Anda di halaman 1dari 11

PAPER

C2 KOMUNIKASI PENGEMBANGAN DAN


PERBEDAAN SOSIAL
Dosen : Andi Muttaqin Mustari, S.Sos.,M.Si

DI SUSUN OLEH

ANDI MUH ARYA FAH REZKY / 06520200248

ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS SASTRA


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan
Kalau pada model awal pembangunan yang ditekankan adalah perlunya kapitalisasi, kemudian
dalam model distribusi sosial muncul kesadaran akan keadaan marginalitas yang dihasilkan oleh konsep
pembangunan dengan arti pertumbuhan, maka kemudian tampil sejumlah pengulas teori pembangunan-
terutama yang berasal dari negara berkembang sendiri, seperti Amerika Latin-yang meninjaunya dari
sudut tekanan historis mengenai hubungan antara negara maju dengan negara terbelakang. Bagi kelompok
analis ini, yang menjadi masalah utama yang sebenarnya bukan terletak pada kuantitas pertumbuhan
ekonomi (seperti yang diukur dengan persentase tingkat pertumbuhan per tahun), ataupun pada kualitas
pertumbuhan sosial, melainkan pada kualitas dari proses pencapaian pertumbuhan itu sendiri.
Pandangan ini tetap mengakui pèntingnya pembangunan ekonomi dan sosial, nainun menurut
mereka persoalan kunci adalah: siapa yang mengendalikan pembangunan? Apakah negara-negara yang
sedang membangun itu merupakan obyek pembangunan-kendali tujuan berada di tangan seseorang di luar
mereka-atau mereka merupakan subyek pembangunan-yakni mengendalikan sendiri tujuan mereka itu?
Dalam menjawab pertar.yaan inilah kemudian muncul teori-teori dependensi (ketergantungan) dan teori
keterbelakangan (underdevelopment).

1. TEORI DEPENDENSI
Menurut Servaes (1986) teori-teori dependensi dan keterbelakangar. lahir sebagai hasil "revolusi
intelektual" secara umum pada pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuwan Amerika Latin
terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan. Meskipun paradigma dependensi dapat dikatakan asli
Amerika Latin, namun "bapak pendiri" perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy
merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review.
Baran merupakan orang pertama dalam mengemukakan bahwa pembangunan dan
keterbelakangan harus dilihat sebagai suatu proses yang: (a) saling berhubungan dan berkesinambungan
(interrelated and continuous process), dan (b) merupakan dua aspek dari suatu proses yang sama, daripada
suatu keadaan eksistensi yang orisinal.
Frank (1972) menclak anggapan yang umum bahwa pembangunan akan terjadi menggantikan
tahap kapitalis, dan bahwa negara-negara yang terbelakang sekarang ini masih dalam suatu tahap, yang
kadang-kadang digambarkan sebagai suatu tahap sejarah yang orisinal, melalci mana negara-negara yang
sekarang sudah maju, telah melewatinya di masa silam.
Secara garis besar, yang dimaksud dengan dependensi adalah, suatu keadaan di mana keputusan-
keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan
mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar
negara yang bersangkutan.
Teori-teori mengenai ketergantungan dan keterbelakangan telah digambarkan dalam studi-studi
yang dilakukan Celso Furtado, Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique Cardoso,
dan lain-lain. Pada urnumnya mereka itu membahas secara serius masalah hubungan kolonial yang secara
historis membekas pada pertumbuhan di negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Menurut
mereka, kecuali dengan suatu pengenalan yang eksplisit akan konsekuensi
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan hubungan tersebut maka mustahil dapat
diperoleh suatu pengertian yang akurat mengenai situasi yang sekarang di negara-negara tersebut.
Singkatnya, mereka berpendapat bahwa keterbelakangan yang ada sekarang ini merupakan konsekuensi
masa penjajahan yang telah dialami oleh negara-negara baru.
Proses keterbelakangan yang melanda negara-negara baru, menurut Furtado (1972), meliputi tiga
tahapan historis yang terdiri dari:
(1) Tahap keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi industri, ketika sistem
divisi tenaga kerja internasional diciptakan dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-negara industri pada
umumnya menspesialisasikan diri pada kegiatankegiatan yang ditandai dengan kemajuan teknik yang
menyebar. Di negara-negara berkembang, investasi domestik dan internasional terjadi pada sektor-
sektor.dengan teknologi yang minim dalam proses produksinya, (perkebunan yang berorientasi pada
"cash crops"), atau pada sektor-sektor di mana kemajuan teknik terisolasi (misalnya pada "enclaves" yang
dikontrol dari luar pada suatu industri ekstraktif mineral). Dalam kasus seperti itu, sedikit sekali atau tidak
ada kemajuan teknologi pada bangsa yang bersangkutan, dan manfaat pendapatan yang seharusnya
diperoleh, nyatanya mengalir terutama ke suatu minoritas kecil tertentu. Hasil dari keadaan semacam ini
adalah terciptanya suatu ekonomi pengekspor komoditi primer pada negara sedang berkembang yang
bersangkutan.
(2) Tahap substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok sosial kecil dengan keistimewaan (privileges)
di kalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan suatu keharusan untuk mengimpor sejumlah
barang-barang tertentu guna memenuhi pola konsumsi yang telah diadopsi kelompok ini dalam meniru
bangsa yang kaya. Namun kemudian disebabkan neraca pembayaran yang jelek dan kebijakan
perdagangan yang terbatas, barang-barang yang dimaksud lantas diproduksi di dalam negeri. Dengan kata
lain kebijaksanaan tersebut mengakibatkan diadakannya produksi lokal untuk barang-barang yang sama,
yang tadinya diimpor sekedar untuk memenuhi konsumsi sekelorapok elit. Keadaan itu selanjutnya
memaksa disesuaikannya produksi barang-barang konsumen sekuat mungkin dengan kebutuhan mincritas
orang kaya, yang berarti bahwa pola distribusi pendapatan menjadi terpengaruh karena kebutuhan akan
akumulasi modal yang besar, dan menyebabkan suatu ketergantungan akan impor untuk sarana produksi
(teknolog, suku cadang, dan lain-lain). Dalam hal ini kemampuan negara-negara kaya untuk
mengendalikan kemajuan teknologi dan menekankan pola konsumsi menjadi faktor penentu dalam
menyusun perangkat produksi di negara-negara yang bersangkutan-negara yang kemudian menjadi
tergantung kepada mereka.
(3) Tahap berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN) Timbulnya PMN telah menjadi suatu
fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional, karena transaksi internal yang dilakukan oleh
PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada selama ini. Investasi negara-negara miskin pada sektor
manufaktur cenderung bersifat padat modal, menggunakan teknologi hematkarya (labor-saving) yang
justru memperbesar problem pengang. guran dan maldistribusi pendapatan. Disamping itu, PMN bersifat
dominan dalam sektor-sektor inovatif barang-barang konsumen yang tahan lama (durable), mesin-mesin,
suku cadang, elektronika, komputer, kimiawi, dan cbat-obatan. Suatu prakondisi yang semula berfungsi
untuk menjaga berlangsungnya proses industrialisasi, kemudian menjadi kerja sama yang bersifat
ketergantungan (dependent cooperation) pada pihak negara berkembang.
Cardozo menunjukkan unsur keempat yang menunjang proses keterbelakangan ini, yaitu semakin
mantapnya elit-elit lokal domestik di negara berkembang oleh elit internasional. Suatu analisis kelas
menunjukkan bahwa kepemimpinan di banyak negara berkembang-khususnya di negara yang paling
terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dunia-adalah
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan didukung oleh jalinan hubungan-hubungan
bisnis, pendidikan, sosial, dan politik, yang dibina selama bertahun-tahun dan dipimpin oleh negaranegara
maju. Dengan demikian mudah dimengerti mengapa kemudian banyak elit di negara Dunia Ketiga yang
tidak suka akan suatu proses pembangunan yang kelak merupakan tantangan terhadap hubunganhubungan
semacam itu.
Seterusnya Baran dan Hobsbauw (1961) menegaskan bahwa untuk menanggulangi masalah
keterbelakangan, harus dipahami lebih dahulu mengapa negara-negara tersebut menjadi terbelakang?
Dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model-model pembangunan yang dipengaruhinya tampak
seakan-akan negara-negara yang disebut terbelakang itu muncul begitu saja entah dari mana.
Dalam teori semacam itu, negara-negara yang belum berkembang itu digambarkan seolah-olah
tidak punya riwayat sejarah, dan mereka begitu saja dikelompokkan bersama di bawah satu label:
masyarakat tradisional. Padahal mengenyampingkan sejarah dalam hal ini sama dengan mengabaikan
salah-satu dari penyebab terpenting terjadinya keterbelakangan di regara-negara tersebut. Seperti
diketahui dari sejarah, banyak bukti yang menunjukkan bahwa kolonisasi oleh negara-negara Barat
merupakan permulaan dari hubungan yang bersifat ketergantungan yang seterusnya menghasilkan suatu
eksploitasi atas negara yang dijajah itu. Parahrya, hubungan semacam itu telah berlangsung bertahun-
tahun, bahkan ratusan tahun, dan tidaklah hapus begitu saja dengan adanya "dekolonisasi". Dalam
kenyataannya, banyak di antara bangsa-bangsa yang baru merdeka itu tetap saja tersangkut dalam
hubungan yang eksploitatif, terutama dengan negara bekas penjajahnya, dan dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih kuat dalam politik dan ekonomi.
Situasi tersebut antara lain yang telah menyebabkan negara-negara muda tadi tidak lagi
sepenuhnya bebas dalam memilih sistem sosial dan ekonomi sendiri, melainkan harus mengikuti kekuatan
yang lebih kuat agar dapat tetap bertahan hidup. Menurut tokoh-tokoh teori dependensi, analisa mengenai
hubungan-hubungan semacam inilah yang tidak ditampilkan dalam ulasan mengenai ekonomi pada ahur.
60-an.
Padahal sekarang ini, bahkan suatu pengenalan yang sederhana mengenai sejarah menunjukkan
bahwa keterbelakangan bukan sesuatu yang orisinal atau tradisional, dan tidak pula, bahwa masa lalu atau
masa kini dari negara terbelakang mengingatkan pada aspek penting mana pun dari negara-negara yang
kini telah maju (Frank, 1972). Lebih jauh Frank berpendapat, bahwa negara-negara maju tidak pernah
terbelakang, walau mungkin mereka pernah tidak dibangun. Cukup lama pula kalangan yang meyakini
bahwa keterbelakangan kontemporer suatu negara dapat dipahami sebagai suatu produk atau refleksi
semata-mata dari karakteristik atau struktur ekonomi, politik, dan kulturalnya sendiri. Penelitian historis
menunjukkan bahwa keterbelakangan kontemporer sebagian besar adalah produk historis masa silam, dan
merupakan konsekuensi dari hubungan ekonomi dan hubungan lain-lain antara negara-negara satelit yang
terbelakang dengan negara-negara yang.. sekarang maju dan metropolitan.

Hubungan ketergantungan tersebut bukan semata-mata di bidang ekonomi saja. Para penulis seperti Freire
(1968) dan Rayan (1971) menunjukkan bahwa disebarluaskannya ideologi-ideologi, sistem-sistem
keyakinan, konglomerasi nilai-nilai, dan lain-lain. dari negara-negara maju di negara-negara satelit
merupakan suatu cara untuk melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang ada sekarang, berikut
keadaan ketergantungan tadi.
Kritik Terbadap Teori Dependensi

Setelah menghadapi sekian banyak tudingan dari teorisi dependensi, banyak juga para analis
pembangunan yang berpegangan pada paradigma awal tadi yang merasa bahwa hal-hal yang
dikemukakan dalam teori dependensi itu sesuatu yang terlalu dilebih-lebihkan. Ada pula yang menuduh
"kaum dependista" telah mendistorsikan sejarah dalam kupasan mereka, terutama yang menyangkut
hubungan historis
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan antara negara-negara maju dengan negara-negara
terbelakang. Namun nyatanya, teori dependensi dan keterbelakangan tersebut memang mendapat
pengaruh yang besar di tengah negara-negara sedang berkembang.
Menurut Servaes (1986), hal-hal yang dikritik pada teori dependiensi dan keterbelakangan itu pada
pokoknya adalah:
(1) Bahwa pandangan kaum dependersi tentang kontradiksi yang fundamental di dunia antara Pusat
dan Periferi ternyata tidak berhasil memperhitungkan struktur-struktur kelas yang bersifat internal
dan kelas produksi di Periferi yang menghambat terbentuknya tenaga produktif.
(2) Bahwa teori dependensi cenderung untuk berfokus pada masalah Pusat dan modal internasional
karena kedua hal itu "dipersalahkan" sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan,
ketimbang masalah pembentukan kelas-kelas lokal.
(3) Teori dependensi telah gagal dalam memperbedakan kapitalis lengan feodalis, atau bentuk-bentuk
pengendalian produser masa prakapitalis lainnya, dan apropriasi surplus.
(4) Teori dependensi mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik sentral dalam
pembangunan-ekonomi nasional, dan meletakkan tenaga penggerak (motor force) dari
pembangunan kapitalis dan masalah keterbelakangan pada transfer surplus ekonomni Pusat ke
Periferi.
(5) Teori dependensi juga dinilai menggalakkan suatu ideologi berorientasi ke Dunia Ketiga yang
meruntuhkan potensi solidaritas kelas internasional dengan menyatukan semuanya sebagai
"inusuh", yakni baik elit maupun massa yang berada di bangsa-bangsa Pusat.
(6) Teori dependensi dinilai statis, karena ia tidak mampu untuk menjelaskan dan memperhitungkan
perubahan-perubahan ekonomi di negara-negara terbelakang menurut waktunya.

ANOTHER DEVELOPMENT ATAU PEMBANGUNAN YANG "LAIN"


Semakin hari semakin disadari bahwa pada tingkat global kenyataan yang sebenarnya menunjukkan tiada
suatu negara pun yang sepenuhnya otonom dan self-reliant (mengandalkan kemampuan sendiri). Selain
itu tidak ada pula suatu negara yang membangun semata-mata sebagai suatu cerminan faktor-faktor luar
saja. Setiap bangsa pada hakikatnya menghadapi persoalan dalam otonom dan ketergantungannya pada
pihak yang lain, baik karena masalah dalam negeri maupun karena faktor luar, sehingga tidak bisa
digeneralisir begitu saja. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh bukti ketika terjadi krisis sedunia pada
tahun 70-an yang menunjukkan suatu tingkat keadaan bahwa yang disebut sebagai ekonomi dunia adalah
suatu realitas. Karena itu dibutuhkan analisa yang lebih global dalam mengupas probiem pembangunan di
negara-negara maju yang sedang berkembang.
Pertimbangan dasar semacam ini sering disebut dengan istilah interdependensi atau kesalingtergantungan,
suatu konsep yang menurut Servaes agak mendua konotasinya. Servaes berpendapat, sebutan
interindependensi lebih tepat untuk menggambarkan keadaan tersebut. Alasan yang dikemukakannya
adalah, bagi sementara orang, interdependensi lebih merupakan penghalusan dari ide integrasi
kesalingmengertian yang merupakan salah-satu asumsi yang melatarbelakangi paradigma modernisasi.
Sedang bagi pihak lain, istilan interdependensi diartikan tidak lebih dari suatu penjelasan yang lebih rumit
untuk dikotomi tunggal: Pusat dan Periferi.
Timbullah kemudian pemikiran baru yang dikenal dengan sebutan Another Development, atau
Pembangunan yang Lain daripada yang diperkenalkan melalui konsep-konsep sebelumnya, dan ingin
menyempurnakan konsep-konsep pembangunan yang telah ada selama ini. Dalam pandangan Servaes,
Another Development sungguh berbeda dengan paradigma sebelumnya.
Berlawanan dengan pandangan-pandangan kalangan modernisasi dan dependensi yang lebih berorientasi
politik dan ekonomi, ide sentral
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan Another Development adalah bahwa tidak ada suatu jalur
tunggal yang universal dalam melaksanakan pembangunan. Menurut konsep ini, pembangunan harus
dipahami sebagai suatu proses yang integral, multidimensional, dan dialektis, yang dapat berbeda dari
satu negara ke negara lain. Setiap masyarakat harus menemukan strategi pembangunannya sendiri.
Karena itu pembangunan diartikan sebagai suatu hal yang relatif, sehingga tidak satu pun bangsa yang
dapat mengklaim sebagai suatu bagian dunia yang telah (selesai) membangun dalam arti segalanya.
Konsep ini perlu dikaitkan dengan pengertian tentang isi pembangunan itu sendiri. Karena paradigma
yang terdahulu ternyata telah tidak mampu dalam mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi dengan
keadilan sosial, maka paradigma Pembangunan yang Lain ini mencoba merenungkan kembali masalah
kemerdekaan dan keadilan, dalam hubungannya antara manusia dengan masyarakat, dan antara batas
pertumbuhan dengan masyarakat.
Unsur-unsur inti dari konsep PYL itu, berdasarkan tulisan-tulisan Bennet (1977), Chapel (1980), Galtung
(1980), Peroux (1983), Rist (1980), dan Todaro (1977) adalah sebagai berikut:
(a) Berorientasi kepada kebutuhan; yaitu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di
bidang kebendaan dan nonkebendaan. Dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar mereka yang tertekan
dan dieksploitir, yang merupakan mayoritas penduduk dunia, dan pada saat yang sama menjamin
pemanusiaan seluruh ummat manusia melalui pemenuhan kebutuhan mereka akan ekspresi, kreativitas,
keadilan, keramahtamahan, disamping pemahaman dan penentuan tujuan oleh mereka sendiri.
(b) Endogeneous; yakni bertolak dari jantung masing-masing masyarakat yang merumuskan dengan
penuh kedaulatan, nilai-nilai dan pandangan masa depan mereka sendiri. Karena pembangunan bukanlah
suatu proses yang linear, maka tidak ada suatu model yang universal, dan hanya kemajemukan pola-pola
pembangunan yang dapat menjawab kespesifikan dari setiap situasi.

(c) Mengandalkan kemampuan sendiri (self-reliant); yaitu berarti setiap masyarakat pertama-tama harus
mengandalkan pada kekuatan dan sumberdaya sendiri dalam arti energi anggotanya, serta lingkungan
alam dan kultural mereka. Prinsip mengandalkan kemampuan sendiri ini jelas harus diterapkan pada
tingkat nasional dan internasional, tapi arti yang sesungguhnva baru dapat diperoleh jika berakar pada
tingkat lokal, inti dari setiap komunitas.
(d) Secara ekologis baik; yaitu bahwa pemanfaatan secara rasional sumber-sumber daya biosfir dengan
penuh kesadaran akan potensi ekosistem lokal, sekaligus global, dan batas yang ada untuk masa sekarang
dan masa yang akan datang.
(e) Bersandar pada transformasi struktural; suatu yang dituntut dalam hubungan sosial, aktivitas ekonomi,
dan distribusi spasialnya, seperti juga dalam struktur kekuasaan untuk merealisasikan kondisi swa-kelola
(self-management) dan partisipasi dalam pembuatan keputusan oleh semua orang yang dikenai oleh
keputusan tersebut, sejak dari masyarakat desa, kota, hingga dunia secara keseluruhan.

Suatu strategi pembangunan yang erat hubungannya dengan strategi "pertumbuhan dengan
pemerataan" tapi dengan pola organisasional dan motivasional yang berbeda adalah yang dijalankan oleh
RRC. Pada tingkat tertentu strategi tersebut dapat dikatakan sebagai suatu variasi dari strategi "growth
with distribution" dalam arti tekanan perhatian pada pembangunan desa, mempromosikan teknologi padat
karya, mengandalkan pola pengendalian (control) lokal yang tidak tersentralisir, dan menanggapi secara
serius masukan-masukan dari warga negara biasa untuk proses pembuatan keputusan.

Antara RRC dengan Taiwan, Korea Selatan, atau Singapura, terdapat pe bedaar organisasional
yang bermakna. Negara-negara yang disebut belakangan, terintegrasi ke dalam tatanan perekonomian
internasional melalui pengandalan yang kuat atas produksi yang berorientasi ekspor.

Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan Sedangkan RRC menekankan keandalan


kemampuan sendiri dengan sedikit atau tanpa terintegrasi dengan ekonomi internasional tadi. Integrasi
ekonomi RRC dengan ekonomi dunia berada dalam batas kemauan negara itu sendiri. Barang-barang
konsumsi yang diproduksi secara massal tetap diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
sendiri. Aspek lain dari kemandirian RRC adalah ketidaktergantungannya pada pengaruh penanaman
modal asing. Menurut Weisskoff (1975), RRC mempunyai kebijakan yang dengan sengaja mengikuti
pola keuangan internasional yang konservatif untuk menghindari utang jangka panjang setelah tahun 60-
an.

Dalam konsep Pembangunan yang Lain, self-reliance dimaksudkan mengandung prinsip


multidimensional dan multiinterpretatif. Dalam konteks ini, menurut Servaes (1986) pengandalan atas
kemampuan sendiri dilihat sebagai suatu kebijakan otosentris yang didasarkan pada sumber-sumber daya
yang dimiliki oleh suatu negara, dan kemampuan merumuskan tujuan dan pembuatan keputusan secara
otonom. Karena itu self-reliance tidak lantas berarti autarki atau memenuhi sendiri kebutuhan masing-
masing. Konsep self-reliance di sini lebih dimaksudkan sebagai suatu prakondisi untuk kerja sama yang
murni yang dilandasi oleh prinsip keikutsertaan, disosiasi ataupun asosiasi, berhubungan atau tidak
berhubungan secara selektif menurut kebutuhan dan tujuan pembangunan masing-masing.

Strategi Baru Pembangunan


Sejumlah pemikir pembangunan (kebanyakan para ekonom) telah berkumpul pada Pertemuan Houston
tahun 1977 untuk menjajagi suatu "strategi baru pembangunan" (Hill, 1979). Dalam pertemuan itu, teori
tinggal landas Rostow, atau tabungan dan industrialisasi dari Nurkse telah dikritik oleh Seers, Streeten,
Cardoso, dan Hirschman.

Sebagian besar yang hadir dalam pertemuan itu setuju bahwa catatan pembangunan selama 25 atau: 30
tahun belakangan ini telah meragukan kemampuan teori ekonomi neo-klasik untuk meramalkan
pembangunan di negara Dunia Ketiga. Mereka juga kelihatan berpikiran bahwa teori-teori Marx dan
pemikir kritikal lainnya telah membantu bagi suatu pengertian yang lebih baik tentang proses
pembangunan sebagai suatu interaksi antara negara-negara pusat dengan periferi dan ekonominya.

Seers (1979) dari Streeten (1979) cenderung untuk menempatkan pragmatisme di atas baik teori neo-
klasik maupun Marxis, serta berpendapat bahwa Keynes dan Marx sama-sama tidak mencapai suatu
penyelesaian terhadap problem pembangunan yang begitu kompleks yang dihadapi negara-negara Dunia
Ketiga Streeten (1979) menilai, sejak 1977 ide-ide seperti analogi Marshall Plann (ekonomi Eropa yang
tinggal landas sehabis Perang Dunia II) sebagai sesuatu yang cocok bagi pembangunan Dunia Ketiga;
prioritas pada industri berat; pendekatan perencanaan yang tersentralisir, substitusi impor dan penciptaan
pasar interval versus eksternal; teori penetesan ke bawah dari sektor modern yang sudah tinggi
perkembangannya; pertumbuhan GNP sebagai indikator pembangunan; bantuan teknis dan masukan
modal sebagai mekanisme pertumbuhan; Dunia Ketiga sebagai kelompok negara yang homogen;
"masalah" keterbelakangan sebagai sesuatu yang internal bagi Dunia Ketiga; telah dikesampingkan.

Pandangan Streeten tentang strategi baru bagi masa depan pembangunan merupakan ringkasan dari
pemikiran-pemikiran koleganya, yakni penegasan mengenai:

(a) pendekatan kebutuhan dasar untuk mayoritas kaum miskin melalui peningkatan pelayanan sosial;
(b) penekanan pada distribusi pertumbuhan sebagai indikator pembangunan;
(c) pertanian sebagai sektor prioritas ekonomi dan pemberian kredit, informasi, inputs, dan
infrastruktur pasar bagi kaum miskin;
(d) teknologi padat karya dan tepatguna lainnya;
(e) penekanan pada aspek sosial dan politik sekaligus ekonomi dari pembangunan.

la berkesimpulan bahwa pelajaran dari 25 tahun pemikiran pembangunan menunjukkan baik ide-ide besar
Keynes maupun penekanan Marx pada kepentingan ekonomi kalangan elit yang berkuasa, telah tidak
memadai dalam menjelaskan masalah kekompleksan (dan kadangkadang kontradiksi dalam
pembangunan).
Rumusan Baru Dalam Konsep Pembangunan

Bagi negara-negara berkembang, hasil yang dipetik dari pelaksanaan pembangunan selain pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan pendapatan juga sejumlah pelajaran. Yaitu pelajaran bagaimana merumuskan-
konsep pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masing-masing. Dari pengalaman
membangun selama ini, serta kritik-kritik yang muncul, ternyata tumbuh sejumlah ide dengan gagasan
yang berguna untuk menyempurnakan konsep pembangunan pada tahapan yang berikutnya.

Karena pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses dinamis yang senantiasa berkembang
terus dalam menjawab tuntutan kebutuhan serta kondisi perkembangan zaman, demikian pula halnya
dengan konsep-konsep dan gagasan yang mendasarinya, akan terus mengalami penyempurnaan.

Pertumbuhan yang Adil

Pelaksanaan pembangunan berdasarkan konsep pertumbuhan (growth) memang telah berhasil


meningkatkan pendapatan nasional dan per kapita di banyak negara yang tadinya berada dalam kondisi
ekonomi yang jelek. Namun strategi ini tidak luput dari berbagai kelemahan. Sesudah dekade
pembangunan I, di hampir semua negara berkembang ditemukan gejala yang kurang lebih sama, yaitu:
jumlah pengangguran yang tetap besar, jurang pendapatar antara sesama di dalam negeri maupun
antarnegara, dan meningkatnya kemiskinan mutlak (absolute poverty). Yang paling pokok dirasakan
adalah bahwa pembangunan selama ini umumnya tidak mengalir ke golongan miskin, padahal mereka
itulah sesungguhnya yang paling membutuhkan perubahan kehidupan.

Menjelang akhir dekade 60-an semakin terasa bahwa hasil pembangunan selama ini hanya terpusat pada
bidang ekonomi, singkatnya cuma mengejar tingkat pertumbuhan tertentu yang telah ditargetkan.
Sedangkan aspek-aspek lainnya terutama yang tidak langsung mengenai pertumbuhan ekonomi, seakan
diabaikan. Umpamanya berapa banyak orang yang masih menderita kemiskinan? Sudahlah hasil
pembangunan menyentuh bagian terbesar anggota masyarakat? Bagaimana kaum miskin menghadapi
kebutuhan pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lowongan kerja? Dan sebagainya?

Cetusan pemikiran mengenai hal tersebut terutama memang berasal dari para ahli nonekonomi. Namun
ternyata masalah ini dirasakan juga di kalangan para ahli ekonomi. Seorang di antaranya adalah H.W.
Singer yang menulis artikel Social Development: Key Growth Sector di International Development
Review (Maret, 1965). Dalam tulisannya ia meminta agar aspek-aspek sosial pembangunan seperti
kesehatan, pendidikan, dan gizi, diberi perhatian penting. Singer yang pernah menjadi ahli ekonomi di
Sekretariat PBB itu mengungkapkan bahwa, "masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang
bukan cuma soal pertumbuhan, tetapi pembangunan. Yaitu pertumbuhan plus perubahan. Perubahan pada
gilirannya meliputi aspek sosial dan kebudayaan maupun ekonomi, serta bersifat kualitatif maupun
kuantitatif... Konsep kuncinya haruslah untuk perbaikan kualitas kehidupan rakyat".

Bantuan Negara Maju

Ketika Robert McNamara menjabat presiden Bank Dunia tahun 1976, ia membentuk sebuah Komisi yang
dipimpin oleh Lester B, Pearson untuk mempelajari akibat bantuan pembangunan selama 25 tahun
terakhir
Berbagai Rumusan Baru Tentang Pembangunan akhir, menilai hasilnya, menjelaskan kekeliruan-
kekeliruannya, serta mengusulkan kebijakan yang akan lebih baik hasilnya di kemudian hari. Tahun 1969
terbit Laporan Pearson berjudul Partners in Development yang meminta agar negara-negara maju
menyediakan 0,7 persen dari pendapatan bruto nasionalnya (GNP) sebagai bantuan resmi pembangunan
(Official Development Assistence) untuk negara-negara berkembang. Rekomendasi ini kemudian menjadi
keputusan Sidang Umum PBB pada tahun 1970 dan ditargetkan akan tercapai pada pertengahan Dekade
Kedua Pembar.gunan PBB yang saat itu dicanangkan.

Didesak oleh opini publik di negara-negara Barat yang mempertanyakan berbagai soal seperti
kesenjangan kaum miskin-kaya dan sebagainya, para perencana pembangunan sejak awal 1970-an mulai
merumuskan kembali pembangunan dalam arti "pertumbuhan yang adil", pemenuhan "kebutuhan dasar
manusia" yang lebih luas, dan dorongan yang lebih kuat untuk peningkatan kesempatan kerja.

3. PENDEKATAN KEBUTUHAN POKOK

Kemudian muncul konsep tentang kebutuhan dasar (basic needs). Menurut konsep ini, ukuran kemajuan
pembangunan yang sebenarnya adalah sejauh mana kebutuhan-kebutuhan rakyat yang paling mendasar
dapat dipenuhi, dan bahwa kebutuhan ini hendaknya dipenuhi secara langsung dan segera. Bahkan jika
perlu dengan program-program subsidi.

Pada tahun 1976 International Labor Organization (ILO) menerbitkan laporan berjudul Employment,
Growthand Basic Needs; A One-World Problem yang merumuskan kebutuhan dasar sebagai "standar
minimum yang harus disediakan oleh suatu masyarakat untuk kelompok-kelompok termiskin rakyatnya".
Standar itu harus mencakup "syarat-syarat minimum bagi konsumsi pribadi suatu keluarga, yaitu: pangan,
papan, dan sandang" sekaligus "kesempatan memperoleh pelayanan pokok seperti air minum, sanitasi,
transpor, kesehatan, dan pendidikan", serta pekerjaan yang diupah dengan memadai bagi setiap orang
yang mau bekerja. Juga harus ada "lingkungan yang sehat, manusiawi dan memuaskan, dan partisipasi
rakyat dalam pembuatan keputusankeputusan yang mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian
rakyat serta kebebasan individual".
Banyak pihak yang menjadi pelopor gagasan-gagasan tadi. Tapi pencetusan konsep baru ini yang paling
berpengaruh adalah melalui studi bersama Institute of Development Studies di University of Sussex dan
World Bank tahun 1974 berjudul Redistribution with Growth atau "Pertumbuhan yang Adil" oleh Hollis
Chenery dan kawan-kawan. Kajian ini mengajukan pentingnya perhatian terhadap suatu strategi
pertumbuhan yang adil yang diarahkan untuk memperluas pemakaian sumberdaya secara produktif dalam
sektor pertanian berskala kecil dan sektor informal perkotaan. Kenyataan menunjukkan, mayoritas kaum
miskin mencari nafkah di sektor ini. Pembangunan sektor-sektor pedesaan hendaknya dititikberatkan
pada peningkatan kesempatan petani kecil dan para pekerja bebas untuk mendapatkan tanah, air, kredit,
pasar, dan fasilitas-fasilitas lain agar produktivitas mereka dapat meningkat. Sedang untuk sektor
perkotaan hendaklah dititikberatkan pada peningkatan produktivitas para pekerja bebas dan produsen
kecil dengan memperbaiki kesempatan untuk mendapatkan berbagai masukan yang mereka perlukan dan
menghapuskan kebijakan yang memperbedakan mereka dari kalangan lain.

Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pembangunan akhirnya semakin menyadarkan para pemimpin
di dunia bahwa pemecahan terhadap masalah tersebut juga tidak mungkin dilakukan secara sendirisendiri.
Orang semakin sadar akan kenyataan bahwa di antara sesama bangsa di dunia ini terikat oleh
kesalingtergantungan satu sama lain. Pada tahun 1980 Komisi Independen tentang Isu-isu Pembangunan
internasional kemudian dikenal sebagai Komisi Utara-Selatan atau Komisi Brandt menerbitkan laporan
berjudul North-South: A Programme for Survival. Kemudian tahun 1983 terbit laporan kedua Komisi
Brandt berjudul Common Crisis North-South Co-operation for World Recovery. Kedua laporan itu pada
pokoknya menekankan keharusan kerja sama

Berbagal Rumusan Baru Tentang Pembangunan antara negara-negara maju (Utara) dan negara-negara
berkembang (Selatan) untuk mengatasi masalah bersama yang dirasakan. Sejak itulah populer apa yang
disebut sebagai Dialog Utara-Selatan sebagai forum bersama dalam mencari titik temu di antara kedua
kelompok negara dalam memecahkan sejumlah persoalan bersama seperti kemiskinan, kekurangan gizi,
kurang pendidikan dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai