memutuskan untuk menaikkan suku bunga. Dengan begitu, suku bunga jangka pendek
naik menjadi 32 persen, dan akibatnya biaya pinjaman yang lebih tinggi membahayakan
stabilitas ekonomi. Pemerintah Meksiko kemudian mengizinkan peso untuk mengambang
bebas lagi dua hari kemudian, tetapi alih-alih menjadi stabil, peso men- galami pukulan
tajam lagi dan terdepresiasi hampir menjadi setengah dari nilainya di bulan- bulan
berikutnya. Modal asing tidak hanya melarikan diri dari Meksiko tetapi krisis juga
menyebabkan penularan keuangan di pasar negara berkembang. Menanggapi krisis,
Kongres AS memberikan miliaran bantuan keuangan untuk fasilitas pertukaran dan
jaminan sekuritas menggunakan dolar pembayar pajak Amerika, dan tambahan bantuan
yang diberikan oleh IMF. 15

15
Rahayu Sulistiowati, ‘Teori Pembangunan Dunia Ketiga Dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Nasional’,
Journal of Chemical Information and Modeling, 53.9 (2013), 1689–99.
Kesimpulan
Teori dependesi ini berkembang sekitar tahun 1960-1970. Teori ini
dipopulerkan oleh beberapa tokoh dalam hubungan internasional seperti Andre
Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Peter Evans, dan Fernando Henrique Cardoso.
Teori ini lumayan terkenal serta merupakan teori yang mematikan, karena sentuhan
dalam teori dependensi ini mengakibat- kan tumbuhnya sifat kapitalisme terhadap maju
kepada negara terbelakang yang menyebab- kan negara-negara terbelakang tidak dapat
berkembang dan perkembangannya selalu men- galami keterbelakangan. Beberapa
syarat suatu negara data dikatakan maju membuat negara yang sudah berketergantungan
dengan negara maju menjadi sulit keluar dari sebutan negara berkembang. Faktor
tersebut memunculkan sifat kapitalisme dimana di negara berkembang akan muncul
perekonomian yang nantinya akan dikuasai oleh negara-negara maju. Negara
berkembang memiliki peluang kecil untuk melepaskan diri dari pengaruh negara maju.
Peter Evans mengajukan teori Triple Alliance, juga dikenal sebagai Teori Oligarki,
untuk men- jelaskan hubungan antara negara-negara oligarki, kelompok-kelompok
bisnis, dan birokrasi di negara-negara berkembang. Menurut teori ini, negara-negara
berkembang sering kali di- jalankan oleh sebuah "triple alliance" dimana ketiga
kekuatan ini saling terkait dalam suatu jaringan kepentingan dan kekuasaan yang
saling menguntungkan, dan bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan mereka
dan mengambil keuntungan dari negara dan masyara- kat. Sementara itu, menurut
teori ketergantungan Cardoso, negara-negara berkembang ter- gantung pada negara-
negara maju atau imperialisme dalam proses pembangunan ekonomi mereka. Teori
ketergantungan Cordoso menjelaskan bahwa negara-negara berkembang ter- gantung
pada negara-negara maju dalam proses pembangunan ekonominya. Negara-negara
berkembang harus mengambil tindakan untuk membebaskan diri dari ketergantungan
terse- but dan memperkuat kemampuan mereka untuk memajukan ekonomi mereka
secara man- diri.
Daftar Pustaka
Digdowiseiso, Kumba, Teori Pembangunan Daerah, 2020
<http://repository.unas.ac.id/652/1/Buku Teori Pembangunan.pdf>
Eke, Jeffry Ikechukwu, ‘Dependency Theory and Africa’s Underdevelopment: A Paradigm
Shift from Pseudo-Intellectualism: The Nigerian Perspective’, International Journal of
African and Asian Studies-An Open Access International Journal, 1 (2013), 116
Fields, David M., ‘Dependency Theory’, Elgar Encyclopedia of Post-Keynesian Economics,
2023, 111–12 <https://doi.org/10.4337/9781788973939.dependency.theory>
Frank, Andre Gunder, ‘Latin America At the Margin of World System History : East > West
Hegemonial Shifts ( 992-1492-1992 )’, 28.28 (1992), 1–40
Guanabara, Editora, Koogan Ltda, Editora Guanabara, and Koogan Ltda, ‘Dependensi
Theory of Development’, 1–5
———, ‘Dialogues on Development’
Leydesdorff, L.; Milojevi´c, S., ‘International Encyclopedia of the Social & Behavioral
Sciences, 2nd Ed.’;, Frontiers in Endocrinology, 2 (2015), 322–327
Putra, Bima Nandaka, ‘Ketergantungan Indonesia Sebagai Dampak Politik Perdagangan
Jepang (Studi Kasus Industri Otomotif)’ (Muhammadiyah Malang, 2018)
Rahayu Sulistiowati, ‘Teori Pembangunan Dunia Ketiga Dan Pengaruhnya Terhadap
Pembangunan Nasional’, Journal of Chemical Information and Modeling, 53.9 (2013),
1689–99
Rodiah, Nyimas Rika, ‘Analisa Ketergantungan Ekonomi Filipina Kepada Amerika Serikat
Menurut Teori Dependensi Cardoso’, 2018, 1–40
<http://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/8388>
Syamsiah, S, ‘KETERGANTUNGAN INDONESIA SEBAGAI DAMPAK POLITIK
PERDAGANGAN JEPANG (STUDI KASUS INDUSTRI OTOMOTIF)’, Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2019
‘Teori Pembangunan.Pdf’
Turhan, Rıdvan, ‘The Effect of Dependency Theory on Discussions of “Underdevelopment”
in Turkey’, Philosophy of Globalization, 2018, 269–86
<https://doi.org/10.1515/9783110492415-020>

Anda mungkin juga menyukai