Anda di halaman 1dari 10

A.

Pendekatan Dependencia/ Dependensi (Ketergantungan)

Aliran Dependencia, mengikuti gagasan Paul Baran. Aliran ini mempertanyakan


secara kritis, mengapa kapitalisme seperti di negara-negara industri tidak muncul di negara-
negara dunia ketiga. Kapitalisme yang muncul pada negara-negara tersebut adalah
kapitalisme periferi/pinggiran (peripheral capitalism). Padahal kapitalisme menjadi prasyarat
sebagai tahap awal (milestone) untuk memasuki masyarakat sosialis. Aliran Depencia ini
dapat dikelompokkan menjadi kelompok aliran kiri garis keras (radikal) yang dimotori oleh
Gunder Frank dan kelompok aliran kiri reformis moderat yang digerakkan oleh Cardoso dan
Faletto. Menurut aliran ini, yang dimaksud dependencia adalah ketergantungan rakyat di
negara-negara dunia ketiga terhadap negara-negara kaya sebagai konsekuensi logis dari
pemerasan sistematis (imperialisme) yang berlangsung berabad-abad pada masa lalu. Pada
sisi lain, kondisi ini terjadi juga karena karakteristik perekonomian negara-negara
berkembang yang seragam sehingga mengalami persaingan baik antarnegara berkembang
sendiri maupun antara negara berkembang dengan negara maju. Gunder Frank menyatakan
bahwa faktor utama penyebab ketergantungan tersebut di atas adalah adanya aliansi
feodalisme-imperialisme yang sangat kuat efeknya. Aliansi tersebut melibatkan komponen
yang berasal dari dalam maupun dari luar, yaitu:

a. Feodalisme lapisan atas dalam tubuh masyarakat negara berkembang sendiri


b. Kekuatan imperialisme kapitalis internasional negara-negara maju.

Keberadaan kekuatan ganda feodalisme-imperialisme tersebut sangat tidak


mendukung berlangsungnya transformasi gradual (evolusi) bagi perekonomian negara-negara
dunia ketiga. Menurut Gunder Frank dan kelompoknya, hal ini karena posisi negara-negara
dunia ketiga yang selalu terjebak pada kapitalisme dunia. Untuk itu yang dibutuhkan oleh
negaranegara dunia ketiga adalah pemutusan hubungan/keterkaitan mereka dengan sistem
kapitalisme dunia. Atas dasar kerasnya rekomendasi yang mereka berikan, garis pemikiran
aliran ini dikenal sebagai garis pemikiran radikal. Sementara itu, Cardoso dan Faletto
mengeluarkan gagasan yang dasar analisisnya kurang lebih sejalan dengan Gunder Frank dan
Paul Baran. Letak perbedaan pemikiran Cardoso dan Faletto dengan Gunder Frank dan Paul
Baran berawal dari adanya bukti empiris yang menunjukkan bahwa proses investasi yang
dilakukan oleh perusahaan multinasional/ transnasional di negara-negara dunia ketiga
memungkinkan untuk terjadi industrialisasi meski tidak sehebat di negara-negara kapitalis
inti. Dengan demikian, proses pembangunan akan terjadi meski ciri ketergantungan tetap ada.
Jalan keluar yang direkomendasikan oleh kelompok ini adalah transformasi atau setidaknya
reformasi. Dengan rekomendasi semacam itu, kelompok ini dinilai lebih bersifat reformis
moderat.

Teori Ketergantungan atau dikenal teori depedensi (bahasa inggris: Dependency


Theory) adalah salah satu teori yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut Negara
Dunia Ketiga. Teori ketergantungan dikembangkan pada akhir tahun 1950-an dibawah
bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Presbisch yang
menekankan pada konsep ekonomi yang mengidentifikasi ketergantungan finasial antara
negara maju dan negara dunia ketiga. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori
pembangunan sebelumnya yaitu teori modernisasi yang sangat mendominasi sejak akhir
tahun 1940-an. Selain itu, dunia dihadapkan pada adanya kenyataan bahwa pertumbuhan
ekonomi di negara negara industri maju ternyata tidak serta merta mengarah pada
pertumbuhan di negara-negara miskin. Aspek penting dalam kajian sosiologi adalah adanya
pola ketergantungan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dalam
kehidupan berbangsa di dunia. Menurut teori ketergantungan, dasar kesejahteraan negara-
negara yang berada di pusat kehidupan Internasional ialah akibat dari eksploitasi terhadap
negara-negara lain yang ada di periferinya. Kaum elit setempat dan perusahaan multinasional
mempertahankan pengaturan sosial dan struktural yang menimbulkan ketergantungan itu.
Teori ketergantungan pada intinya berusaha untuk menjelaskan keadaan terbelakang banyak
negara di dunia dengan memeriksa pola Interaksi antar bangsa dan dengan alasan bahwa
ketidaksetaraan antarbangsa merupakan bagian intrinsik dari interaksi tersebut.

Beberapa pengertian Ketergantungan atau Dependency Menurut Beberapa Ahli yaitu :

a. Osvaldo Sunkel (1969) mendefinisikan ketergantungan sebagai penjelasan tentang


perkembangan ekonomi sebuah negara dalam hal berbagai pengaruh eksternal seperti
politik, ekonomi, dan budaya terhadap kebijakan pembangunan nasional.
b. Theotonio Dos Santos (1971) mendefinisikan ketergantungan sebagai sebuah kondisi
sejarah yang membentuk struktur tertentu di dunia ekonomi sehingga menguntungkan
beberapa negara dan merugikan beberapa lainnya dan membatasi kemungkinan
pengembangan ekonomi subordinat. Situasi di mana ekonomi suatu kelompok negara
tertentu dikondisikan oleh pengembangan dan perluasan dari ekonomi lain yang menjadi
sasaran mereka sendiri.
c. Susanne Bodenheimer mendefinisikan ketergantungan sebagai sebuah proses yang
berkelanjutan. Lebih lanjut la menyatakan bahwa Amerika Latin sekarang ini dan sejak
abad ke-16 merupakan bagian dari sistem internasional yang didominasi oleh negara-
negara yang sekarang berkembang. Keterbelakangan Latin adalah hasil dari serangkaian
hubungan tertentu dengan sistem internasional.

Prinsip Teoretis

Menurut Bodenheimer (1970) dan Reyes (2001) dalam Hamza dkk, terdapat beberapa
prinsip dasar yang merupakan inti dari teori ketergantungan di awal tahun 1950-an dan
sekaligus merupakan inti dari model Presbisch. Menurutnya, untuk menciptakan kondisi
pembangunan di dalam suatu negara perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut
(Bodenheimer, 1970 dan Reyes, 2001) :

a. Menempatkan lebih banyak penekanan pada kebijakan fiskal daripada moneter untuk
mengendalikan nilai tukar moneter
b. Mempromosikan peran pemerintah yang lebih efektif dalam hal pembangunan nasional
c. Menciptakan platform investasi, memberi peran istimewa kepada ibu kota nasional
d. Membolehkan masuknya modal eksternal mengikuti prioritas yang telah ditetapkan
dalam rencana pembangunan nasional
e. Mempromosikan permintaan internal yang lebih efektif dalam hal pasar domestik
sebagai dasar untuk memperkuat proses Industrialisasi
f. Menghasilkan permintaan internal yang lebih besar dengan meningkatkan upah dan gaji
pekerja yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap permintaan agregat di
pasar dalam negeri
g. Mengembangkan cakupan layanan sosial yang lebih efektif dari pemerintah, terutama ke
sektor-sektor tersebut agar menjadi lebih kompetitif.

B. Pendekatan Struktualis

Pada pendekatan strukturalis, pola analisis sudah dikembangkan dalam frame work
(kerangka) yang lebih luas dengan mensintesiskan hubungan antara proses sosial (non-
ekonomi) dan proses ekonomi. Terminologi kunci dalam pendekatan strukturalis adalah
transisi dan transformasi. Oleh karenanya, pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan
strukturalis transisi dan transformasi.
Kelompok aliran ini berpendapat bahwa pembangunan memerlukan proses transisi,
yaitu proses peralihan dari satu jenjang perekonomian sederhana menjadi perekonomian yang
berkembang. Pada faktanya, proses transisi (peralihan) juga merupakan proses perubahan
penjelmaan (transformasi) dari satu keadaan perekonomian menjadi keadaan perekonomian
lain. Sebagai contoh, apabila suatu ekonomi agraris mengalami transisi menjadi ekonomi
industry maka sebenarnya juga terjadi perubahan keadaan perekonomian (pelaku, perangkat,
peraturan dan karakter sosial masyarakat) dari orientasi agraris menjadi perekonomian
berorientasi industri. Dengan begitu, sebenarnya dalam proses pembangunan, perekonomian
mengalami perubahan struktural yang melalui proses transisi dan transformasi.
Aliran ini menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses yang tidak hanya
mungkin, melainkan harus dilakukan pada negara-negara berkembang. Pembangunan harus
dilakukan secara sadar dengan menghilangkan kelemahan mendasar yang melekat pada
struktur ekonomi yang bersangkutan. Salah satu kelemahan mendasar yang harus ditiadakan
adalah kekakuan (rigidity) interaksi antarsektor ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya,
yang sering mendorong ke arah ketidakseimbangan (disequilibrium) sehingga peranan
pemerintah di negaranegara berkembang dianggap penting karena diperlukan untuk
mengawal perkembangan ekonomi ke arah kondisi keseimbangan, yang ditandai dengan
bekerjanya sistem pasar dan mekanisme harga.
Berdasar analisis empiris di negara-negara berkembang, perubahan atau transformasi
perekonomian pada umumnya mengarah dari sektor produksi primer (pertanian, perikanan,
dan pertambangan) menjadi sektor produksi sekunder (manufaktur, konstruksi) dan kemudian
menuju ke sector tersier (jasa dan perdagangan). Sejalan dengan transformasi ekonomi,
berlangsung pula transformasi pada bidang ketenagakerjaan. Ditandai dengan Sebagian besar
tenaga kerja pada sektor primer tersalurkan pada sektor sekunder maupun tersier. Pola
transaksi perekonomian juga mengalami pergeseran dari transaksi domestik, mengarah pada
transaksi lebih terbuka dengan masuknya transaksi perdagangan luar negeri. Akibat dari
proses-proses dan transformasi tersebut adalah diversifikasi pada produksi dan perdagangan.
Pendekatan strukturalis sebenarnya tidak berangkat dari satu mazhab pemikiran yang
homogen. Oleh karenanya, terdapat berbagai variasi penerapan dalam pendekatan ini. Hal ini
tergantung pada jenis variable pokok yang dianalisisnya. Dalam hal ini, setidaknya terdapat
tiga aliran dalam pendekatan ini, yaitu:

1. Aliran dengan strategi yang bertolak dari pasokan tenaga kerja tidak terbatas,
Model ini dikembangkan oleh Arhtur Lewis, yang dikenal dengan istilah Lewis’s two
sector model. Menurut Lewis, perekonomian dibedakan menjadi perekonomian tradisional
dan sektor modern. Perekonomian tradisional dicirikan dengan produktivitas rendah, bersifat
sub-sisten dan menggunakan tenaga kerja sendiri (self-employment). Hal ini karena
perekonomian tradisional memiliki suplai tenaga kerja yang banyak. Sementara itu,
perekonomian modern lebih bersifat komersial, memerlukan modal/ kapital dan tenaga kerja
upahan serta mengandung unsure motif keuntungan (profit motive). Apabila sektor modern
membutuhkan tenaga kerja, pasokan tenaga kerja akan diambil dari sektor tradisional. Oleh
karena adanya pengangguran terselubung (disguised employment) yang menyebabkan
produktivitas marginal tenaga kerja yang rendah atau bahkan nol, para majikan tidak perlu
meningkatkan upah tenaga kerja. Atas dasar ini, diasumsikan bahwa pasokan atau suplai
tenaga kerja di sector tradisional tidak terbatas. Menurut Lewis, kelebihan tenaga kerja sector
tradisional (informal dan sub-sisten) dapat ditransfer secara mulus kepada sektor modern.
Namun, ini ternyata sangat bertentangan dengan fenomena tenaga kerja di negara
berkembang sehingga beberapa pemikir mencoba menyempurnakan gagasan Lewis.
John C.H. Fei dan Gustav Ranis merupakan dua di antara pemikir yang berusaha
menyempurnakan ide Lewis dengan memperkenalkan gagasan pengembangan ekonomi
surplus tenaga kerja (Development of the Labour Surplus Economy, 1964). Inti dari ide
kedua pemikir ini adalah bahwa pada sektor tradisional perlu dilakukan investasi teknologi.
Sebagai contoh, revolusi hijau yang berakibat pada kelebihan produksi dan pengurangan
input tenaga kerja. Kelebihan produksi akibat revolusi hijau tersebut akan meningkatkan
perekonomian. Sementara itu, kelebihan atau surplus tenaga kerja dapat ditransfer ke sektor
modern. Begitu sistem berjalan, investasi tekonologi di sektor tradisional semakin besar. Hal
ini akan mendorong ekonomi berkembang menjadi lebih modern dan suplai tenaga kerja
semakin besar. Suplai tenaga kerja ke sektor modern hanya dibatasi oleh laju pertumbuhan
angkatan tenaga kerja (dipengaruhi laju pertumbuhan penduduk). Apabila laju ini lebih
rendah dari pertumbuhan permintaan tenaga kerja oleh sektor modern kelebihan tenaga kerja
tersebut akan semakin berkurang, sampai akhirnya kedua sistem perekonomian akan berjalan
mengarah pada sektor modern.
2. Aliran dengan strategi pembangunan berimbang,
Teori ini pada prinsipnya menyatakan bahwa pembangunan di negara berkembang
hanya bisa dilakukan dengan adanya pendorong yang sangat kuat (big push). Pendorong ini
diperlukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar barang dan jasa, serta investasi.
Ronstein-Rodan, sebagai pencetus ide ini menyarankan untuk dilakukannya investasi yang
sangat besar dan bersifat komplementer dalam berbagai bidang sebagai bigpush (pendorong)
ekonomi. Teori investasi ini didasarkan pada konsep external economies oleh Alfred
Marshal, di mana perkembangan satu sector ekonomi akan menjadi external economy yang
mendorong sektor lain. Adapun syarat untuk terjadinya perkembangan semacam itu adalah
bahwa investasi tersebut harus bersumber pada negara berkembang sendiri sehingga terjadi
efek multiplier di dalam negeri.
Teori big-push ini kemudian dikembangkan oleh Ragnar Nurkse, yang menyatakan
bahwa pembangunan harus dilakukan dengan mengembangkan semua sektor secara
bersamaan dan berimbang. Dengan demikian, investasi yang beragam diperlukan untuk
mendorong permintaan agregat, secara komplementer. Atas dasar pola pikir seperti itu,
konsep ini disebut sebagai konsep pembangunan strategi berimbang. Pendekatan lebih luas
dan komprehensif yang disarankan oleh pendekatan ini sangat berguna dalam analisis
ekonomi pembangunan. Namun demikian, pendekatan ini ternyata tidak didukung dengan
konsep teoretis dan empiris yang masuk akal (Djojohadikusumo, 1994). Alasannya adalah
secara empiris, investasi dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan bagi negara
berkembang justru menjadi kendala utama. Secara teoretis, investasi besar-besaran untuk
seluruh kebutuhan investasi berlawanan dengan konsep kelangkaan sumber daya (termasuk
modal) untuk mencukupi seluruh kebutuhannya. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar
pencetusan teori pembangunan selektif di bawah, yang merupakan bantahan terhadap konsep
Rosntain-Rodman dan Nurske.
3. Aliran dengan strategi pembangunan berdasar sasaran selektif (Djojohadikusumo, 1994).
Berbeda dengan konsep Rosntain-Rodman dan Nurske, Albert Hirshcmann dan Hans
W. Singer justru berpikiran sebaliknya. Pemikiran mereka didasarkan konsepsi bahwa
investasi, sebagai implementasi pembangunan, harus dilakukan secara selektif pada bidang-
bidang tertentu. Hal ini mengingat adanya keterbatasan sumber modal untuk investasi pada
hampir semua negara-negara berkembang. Dengan meyakini akan adanya keterkaitan antara
satu sektor dengan sektor lain (backward dan forward lingkage industry) maka investasi pada
satu sektor akan bergerak dan menghela sektor lain. Untuk memungkinkan hal ini terjadi,
yang diperlukan adalah evaluasi berkala. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mereviu apakah
investasi perlu diteruskan atau dialihkan pada bidang lain. Dasar pemikiran yang juga
melatarbelakangi konsep pembangunan selektif adalah keyakinan Hirschmann bahwa kondisi
tidak berimbang (disekuilibrium) mendorong dinamika pembangunan sehingga pembangunan
itu dilaksanakan secara tidak berimbang (imballance). Pada sisi lain, Singer menyatakan
bahwa pembangunan yang dilakukan secara serentak (berimbang) membutuhkan investasi
yang sangat besar. Apabila konsep big-push akan diterapkan pada satu sektor (industri) untuk
mendorong transformasi dari ekonomi agraris/ tradisional ke sektor modern maka perlu ada
dukungan sektor pertanian agar kelangkaan pangan tidak terjadi. Sebaliknya, apabila big-
push diterapkan untuk seluruh sector perekonomian maka hal ini membutuhkan dana yang
sangat besar. Apabila suatu masyarakat telah mampu mengerahkan dana sedemikian besar
maka sebenarnya masyarakat telah masuk dalam kelompok masyarakat negara maju. Secara
lebih ringkas adalah skala prioritas harus menjadi bagian dari setiap keputusan politis yang
diambil oleh pemerintah di negara-negara berkembang. Sebagai acuan, prioritas harus
diberikan pada sektor-sektor yang diperkirakan akan mampu mengembangkan fundamental
ekonomi ke arah yang lebih kokoh, mengembangkan ekspansi pasar dan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
C. Contoh Kasus Pendekatan Dependencia

Hilangkan Ketergantungan Impor, Indonesia Butuh Tambahan Lahan Tembakau


Seluas 128.975 Hektar
Isi berita :
Produksi tembakau Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir berfluktuasi
dengan rata-rata produksi sekitar 170.000 ton per tahun. Salah satu persoalan adalah
terjadinya penurunan luas tanaman tembakau. Dari hasil pengamatan lapangan oleh Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) tampak bahwa penurunan luas tanaman
tembakau disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan untuk komoditas lain, utamanya adalah
untuk tanaman pangan, dan ada beberapa lahan yang menjadi perumahan. Penurunan luas
tanaman tembakau tersebut terjadi di Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Selatan, serta Sumatera Barat. Saat ini hanya Nusa Tenggara Barat (NTB)
yang konsisten menghasilkan produksi tembakau rata-rata 1 ton per hektar. Jika dibandingkan
dengan beberapa negara ASEAN, Indonesia memiliki produktivitas tembakau yang relatif
lebih rendah.

Beberapa faktor yang menyebabkan produktivitas tembakau Indonesia masih rendah,


antara lain, budidaya tembakau yang masih sangat tradisional dan juga adanya perubahan
cuaca yang ekstrem. Hal ini diperburuk dengan adanya sentimen negatif terhadap petani
tembakau dari kelompok-kelompok tertentu. Dari sisi tata niaga tembakau, Wahyu
menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor daun tembakau karena
masih kurangnya pasokan tembakau bagi industri rokok dalam negeri.
Indonesia hingga saat ini masih memerlukan impor tembakau (China yang merupakan
paling banyak volume impornya, hingga semester I-2017 mencapai 24,3 ribu atau US$ 101,8
juta), karena selisih permintaan dan pasokan tembakau dalam negeri masih cukup besar.
Mengacu data tahun 2014, permintaan tembakau dalam negeri adalah sebesar 321.500 ton
sedangkan produksi tembakau nasional 163.100 ton. "Saat ini luas lahan tembakau adalah
192.525 hektar.

Untuk mengurangi ketergantungan pada tembakau impor, maka luas lahan harus
bertambah sebesar 128.975 hektar atau 40,12 persen. Jika pemerintah berupaya untuk
menambah lahan tembakau seluas 10.000 hektar per tahun, maka diperlukan kurang lebih 12
tahun untuk mencapai target tersebut, dengan catatan produktivitas lahan tembakau dapat
konsisten di angka 1 ton per hektar. Selain kendala dalam hal produktivitas dan kualitas, tata
niaga tembakau Indonesia juga terbilang cukup kompleks dengan melibatkan banyak
perantara sehingga keuntungan petani tembakau tergerus.

UGM dalam studi tersebut merekomendasikan adanya kemitraan antara petani dan
mitra, baik itu dengan pemasok maupun dengan pabrikan produk tembakau. Hal ini guna
memotong rantai penjualan daun tembakau yang cukup panjang dengan menjamin
penyerapan produksi dan kepastian harga sesuai kualitas, sekaligus mampu meningkatkan
produktivitas dan kualitas tembakau karena adanya bimbingan dan fasilitas dari pihak mitra.
Produktivitas dan kualitas tembakau nasional harus ditingkatkan serta harus ada pembenahan
dalam tata niaga tembakau sehingga dapat memenuhi kebutuhan nasional. Pemerintah juga
perlu mendorong adanya kemitraan antara petani tembakau dan pelaku usaha dengan tujuan
untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tembakau, serta menjamin akses pasar bagi
para petani.

D. Contoh Kasus Pendekatan Struktualis


Dana Desa Belum Efektif Kurangi Kemiskinan di Desa

Isi berita :

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Insitute for Development of Economic


and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai, dana desa sebagai salah satu instrumen
untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan belum efektif dalam mengurangi penurunan tingkat
kemiskinan. Sebab, dana desa masih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur,
bukan program pemberdayaan ekonomi yang berfokus pada pengentasan kemiskinan.
Seperti yang dapat dilihat pada rilis BPS kemarin, Riza menjelaskan, angka
kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Sebanyak 60,23 persen
dari total jumlah penduduk miskin tinggal di wilayah perdesaan, sementara 39,77 persen
tinggal di perkotaan. Tingkat penurunan kemiskinan di perdesaan sejak keluarnya dana desa
di 2015 tidak jauh berbeda dengan sebelum adanya dana desa dikisaran dua persen hingga
lima persen.

Untuk mendukung pemberdayaan ekonomi, maka diperlukan pendampingan,


pelatihan dan pengawasan intensif. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan kapasitas perangkat
desa sekaligus peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat desa. Di sisi
lain, dibutuhkan pengembangan basis ekonomi perdesaan yang didominasi pertanian dan
perkebunan. Selama ini, dua basis tersebut diketahui masih dilakukan dengan cara
konvensional, sehingga produktivitasnya rendah. Untuk mengatasinya, maka dapat dilakukan
pengembangan teknik bertani dan berkebun agar produktivitas meningkat. Permasalahan lain
yang kerap timbul atas produk Badan Usaha Menengah Desa, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) dan komoditas unggulan di perdesaan adalah pemasaran dan distribusi.
Riza menjelaskan, sehingga perlu peningkatan akses terhadap distribusi yaitu jalan dan moda
transportasi sekaligus peningkatan akses terhadap pemasaran produk.

Penciptaan sinergitas program pembangunan antara desa, kecamatan, dan kabupaten


agar lebih terarah dan tidak tumpang tindih juga harus dialkukan. "Sinergitas lintas desa
dapat membantu perluasan akses terhadap jalur disribusi dan pemasaran produk BUMDes,
UMKM," tutur Riza. Tidak kalah penting, perlu ada pembukaan akses terhadap sektor
ekonomi baru di perdesaan selain pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan
perekonomian dan mengurangi kemiskinan.
Menurut Bank Dunia, Riza mengatakan, kegiatan nonpertanian yang dapat
dikembangkan di perdesaan adalah kegiatan rantai nilai. Misalnya, transportasi, distribusi,
pemasaran, dan ritel, serta pariwisata, manufaktur, konstruksi dan pertambangan. "Ditambah
kegiatan wirausaha seperti kerajinan tangan, toko roti, mekanik, kios, dan sebagainya,
Jadi dilihat dari pendekatan struktural kemiskinan terjadi karena adanya ketimpangan
dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi, seperti tanah, teknologi, dan bentuk
kapital lainnya atau yang diistilahkan dengan sumber-sumber daya ekonomi.Menurut
pendekatan struktural, dalam proses relasi antar individu atau kelompok dalam
memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomi memunculkan adanya sebagian kecil orang
yang bisa memiliki dan menguasai sumber-sumber daya ekonomi, yakni yang disebut kaum
elit. Kaum elit ini selanjutnya melakukan konsolidasi melalui lembaga-lembaga tertentu agar
sumbersumber daya ekonomi yang dikuasai mereka tetap terjaga, malah dapat lebih
diperbesar lagi

Di sinilah mulai muncul ketimpangan ekonomi yang dalam perjalanan waktu menjadi
kian menajam. Saluran-saluran institusional yang dipakai kaum elit dalam rangka proses
konsolidasi itu antara lain melalui pembentukan kelompok kepentingan atau asosiasi-asosiasi
usaha tertentu, birokrasi pemerintahan, ikatanikatan kekerabatan, hubungan-hubungan
patronase, dan organisasi-organisasi lain yang formal atau yang tidak Karena itu, pada
akhirnya ketimpangan itu tidak hanya ditandai dengan ketidakmerataan dalam pemilikan dan
penguasaan hal-hal yang material, tetapi juga menunjuk pada adanya kesenjangan pada akses
dan kontrol pada institusi-institusi sosial.

Saran pendekatan struktural dalam mengeliminasi kemiskinan, yang utamanya adalah


menelorkan dan menerapkan kebijakan yang langsung mengidentifikasi dan menghapus
sumber-sumber ketimpangannya). Program penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui
transformasi mendasar pada struktur ekonomi, politik, dan sosial masyarakat yang tidak lagi
didominasi kelompok elit, dengan cara membentuk dan mengembangkan institusi-institusi
yang memihak langsung pada orang-orang miskin. Institusi tersebut mesti secara langsung
memberikan akses dan kontrol atas sumbersumber daya ekonomi bagi tumbuhnya peluang
berusaha dan kesempatan bekerja yang layak bagi orang-orang miskin.

Pemerintah daerah beserta jajaran legislatifnya yang kini memiliki kewenangan besar
untuk langsung mengolah dan mengelola sumber-sumber daya ekonomi yang ada di
daerahnya, bukannya mencoba membuka sekat-sekat struktural yang membatasi akses dan
kontrol masyarakat miskin pada ragam sarana ekonomi, malah nampaknya kian memperketat
jaringan struktural bagi kepentingan mereka sendiri.

Anda mungkin juga menyukai