Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN NEGARA DAN PASAR

STUDI PERBANDINGAN: CHINA’S RISING DAN RELEVANSINYA


DENGAN INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Negara Berkembang


Disusun Oleh: Kelompok 1
Mohammad Fhil Ardy 11191120000010
Fadhlani Satria 11191120000019
Insan Munadi Massaid 11191120000025

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dekade 1940an pasca kolonialisme dan imperialisme banyak negara baru merdeka dan
menghasilkan sejumlah negara baru berkembang, menghasilkan fokus baru dalam kajian
politik dan ekonomi, khususnya hubungan antara pasar dan negara. Model-model yang
sebelumnya sukses menjadi pendorong kemajuan pada bangsa barat pasca revolusi industri
banyak diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga, khususnya wilayah Asia hingga Afrika
Sub-Sahara.
Namun dalam realita penerapannya, kebanyakan negara berkembang yang mengadopsi
resep negara industri barat banyak menemui kegagalan. Pasca imperialisme dan kolonialisme
berakhir banyak perubahan yang ditinggalkan pada negara-negara bekas jajahan. Negara-
negara baru berkembang ini berjuang dengan tantangan politik, ekonomi dan sosial demi
terciptanya stabilitas, pembangunan, kebebasan dan kesetaraan. Salah satu kecenderungan
yang ada dalam negara pasca kolonialisme dan imperialisme adalah kesulitan dalam
menciptakan institusi politik yang efektif yang mengacu pada kebijakan dasar dan otonomi.
Yang mana negara-negara ini tidak mampu melakukan tugas-tugas dasar seperti menciptakan
infrastruktur, menyediakan pendidikan, menyediakan layanan kesehatan dan lainnya. Hal
tersebut merupakan dampak dari tidak adanya birokrasi yang profesional, dikarenakan pada
era imperialisme terjadi, birokrasi yang digunakan adalah birokrasi kekaisaran dipadukan
dengan birokrasi lokal. Selain itu tantangan kedaulatan sering yang dikompromikan oleh
aktor eksternal.
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan negara berkembang tersebut justru
memunculkan inovasi dan kemajuan baru dibidang ekonomi politik, sebut saja teori
modernisasi dimana sebuah negara berkembang yang ingin maju mensyaratkan adanya
modernisasi menuju industrialisasi hingga akhirnya demokratisasi terlebih dahulu. Akan
tetapi kebanyakan negara dunia ketiga, cenderung terjerumus kedalam pemerintahan
otoritarianisme dan beberapa negara dengan/pasca otoritarianisme tersebut justru berkembang
dan tumbuh menjadi poros ekonomi baru dunia. Sebagai contoh China yang menganut apa
yang disebut Handelman sebagai “Ekonomi Komando”(Handelman, 2017:233) berhasil
mengalami kemajuan ekonomi hasilnya, pada dekade 2000an hingga saat ini menjadi salah
satu poros ekonomi dunia pasca pemberlakuan kebijakan reformasi ekonomi (perpaduan
antara sosialisme dan pasar bebas) oleh Deng Xiaoping (Qomara, 2015:3). Dikutip dari

2
laporan International Monetary Fund 2022 GDP China berada pada peringkat 2 dunia dengan
sebesar US$ 14,7 Triliun. Namun disisi lain negara-negara berkembang juga cenderung
bergantung kepada pasar internasional dan negara yang lebih maju, seperti contoh Indonesia
yang bergantung pada China dalam hal kerjasama ekonomi maupun pembangunan skala
besar. Namun, proyek-proyek tersebut malah banyak yang stagnan atau bahkan gagal
dikarenakan korupsi yang menghabiskan sumber daya dan mengakibatkan tujuan
pembangunan yang tidak terwujud. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh negara
berkembang pasca imperialisme sejatinya adalah masalah internal untuk mengurus
masyarakat yang beragam. Seperti perpecahan etnis dan agama di antara kelompok-kelompok
yang berbeda dalam masyarakat yang heterogen yang akhirnya kembali mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik (O’Neil, 2018:322), seperti di Indonesia yang
belakangan terpecah karena isu etnis dan agama di setiap kontestasi elektoral pasca 2014.
Seiring berjalannya waktu, tentu saja model-model ekonomi politik baru akan terus
bermunculan. Dewasa ini berkaca dari kasus China, tingkat intervensi pemerintah pada model
ekonomi komando sekarang tampak berlebihan. Di sisi lain, peran pemerintah yang sangat
terbatas yang diadvokasi oleh sistem liberal maupun neoliberal tampaknya tidak realistis dan
tidak memadai di sebagian besar negara berkembang. Model negara pembangunan Asia
Timur adalah yang paling berhasil. Tapi, tidak jelas apakah itu bisa direplikasi di tempat lain
(Handelman, 2017:242). Memang, model yang berhasil di satu negara atau wilayah belum
tentu berhasil di negara lain. Negara sangat bervariasi dalam ukuran, sumber daya manusia,
dan sumber daya alam.
1.2 Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana Hubungan Negara dan Pasar dalam Konteks Perbandingan Antara China
dan Indonesia?
2. Bagaimana Strategi China dalam Menghadapi Industrialisasi dan Relevansinya
Terhadap Indonesia?
1.3 Kerangka Teori dan Konsep
1.3.1 Teori Hubungan Negara dan Pasar
A. Model Ekonomi Komando
Marxisme dimulai sebagai kritik terhadap kapitalisme di dunia Barat selama
tahap awal perkembangan industri. Secara inheren, kata Karl Marx, kapitalisme
menghasilkan distribusi kekayaan dan pendapatan yang tidak adil dengan mereka
yang mengontrol alat-alat produksi (industrialis, tuan tanah) mengeksploitasi
mereka yang bekerja untuk mereka (kelas pekerja, petani). Salah satu seruan

3
Marxisme kepada para pendukungnya adalah janjinya akan kesetaraan dan keadilan
sosial yang besar. Karena ketidaksetaraan ekonomi sering meningkat pada tahap
awal pembangunan, ideologi tersebut memiliki daya tarik khusus bagi para aktivis
di negara-negara berkembang.
Para pendukung Marxis lebih lanjut menegaskan bahwa hanya sistem
ekonomi-politik yang revolusioner yang dapat membebaskan negara-negara
berkembang dari stagnasi dan ketergantungan. Artinya, karena teori ketergantungan
percaya bahwa perdagangan kapitalis dan investasi di negara-negara berkembang
menciptakan hubungan eksploitatif antara negara-negara inti (industri) dan
pinggiran, mereka berpendapat bahwa perubahan radikal diperlukan. Akhirnya,
daya tarik Komunisme lainnya adalah pembentukan kontrol negara yang terpusat
atas ekonomi. Sebuah ekonomi komando, pertama kali didirikan di Uni Soviet,
memiliki dua fitur utama. Pertama, sebagian besar negara memiliki dan mengelola
alat-alat produksi. Ini termasuk pabrik, bank, lembaga perdagangan dan komersial
utama, perusahaan ritel, dan, seringkali, pertanian. Sementara semua negara
komunis telah mengizinkan beberapa kegiatan ekonomi swasta, sektor swasta cukup
terbatas (selain dari negara-negara seperti China dan Vietnam, yang sebagian besar
telah meninggalkan ekonomi Marxis dalam beberapa tahun terakhir). Kedua, dalam
ekonomi komando, perencana negara, bukan kekuatan pasar, membentuk keputusan
dasar yang mengatur produksi. Menariknya, Marxisme melihat ekonomi pasar
(kapitalis) sebagai anarkis karena mereka menyerahkan keputusan paling mendasar
tentang alokasi sumber daya dan penentuan harga pada “keinginan” penawaran dan
permintaan (Handelman, 2017:233).
Namun, pada akhir 1970-an di China dan 1980-an di Uni Soviet, karena
kedua ekonomi memburuk, para pemimpin mereka (Deng Xiaoping dan Mikhail
Gorbachev) mengakui perlunya desentralisasi ekonomi dan mengurangi kontrol
ekonomi negara.
Memang pada akhirnya, ekonomi komando telah sering membuat langkah
besar untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan. Memang, di bidang inilah
beberapa negara-negara berkembang komunis jelas mengungguli rekan-rekan
kapitalis mereka. Di Kuba, misalnya, revolusi membawa transfer pendapatan yang
substansial dari 20 persen populasi terkaya ke 40 persen termiskin. Orang miskin
juga mendapat manfaat dari reformasi tanah, sewa bersubsidi, dan perawatan
kesehatan gratis, meskipun beberapa dari keuntungan itu dirusak pada 1990-an,

4
setelah hilangnya bantuan ekonomi Soviet. Kesempatan pendidikan yang lebih
besar untuk semua dan program keaksaraan orang dewasa yang ekstensif semakin
memajukan kesetaraan sosial (Handelman, 2017:234).
Transisi berikutnya China ke sosialisme pasar (campuran pasar bebas dan
ekonomi sosialis) menghasilkan ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun, di Uni
Soviet dan negara penerus utamanya, Rusia, reformasi mengakibatkan keruntuhan
ekonomi yang berlangsung selama hampir satu dekade. Jatuhnya Komunisme blok
Soviet dan transformasi ekonomi China yang luar biasa telah mengilhami reformasi
berorientasi pasar di negara penganut ekonomi komando lainnya. Vietnam,
misalnya, telah mentransfer tanah pertanian negara kepada kaum tani, menarik
miliaran dolar dalam investasi asing, dan mengalihkan sebagian besar produksi
industrinya dari negara ke sektor swasta (Handelman, 2017:235).
B. Model Neoliberal
Tidak seperti model-model sebelumnya, ekonomi neoliberal memberikan
peran ekonomi yang sangat terbatas kepada pemerintah. Negara dalam pandangan
neoliberal, harus menyediakan “barang publik” fundamental tertentu seperti
pertahanan nasional, perlindungan polisi, sistem peradilan, dan sistem pendidikan.
Ini juga dapat memasok infrastruktur fisik, termasuk saluran pembuangan dan
pelabuhan, jika modal swasta tidak memungkinkan untuk melakukannya. Dan,
mungkin harus mengalokasikan beberapa sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
paling dasar dari orang yang sangat miskin.
Para ekonom penganut neoliberal percaya bahwa sebagian besar pemerintah
di negara berkembang telah melukai ekonomi mereka dengan bergerak jauh
melampaui peran terbatas itu. Para kritikus ini mengaitkan masalah pembangunan
ekonomi Afrika dan Amerika Latin sebelumnya dengan intervensi negara yang
berlebihan, Neoliberal bersikeras bahwa kekuatan pasar bebas harus menentukan
keputusan produksi dan menetapkan harga tanpa campur tangan pemerintah.
Akibatnya, mereka mengutuk kebijakan negara yang dirancang untuk merangsang
pertumbuhan industri: tarif protektif dan kuota impor yang membatasi perdagangan
bebas dan dengan demikian menaikkan harga ke konsumen; nilai tukar mata uang
buatan yang mendistorsi harga ekspor dan impor; subsidi negara kepada produsen
dan konsumen; dan kontrol pemerintah atas harga dan suku bunga. Semua kebijakan
ini, menurut mereka, mendistorsi pilihan yang dibuat oleh produsen, konsumen, dan
pemerintah. Hanya ketika batasan buatan ini dihilangkan, mereka mempertahankan,

5
ekonomi akan “mendapatkan harga yang tepat” (dengan membiarkan kekuatan
pasar bebas menentukannya) (Handelman, 2017:241).
Neoliberalisme ini kemudian dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan
kebijakan ekonomi teknokratis dan intervensionis pada tahun 60-an yang
melahirkan ketidakpuasan dan konflik kepentingan. Seperti halnya pemikiran-
pemikiran ekonomi lainnya, kemunculan neoliberalisme dipicu krisis berupa
stagflasi pada 1970-an di negara-negara maju yang memberi angin haluan ini untuk
menyerang balik kubu prointervensi dan membawa kembali sebagai wacana
kebijakan ekonomi dominan (Caniago, T.t.:3). Kebijakan neoliberal sukses
mengurangi inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara.
Neoliberalisme sendiri bukan merupakan satu teori besar, melainkan
merupakan hedging dari serpihan-serpihan beberapa teori kontemporer
antiintervensi yang dikembangkan pada konteks historis, politis, dan institusi
tertentu. Neolib dapat dikatakan merupakan revival pemikiran ekonomi klasik yang
mengadvokasi pasar bebas, kebebasan individu, dan intervensi negara minimal
dalam perekonomian yang merupakan kumpulan teori tentang relasi antarnegara,
pasar, individu, dan masyarakat dalam sebuah sistem perekonomian yang
berlandaskan kapitalisme. Dengan kata lain, kemunculan neoliberal pada tahun
1960-an ini dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknokratis
dan intervensionis. Neoliberal mensyaratkan dua hal. Pertama, meminimalisir
intervensi negara. Kedua, mengakui kebebasan individu (Caniago, T.t.:3).
1.3.2 Strategi Pasar dan Industrialisasi
A. Industrialisasi Subtitusi Impor
Industrialisasi substitusi impor (ISI) adalah kebijakan perdagangan dan
ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi
dalam negeri (Brian, 2019:88). ISI didasarkan pada anggapan bahwa sebuah negara
harus mengurangi ketergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan
produk industri dalam negerinya. Istilah ini lebih mengacu pada kebijakan ekonomi
pembangunan abad ke-20, namun sudah diusulkan pada abad ke-18 oleh ekonom
seperti Friedrich Listdan Alexander Hamilton (Mehmet, 1999).
Kebijakan ISI kebanyakan diterapkan oleh negara-negara di belahan bumi
selatan dengan tujuan merintis pembangunan dan kemandirian melalui
pembentukan pasar dalam negeri. ISI beroperasi dengan membiarkan negara
memimpin pembangunan ekonomi lewat nasionalisasi, subsidisasi industri penting

6
(termasuk pertanian, pembangkit listrik, dan lain-lain), kenaikan pajak, dan
kebijakan perdagangan yang sangat proteksionis (Street and James, 1982:673-689).
Industrialisasi substitusi impor perlahan ditinggalkan oleh negara-negara
berkembang pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai bagian dari program
penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia. Kedua institusi tersebut
mengupayakan liberalisasi pasar global di belahan bumi selatan (Konadu, 2000:469-
483).
Kebijakan ekonomi nasional sebagian merupakan hasil dari pilihan yang
disengaja dan sebagian lagi merupakan hasil dari peluang dan hambatan politik dan
sosial ekonomi. ISI pertama kali muncul sebagai strategi pembangunan di Amerika
Latin selama tahun 1930-an karena depresi dunia secara tajam mengurangi
perdagangan internasional. Karena Amerika Utara dan Eropa mengurangi
pembelian barang-barang primer (wol Uruguay, daging sapi Argentina, dan kopi
Brasil, misalnya), negara-negara Amerika Latin tidak lagi dapat memperoleh devisa
yang cukup untuk mengimpor produk manufaktur yang mereka butuhkan. Jadi,
industrialisasi awal kawasan itu dirancang, sebagian, untuk memproduksi barang-
barang konsumsi yang tidak mampu lagi diimpor oleh negara-negara Amerika Latin
(Handelman, 2017:243).
ISI ini mengharapkan bisa menghasilhan barang-barang baru didalam negeri
yang semula di impor setelah substitusi impor ini berhasil, baru kemudian sebagian
hasil produknya diekspor. Jadi substitusi impor ini memegang peranan penting
dalam mengenalkan barang-barang baru yang dulunya diimpor dan kemudian
dihasilkan sendiri.
Tetapi meskipun ISI dimulai sebagai respons terhadap krisis ekonomi
internasional, para perencana ekonomi kemudian mengubahnya menjadi strategi
jangka panjang untuk pengembangan industri. Dengan pengangguran yang besar di
rumah dan populasi perkotaan yang mendesak untuk pertumbuhan ekonomi dan
pekerjaan tambahan, para pemimpin pemerintah menghadapi keharusan politik
untuk melakukan industrialisasi (Handelman, 2017:244).
Ironisnya, meskipun pada awalnya ISI dirancang untuk membuat negara-
negara berkembang lebih mandiri secara ekonomi, pada akhirnya hanya
menggantikan ketergantungan pada impor barang konsumsi dengan ketergantungan
pada impor barang modal, teknologi asing, dan kredit. Sebagai contoh ekspor
primer tradisional sering melemah, sementara defisit berkontribusi pada utang luar

7
negeri Amerika Latin yang melonjak, yang pada akhirnya menyebabkan krisis utang
besar dan resesi pada 1980-an. Krisis ini, sangat kontras dengan pertumbuhan pesat
Asia Timur pada waktu itu, mendorong pemerintah Amerika Latin untuk
meninggalkan kebijakan ekonomi mereka yang berorientasi ke dalam ketika mereka
mencoba meniru model yang didorong oleh ekspor Asia Timur (Handelman,
2017:245).
B. Industrialisasi Berorientasi Ekspor
Ekspor adalah pembelian negara lain atas barang buatan perusahaan-
perusahaan di dalam negeri. Faktor terpenting yang menentukan ekspor adalah
kemampuan dari Negara tersebut untuk mengeluarkan barang-barang yang dapat
bersaing dalam pasaran luar negeri (Sukirno, 2008:205). Ekspor akan secara
langsung mempengaruhi pendapatan nasional. Akan tetapi, hubungan yang
sebaliknya tidak selalu berlaku, yaitu kenaikan pendapatan nasional belum tentu
menaikkan ekspor oleh karena pendapatan nasional dapat mengalami kenaikan
sebagai akibat dari kenaikan pengeluaran rumah tangga, investasi perusahaan,
pengeluaran pemerintah dan penggantian barang impor dengan barang buatan dalam
negeri (Sukirno, 2008:206).
Industrialisasi berorientasi ekspor adalah sebuah siasat ekonomi yang
digunakan oleh beberapa negara berkembang. Siasat ini berupaya untuk
menemukan celah (peluang) dalam ekonomi dunia untuk jenis ekspor tertentu.
Industri yang memproduksi ekspor ini dapat menerima subsidi pemerintah dan akan
diberikan akses yang lebih mudah dalam pasar lokal. Dengan menerapkan siasat ini,
negara berharap akan memperoleh mata uang keras yang cukup untuk mengimpor
komoditas yang diproduksi dengan harga yang lebih murah di tempat lain
(Goldstein, 2008).
Selain itu, kajian terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan yang didorong
ekspor menyebabkan tertekannya pertumbuhan upah dan berkaitan dengan
pertumbuhan produktivitas komoditas yang tak dapat didagangkan dalam sebuah
negara dengan mata uang yang bernilai terlalu rendah. Di negara-negara tersebut,
pertumbuhan produktivitas komoditas ekspor lebih besar dari pertumbuhan upah
proporsional dan pertumbuhan produktivitas komoditas yang tak dapat
didagangkan. Oleh karena itu, harga ekspor menurun di negara dengan pertumbuhan
yang didorong ekspor dan membuatnya semakin kompetitif dalam perdagangan
internasional (Unal, 2016:57-59).

8
Pertumbuhan yang didorong oleh ekspor menyiratkan pembukaan pasar
dalam negeri untuk kompetisi asing dengan imbalan akses pasar di negara lainnya.
Namun, industrialisasi berorientasi ekspor tidak selalu berlaku untuk semua pasar
dalam negeri karena pemerintah mungkin bertekad melindungi industri baru agar
mereka dapat tumbuh dan mampu mengeksploitasi keunggulan komparatif di masa
depan. Selain itu, pada kenyataannya, kebalikannya dapat terjadi. Sebagai contoh,
banyak negara Asia Timur menghambat impor secara besar-besaran dari tahun
1960-an hingga tahun 1980-an untuk melindungi industri dalam negerinya masing-
masing.
Pengurangan hambatan berupa pengurangan bea, nilai tukar mengambang
(devaluasi nilai mata uang negara sering kali digunakan ntuk mendukung
berjalannya ekspor), dan dukungan pemerintah terhadap sektor ekspor adalah
contoh kebijakan yang diterapkan untuk mendorong industrialisasi berorientasi
ekspor dan pada akhirnya, pembangunan ekonomi. Industrialisasi berorientasi
ekspor adalah ciri khas dari pengembangan ekonomi nasional NIC Asia Timur:
Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura pada periode pasca-Perang
Dunia II .
NIC Asia Timur memulai dorongan industrialisasi mereka melalui substitusi
impor, seperti yang telah dilakukan LDCs lain di Amerika Latin beberapa tahun
sebelumnya. Namun, segera, mereka melakukan diversifikasi ke manufaktur untuk
ekspor. Ketika pemerintah menghapus langkah-langkah proteksionis awal mereka,
mereka memaksa perusahaan lokal untuk menjadi lebih kompetitif di pasar dunia.
Para perencana negara membentuk pasar, menekan industri dan menawarkan
mereka insentif untuk mengekspor. Pada tahun 1980, barang-barang manufaktur
merupakan lebih dari 90 persen dari semua ekspor Korea Selatan dan Taiwan tetapi
hanya mewakili 15 persen dari ekspor Meksiko dan 39 persen dari Brasil. Didorong
oleh sektor ekspor industri yang dinamis, ekonomi Asia Timur yang berkembang
pesat menjadi kecemburuan dunia berkembang (Handelman, 2017:245).

9
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Kebangkitan China dan Menuju Kebangkitan Indonesia
Kebangkitan China dimulai pada tahun 1979 ketika Den Xiaoping menggulingkan
kekuasaan militer di bawah Mao. Xiaoping dan kekuatan neokapitalis lainnya dengan Partai
Komunis China kemudian melakukan neoliberalisasi perdagangan melalui investasi dari
perusahaan transnasional, aktivitas keuangan global, pengaruh imperalis yang mengendalikan
institusi seperti Bank Dunia dan WTO serta saluran ideologi dan budaya. China kemudian
lebih bergantung pada investasi dari negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan
Jerman (Lotta, 2009). Kebijakan pro-pasar ini sukses, ditandai dengan keberhasilan China
mencapai catatan pertumbuhan ekonomi yang terbesar sepanjang sejarah selama seperempat
abad terakhir (Straszheim, 2008).
Pasca reformasi Deng Xiaoping tersebut, China memilih untuk membangun daerah-
daerah perkotaan (metropolitan) namun melengkapinya dengan menciptakan kawasan-
kawasan khusus terpadu seperti industrial zone, areal komersial, kawasan perumahan serta
industri pariwisata, dimana kebutuhan pasar dan teknologi bisa bertemu. China dengan cepat
akhirnya memiliki kawasan-kawasan khusus seperti Guandong, Shenzen, dan Fujian dan
berkembang menjadi kawasan untuk ekspor. Kawasan-kawasan tersebut memberikan
fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar lalu memisahkan sektor produksi
menjadi dua yakni, sektor agrikultur dan non-agrikultur. Kemudian, langkah selanjutnya
adalah melegitimasi pemisahan perusahaan milik negara dan milik swasta, hal ini dilakukan
dengan harapan bahwa keuntungan yang didapatkan untuk negara bisa maksimal karena
dengan diresmikannya perusahaan swasta, perusahaan tersebut tidak akan terikat banyak
peraturan yang bisa menghambat aktivitas ekonomi maupun produksinya. Akan tetapi,
Pemerintah China memberlakukan kebijakan bahwa proteksi atas segala sektor yang dimiliki
oleh warga negaranya adalah tanggung jawab negara dan akan selalu dilindungi sehingga
keseimbangan dan keamanan baik dari pihak swasta maupun pihak pemerintah bisa berjalan
secara harmonis (Qomara, 2015). Faktor kepedulian Pemerintah China ini akhirnya

10
berimplikasi terhadap kemajuan ekonomi China hingga China bisa menjadi kiblat bagi
seluruh negara di Asia dalam pengembangan ekonomi berskala internasional.
Dilihat dari struktur ekspornya, China bukan lagi pengekspor komoditas
mentah/hasil pertanian. Pada tahun 1980-an sebelum reformasi, ekspor barang-barang
manufaktur masih di bawah ekspor hasil pertanian, tapi di tahun 1990-an perbandingan
menjadi terbalik. Yang mengalami kenaikan cepat adalah ekspor barang-barang elektronik
dan mesin. Dari sekitar 15 miliar US Dollar pada 1980 menjadi lebih dari 40 miliar US
Dollar pada akhir 2000.
Tumbuhnya perekonomian China dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi itu
sendiri. Sejak membuka diri dan mengadakan reformasi, di tahun 1984, ekonomi bertumbuh
pada kisaran 15 persen. Tahun 1992, juga mencapai 14 persen. Tingginya pertumbuhan
ekonomi ini, selain didukung dari sisi ekspor, juga terkait dengan besarnya penanaman
modal asing (Foreign Direct Investment - FDI) yang masuk ke China. Di tahun 1988
misalnya, jumlah modal asing yang masuk hanya 2 miliar US Dollar. Tapi di tahun 2000,
angka tersebut melejit menjadi lebih dari 45 miliar US Dollar.16 Keberhasilan ekspor dan
masuknya modal asing sesuai dengan transformasi ekonomi China yakni pembangunan
ekonomi dari pertanian yang subsisten ke ekonomi modern (industrilized). Transformasi
tersebut kemudian dilanjutkan dengan globalisasi ekonomi dari autarki ke suatu kapasitas
profesional dalam jaringan produksi global (Widyahartono, 2004:63). Terkait dengan
transformasi ekonomi selanjutnya, masuk menjadi anggota WTO menjadi kampanye
nasional besar China.
China resmi menjadi anggota WTO di tahun 2001. Masuknya China ke dalam WTO
memerlukan proses dan waktu yang panjang dan lama yang waktu itu masih berupa
General Agreement on Tariff and Trade (GATT). China merupakan salah satu pendiri
GATT pada 1948. Tetapi pada 1950 China yang waktu itu diwakili oleh Republik China di
Pulau Taiwan memutuskan keluar. Masuk kembali ke dalam GATT dimulai lagi pada
1987. Kemudian terjadi pembantaian berdarah Tian’namen pada 4 Juni 1989. Berhentilah
seluruh proses lamaran. Lalu, untuk kedua kalinya, China mengajukan lamaran kembali pada
tahun 1992. Baru pada tahun 2001, China resmi diterima ke dalam WTO (Widyahartono,
2004:63).
Dengan terintegrasinya kegiatan perekonomian, perdagangan dan industri China
dengan pasar global telah menyebabkan terjadinya ekspansi besar-besaran dari industri
manufaktur China ke seluruh dunia. Status keanggotaan WTO mendorong terbukanya
berbagai kegiatan industri di berbagai sektor di tingkat domestic, mulai dari industri

11
manufaktur dan kendaraan bermotor ke “domestic retail and created greater foreign
competition” (Wong, 2008:85). Sebagai contoh adalah industri otomotif China, tahun 2001
mencapai 2,1 juta unit, pada tahun 2005 meningkat pesat menjadi 5,7 juta unit yang
menjadikan China sebagai negara produser mobil terbesar ketiga setelah AS dan Jepang.
Dalam industri besi/baja, tahun 2001 produksi China 152 juta ton, pada tahun 2005 menjadi
397 juta ton. Ini berarti industri baja/besinya meningkat pesat dalam 4 tahun sehingga
menjadikan negara tersebut sebagai world’s top steel producer (Wong, 2008:14).
Kebangkitan China yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai dua
digit tidak berlangsung dalam ruang yang vakum. Ada political will dari pemerintah untuk
mengontrol arus modal yang masuk ke China. Kepemilikan tanah masih dikuasai oleh
pemerintah. Sehingga tanah sebagai faktor produksi yang sangat penting tetap menjadi
sumber daya strategis. Dalam menyambut globalisasi, pemerintah China tidak sepenuhnya
melakukan neoliberalisasi di semua bidang. Pertumbuhan China juga digerakkan oleh upah
buruh yang murah. Rendahnya upah buruh ini juga dipengaruhi cengkeraman Partai Komunis
China yang mengkooptasi serikat buruh di China (Qomara, 2015). Ketersediaan buruh yang
murah ini diserbu oleh investor-investor besar dari negara-negara maju. Hal ini ditambah
dengan etos kerja yang tinggi dari masyarakat China itu sendiri.
Strategi khas China dalam mempercepat industrialisasi dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa hal relevan untuk melihat posibilitas Indonesia sebagai emerging
power. Penguasaan sektor strategis menjadi kunci kemajuan Indonesia ke depan (Tyas,
2015). Ironisnya sumber daya strategis Indonesia oleh pemerintah tidak dikelola dengan baik.
Hal ini bisa dilihat dari langkah ketika presiden Megawati menjual Indosat (Kompas.com)
sebagai perusahaan teknologi telekomunikasi. Kemudian dalam kerjasama dengan Exxon
Mobil di Cepu hanya memberikan 20 persen dari hasil pertambangan minyak kepada
pemerintah (Batubara, 2011). Belum lagi blok Mahakam yang sempat dikuasai asing selama
beberapa dekade sebelum kembali ke tangan Pertamina (Detik.com).
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur untuk memastikan kondisi sebuah negara
berada pada tingkatan sebagai negara miskin, negara berkembang, dan negara maju. Hal
tersebut ditandai dengan pengaruh pendapan perkapita penghasilan masyarakatnya.
Pendapatan per-kapita mencerminkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
dalam suatu negara. Jumlah populasi masyarakat yang tinggi menuntut Indonesia maupun
China untuk dapat mendistribusikan kesejahteraannya secara adil. Hal ini menjadi tantangan
besar bagi kedua negara tersebut untuk mewujudkan pemerataan.

12
Demi memenuhi tuntutan tersebut, Indonesia mengandalkan beberapa sektor
perekonomian, salah satunya adalah sektor perdagangan internasional. Melalui sektor ini,
Bank Dunia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 berada pada
kisaran 5.4%. memang bukan angka yang besar mengingat dunia saat ini sedang berada
dalam krisis energi akibat konflik Rusia-Ukraina. Namun, tingkat perdagangan internasional
yang menjadi “ujung tombak” ekonomi Indonesia ternyata tidak diimbangi dengan stabilitas
ekspor-impor yang dilakukan oleh Indonesia karena pada faktanya, tingkat impor Indonesia
jauh lebih tinggi. Sedangkan, komoditas ekspor Indonesia banyak memiliki hambatan karena
hasilnya tidak besar, hal ini terjadi karena barang yang diekspor masih berbentuk komoditas
barang mentah yang memiliki nilai jual rendah dengan kuantitas yang banyak (Rahmawati,
2018). Pertumbuhan ekonomi yang baik seharusnya ditopang oleh sektor produksi, bukan
konsumsi. Barang yang diproduksi di Indonesia seharusnya didistribusikan ke luar negeri.
Yang terjadi justru barang tersebut dikonsumsi orang Indonesia. Tetapi mengingat komoditas
ekspor utama Indonesia saat ini masih banyak berupa bahan mentah, ditengah resisi global
dan krisis energi, Indonesia justru stabil dalam hal pertumbuhan, karena naiknya harga bahan
mentah seperti CPO, minyak, nikel, hingga karet.
Sebenarnya pada awalnya \Indonesia sendiri tidak berbeda jauh dengan China,
kebijakan industrialisasi dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap substitusi impor dan tahap
promosi ekspor. Pada tahap substitusi impor (yang dikembangkan pada dekade 1970-1980),
pengembangan substitusi impor didukung sejumlah besar tariff bea masuk, sedangkan pajak
penjualan barang impor dibebankan sekaligus bersamaan tariff bea masuk. Pada dekade
industrialisasi 1980 pemerintah menggalakan untuk mendirikan industri hulu yang lebar
rentangnya dengan hanya memberikan perhatian yang sedikit kepada efisiensi ekonomi. Lalu
pada tahun 1982 nilai tukar perdagangan Indonesia sangat memburuk, terutama akibat
anjloknya harga minyak bumi. Roda ekonomi mulai tersendat untuk mendorong
pembangunan sektor industri yang berorientasi ekspor, pemerintah beralih dari kebijakan
substitusi impor yang proteksionis ke tahap promosi ekspor. Bertambah anjloknya harga
minyak bumi pada tahun 1986 semakin meyakinkan pemerintah bahwa tahapan yang beralih
ke kebijakan penggalakan ekspor adalah suatu kaharusan.
Saat ini besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per-kapita mencapai US$
4.691 (World Bank, 2022) yang membuat Indonesia masuk kedalam kelompok lower-middle
income countries. negara yang tergolong dalam level ini akan mengerahkan segala daya dan
upaya untuk beralih menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan tingkat PDB per kapita
lebih dari US$ 11.750. Namun, banyak negara mengalami kesulitan untuk mencapai target

13
tersebut bahkan memasuki perangkap stagnasi dalam pertumbuhan PDB-nya, dimana hal ini
diakibatkan oleh salah satunya peningkatan biaya tenaga kerja serta penurunan produktivitas
(Setyawan, 2013). Terkait dengan itu, Indonesia kini sedang berpacu dengan waktu dalam
rangka meningkatkan sektor manufakturnya dan berupaya memperkuat supply-side economy
nya, guna menghindar dari perangkap tersebut.
Meskipun begitu, beberapa BUMN Indonesia patut diapresiasi kinerjanya. BUMN
seperti Pertamina, Semen Indonesia, dan Garuda Indonesia mampu menunjukkan performa
yang baik. Pertamina mampu masuk ke dalam jajaran Global Fortune 500 dengan peringkat
287 pada tahun 2021 (Fortune Global 500). Tidak kalah dengan itu, Garuda Indonesia juga
masuk dalam 10 penerbangan terbaik di dunia versi Skytrax mengalahkan Turkish Airlines
dan Qantas Airways (Skytrax). Begitu juga Semen Indonesia yang mampu berekspansi ke
Vietnam (Tempo.co 2016). Ke depan apabila Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan
ekonominya maka pemerintah harus memiliki political will untuk menguasai sektor-sektor
strategis.
Indonesia sendiri memiliki modal yang besar apabila dibandingkan dengan China.
Indonesia mampu mengkonsolidasikan demokrasi dalam pemerintahannya. Demokrasi ini
menjadi penting bagi Indonesia. Kemajuan yang dicapai China bukan tanpa resiko dengan
dominasi dan komunisme Partai Komunisnya. Tidak adanya transparansi membuat kinerja
pemerintahan berjalan tanpa kontrol. Demokrasi juga akan meningkatkan peran dan
partisipasi masyarakat dalam kemajuan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini
juga didukung oleh industri UMKM. Hal ini tidak akan terjadi di China apabila UMKM
tersebut tidak memiliki kedekatan dengan elit PKC (Qomara, 2015).
Modal lain yang relevan adalah bonus demografi. Pada tahun 2030 populasi masyarakat
Indonesia akan didominasi usia produktif. Berbeda dengan China yang pada tahun tersebut
populasinya akan menua sehingga rasio ketergantungan akan tinggi (Qomara, 2015). Namun
bagaimana memanfaatkan bonus demografi akan tergantung bagaimana pengelolaan SDM
terutama reformasi di sektor pendidikan. Sehingga pada saat bonus demografi terjadi SDM
kita tidak hanya menjadi pekerja non-terampil.

14
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sejak diberlakukannya kebijakan baru oleh Deng Xiaoping, China mengalami
kemajuan di bidang ekonomi yang kemudian merambah bidang lain. Kebangkitan China
sebagai kekuatan ekonomi dunia baru ini disebabkan beberapa hal seperti penguasaan negara
dalam perusahaan-perusahaan di sektor strategis, kebijakan luar negeri hingga percepatan
industrialisasi. Dari kebangkitan China, Indonesia dapat mengambil relevansinya untuk
tujuan pembangunan negeri ini ke depannya. Indonesia memiliki potensi untuk mampu
meraih kesuksesan sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Potensi tersebut berupa sumber
daya alam, demokrasi, dan demografi. Indonesia terbilang akan menjadi lebih baik dibanding
China dalam tiga hal ini. Sehingga, Indonesia dinilai mampu untuk dapat bangkit dan
membangun negerinya. Kendati demikian, potensi yang telah dimiliki Indonesia ini juga tetap
memerlukan inisiatif dari pemerintah untuk mengolah dan mengembangkannya. Oleh sebab
itu, keberhasilan Indonesia nantinya ditentukan pada bagaimana strategi kebijakan
pemerintah dalam membangun dan mengembangkan potensi yang ada.

15
Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal:

Batubara, Marwan, 2011, Tragedi dan Ironi Blok Cepu. Jakarta: IRESS.

Brian, Nelson, 2009. A Comprehensive Dictionary of Economics. Delhi: Abishek Publication

Caniago, Siti Aminah, “Munculnya Neoliberalisme Sebagai Bentuk Baru Liberalisme” Jurnal
STAIN Pekalongan.

Goldstein, Joshua S., and Jon C. Pevehouse. 2008. International Relations. 8th ed. New
York: Pearson Longman.

Handelman, Howard, 2017. Challenges of Developing World. Lanham: Rowman &


Littlefield.

Konadu-Agyemang, Kwadwo. 2000. "The Best of Times and the Worst of Times: Structural
Adjustment Programs and Uneven Development in Africa: The Case of
Ghana."Professional Geographer, 52(3).

Lotta, Raymond, 2009. “China Rise in the World Economy”, Economy and Political Weekly,
Vol. 44, No. 8. China's Rise in the World Economy : | Economic and Political
Weekly (epw.in)

Mehmet, Ozay. 1999. Westernizing the Third World: The Eurocentricity of Economic
Development. London: Routledge.

Patrick H. O’neil, Essentials of Comparative Politics. New York: Norton Company, 2018.

16
Qomara, Grienda, 2015. “Kebangkitan Tiongkok dan Relevansinya Terhadap Indonesia”
Jurnal Hubungan Internasional, Dept. Hub. Internasional Univ. Airlangga. Tahun
VIII, No. 2.
Straszheim, Donald H., 2008. “China Rising”, World Policy Journal, Vol. 25, No. 03, Duke
University Press.

Street, James H. and James, Dilmus D. 1982. "Structuralism, and Dependency in Latin
America." Journal of Economic Issues, 16(3).

Setyawan, Dhani, 2013. “Indonesia Dalam Bayang-Bayang Middle Income Trap” Jurnal
Kemenkeu Microsoft Word - Artikel MIT Indonesia (kemenkeu.go.id)

Sukirno, Sadono. 2008. Teori Pengantar Makroekonomi edisi 3. Jakarta: Grafindo.

Tyas, Ari Anggarani Winadi Prasetyoning, dkk., 2015. “Sumber Daya Alam & Sumber Daya
Manusia untuk Pembangunan Ekonomi Indonesia” Forum Ilmiah Vol. 12, No. 1.

Unal, Emre. 2016. "A comparative analysis of export growth in Turkey and China through
macroeconomic and institutional factors". Evolutionary and Institutional Economics
Review. 13 (1)

Widyahartono, Bob. 2004. Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi, dan Sosial
China Menuju China Baru. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wong, John. 2008. China’s Economic in Search of New Development Strategies. Dalam Saw
Swee Hok, 2007. ASEAN-China Economic Relations, Singapore: ISEAS.

Dokumen, Berita, dan Arsip lain:

World Bank Data 2022 “GDP Current US$ Indonesia”


“GDP Current US$ China”
“GDP per capita Current US$ Indonesia”
“GDP per capita Current US$ China”
“GDP Growth Annual (%) Indonesia”

International Monetary Fund, "World Economic Outlook Database, October 2022". 11


October 2022.

Skytrax 5 Stars Airline: Garuda Indonesia, https://skytraxratings.com/airlines/garuda-


indonesia-rating

17
“Laba Kuartal I Semen Indonesia Naik 10,7 Persen Jadi Rp 498,5 Miliar” Selengkapnya
https://bisnis.tempo.co/read/1596313/laba-kuartal-i-semen-indonesia-naik-107-persen-
jadi-rp-4985-miliar

"Sejarah Indosat: BUMN yang Dijual ke Singapura di Era Megawati", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2021/09/17/090116626/sejarah-indosat-bumn-
yang-dijual-ke-singapura-di-era-megawati?page=all.

"50 Tahun Dikuasai Asing, Blok Mahakam Diserahkan ke Pertamina"


selengkapnya https://finance.detik.com/energi/d-4267276/50-tahun-dikuasai-asing-
blok-mahakam-diserahkan-ke-pertamina.

18

Anda mungkin juga menyukai