Teori dependensia klasik mengemukakan adanya dua kelompok negara di dunia yakni
negara metropolis/inti dan negara peri-phery/pinggiran. Akar dari keterbelakangan adalah
eksploitasi yang dilakukan oleh negara inti kepada negara pinggiran (Baran,1957; Frank,
1967). Dari model inti-pinggiran tersebut tercipta sistem pembagian kerja internasional yang
bersifat vertikal, dimana negara inti memproduksi komoditas industri yang nilai tambah dan
spin-offnya tinggi, sedangkan negara pinggiran memproduksi produk pertanian yang nilai
tambah dan spin-offnya rendah (Prebisch, 1953; Galtung, 1971). Perbedaan nilai tambah dan
spin-off akibat pembagian kerja vertikal ini yang menyebabkan persistennya keterbelakangan
sejumlah negara. Teori dependensi juga berpandangan bahwa kemiskinan, ketertinggalan dan
keterbelakangan disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui
pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971). Teori-teori ini
merekomendasikan bahwa kalau keterbelakangan ingin dihapuskan, maka negara pinggiran
harus memutuskan hubungan ketergantungan kepada negara inti. Negara pinggiran
direkomendasikan untuk mengelola sumberdaya alamnya secara mandiri dengan
memanfaatkan kemampuan SDM dan teknologi yang mereka punyai.
Teori dependensia baru lebih moderat dalam melihat hubungan eksploitatif negara
terkebelakang dengan negara maju. Hopkins dan Wallerstein (1977) melihat bahwa hubungan
inti-pinggiran bersifat dinamis. Sebuah negara pinggiran tidak selalu berposisi pinggiran, ia
dapat maju menjadi negara semi-pinggiran bahkan menjadi negara inti. Para penganjur teori
dependensia baru seperti Cardoso (1973), Warren (1980) dan Evans (1981) juga melihat bahwa
hubungan inti-pinggiran sebenarnya tidak sejelek yang digambarkan teori dependensi klasik,
karena dalam kondisi bergantung negara berkembang dapat mencapai berbagai kemajuan
dalam industrialisasi, suatu proses yang disebut mereka sebagai “dependent development”
(pembangunan bergantung). Teori dependensia baru merekomendasikan bahwa hubungan inti-
pinggiran tidak menjadi masalah sepanjang dalam proses itu negara pinggiran dapat mencapai
kemajuan. Ini bisa dilihat pada pencapaian Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura yang
menjelma sebagai negara industri baru melalui penerapan modernisasi.
Dari berbagai proposisi tersebut, terlihat bahwa ideologi dari paradigma dependensia
adalah penghapusan ketergantungan negara terkebelakang kepada negara maju. Ini diilhami
oleh pemikiran Marxis, tentang pemutusan atau bahkan konflik antara kelas proletar (analog
dengan negara terkebelakang) dan kelas borjuis (analog dengan negara maju). Dalam
paradigma dependensia, diasumsikan bahwa pembangunan untuk mengatasi keterbelakangan
harus berlangsung dalam proses yang mandiri, tidak bergantung pada bantuan investasi dan
teknologi dari negara maju. Karena itu, tujuan pembangunan bagi paradigma dependensia
adalah pembebasan negara terkebelakang dari eksploitasi negara maju, promosi ekonomi
mandiri pada mereka, dan perbaikan tatanan ekonomi dan sosial dunia internasional. Sasaran
pembangunan bagi paradigma dependensia adalah perbaikan pembagian kerja internasional
dalam konteks hubungan antara kelompok yang berkuasa (negara inti) dengan kelompok yang
tertindas (negara pinggiran). Sarana untuk mencapai tujuan pembangunan yang demikian
adalah reformasi radikal struktur politik dan ekonomi domestik oleh kelompok yang tertindas,
dalam arti bahwa ketika kelompok tertindas telah muncul sebagai pengganti rezim komprador,
maka rezim baru inilah yang akan memperjuangkan kemandirian atau pemutusan hubungan
dengan negara inti. Ini menunjukkan bahwa unit pembangunan bagi paradigma dependensia
adalah level nasional dan internasional dengan pelaku utama adalah rakyat tertindas.
Masalah mendasar yang tidak mampu dijawab oleh paradigma dependensia dan ini
menjadi anomalinya adalah, pertama, ketika dunia semakin saling terbuka karena arus
informasi dan pergerakan kapital-SDM-teknologi yang cepat, seberapa sahih anjuran
pemutusan hubungan antara negara pinggiran dengan negara inti? Dunia justeru semakin
menghadapi agenda-agenda global yang pendefinisian dan pemecahannya harus melibatkan
semua negara, terlepas apakah ia inti atau pinggiran (Charles dan Eugene, 1981).
Ketergantungan memang harus dihentikan, kemandirian harus ditegakkan, tetapi memutus
hubungan antara negara pinggiran dengan negara inti, menjadi hal yang utopis.
Singkatnya, masalah-masalah yang tidak bisa diatasi oleh paradigma modernisasi, juga
tidak bisa diatasi sepenuhnya oleh paradigma dependensia. Dalam kehadirannya, teori-teori
yang diturunkan dari paradigma dependensia berada dalam proses transisi berkepanjangan,
yakni transisi dari kerangka abstrak situasi masalah dan penyebab keterbelakangan ke
formulasi konkrit jalan keluar dari masalah (Blomstrom dan Hettne, 1984). Masalah
ketergantungan dan kesenjangan sosial-ekonomi memang telah menjadi fokus perhatian
paradigma dependensia, dan itu menjadi kelemahan pokok paradigma modernisasi, tetapi
dalam prakteknya, rekomendasi yang diturunkan dari paradigma dependensia ternyata juga
tidak efektif mengantarkan kemandirian pembangunan pada negara penganutnya. Selain itu,
masalah kerusakan lingkungan, masalah korupsi-kolusi dan nepotisme, dan kemudian masalah
ketimpangan gender yang juga signifikan dalam praktek pembangunan, sama sekali tidak
menjadi perhatian paradigma dependensi. Sebagai sebuah paradigma, jika mengikuti logika
revolusi paradigma yang digariskan Kuhn, paradigma dependensia juga telah mengalami
anomali.
Pada tahun 1990-an, wacana globalisasi didorong oleh berbagai pihak di dunia. Kepala
negara, barisan ilmuan, kalangan swasta, bahkan para tokoh agama, semua hampir berkata
seragam: “era globalisasi sudah menjelang, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, kita harus
memasuki dan terlibat di dalamnya”. Secara garis besar, paradigma globalisasi
merekomendasikan bahwa bila negara-bangsa terkebelakang ingin mencapai kemakmuran
yang lebih tinggi, maka ikutlah dalam persaingan bebas melalui mekanisme pasar pada tingkat
global, karena dengan itu efisiensi, efektivitas dan nilai tambah akan lebih banyak diraih.
Pemberian bantuan dari negara maju kepada mereka sudah bukan zamannya lagi. Telah tiba
saatnya semua negara dianggap sama kuatnya untuk bersaing secara bebas pada bumi yang
berbentuk globe ini.
Dalam kaitan ini, setidaknya ada dua perspektif bisa digunakan untuk lebih memahami
kerangka globalisasi. Salah satunya adalah pendekatan dengan menempatkan globalisasi
sebagai kerangka yang harus dimasuki demi keberlanjutan peradaban manusia. Globalisasi
diasumsikan sebagai sebuah keniscayaan sejarah atas nama peradaban manusia, di negara
sedang berkembang maupun negara maju, dimana globalisasi diartikan sebagai integrasi
ekonomi mulai dari level lokal, nasional, regional hingga global yang di dalamnya kompetisi
bebas berlangsung. Dengan integrasi itu perekonomian dunia akan lebih efektif-efisien-bernilai
tambah tinggi-memberi kemakmuran maksimal.
5
Perspektif ini terinspirasi oleh analisis klasik Polanyi (1957) bahwa transformasi besar
peradaban manusia berawal pada ekspansi alat tukar uang dan tata produksi kapitalisme dari
negara Barat ke berbagai kawasan bumi. Sebelum abad 19, ekspansi itu berlangsung melalui
imperialisme/kolonialisme/penjajahan, membunuh tukar menukar dan sistem redistribusi
masyarakat pribumi, meminggirkan tata produksi subsistensi lokalitas, lalu peradaban dunia
seakan bertransformasi besar dari ekonomi non uang dan subsisten ke ekonomi pasar dan
kapitalistik.
multinasional, ataupun pemimpin tertentu negara maju, yang dengan globalisasi itu ingin
memperkembangbiakkan modalnya (donatur internasional), mengekspansikan investasi dan
pemasaran produknya (korporat multinasional) dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi
dan konsumsi massa yang tinggi (pemimpin negara maju). Pendekatan ini ingin mengatakan
bahwa globalisasi kurang lebih sama dengan skenario imperialisme/kolonialisme dan
pembangunanisme/modernisme, di permukaan seakan-akan membawa berkah untuk semua,
tetapi di baliknya tersimpan potensi penghisapan dan eksploitasi.
Hal yang kemudian menarik adalah, bahwa era globalisasi, era dimana paradigma
globalisasi secara bersamaan berfungsi mendesain konstruksi tatanan dunia dan tatanan
7
internal suatu negara, ditandai oleh berlangsungnya dua arus gerakan sosial yang sama-sama
signifikan. Gerakan pertama adalah gerakan tata produksi dan gaya konsumsi yang
merefleksikan loncatan dari apa yang telah dikonstruksi oleh narasi besar modernisasi seperti
pertumbuhan, efisiensi dan gaya hidup konsumsi tinggi, sedemikian rupa sehingga dunia
berada dalam kondisi hiperproduksi dan hiperkonsumsi. Gerakan kedua adalah gerakan
alternatif dari narasi besar yang dikembangkan oleh modernisasi seperti pluralitas,
sustainabilitas, kesetaraan gender dan kemandirian lokal. Pada titik ini, atau tepatnya pada titik
dimana arah perubahan kultural harus didefinisikan, globalisasi berada di persimpangan: arah
hipermodernisme atau postmodernisme.
Loncatan peradaban manusia melalui hiperkapitalisme tidak terlepas dari loncatan yang
terjadi pada tipe tindakan manusia. Dengan pasar bebas yang dipersembahkan oleh globalisasi,
elektivasi tindakan manusia menjadi lebih tinggi lagi, yang karena demikian elektifnya maka
tindakan rasional meloncat menjadi tindakan hiperrasional, baik dalam tata produksi maupun
tata konsumsi, atau dalam aspek apa saja dari peradaban manusia. Menurut Ritzer (1991),
rasionalitas manusia telah meloncat dari sekedar rasionalitas formal menjadi rasionalitas
gabungan antara rasionalitas formal, substantif, teoretikal dan praktikal, gabungan empat
rasionalitas inilah yang menjelma menjadi rasionalitas-hiper, atau hiper-rasionalitas.
Hiperrasionalitas yang merupakan gabungan dari empat tipe rasionalitas tersebut pada
gilirannya sangat sulit didefinisikan, tetapi menurut Lyotard (1994) rasionalitas demikian
adalah rasionalitas dimana tindakan manusia tidak lagi sekadar digerakkan oleh pikiran dan
perasaannya, melainkan oleh libidonya. Ruang tindakan yang paling intensif digerakkan oleh
libido adalah ruang ekonomi: tata produksi, tata distribusi, maupun tata konsumsi; karena itu
Lyotard kemudian menamai tatanan ekonomi demikian sebagai ekonomi libido (economy
libidinale).
Dalam tata produksi, ekonomi libido telah menganjurkan sebuah kegiatan produksi
yang tidak lagi didasarkan pada ekspektasi kebutuhan manusia melainkan didasarkan pada
hasrat untuk selalu berproduksi. Dalam tatanan ekonomi libido, produksi dilakukan bukan
karena produk itu dibutuhkan secara hakiki oleh pasar, melainkan karena adanya dorongan
untuk selalu memproduksi, dorongan untuk selalu berinvestasi, dorongan untuk selalu
melipatgandakan dan menumbuhkan uang. Unsur yang dinikmati dari kegiatan produksi bukan
lagi “produk”nya, melainkan “proses” dari kegiatan memproduksi itu sendiri. Tindakan
produksi demikian lebih didorong oleh libido ketimbang rasionalitas. Menurut Hoogendijk
8
(1995), demikianlah realitas ekonomi dunia saat itu, sebuah ekonomi yang selalu harus
tumbuh, memproduksi, membangun, dan berbunga terus!
Dalam tata konsumsi, ekonomi libido menjelma dalam bentuk tindakan konsumsi yang
tidak lagi didasarkan pada kebutuhan, melainkan karena dorongan untuk selalu membeli,
memakai, dan mengkonsumsi. Suatu produk dibeli bukan karena ia dibutuhkan, melainkan
karena ada kepuasan saat membelinya; ruang kebugaran rutin dimasuki bukan sepenuhnya
karena tujuan melangsingkan tubuh, melainkan karena ingin menikmati puncak kelelahan,
puncak berkeringat; aktivitas sexual dimodifikasi dan divariasikan bukan karena tujuan
memperoleh keturunan, melainkan karena keinginan menikmati puncak kepuasan lebih dari
sekadar kepuasan sexual (Piliang, 1998). Ekstasi konsumsi telah menjelma dalam tata ekonomi
libido.
Uang sudah jauh bertransformasi fungsi dari apa yang pernah didefinisikan oleh
Polanyi (1957). Uang telah berdiferensiasi dan bertransformasi fungsi sedemikian rupa
sehingga peradaban manusia seakan berpusar dan terpusat pada fungsi-fungsi uang tersebut.
Diferensiasi: uang melebarkan fungsinya dari sekadar alat tukar ke komoditas. Transformasi:
uang telah meloncatkan eksistensinya dari eksistensi riil ke eksistensi maya. Maka, nilai
transaksi barang dan jasa (riil) di dunia telah diimbangi oleh nilai transaksi perdagangan uang
(maya). Bersamaan dengan itu transaksi barang serta jasa tidak lagi sepenuhnya melibatkan
uang riil, melainkan melalui credit card, jaringan on-line bank, ATM box dan e-banking pada
smartphone. Uang elektronik (electronic money) telah semakin menggantikan uang cash dalam
transaksi/peradaban ekonomi manusia (Barnett dan Cavanagh, 1996).
Menurut Mander (1996), korporatisme dalam era globalisasi adalah korporatisme yang
tidak hanya menderita “dominasi libido”, tetapi juga telah terserang “schizophrenia”. Ini berarti
bahwa dengan arah hipermodernisme dari globalisasi, umat manusia sebenarnya telah
menyerahkan nasibnya kepada orang-orang yang “dikendalikan libido” dan menderita
“schizophrenia”. Setidaknya terdapat sebelas ciri dari perilaku korporatisme yang harus
diperhatikan dalam memahami tatanan yang akan terbentuk di bawah kendali korporatisme.
Pertama, adanya imperatif profit sebagai acuan tertinggi dalam berbagai keputusan mereka,
imperatif ini mengatasi pertimbangan tentang kesejahteraan masyarakat, perbaikan hidup
pekerja, kelestarian lingkungan, dan sekuritas nasional. Kedua, adanya imperatif pertumbuhan
yang mendeterminasi interaksi pada berbagai kalangan investor, industri perbankan, persepsi
publik, serta dengan imperatif pertumbuhan itu pula korporat begitu bernafsu mengeksploitasi
sumberdaya paling langka sekalipun.
Ketiga, ciri kompetisi dan agresi. Di satu sisi, korporasi memerlukan tingkat kerjasama
yang tinggi yang di dalamnya manajemen dikembangkan; di sisi lain, korporat menempatkan
setiap orang dalam manajemen itu dalam posisi harus berkompetisi satu sama lain. Akibatnya,
setiap orang harus berusaha secara agresif memenangkan korporatnya dalam persaingan
dengan korporat lain, dan dengan agresivitas itu juga ia harus meningkatkan karirnya dalam
9
persaingan dengan kolega seperjuangannya. Keempat, ciri amoral. Dalam perilaku korporat,
tidak dikenal tujuan altruistik yang melibatkan moral, perasaan dan kemanusiaan. Karena itu,
keputusan yang diambilnya, dan tindakan yang ditempuhnya, bisa saja berlawanan dengan
tujuan masyarakat atau kesehatan lingkungan. Bagi korporat, perasaan tidak boleh dijadikan
basis bagi keputusan yang “obyektif”. Kelima, ciri hirarkis. Korporasi dicirikan oleh hirarki
yang sangat jelas: pemilik perusahaan, direktur eksekutif, vice president, manajer divisi, dan
kelas pekerja. Dengan ciri hirarkis itu, demokrasi pasar bebas yang dijanjikan globalisasi sulit
dipercaya, karena korporat sebagai mesin globalisasi justeru berstruktur hirarkis tidak
demokratis.
Keenam, ciri kuantifikasi, linearitas dan segmentasi. Dalam korporasi, segala hal
dikuantifikasi, tidak ada aspek spiritualitas, atau apapun sejenisnya, dalam perlakuan terhadap
lingkungan. Hutan didefinisikan dalam kuantitas ton kayu dan dollar, persetan dengan makhluk
halus atau setan penunggu yang ada di dalamnya. Segalanya harus tumbuh linier, dan
pertumbuhan linier itu harus berlangsung dalam unit yang telah terdiferensiasi untuk menjamin
efisiensi, sehingga segmentasi juga menjadi ciri utama. Ketujuh, ciri dehumanisasi. Dalam
korporasi, pekerja adalah obyek. Sebagai bagian dari operasi produksi dan operasi bisnis,
pekerja harus siap mengalami proses depersonalisasi dan dehumanisasi, “does not let feelings
get in the way”, karena yang demikian itu merupakan tuntutan dari imperatif profit dan
pertumbuhan. Kedelapan, ciri eksploitasi. Korporasi tidak hanya mengeksploitasi sumberdaya
alam, merusak dan menghabiskannya, lebih dari itu ia juga mengeksplotasi pekerjanya,
memarginalkan dan “memiskinkannya”, bahkan mengeksploitasi masyarakat (perempuan,
balita, remaja dan pria konsumen/target pasar) melalui politik citraan iklan dan budaya
konsumtivisme yang dikonstruksinya.
Kesembilan, ciri kesementaraan dan mobilitas. Korporat eksis melewati waktu dan
tempat, ia memiliki eksistensi hanya di atas kertas, di dalam alam pikiran, karena itu ia
mengandung ciri kesementaraan yang abadi. Ia tidak memiliki lokalitas, tidak memiliki ikatan
ketetanggaan, tidak memiliki komitmen terhadap tempat, dan karena itu ia dapat merelokasi
keberadaannya berdasarkan seleranya, bermobilitas mengikuti arah ketersediaan pekerja
murah, perpajakan yang rendah dan aturan kelestarian lingkungan yang tidak ketat. Kesepuluh,
ciri oposisi terhadap alam. Meskipun individu yang bekerja dalam korporat bisa jadi mencintai
alam, tetapi korporatnya sendiri sangat anti dengan alam. Apapun dari alam harus
ditransformasi menjadi produk, produk sebagai penghasil pertumbuhan dan profit. Bijih besi
diubah menjadi mobil, hutan kayu diubah menjadi produk kertas, minyak alam diubah menjadi
energi tinggi, semua yang dari alam diubah menjadi bentuk baru. Kesebelas, ciri homogenisasi.
Melalui korporasi, hiperkapitalisme akan mengekspansi dan membunuh semua budaya
ekonomi yang berbeda dengannya. Budaya ekonomi dalam peradaban manusia
dihomogenkan. Melalui televisi, radio dan surat kabar, gaya hidup juga dihomogenkan melalui
proyek Amerikanisasi, McDonaldisasi, sebuah gaya hidup yang mengapresiasi tinggi
kecepatan dan percepatan: makanan cepat hidang, sex cepat selesai. Dengan ciri homogenisasi,
globalisasi akan bermakna berekspansinya satu saja budaya dunia mengatasi budaya lokal, dan
budaya dunia itu adalah segala sesuatu yang bertumpu pada hiperkapitalisme.
Dalam sebuah globalisasi dimana korporat menentukan nasib manusia, dimana pasar
diberi kebebasan sebebas-bebasnya, masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang
konstruksi sosialnya merupakan hasil dari sebuah logika terbalik, sebuah filosofi terbalik,
yakni masyarakat yang menempatkan “form” sebagai “content”, masyarakat yang dikonstruksi
dalam kondisi “form” mendeterminasi “content”. Sebelas ciri perilaku korporat yang
dikemukakan oleh Mander sebenarnya hanyalah sebuah “form”, ironisnya, karena penetrasi
10
kesadaran korporat yang dilancarkan oleh para kapitalis demikian intensif memasuki alam
pikir, ruang tindakan dan gaya hidup sehari-hari, masyarakat kemudian menjadikan ciri
tersebut sebagai ciri dari perilakunya, ciri dari “content”. Arah hipermodernisme dari
globalisasi, dengan demikian, akan melahirkan ciri masyarakat, atau ciri peradaban manusia,
yang secara homogen terkonstruksi dari pembalikan “form” menjadi “content”.
Ternyata, paradigma globalisasi, meskipun berhasil dalam pokok pikiran bahwa negara
sudah waktunya ditinggalkan sebagai pelaku utama pembangunan, tetapi dalam mencari
penggantinya, tidak semua pemikiran sepakat bahwa swasta/korporat adalah pengganti yang
satu-satunya tepat. Terdapat pokok pikiran lain bahwa selain swasta/kapitalis, terdapat
lembaga non negara lainnya yang bisa diandalkan sebagai pelaku utama pembangunan, yakni
lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non governmental organization (NGO). Kalau
negara mempresentasikan peranan political society dalam pembangunan, sedangkan
swasta/kapitalis mempresentasikan peranan economic society, maka LSM mempresentasikan
peranan dari civil society. Eksistensi LSM sebagai pelaku utama pembangunan menjadi salah
satu pokok pikiran yang dapat dikatakan salah satu “main-stream” dalam arah postmodernism
dari paradigma globalisasi.
merencanakan jalan keluarnya, dan menempuh aksi pemecahannya, tanpa harus bergantung
kepada perencanaan canggih aparat/agen pembangunan yang ada di pusat. Kemandirian lokal
harus tercipta dalam kondisi persaingan global-bebas akan dimasuki, dan kemandirian lokal itu
bukan dalam arti kemandirian aparatus negara di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan,
melainkan kemandirian masyarakat lokal bersama organisasi yang dimilikinya, termasuk LSM,
untuk mengelola perubahan, mengelola pembangunan.
Menurut Gardner dan Lewis (1996), terdapat sejumlah arah baru yang telah dan akan
semakin berkembang dalam praktek pembangunan sebagai hasil dari pengaruh pemikiran
postmodernism. Pertama, akan semakin berlanjutnya fokus pada bantuan kemiskinan dan
“income-generation” dalam praktek pembangunan, dan pelaku untuk semua itu akan semakin
bergeser dari pejabat negara ke aktivis LSM. Negara telah semakin kehilangan legitimasi untuk
menjalankan program-program tersebut.
Ketiga, konsep partisipasi akan mengalami redefinisi, berhubung selama ini partisipasi
hanya menjadi jargon yang diperalat sebagai basis legitimasi oleh rezim yang
berkuasa/mengelola pembangunan. Redefinisi dimaksud akan lebih mengarah pada konsep
partisipasi dalam arti perubahan diinisiasi secara dari dalam oleh masyarakat, perubahan bukan
direncanakan oleh pihak dari luar komunitas (agen pembangunan).
development” akan kembali pada makna sebenarnya, yakni sebuah pendekatan pembangunan
yang menjadi bagian dari gerakan civil society.
Keenam, gerakan feminisme dan pendekatan gender dalam pembangunan akan semakin
mengalami penajaman sedemikian rupa sehingga pembangunan betul-betul tidak hanya
dimonopoli sebagai gerakan laki-laki, apalagi bahkan memarginalkan, memperalat dan
mengeksploitasi eksistensi perempuan, melainkan ia juga menjadi milik perempuan.
Perempuan menjadi bagian utama dari pemberdayaan, partisipasi dan “community
development”. Gender expertise dalam kondisi demikian akan berkembang sebagai basis
dalam public policy.
Berikan review terhadap pemikiran-pemikiran utama pada paradigma dependensia dan sistem
dunia, yang tertuang dalam bahan ajar ini. Kontekskan review anda dengan praksis
pembangunan di Indonesia secara umum. Tulis dalam bentuk esai kritis, 3-4 halaman spasi
tunggal, dikirim ke darsalman@agri.unhas.ac.id sebelum kuliah berikutnya.