Anda di halaman 1dari 12

1

PARADIGMA DEPENDENSIA DAN SISTEM DUNIA


Oleh: Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS.

Pokok Bahasan Lima


Teori dan Paradigma Pembangunan
S2 Manajemen Perencanaan Prodi PPW SPs Unhas
Semester Ganjil 2023/2024

1. Paradigma Dependensia Lama dan Baru

Sebelumnya sudah dibahas bahwa paradigma modernisasi adalah paradigma paling


awal yang banyak dianut negara-bangsa terkebelakang dalam mengejar ketertinggalan dari
negara maju. Paradigma modernisasi sangat menekankan pertumbuhan ekonomi melalui
investasi dan pemanfaatan teknologi agar terjadi transformasi perekonomian dari pertanian ke
industri. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan bantuan dana investasi,
teknologi dan tenaga ahli dari negara maju ke negara-bangsa terkebelakang tersebut. Dengan
itulah berbagai negara Asia dan Afrika mencapai sejumlah kemajuan perekonomian, meskipun
dibaliknya terkandung sejumlah anomali.

Di balik anomali yang terkandung dalam penerapan paradigma modernisasi di kawasan


Asia dan Afrika, di Amerika Latin muncul pemikiran pembangunan yang berbeda dengan
paradigma modernisasi. Pemikiran ini awalnya dikembangkan oleh The Economic Commision
of Latin America (ECLA), sebuah lembaga yang dibentuk oleh PBB pada 1948 sebagai badan
regional di kawasan itu. Pemikiran pembangunan dari ECLA berawal dari laporan yang dibuat
oleh direktur badan tersebut, yakni Raul Prebish, seorang ekonom dari Argentina. Laporan
yang sangat berpengaruh ini mempersoalkan penerapan sistem yang mendorong pentingnya
pembagian kerja dalam perdagangan internasional dimana negara terkebelakang didorong
mengekspor produk primer (pertanian), sementara negara maju mengekspor produk sekunder
dan tersier (industri dan jasa).

Paradigma ini menganalisis bahwa dengan pembagian kerja internasional yang


demikian maka dunia terbelah menjadi dua. Pertama, negara inti (centre), yang memiliki
otoritas mengekspor produk sekunder dan tersier, mereka ini adalah negara AS dan Eropa yang
memiliki kemajuan sains dan industri. Kedua, negara pinggiran (periphery), yang hanya
dibolehkan mengekspor produk primer (hasil pertanian dan bahan mentah). Teori modernisasi
membenarkan pembagian internasional ini dengan dua argumen berdasarkan kondisi saat itu
(Larrain, 1989). Argumen pertama bahwa dengan kemajuan teknologi pada negara maju,
negara terkebelakang mendapat keuntungan, karena dengan teknologi itu maka produk industri
yang diekspor negara maju harganya lebih murah. Jadi, menurut argumen ini, mestinya negara
terkebelakang berterima kasih telah memperoleh harga produk industri yang lebih murah dari
pembagian kerja internasional tersebut. Argumen kedua, bahwa permintaan bahan mentah dari
negara maju meningkat seiring dengan ekspor produk industri, sedemikian rupa sehingga
bahan mentah mereka beli dengan harga yang cenderung lebih tinggi. Dengan mengekspor
bahan mentah dalam jumlah tertentu, negara terkebelakang memperoleh impor produk
industrial dalam jumlah lebih dari nilai ekspor bahan mentah mereka.
2

Dari laporan ECLA itu selanjutnya berkembang pikiran mendasar tentang


pembangunan yang berbeda dari paradigma modernisasi. Paradigma dependensia memandang
bahwa keterbelakangan sejumlah negara-bangsa di muka bumi bukan disebabkan oleh faktor
kultur dan struktur internal masyarakat terkebelakang tersebut sebagaimana menjadi argumen
paradigma modernisasi, melainkan karena faktor eksternal berupa hubungan eksploitatif antara
negara terkebelakangan dengan negara maju pasca perang dunia pada era perang dingin.
Karena itu, bila negara terkebelakang ingin keluar dari keterbelakangan, mereka harus
membebaskan diri dari eksploitasi negara maju, mereka harus memutuskan hubungan dengan
negara maju, mereka harus membangun independensi. Negara terkebelakang harus mandiri
dalam menjalankan pembangunannya. Paradigma dependensia dengan demikian memberi
koreksi terhadap paradigma modernisasi yang terlalu menekankan faktor internal dari situasi
kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan pada negara terkebelakang.

Teori dependensia klasik mengemukakan adanya dua kelompok negara di dunia yakni
negara metropolis/inti dan negara peri-phery/pinggiran. Akar dari keterbelakangan adalah
eksploitasi yang dilakukan oleh negara inti kepada negara pinggiran (Baran,1957; Frank,
1967). Dari model inti-pinggiran tersebut tercipta sistem pembagian kerja internasional yang
bersifat vertikal, dimana negara inti memproduksi komoditas industri yang nilai tambah dan
spin-offnya tinggi, sedangkan negara pinggiran memproduksi produk pertanian yang nilai
tambah dan spin-offnya rendah (Prebisch, 1953; Galtung, 1971). Perbedaan nilai tambah dan
spin-off akibat pembagian kerja vertikal ini yang menyebabkan persistennya keterbelakangan
sejumlah negara. Teori dependensi juga berpandangan bahwa kemiskinan, ketertinggalan dan
keterbelakangan disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui
pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971). Teori-teori ini
merekomendasikan bahwa kalau keterbelakangan ingin dihapuskan, maka negara pinggiran
harus memutuskan hubungan ketergantungan kepada negara inti. Negara pinggiran
direkomendasikan untuk mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri dengan
memanfaatkan kemampuan SDM dan teknologi yang mereka punyai.

Teori dependensia baru lebih moderat dalam melihat hubungan eksploitatif negara
terkebelakang dengan negara maju. Hopkins dan Wallerstein (1977) melihat bahwa hubungan
inti-pinggiran bersifat dinamis. Sebuah negara pinggiran tidak selalu berposisi pinggiran, ia
dapat maju menjadi negara semi-pinggiran bahkan menjadi negara inti. Para penganjur teori
dependensia baru seperti Cardoso (1973), Warren (1980) dan Evans (1981) juga melihat bahwa
hubungan inti-pinggiran sebenarnya tidak sejelek yang digambarkan teori dependensi klasik,
karena dalam kondisi bergantung negara berkembang dapat mencapai berbagai kemajuan
dalam industrialisasi, suatu proses yang disebut mereka sebagai “dependent development”
(pembangunan bergantung). Teori dependensia baru merekomendasikan bahwa hubungan inti-
pinggiran tidak menjadi masalah sepanjang dalam proses itu negara pinggiran dapat mencapai
kemajuan. Ini bisa dilihat pada pencapaian Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura yang
menjelma sebagai negara industri baru melalui penerapan modernisasi.

Galtung (1982) menggarisbawahi bahwa pembangunan pada negara berkembang harus


berlangsung dalam kerangka politik kemandirian, yang tidak hanya terkait dengan pemutusan
hubungan ketergantungan kepada negara maju (kemandirian nasional), melainkan juga
kemandirian lokal dalam mengelola sumberdaya material dan non material, bahkan
menyangkut kemandirian setiap individu dalam berpikir dan bertindak. Dengan demikian,
pembangunan harus mensinergikan kemandirian individu (individual self-reliance),
kemandirian lokal (local self-reliance) dan kemandirian nasional (national self-reliance).
Politik kemandirian ini, menurut Galtung, harus ditempuh melalui sejumlah fase: penyadaran
3

(consciousness), perlawanan (confrontation), perjuangan (struggle) dan transendensi


(transcendence).

Dari berbagai proposisi tersebut, terlihat bahwa ideologi dari paradigma dependensia
adalah penghapusan ketergantungan negara terkebelakang kepada negara maju. Ini diilhami
oleh pemikiran Marxis, tentang pemutusan atau bahkan konflik antara kelas proletar (analog
dengan negara terkebelakang) dan kelas borjuis (analog dengan negara maju). Dalam
paradigma dependensia, diasumsikan bahwa pembangunan untuk mengatasi keterbelakangan
harus berlangsung dalam proses yang mandiri, tidak bergantung pada bantuan investasi dan
teknologi dari negara maju. Karena itu, tujuan pembangunan bagi paradigma dependensia
adalah pembebasan negara terkebelakang dari eksploitasi negara maju, promosi ekonomi
mandiri pada mereka, dan perbaikan tatanan ekonomi dan sosial dunia internasional. Sasaran
pembangunan bagi paradigma dependensia adalah perbaikan pembagian kerja internasional
dalam konteks hubungan antara kelompok yang berkuasa (negara inti) dengan kelompok yang
tertindas (negara pinggiran). Sarana untuk mencapai tujuan pembangunan yang demikian
adalah reformasi radikal struktur politik dan ekonomi domestik oleh kelompok yang tertindas,
dalam arti bahwa ketika kelompok tertindas telah muncul sebagai pengganti rezim komprador,
maka rezim baru inilah yang akan memperjuangkan kemandirian atau pemutusan hubungan
dengan negara inti. Ini menunjukkan bahwa unit pembangunan bagi paradigma dependensia
adalah level nasional dan internasional dengan pelaku utama adalah rakyat tertindas.

Di Indonesia, paradigma dependensia kurang diapresiasi dalam sepanjang perjalanan


pembangunan. Pernah, pada awal 1960-an, pemerintahan Soekarno menganut paradigma ini,
dengan ekspresi penolakan terhadap tawaran bantuan yang datang dari Amerika. Tetapi, situasi
ekonomi ketika itu sangat buruk dan peristiwa G30S-PKI meletus tahun 1965 lalu mengantar
naiknya rezim Soeharto. Pada zaman Orde Baru, juga pernah muncul wacana dependensia dari
kalangan ilmuan dan LSM, terutama dengan munculnya laporan Sritua Arief dan Adi Sasono
(1981) berjudul “Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan”, tetapi wacana ini hanya
menjadi suara pinggiran yang kurang berpengaruh terhadap pemikiran main-stream
“pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan bantuan asing” pada saat itu. Adi Sasono, salah
satu sang penganjur paradigma dependensia ini, pernah masuk dalam kabinet di pemerintahan
Habibie, tetapi belum lagi ia mengekspresikan sepenuhnya paradigma yang dipegangnya,
pemerintahan Habibie sudah jatuh.

Masalah mendasar yang tidak mampu dijawab oleh paradigma dependensia dan ini
menjadi anomalinya adalah, pertama, ketika dunia semakin saling terbuka karena arus
informasi dan pergerakan kapital-SDM-teknologi yang cepat, seberapa sahih anjuran
pemutusan hubungan antara negara pinggiran dengan negara inti? Dunia justeru semakin
menghadapi agenda-agenda global yang pendefinisian dan pemecahannya harus melibatkan
semua negara, terlepas apakah ia inti atau pinggiran (Charles dan Eugene, 1981).
Ketergantungan memang harus dihentikan, kemandirian harus ditegakkan, tetapi memutus
hubungan antara negara pinggiran dengan negara inti, menjadi hal yang utopis.

Kedua, pembangunan tidak hanya menyangkut hubungan negara inti-pinggiran, dengan


fokus pada dimensi ekonomi, khususnya penghisapan surplus, melainkan mencakup dimensi
yang lebih luas. Paradigma dependensi sangat kurang memberi rekomendasi apa yang harus
dilakukan dalam aspek budaya, struktur sosial, dan kondisi psikologis negara terkebelakang
agar ketergantungan bisa ditransformasi menjadi kemandirian. Tidak hanya dalam konteks
ketergantungan negara pinggiran kepada negara inti, tetapi juga ketergantungan antar
kelompok dan wilayah secara internal suatu negara berkembang, dan terlebih lagi dalam
4

konteks menghapuskan ketergantungan pada tingkat individu sebagai hasil konstruksi


mentalitas, hasil konstruksi sosial-budaya.

Singkatnya, masalah-masalah yang tidak bisa diatasi oleh paradigma modernisasi, juga
tidak bisa diatasi sepenuhnya oleh paradigma dependensia. Dalam kehadirannya, teori-teori
yang diturunkan dari paradigma dependensia berada dalam proses transisi berkepanjangan,
yakni transisi dari kerangka abstrak situasi masalah dan penyebab keterbelakangan ke
formulasi konkrit jalan keluar dari masalah (Blomstrom dan Hettne, 1984). Masalah
ketergantungan dan kesenjangan sosial-ekonomi memang telah menjadi fokus perhatian
paradigma dependensia, dan itu menjadi kelemahan pokok paradigma modernisasi, tetapi
dalam prakteknya, rekomendasi yang diturunkan dari paradigma dependensia ternyata juga
tidak efektif mengantarkan kemandirian pembangunan pada negara penganutnya. Selain itu,
masalah kerusakan lingkungan, masalah korupsi-kolusi dan nepotisme, dan kemudian masalah
ketimpangan gender yang juga signifikan dalam praktek pembangunan, sama sekali tidak
menjadi perhatian paradigma dependensi. Sebagai sebuah paradigma, jika mengikuti logika
revolusi paradigma yang digariskan Kuhn, paradigma dependensia juga telah mengalami
anomali.

2. Paradigma Sistem Dunia dan Globalisasi

Perkembangan pemikiran selanjutnya cenderung tidak lagi menekankan adanya


pemisahan antara negara inti dengan negara pinggiran. Menurut Wallerstein (1988), ketika
sebuah negara pinggiran bisa bergerak maju menjadi negara semi inti, bahkan menjadi negara
inti baru, maka sebenarnya yang terjadi adalah sebuah sistem dunia yang berisi hubungan-
hubungan moda produksi kapitalisme. Kapitalisme global menumbuhkan kapitalisme domestik
pada negara terkebelakang yang bergerak maju menjadi sedang berkembang. MNCs
membangun konglomerasi dan mengikatkan NCs pada negara sedang berkembang ke dalam
jaringan dirinya, sehingga terbangun sebuah sistem dunia yang isinya didominasi ideologi
ekonomi kapitalisme.

Pada tahun 1990-an, wacana globalisasi didorong oleh berbagai pihak di dunia. Kepala
negara, barisan ilmuan, kalangan swasta, bahkan para tokoh agama, semua hampir berkata
seragam: “era globalisasi sudah menjelang, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, kita harus
memasuki dan terlibat di dalamnya”. Secara garis besar, paradigma globalisasi
merekomendasikan bahwa bila negara-bangsa terkebelakang ingin mencapai kemakmuran
yang lebih tinggi, maka ikutlah dalam persaingan bebas melalui mekanisme pasar pada tingkat
global, karena dengan itu efisiensi, efektivitas dan nilai tambah akan lebih banyak diraih.
Pemberian bantuan dari negara maju kepada mereka sudah bukan zamannya lagi. Telah tiba
saatnya semua negara dianggap sama kuatnya untuk bersaing secara bebas pada bumi yang
berbentuk globe ini.

Dalam kaitan ini, setidaknya ada dua perspektif bisa digunakan untuk lebih memahami
kerangka globalisasi. Salah satunya adalah pendekatan dengan menempatkan globalisasi
sebagai kerangka yang harus dimasuki demi keberlanjutan peradaban manusia. Globalisasi
diasumsikan sebagai sebuah keniscayaan sejarah atas nama peradaban manusia, di negara
sedang berkembang maupun negara maju, dimana globalisasi diartikan sebagai integrasi
ekonomi mulai dari level lokal, nasional, regional hingga global yang di dalamnya kompetisi
bebas berlangsung. Dengan integrasi itu perekonomian dunia akan lebih efektif-efisien-bernilai
tambah tinggi-memberi kemakmuran maksimal.
5

Perspektif ini terinspirasi oleh analisis klasik Polanyi (1957) bahwa transformasi besar
peradaban manusia berawal pada ekspansi alat tukar uang dan tata produksi kapitalisme dari
negara Barat ke berbagai kawasan bumi. Sebelum abad 19, ekspansi itu berlangsung melalui
imperialisme/kolonialisme/penjajahan, membunuh tukar menukar dan sistem redistribusi
masyarakat pribumi, meminggirkan tata produksi subsistensi lokalitas, lalu peradaban dunia
seakan bertransformasi besar dari ekonomi non uang dan subsisten ke ekonomi pasar dan
kapitalistik.

Dalam perspektif ini, kerangka pembangunanisme (developmentalisme) yang ditempuh


pada abad 19 hingga 20 dianggap sebagai tahap lanjutan dari imperialisme/
kolonialisme/penjajahan yang ditujukan untuk memodernkan dan memajukan peradaban
kawasan non Barat. Bantuan kapital, teknologi dan SDM dari negara Barat ke negara-bangsa
terkebelakang, yang sebenarnya merupakan upaya ekspansi lanjut serta pematangan
kapitalisme, dalam praktek pragmatisnya didefinisikan sebagai upaya untuk menghapus
keterbelakangan. Dalam logika bahwa pembangunan adalah upaya menghapus
keterbelakangan, sementara dalam pembangunan ekspansi dan pematangan kapitalisme
dijalankan, maka itu berarti bahwa ekspansi dan pematangan kapitalisme berkontribusi besar
dalam menghapus keterbelakangan. Pada gilirannya, ekspansi dan pematangan kapitalisme
dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk perbaikan peradaban seluruh manusia.

Memasuki abad 21, kerangka pembangunan dalam paradigma modernisasi dianggap


tidak mampu lagi mengekspansikan dan mematangkan kapitalisme secara efektif-efisien di
negara sedang berkembang. Regulasi negara yang terlalu jauh mencampuri urusan produksi
dan pertukaran barang, arus informasi dan pergerakan SDM, aliran kapital dan dinamika
finansial, dianggap menghambat akselerasi ekspansi dan pematangan kapitalisme. Karena
proyek kapitalisme berkait erat dengan perwujudan peradaban manusia yang lebih baik, maka
semua penghambat untuk itu harus dihapuskan dari muka bumi, termasuk dalam kaitan dengan
eksistensi dan peranan institusi negara. Maka, globalisasi yang memberi kedaulatan hampir
sepenuhnya kepada institusi pasar untuk menjadi wahana baru ekspansi dan pematangan
kapitalisme, lahir sebagai kerangka yang niscaya harus diterima demi perbaikan peradaban
manusia.

Perspektif lainnya adalah perspektif yang menempatkan globalisasi sebagai hasil


rekayasa sekelompok orang atau suatu kalangan seperti lembaga donor, korporat internasional
dan pemimpin negara maju (McMichael, 1996). Berkah dan keuntungan dari kerangka
globalisasi hanya akan dinikmati, atau dinikmati lebih banyak, oleh pihak yang merekayasa
tersebut. Bahwa kerangka globalisasi akan memberi kemakmuran untuk semua manusia
melalui kompetisi bebas, itu tidak lebih dari sebuah utopia (Korten, 1996). Bahwa globalisasi
akan membawa peradaban manusia pada sebuah tatanan demokrasi yang lebih bagus melalui
determinasi pasar bebas, itu adalah sesuatu yang contradictio in terminis, karena mana
mungkin sebuah tatanan yang diarahkan oleh korporatisme menjanjikan sebuah demokrasi
sementara korporatisme sendiri adalah sebuah hirarki dimana pekerja berada dibawah
kekuasaan kapitalis (Chomsky, 1994). Karena itu, globalisasi bukanlah keniscayaan sejarah.
Tidak semua bangsa, tidak semua negara, tidak semua masyarakat, wajib menerima dan ikut
di dalamnya.

Dalam perspektif ini, diinterpretasi bahwa tujuan globalisasi bukanlah kemajuan


peradaban manusia semua bangsa semua negara, melainkan pencapaian keuntungan maksimal
pihak yang merekayasanya dalam konteks ekspansi dan pematangan kapitalisme. Globalisasi
ditafsirkan sebagai sesuatu yang sebenarnya dipaksakan oleh donatur internasional, korporat
6

multinasional, ataupun pemimpin tertentu negara maju, yang dengan globalisasi itu ingin
memperkembangbiakkan modalnya (donatur internasional), mengekspansikan investasi dan
pemasaran produknya (korporat multinasional) dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi
dan konsumsi massa yang tinggi (pemimpin negara maju). Pendekatan ini ingin mengatakan
bahwa globalisasi kurang lebih sama dengan skenario imperialisme/kolonialisme dan
pembangunanisme/modernisme, di permukaan seakan-akan membawa berkah untuk semua,
tetapi di baliknya tersimpan potensi penghisapan dan eksploitasi.

Dalam realitas, substansi dua perspektif di atas ternyata masing-masing memanisfest,


dan karena keduanya mestinya saling menghilangkan, maka manifestasi dimaksud tampil
sebagai realitas yang paradoksal. Globalisasi menjadi sesuatu yang berwajah ganda: satu
wajahnya menjanjikan berkah, satu wajahnya menjanjikan mudarat. Inilah salah satu paradoks
yang dapat dilihat pada kelahiran kerangka globalisasi.

Paradoks lainnya terlihat dalam hubungan kausal antara pembangunanisme dan


globalisme. Pada satu sisi, dalam perspektif internasional/sistem dunia, globalisme dapat
ditempatkan sebagai tatanan baru pengganti pembangunanisme. Pembangunan dipandang
sebagai proses yang telah selesai dan telah menjadi masa lalu (Escobar, 2001), dan masa depan
adalah globalisasi (McMichael, 1996). Terjadi sebuah perubahan tatanan dunia: dari tatanan
yang memberi peran utama kepada negara (pembangunanisme) ke tatanan yang memberi peran
utama kepada pelaku non negara (globalisme). Globalisme ditempatkan sebagai acuan tatanan
yang tidak hanya mempengaruhi interaksi antar negara/bangsa, tetapi juga signifikan
mempengaruhi interaksi antar aktor (aparatus negara, swasta-kapitalis, organisasi non
negara/LSM dan rakyat-massa) serta antar wilayah (lokalitas, daerah, dan kawasan) dalam satu
negara.

Pada sisi lainnya, dalam perspektif sistem nasional-kebangsaan, pembangunan adalah


proses yang berlanjut terus, ia adalah proses yang tidak selesai. Negara membutuhkan sebuah
ideologi, atau lebih empiriknya sebuah jargon, untuk menjadi acuan perilakunya, untuk
menjadi basis legitimasinya, dan globalisasi bukanlah pengganti yang tepat untuk itu. Rezim
negara-bangsa terkebelakang masih lebih cocok dengan jargon pembangunanisme yang
berkonteks nasionalisme, dibanding globalisme yang berkonteks internasional-sistem dunia.
Dengan jargon pembangunanisme, (aparatus) negara berpeluang lebih besar mempraktekkan
hegemoni (kepada rakyatnya) dibanding jargon globalisme. Maka, yang muncul kemudian
adalah sebuah perubahan yang ragu-ragu, misalnya di Indonesia yang merupakan penganut
setia pembangunanisme, mempopulerkan reformasi pembangunan sebagai metamorfosa dari
pembangunan (an-sich).

Dalam perspektif sistem nasional-kebangsaan ini, yang berubah dari pembangunan


hanyalah paradigmanya, dari pembangunan yang didominasi peranan negara (paradigma
modernisasi dan dependensia) ke pembangunan yang memberi kebebasan lebih besar kepada
pasar (paradigma globalisasi). Bagi perspektif ini, tatanan dunia akan tetap ditandai oleh aliran
kapital, teknologi dan SDM dari negara maju ke negara terkebelakang, hanya saja peranan
pengaliran tersebut lebih dimainkan oleh pasar/lembaga non negara dibanding oleh negara.
Perspektif ini sekaligus mempertegas bahwa problem ketertinggalan negara terkebelakang dari
negara maju merupakan problem yang belum selesai, dengan demikian tugas pembangunan
juga belum selesai.

Hal yang kemudian menarik adalah, bahwa era globalisasi, era dimana paradigma
globalisasi secara bersamaan berfungsi mendesain konstruksi tatanan dunia dan tatanan
7

internal suatu negara, ditandai oleh berlangsungnya dua arus gerakan sosial yang sama-sama
signifikan. Gerakan pertama adalah gerakan tata produksi dan gaya konsumsi yang
merefleksikan loncatan dari apa yang telah dikonstruksi oleh narasi besar modernisasi seperti
pertumbuhan, efisiensi dan gaya hidup konsumsi tinggi, sedemikian rupa sehingga dunia
berada dalam kondisi hiperproduksi dan hiperkonsumsi. Gerakan kedua adalah gerakan
alternatif dari narasi besar yang dikembangkan oleh modernisasi seperti pluralitas,
sustainabilitas, kesetaraan gender dan kemandirian lokal. Pada titik ini, atau tepatnya pada titik
dimana arah perubahan kultural harus didefinisikan, globalisasi berada di persimpangan: arah
hipermodernisme atau postmodernisme.

3. Globalisasi dan Arah Hipermodernisme


Globalisasi akan lebih berarah hipermodernisme bila proses-proses yang
dikembangkannya identik dengan loncatan modernisasi. Loncatan modernisasi dimaksud
terfokus pada dua poros utama: tata produksi dalam bentuk terjelmanya hiperproduksi dan tata
konsumsi dalam bentuk terjelmanya hiperkonsumsi. Singkatnya, tipe ideal masyarakat yang
diproyeksikan tercapai melalui globalisasi adalah masyarakat yang terkonstruksi sebagai hasil
loncatan dari masyarakat berproduksi efisien dan berkonsumsi tinggi. Sebagaimana dalam
modernisasi ideologi dibalik mesin pertumbuhan adalah kapitalisme, maka loncatan dari
masyarakat berproduksi efisien dan berkonsumsi tinggi menuju masyarakat yang
hiperproduksi dan hiperkonsumsi sebenarnya juga merupakan hasil loncatan dari kapitalisme
menjadi hiperkapitalisme. Loncatan-loncatan ini memungkinkan terjadi karena pasar memang
telah diberi kebebasan untuk mengkonstruksi realitas apa saja dalam peradaban manusia.

Loncatan peradaban manusia melalui hiperkapitalisme tidak terlepas dari loncatan yang
terjadi pada tipe tindakan manusia. Dengan pasar bebas yang dipersembahkan oleh globalisasi,
elektivasi tindakan manusia menjadi lebih tinggi lagi, yang karena demikian elektifnya maka
tindakan rasional meloncat menjadi tindakan hiperrasional, baik dalam tata produksi maupun
tata konsumsi, atau dalam aspek apa saja dari peradaban manusia. Menurut Ritzer (1991),
rasionalitas manusia telah meloncat dari sekedar rasionalitas formal menjadi rasionalitas
gabungan antara rasionalitas formal, substantif, teoretikal dan praktikal, gabungan empat
rasionalitas inilah yang menjelma menjadi rasionalitas-hiper, atau hiper-rasionalitas.

Hiperrasionalitas yang merupakan gabungan dari empat tipe rasionalitas tersebut pada
gilirannya sangat sulit didefinisikan, tetapi menurut Lyotard (1994) rasionalitas demikian
adalah rasionalitas dimana tindakan manusia tidak lagi sekadar digerakkan oleh pikiran dan
perasaannya, melainkan oleh libidonya. Ruang tindakan yang paling intensif digerakkan oleh
libido adalah ruang ekonomi: tata produksi, tata distribusi, maupun tata konsumsi; karena itu
Lyotard kemudian menamai tatanan ekonomi demikian sebagai ekonomi libido (economy
libidinale).

Dalam tata produksi, ekonomi libido telah menganjurkan sebuah kegiatan produksi
yang tidak lagi didasarkan pada ekspektasi kebutuhan manusia melainkan didasarkan pada
hasrat untuk selalu berproduksi. Dalam tatanan ekonomi libido, produksi dilakukan bukan
karena produk itu dibutuhkan secara hakiki oleh pasar, melainkan karena adanya dorongan
untuk selalu memproduksi, dorongan untuk selalu berinvestasi, dorongan untuk selalu
melipatgandakan dan menumbuhkan uang. Unsur yang dinikmati dari kegiatan produksi bukan
lagi “produk”nya, melainkan “proses” dari kegiatan memproduksi itu sendiri. Tindakan
produksi demikian lebih didorong oleh libido ketimbang rasionalitas. Menurut Hoogendijk
8

(1995), demikianlah realitas ekonomi dunia saat itu, sebuah ekonomi yang selalu harus
tumbuh, memproduksi, membangun, dan berbunga terus!

Dalam tata konsumsi, ekonomi libido menjelma dalam bentuk tindakan konsumsi yang
tidak lagi didasarkan pada kebutuhan, melainkan karena dorongan untuk selalu membeli,
memakai, dan mengkonsumsi. Suatu produk dibeli bukan karena ia dibutuhkan, melainkan
karena ada kepuasan saat membelinya; ruang kebugaran rutin dimasuki bukan sepenuhnya
karena tujuan melangsingkan tubuh, melainkan karena ingin menikmati puncak kelelahan,
puncak berkeringat; aktivitas sexual dimodifikasi dan divariasikan bukan karena tujuan
memperoleh keturunan, melainkan karena keinginan menikmati puncak kepuasan lebih dari
sekadar kepuasan sexual (Piliang, 1998). Ekstasi konsumsi telah menjelma dalam tata ekonomi
libido.

Uang sudah jauh bertransformasi fungsi dari apa yang pernah didefinisikan oleh
Polanyi (1957). Uang telah berdiferensiasi dan bertransformasi fungsi sedemikian rupa
sehingga peradaban manusia seakan berpusar dan terpusat pada fungsi-fungsi uang tersebut.
Diferensiasi: uang melebarkan fungsinya dari sekadar alat tukar ke komoditas. Transformasi:
uang telah meloncatkan eksistensinya dari eksistensi riil ke eksistensi maya. Maka, nilai
transaksi barang dan jasa (riil) di dunia telah diimbangi oleh nilai transaksi perdagangan uang
(maya). Bersamaan dengan itu transaksi barang serta jasa tidak lagi sepenuhnya melibatkan
uang riil, melainkan melalui credit card, jaringan on-line bank, ATM box dan e-banking pada
smartphone. Uang elektronik (electronic money) telah semakin menggantikan uang cash dalam
transaksi/peradaban ekonomi manusia (Barnett dan Cavanagh, 1996).

Singkatnya, dengan arah hipermodernisme, loncatan hebat atau transformasi besar,


telah berlangsung dan akan semakin intensif berlangsung pada tiga pilar utama peradaban
ekonomi: tata produksi, tata konsumsi, dan alat tukar. Loncatan atau transformasi tiga pilar ini,
oleh globalisasi, semakin diperlebar jalannya, semakin dipercepat lajunya, dan semakin
diperbesar gaungnya, dengan ditransformasikannya pula sistem perdagangan dunia, dari
perdagangan yang masih mengenal sekat regulasi negara ke perdagangan yang sepenuhnya
berserah nasib pada pasar, berpasrah diri kepada korporatisme.

Menurut Mander (1996), korporatisme dalam era globalisasi adalah korporatisme yang
tidak hanya menderita “dominasi libido”, tetapi juga telah terserang “schizophrenia”. Ini berarti
bahwa dengan arah hipermodernisme dari globalisasi, umat manusia sebenarnya telah
menyerahkan nasibnya kepada orang-orang yang “dikendalikan libido” dan menderita
“schizophrenia”. Setidaknya terdapat sebelas ciri dari perilaku korporatisme yang harus
diperhatikan dalam memahami tatanan yang akan terbentuk di bawah kendali korporatisme.
Pertama, adanya imperatif profit sebagai acuan tertinggi dalam berbagai keputusan mereka,
imperatif ini mengatasi pertimbangan tentang kesejahteraan masyarakat, perbaikan hidup
pekerja, kelestarian lingkungan, dan sekuritas nasional. Kedua, adanya imperatif pertumbuhan
yang mendeterminasi interaksi pada berbagai kalangan investor, industri perbankan, persepsi
publik, serta dengan imperatif pertumbuhan itu pula korporat begitu bernafsu mengeksploitasi
sumberdaya paling langka sekalipun.

Ketiga, ciri kompetisi dan agresi. Di satu sisi, korporasi memerlukan tingkat kerjasama
yang tinggi yang di dalamnya manajemen dikembangkan; di sisi lain, korporat menempatkan
setiap orang dalam manajemen itu dalam posisi harus berkompetisi satu sama lain. Akibatnya,
setiap orang harus berusaha secara agresif memenangkan korporatnya dalam persaingan
dengan korporat lain, dan dengan agresivitas itu juga ia harus meningkatkan karirnya dalam
9

persaingan dengan kolega seperjuangannya. Keempat, ciri amoral. Dalam perilaku korporat,
tidak dikenal tujuan altruistik yang melibatkan moral, perasaan dan kemanusiaan. Karena itu,
keputusan yang diambilnya, dan tindakan yang ditempuhnya, bisa saja berlawanan dengan
tujuan masyarakat atau kesehatan lingkungan. Bagi korporat, perasaan tidak boleh dijadikan
basis bagi keputusan yang “obyektif”. Kelima, ciri hirarkis. Korporasi dicirikan oleh hirarki
yang sangat jelas: pemilik perusahaan, direktur eksekutif, vice president, manajer divisi, dan
kelas pekerja. Dengan ciri hirarkis itu, demokrasi pasar bebas yang dijanjikan globalisasi sulit
dipercaya, karena korporat sebagai mesin globalisasi justeru berstruktur hirarkis tidak
demokratis.

Keenam, ciri kuantifikasi, linearitas dan segmentasi. Dalam korporasi, segala hal
dikuantifikasi, tidak ada aspek spiritualitas, atau apapun sejenisnya, dalam perlakuan terhadap
lingkungan. Hutan didefinisikan dalam kuantitas ton kayu dan dollar, persetan dengan makhluk
halus atau setan penunggu yang ada di dalamnya. Segalanya harus tumbuh linier, dan
pertumbuhan linier itu harus berlangsung dalam unit yang telah terdiferensiasi untuk menjamin
efisiensi, sehingga segmentasi juga menjadi ciri utama. Ketujuh, ciri dehumanisasi. Dalam
korporasi, pekerja adalah obyek. Sebagai bagian dari operasi produksi dan operasi bisnis,
pekerja harus siap mengalami proses depersonalisasi dan dehumanisasi, “does not let feelings
get in the way”, karena yang demikian itu merupakan tuntutan dari imperatif profit dan
pertumbuhan. Kedelapan, ciri eksploitasi. Korporasi tidak hanya mengeksploitasi sumberdaya
alam, merusak dan menghabiskannya, lebih dari itu ia juga mengeksplotasi pekerjanya,
memarginalkan dan “memiskinkannya”, bahkan mengeksploitasi masyarakat (perempuan,
balita, remaja dan pria konsumen/target pasar) melalui politik citraan iklan dan budaya
konsumtivisme yang dikonstruksinya.

Kesembilan, ciri kesementaraan dan mobilitas. Korporat eksis melewati waktu dan
tempat, ia memiliki eksistensi hanya di atas kertas, di dalam alam pikiran, karena itu ia
mengandung ciri kesementaraan yang abadi. Ia tidak memiliki lokalitas, tidak memiliki ikatan
ketetanggaan, tidak memiliki komitmen terhadap tempat, dan karena itu ia dapat merelokasi
keberadaannya berdasarkan seleranya, bermobilitas mengikuti arah ketersediaan pekerja
murah, perpajakan yang rendah dan aturan kelestarian lingkungan yang tidak ketat. Kesepuluh,
ciri oposisi terhadap alam. Meskipun individu yang bekerja dalam korporat bisa jadi mencintai
alam, tetapi korporatnya sendiri sangat anti dengan alam. Apapun dari alam harus
ditransformasi menjadi produk, produk sebagai penghasil pertumbuhan dan profit. Bijih besi
diubah menjadi mobil, hutan kayu diubah menjadi produk kertas, minyak alam diubah menjadi
energi tinggi, semua yang dari alam diubah menjadi bentuk baru. Kesebelas, ciri homogenisasi.
Melalui korporasi, hiperkapitalisme akan mengekspansi dan membunuh semua budaya
ekonomi yang berbeda dengannya. Budaya ekonomi dalam peradaban manusia
dihomogenkan. Melalui televisi, radio dan surat kabar, gaya hidup juga dihomogenkan melalui
proyek Amerikanisasi, McDonaldisasi, sebuah gaya hidup yang mengapresiasi tinggi
kecepatan dan percepatan: makanan cepat hidang, sex cepat selesai. Dengan ciri homogenisasi,
globalisasi akan bermakna berekspansinya satu saja budaya dunia mengatasi budaya lokal, dan
budaya dunia itu adalah segala sesuatu yang bertumpu pada hiperkapitalisme.

Dalam sebuah globalisasi dimana korporat menentukan nasib manusia, dimana pasar
diberi kebebasan sebebas-bebasnya, masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang
konstruksi sosialnya merupakan hasil dari sebuah logika terbalik, sebuah filosofi terbalik,
yakni masyarakat yang menempatkan “form” sebagai “content”, masyarakat yang dikonstruksi
dalam kondisi “form” mendeterminasi “content”. Sebelas ciri perilaku korporat yang
dikemukakan oleh Mander sebenarnya hanyalah sebuah “form”, ironisnya, karena penetrasi
10

kesadaran korporat yang dilancarkan oleh para kapitalis demikian intensif memasuki alam
pikir, ruang tindakan dan gaya hidup sehari-hari, masyarakat kemudian menjadikan ciri
tersebut sebagai ciri dari perilakunya, ciri dari “content”. Arah hipermodernisme dari
globalisasi, dengan demikian, akan melahirkan ciri masyarakat, atau ciri peradaban manusia,
yang secara homogen terkonstruksi dari pembalikan “form” menjadi “content”.

4. Globalisasi dan Arah Postmodernisme


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, paradigma globalisasi mengasumsikan bahwa
pembangunan melalui negara tidak bisa lagi diandalkan. Harus ada alternatif non negara yang
menjadi tumpuan baru untuk meneruskan tugas-tugas pembangunan yang belum selesai. Pada
arah hipermodernism, tumpuan baru tersebut adalah lembaga swasta atau kapitalis, yang pada
tingkatannya yang tertinggi hadir sebagai sosok korporat. Dengan tumpuan pada korporat,
medan aktivitas adalah pasar, dan aturan permainan adalah kompetisi bebas. Individu,
kelompok, masyarakat atau negara, yang mampu memenangkan kompetisi bebas tersebut,
berarti dialah pemegang sukses pembangunan.

Ternyata, paradigma globalisasi, meskipun berhasil dalam pokok pikiran bahwa negara
sudah waktunya ditinggalkan sebagai pelaku utama pembangunan, tetapi dalam mencari
penggantinya, tidak semua pemikiran sepakat bahwa swasta/korporat adalah pengganti yang
satu-satunya tepat. Terdapat pokok pikiran lain bahwa selain swasta/kapitalis, terdapat
lembaga non negara lainnya yang bisa diandalkan sebagai pelaku utama pembangunan, yakni
lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non governmental organization (NGO). Kalau
negara mempresentasikan peranan political society dalam pembangunan, sedangkan
swasta/kapitalis mempresentasikan peranan economic society, maka LSM mempresentasikan
peranan dari civil society. Eksistensi LSM sebagai pelaku utama pembangunan menjadi salah
satu pokok pikiran yang dapat dikatakan salah satu “main-stream” dalam arah postmodernism
dari paradigma globalisasi.

Sebenarnya, inti dari pemikiran postmodernism adalah bahwa semua narasi-narasi


besar yang selama ini berkembang dalam berbagai bidang kehidupan, seperti narasi besar
tentang pertumbuhan-efisiensi-efektivitas-rasionalitas-diferensiasi, sudah waktunya
didekonstruksi. Narasi-narasi kecil seperti keberpihakan pada lingkungan, feminisme dan
relasi gender, pemberdayaan, partisipasi, religiusitas, lokalitas dan sebagainya, harus eksis dan
mendapatkan apresiasi yang sama derajatnya dengan narasi besar yang telah berkembang
selama ini. Dunia harus terisi oleh pluralitas narasi-narasi, pluralitas budaya-budaya.

Dalam arah postmodernisme, pluralitas budaya diberi tempat terhormat. Globalisasi


didefinisikan sebagai proses mengglobalnya budaya-budaya lokal sedemikian rupa sehingga
apa yang disebut budaya global adalah sejumlah budaya lokal yang eksis berdampingan satu
sama lain (Tomlinson, 1996). Bagi postmodernism, pembunuhan terhadap budaya lokal,
sebagaimana cenderung dilakukan oleh budaya (hiper)kapitalisme, sungguh merupakan
sebuah perbuatan “haram”. Bagi postmodernism, biarkan budaya lokal, gaya hidup lokal, tata
produksi dan konsumsi lokal, pengetahuan dan teknologi lokal, sistem kekuasaan dan
pemerintahan lokal, dan seterusnya, eksis tumbuh dan berkembang tanpa keharusan untuk
tunduk pada “kehendak” narasi-narasi besar.

Lokalitas menjadi sesuatu yang bermakna penting dalam arah postmodernisme.


Dihubungkan dengan proses pembangunan, postmodernisme menghendaki agar masyarakat
lokal memiliki otoritas untuk mendefinisikan sendiri kebutuhan dan masalahnya,
11

merencanakan jalan keluarnya, dan menempuh aksi pemecahannya, tanpa harus bergantung
kepada perencanaan canggih aparat/agen pembangunan yang ada di pusat. Kemandirian lokal
harus tercipta dalam kondisi persaingan global-bebas akan dimasuki, dan kemandirian lokal itu
bukan dalam arti kemandirian aparatus negara di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan,
melainkan kemandirian masyarakat lokal bersama organisasi yang dimilikinya, termasuk LSM,
untuk mengelola perubahan, mengelola pembangunan.

Menurut Gardner dan Lewis (1996), terdapat sejumlah arah baru yang telah dan akan
semakin berkembang dalam praktek pembangunan sebagai hasil dari pengaruh pemikiran
postmodernism. Pertama, akan semakin berlanjutnya fokus pada bantuan kemiskinan dan
“income-generation” dalam praktek pembangunan, dan pelaku untuk semua itu akan semakin
bergeser dari pejabat negara ke aktivis LSM. Negara telah semakin kehilangan legitimasi untuk
menjalankan program-program tersebut.

Kedua, semakin berlanjutnya pendekatan “target-groups” dalam bantuan


pembangunan, dan penentuan “target groups” ini bukan lagi ditentukan dari luar melalui
pengamatan sepintas para agen pembangunan, melainkan ditentukan dari dalam berdasarkan
penilaian anggota masyarakat. Ini merupakan negasi dari pendekatan pembangunan yang
bersifat makro, orientasinya pertumbuhan ekonomi secara umum, masyarakat miskin
diasumsikan otomatis terentaskan melalaui pertumbuhan makro tersebut.

Ketiga, konsep partisipasi akan mengalami redefinisi, berhubung selama ini partisipasi
hanya menjadi jargon yang diperalat sebagai basis legitimasi oleh rezim yang
berkuasa/mengelola pembangunan. Redefinisi dimaksud akan lebih mengarah pada konsep
partisipasi dalam arti perubahan diinisiasi secara dari dalam oleh masyarakat, perubahan bukan
direncanakan oleh pihak dari luar komunitas (agen pembangunan).

Keempat, konsep pemberdayaan akan mengalami redefinisi, berhubung selama ini


konsep pemberdayaan juga seakan-akan menjadi jargon pihak rezim pembangunan untuk
melegitimasi perilaku pembangunannya, pada hal makna dasar dari pemberdayaan yang
dikembangkan oleh Friedmann (1992) adalah pemberdayaan masyarakat untuk menghadapi
kekuasaan/hegemoni negara dalam mendefinisikan, merencanakan dan menilai
berhasil/tidaknya praktek pembangunan. Karena itu, pemberdayaan sebenarnya bukanlah
konsepnya negara, bukan jargonnya pemerintah, melainkan wacana yang mestinya menjadi
wahana bagi masyarakat dalam melawan hegemoni negara. Bagi Friedmann,

“…..the empowerment approach, which is fundamental to an alternative


development, places the emphasis on autonomy in the decision-making of
territorially organized communities, local self-reliance (but not autarky), direct
(participatory) democracy, and experiential social learning. Its starting point is
the locality, because civil society is most readily mobilized around local issues…”

Kelima, pendekatan “community development” akan semakin tampil sebagai alternatif


dari fokus pembangunan yang selama ini berkembang. Pendekatan ini relevan dengan fokus
lokalitas, dan secara diametral menjadi alternatif dari fokus pembangunan yang mencakup
wilayah luas tanpa target sasaran yang spesifik. Selama ini, konsep “community development”
cenderung hanya menjadi jargon, tidak terpraktekkan sesuai makna sebenarnya, karena
sebagaimana halnya pemberdayaan dan partisipasi, konsep ini juga menjelma menjadi alat
legitimasi rezim pelaksana pembangunan. Dalam arah postmodernism, “community
12

development” akan kembali pada makna sebenarnya, yakni sebuah pendekatan pembangunan
yang menjadi bagian dari gerakan civil society.

Keenam, gerakan feminisme dan pendekatan gender dalam pembangunan akan semakin
mengalami penajaman sedemikian rupa sehingga pembangunan betul-betul tidak hanya
dimonopoli sebagai gerakan laki-laki, apalagi bahkan memarginalkan, memperalat dan
mengeksploitasi eksistensi perempuan, melainkan ia juga menjadi milik perempuan.
Perempuan menjadi bagian utama dari pemberdayaan, partisipasi dan “community
development”. Gender expertise dalam kondisi demikian akan berkembang sebagai basis
dalam public policy.

Ketujuh, gerakan lingkungan akan semakin intensif mengimbangi kecenderungan


pemaksimalan eksploitasi alam demi pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh kalangan
korporatis dan aliansinya dengan birokrat. LSM semakin tampil sebagai kekuatan yang
menggalang keterlibatan rakyat sipil di dalamnya untuk sebuah gerakan hijau, penyelamatan
bumi, penyelamatan keanekaragaman plasmah nutfah, jenis tumbuhan, jenis hewan, dan
berbagai benda-benda alam.

Kedelapan, dalam studi-studi pembangunan, pendekatan survei yang mempotret di


permukaan kondisi ketertinggalan, kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat pedesaan atau
lapis bawah kota, akan semakin digantikan oleh studi-studi dengan pendekatan partisipatif pada
unit-unit kecil yang lebih memperhatikan kedalaman masalah dan mengapresiasi aspirasi orang
miskin, tertinggal dan tak berdaya. Pendekatan RRA (rapid rural appraisal), PRA (participatory
rural appraisal), dan apresiasi terhadap pengetahuan asli (indigineous knowledge) yang
dikembangkan Chambers (1992) dan kelompoknya serta kalangan LSM, akan semakin
mendapat tempat.

Demikianlah, dalam arah postmodernisme, pembangunan lebih memilih unit lokalitas


sebagai wilayah operasinya, dengan pelaku organisasi dan kelompok non negara pada wilayah
lokal tersebut, dengan penghargaan yang tinggi terhadap pluralitas budaya, pengetahuan dan
teknologi. Indikator dan standar yang sifatnya nasional-baku-uniform didekonstruksi oleh
postmodernism menjadi indikator dan standar yang lokalistik-relatif-pluralistik. Maka, wacana
pembangunan dalam era globalisasi akan diwarnai oleh dialektika, dan mungkin juga
kontradiksi, antara lokalitas dan nasionalitas, pluralitas dan homogenitas, narasi kecil dan
narasi besar.
*****

Tugas Pokok Bahasan 5:

Berikan review terhadap pemikiran-pemikiran utama pada paradigma dependensia dan sistem
dunia, yang tertuang dalam bahan ajar ini. Kontekskan review anda dengan praksis
pembangunan di Indonesia secara umum. Tulis dalam bentuk esai kritis, 3-4 halaman spasi
tunggal, dikirim ke darsalman@agri.unhas.ac.id sebelum kuliah berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai