Anda di halaman 1dari 7

MUNCULNYA GAGASAN DAN PRAKTEK

EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Ahmad Zaini

PENDAHULUAN

Kapitalisme telah berkembang bersama dengan keragaman struktur sosial dan tradisi moral
selama dua abad terakhirnya. Tidak tunggal tetapi beragam, kapitalisme-kapitalisme Asia baru
mengilustrasikan kompleksitas ini dengan kejelasan yang khas. Kapitalisme bekerja melalui
artikulasi dengan masyarakat politik, organisasi, dan budaya lokal. Begitu cakupan lokal ini kian
mendalam, perusahaan mengalihkan sumberdaya dan hubungan-hubungan lokal ke arah tujuan-
tujuan baru, menyesuaikan atau bahkan menghapus bentuk dan makna sebelumnya. (Hefner,
2000)

Pemanfaatan struktur-struktur dan sentimen-sentimen lama untuk tujuan-tujuan sosial baru


ini memberi kapitalisme kekuatan lokal yang luar biasa dan, tidak kurang pentingnya, legitimasi
etik. (Clegg dan Redding 1990). Dalam hal-hal semacam ini, perusahaan kapitalis akan tampak
tidak asing atau mengganggu, tetapi merupakan terapan baru dari hubungan-hubungan yang ada
untuk proyek-proyek sosial baru.

Pada saat yang lain, cara-cara lama mungkin terbukti tidak sesuai dengan ekonomi baru dan
akan dikarantina atau dipinggirkan sebagai sistem pasar yang berlaku. Dalam hal lain,
penyesuaian kembali kapitalisme yang terus-menerus terhadap perorangan, energi, dan nilai-nilai
tanpa terkecuali, mempengaruhi keseimbangan kekuasaan dan moralitas yang lebih luas di
masyarakat.

Marx, dan tidak sedikit teoretisi liberal, percaya bahwa kejayaan kapitalisme menggantikan
tujuan imajinasi moral yang didasarkan pada ikatan-ikatan agama, etnisitas, atau bahasa. Sejarah
kapitalisme modern bukan sekadar persoalan munculnya kepentingan pribadi yang terbatas; ia
juga merupakan sejarah kebangkitan dan perekayasaan kembali agama, etnisitas, gender, dan
bangsa. Praltik-praktik kapitalisme ini juga yang terjadi di Indonesia.

Dalam melihat fakta historis ini, penulis memberikan suatu uraian singkat mengenai
ekonomi Indonesia yang berfokus pada hubungan negara dan masyarakatnya, terutama karena ini
mempengaruhi komunitas Muslim. Dengan latar belakang ini, penulis kemudian menguji ide-ide
dan inisiatif-inisiatif Muslim mutakhir (utamanya pada masa orba) beserta konteks ideologisnya
dalam bisnis dan etika.
Pembahasan ini telah berhasil diuraikan oleh Robert W. Hefner, dalam Markets and Justice
for Muslim Indonesians (2018). Sebut saja artikel ini sebagai ulasan ringan atas buku tersebut.

PEMBAHASAN

Sampai awal 1980-an, Indonesia berbeda dengan kebanyakan tetangga-tetangganya dalam


produksi minyak dan gas, bukan ekspor manufaktur, yang mendominasi ekspansi industri.
Namun, mulai 1982-1983, menanggapi penurunan tajam harga minyak (yang memburuk pada
1986) dan pendapatan negara, pemerintah menerapkan suatu paket reformasi ekonomi. Sebagian
besar langkah ini dirancang untuk merangsang manufaktur berorientasi ekspor dan mengejar
penurunan pendapatan dari minyak.

Reformasi tersebut memiliki efek yang diharapkan, yaitu merangsang pertumbuhan dalam
manufaktur swasta dan menekan ekspor industri menuju puncak yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Ini tentu tidak mengatakan bahwa perubahan Indonesia ke ujung jalan kapitalisme
tanpa kegamangan dan ganjalan. Tiga puluh lima persen perusahaan non pertanian diperkirakan
masih di tangan negara, dan sebagian elite politik penting mempertahankan minat yang hidup
terhadap perusahaan yang disubsidi negara. (Hill 1996: 191-213)

Meskipun sikap terhadap pasar dan kapitalisme telah sangat berubah, masih ada satu
problem yang sulit dalam persepsi publik mengenai kapitalisme baru: keyakinan yang kuat
bahwa kaum Muslim tidak menikmati pembagian kue ekonomi Indonesia yang adil. Meskipun
pertumbuhan ekonomi mutakhir telah meningkatkan jumlah kelas menengah Muslim, proporsi
komunitas Muslim yang cukup besar masih miskin.kesenjangan antara kaum Muslim (hampir 88
persen penduduk Indonesia) dan orang-orang Tionghoa (3-4 persen dari penduduk) masih lebar.

Tradisi merkantilisme Asia Tenggara telah hancur pada abad ke-17 dan 18 di bawah
pengaruh gabungan kolonialisme Eropa dan para penguasa absolut. Sejak itu dan seterusnya,
orang-orang Eropa mengontrol puncak-puncak ekonomi yang kuat, dan hanya dengan sedikit
pengecualian, orang-orang Tionghoa berkuasa di sektor-sektor menengahnya. Pada pertengahan
1980-an, diperkirakan 70-75 persen modal swasta domestik dimiliki oleh kaum Sino-Indonesia.

Reformasi struktural 1980-an tampaknya hanya meningkatkan dominasi pasar perusahaan-


perusahaan massif yang multi sektor ini dan memperbarui kekhawatiran bahwa semakin liberal
ekonomi Indonesia, peran kaum Muslim dan pribumi akan semakin menurun. Ketegangan
agama, kelas, dan etnik bercampur baur di dalam diskusi pasca liberalisasi diilustrasikan di
dalam kejadian-kejadian di sekitar industri perbankan, salah satu dari sektor pertama yang secara
signifikan harus dideregulasi pada akhir 1980-an.

Walaupun para pejabat pemerintah berharap sebaliknya, sebagian besar bank komersial
swasta yang didirikan menyusul deregulasi dimiliki oleh orang Tionghoa. Yang juga penting,
bertentangan dengan pola-pola 1960-an dan 1970- an (ketika bank-bank negara memberikan
sebagian besar kredit komersial), bank-bank swasta ini dengan cepat memberi porsi yang
signifikan dari total kredit dalam ekonomi. (MacIntyre 1993:145)
Meskipun perubahan ini memiliki dampak yang bermanfaat dari kompetisi yang meningkat
di sektor finansial dan menjamin bahwa alokasi kredit kurang didasarkan pada pertimbangan
politik daripada pertimbangan komersial, konsekuensi dari deregulasi perbankan adalah, sekali
lagi, kaum Sino-Indonesia memperluas kontrol mereka atas sektor vital lain di dalam ekonomi
nasional. Ini memacu beberapa Muslim untuk menyerukan suatu sistem bank Islam yang
sepenuhnya terpisah. Bagi kaum Muslim, isu sentral dalam perdebatan ini adalah persoalan
apakah kegagalan perusahaan-perusahaan Muslim dan pribumi merupakan akibat dari
ketidakmampuan mereka bersaing di pasaran ataukah karena keputusan-keputusan kebijakan
pemerintah yang disengaja.

Strategi yang saling bersilang jalan

Reaksi kaum Muslim terhadap peminggiran ekonomi mereka sangat beragam. Sebagian
pemimpin Muslim terlibat dalam polemik-polemik anti-Cina yang sengit; sebagian yang lain
mencoba menarik orang-orang bisnis Tionghoa ke dalam usaha bersama. Sementara beberapa
orang menyerukan penerapan hukum Islam (syariah) yang ketat ke dalam seluruh sektor
ekonomi, beberapa yang lain menyatakan bahwa tak ada ekonomi Islam dan kaum Muslim harus
belajar teknik-teknik manajemen modern. Akhirnya, beberapa orang mendukung program-
program industrialisasi negara yang massif, dan beberapa yang lain menyatakan bahwa
perusahaan independen adalah satu-satunya jalan untuk revitalisasi keuntungan orang Islam.

Peminggiran ekonomi merupakan satu bagian dari penyingkiran organisasi-organisasi Islam


yang lebih luas selama dua dekade pertama Orde Baru. Strategi-strategi ekonomi Islam telah
dipengaruhi bukan hanya oleh persepsi mereka mengenai keadilan pasar tetapi oleh persepsi
mereka mengenai logika dan legitimasi sistem ekonomi politik secara menyeluruh. Demi
menjaga strategi Orde Baru untuk demobilisasi penduduk dan peningkatan kontrol sosial melalui
pelapisan struktur komando vertikal pada organisasi massa, organisasi-organisasi Islam
dikeluarkan dari posisi-posisi berpengaruh pada saat pemerintahan baru berdiri. (Reeve, 1985).

Pembentukan ICMI dan penunjukan Habibie memiliki satu efek dramatik pada perdebatan-
perdebatan Muslim mengenai kebijakan ekonomi.tiga aliran utama pemikiran ekonomi Muslim
muncul dari diskusi ini, antara lain:

Nasionalis-statis

Pembentukan ICMI dan penunjukan Habibie memiliki satu efek dramatik pada
perdebatan-perdebatan Muslim mengenai kebijakan ekonomi. Aliran pertama ini secara dekat
diidentikkan dengan menteri Habibie sendiri.Habibie adalah seorang penganjur apa yang di
Indonesia disebut sebagai strategi pembangunan teknologis. Ini adalah strategi nasionalis-elite
yang menekankan perusahaan yang disponsori oleh negara sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi. (Chalmers dan Hadiz 1997:71-90).

Namun, teknologisme Habibie menambahkan corak baru pada nasionalisme ekonomi


lama. Dia menekankan bahwa Indonesia tidak boleh membatasi pembangunan nasionalnya
pada industri-industri padat karya yang memiliki keunggulan komparatif (oleh karena itu, para
investor asing ingin memasukkan dana-dana mereka). Lebih dari itu, menurut Habibie, negara
harus masuk untuk mensponsori industri-industri berteknologi padat modal sehingga bila para
investor asing memindahkan dana-dana mereka ke suatu negara yang berupah lebih rendah,
Indonesia tidak akan tertinggal di belakang secara teknologi (lihat Chalmers dan Hadiz
1997:176-181).

Model pembangunan nasionalis-statis paling biasa bertentangan dengan kebijakan


ekonomi yang kurang-lebih liberal, yang di Indonesia kontemporer akan disebut teknokratis.
Model teknokratis menekankan perlunya deregulasi pemerintah, investasi asing, eksport, dan
industri-industri padat karya di mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang kuat.
Dengan mengesampingkan efisiensi pasar, Habibie telah menggunakan industri-industri ini
untuk mensponsori perkembangan perusahaan milik Muslim, yang orang-orangnya biasanya
dihubungkan dengan Habibie melalui ICMI.

Dididik sebagai insinyur pesawat terbang, Habibie bukanlah ideolog. Keinginannya


adalah industri teknologi tinggi, bukan perusahaan negara atau ekonomi Islam itu sendiri. Di
dalam ketiadaan kesempatan yang lebih konkret, maka perusahaan-perusahaan Habibie
memiliki daya tarik yang tak terelakkan, tetapi tidak cukup untuk meyakinkan banyak
pengamat bahwa perusahaan-perusahaan itu akan membuat perbedaan yang benar-benar
signifikan.

Islam populis

Aliran kedua menyebar luas di kalangan anggota yang lebih independen dan mewakili
apa yang bisa disebut ekonomi Islam-populis. Kaum Muslim populis cenderung gelisah
dengan citra ketergantungan terhadap negara dan patronase elitis yang tergantung pada banyak
usaha-usaha Habibie. Banyak yang mencatat bahwa sebagian Muslim selalu mendapat
keuntungan dari perjanjian-perjanjian yang manis selama Orde Baru, tetapi mereka
menyatakan bahwa patronase semacam itu hanya sedikit meningkatkan kesejahteraan umat
Islam secara keseluruhan.

Perspektif ekonomi populis setuju intervensi pemerintah untuk mendukung perusahaan


Muslim tetapi menyatakan bahwa itu harus didistribusikan dengan cara yang lebih adil dan
lebih terbuka. Meski para pendukung posisi ini satu generasi yang lalu mungkin menganjurkan
sosialisme Islam, sebagian besar kini menganut kebijakankebijakan berorientasi pasar
walaupun menyatakan bahwa intervensi pemerintah digunakan untuk menghadapi
ketimpangan-ketimpangan sosial. Secara pribadi, banyak kaum populis menyebut Kebijakan
Ekonomi Baru (NEP) Malaysia sebagai satu model bagi kombinasi pertumbuhan pasar dan
intervensi pemerintah yang mereka anut (lihat Crouch 1996: 211- 217).

Ciri kedua yang membedakan perspektif Islam-populis dari nasionalisme elitis Habibie
adalah antusiasme kaum populis yang lebih besar terhadap ekonomi Islam. Para pendukung
Habibie melihat diri mereka sebagai penganjur institusi-institusi dan nilai-nilai Islam dan
memainkan satu peran krusial di dalam intrik-intrik politik yang membawa pada
pembentukNamun, umumnya, mereka cenderung setengah-setengah atau bahkan tidak
menyukai detil-detil teknis ekonomi Islam.

Bagi mereka, kunci untuk revitalisasi Islam terletak di dalam kemajuan umat Islam di
bidang pendidikan, teknologi ilmiah, dan manajemen modern --bersama, tentu saja, dengan
tindakan afirmatif di dalam pemberian kontrak-kontrak bisnis. Lagi pula, kaum populis sedikit
kesulitan dengan sebagian besar dari hal-hal ini, tetapi mereka juga percaya bahwa ada sesuatu
bagi ide bahwa Islam dapat memberi alternatif bagi beberapa ekses kapitalisme gaya Barat. Di
antara hal-hal yang lain, ini berarti bahwa kaum populis telah mencoba memperluas perbankan
Islam keluar dari puncak-puncak kemakmuran ekonomi dan turun ke dalam program-program
kredit masyarakat akar rumput. Bank-bank Islam skala kecil ini telah menunjukkan
kemampuan yang mengesankan untuk mendapatkan kredit dengan biaya rendah bagi bisnis-
bisnis kecil.

Kaum populis telah menganjurkan ide-ide lain, seperti pelatihan manajemen bagi para
pengusaha kecil, dan penyaluran zakat kepada koperasi untuk orang miskin, tetapi sebagian
besar ide mereka belum mendapatkan dukungan resmi yang memadai agar memiliki pengaruh.

NU Gus Dur

Aliran ketiga dalam pemikiran ekonomi Islam menyatakan bahwa selain semangat
kejujuran dan keadilan sosial, tak ada lagi alternatif Islam untuk ekonomi pasar. Pandangan ini
secara aktual lebih menyebar luas di dalam komunitas bisnis Muslim.Bagaimana pun orang
yang paling banyak diidentikkan dengan pandangan ini adalah Gus Dur, atau Abdurrahman
Wahid, Ketua Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial Islam Indonesia terbesar dengan
pengikut sekitar 30 juta orang (Feillard 1995). Sejak pendirian ICMI.

Abdurrahman Wahid telah menunjukkan semangat yang juga nyleneh. Tidak menolak
bantuan pemerintah, dia menekankan program kredit dan pendidikan yang ditujukan pada
perusahaan bisnis skala kecil dan menengah. Pada saat yang sama ia menyatakan bahwa
daripada diberikan dengan cara rahasia, kontrak-kontrak pemerintah harus diarahkan pada
tawar-menawar yang terbuka dan kompetitif untuk menghindari tekanan-tekanan patronase
dari perjanjian-perjanjian di belakang layar.

Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa daripada menodai kaum Sino-Indonesia yang


kaya, umat Islam harus bekerja sama dengan mereka dalam usaha-usaha bersama, pelatihan
manajemen dan perbankan. Seperti dijelaskan dalam sebuah wawancara dengan saya pada
tahun 1993, Abdurrahman merasa tak ada hal yang secara eksplisit merupakan ekonomi Islam.
Yang Islami, katanya, adalah semangat kejujuran dan keadilan yang dibawa ke perusahaan.
Berpikir sebaliknya atau, khususnya, menyatakan bahwa syariah memuat petunjukpetunjuk
sistematik mengenai urusan ekonomi menurut Abdurrahman adalah suatu latihan menipu diri.

Pada saat itu, pemerintah tidak suka dengan pemimpin NU, Abdurrahman Wahid, sebagai
akibat dari pernyataan-pernyataan publiknya mengenai demokratisasi dan oposisi terhadap
ICMI yang disponsori pemerintah. Meskipun rencana awalnya NU akan mendirikan 2000 bank
perkreditan rakyat selama masa dua puluh tahun, hanya sembilan yang akhirnya berdiri. Yang
paling luar biasa mengenai bank itu bukan hanya karena ia memberi bunga pinjaman, tetapi
karena bekerja sama dengan baik dengan para bankir Tionghoa.

Pada 1993, NU menangguhkan rencananya untuk melakukan ekspansi bank jangka


panjang, dan hanya mempertahankan bank-bank yang ada. Belakangan pilihan ini terbukti
tidak menguntungkan karena pada 1992-1993, Bank Summa (mitra bankir tionghoa terbesar)
runtuh karena merugi dalam pasar real estate Jakarta. Disamping itu juga terdapat perlawanan
dari Kiyai-kiyai NU lain yang berseberangan dengan pandangan Abdurrahman itu. Kiyai-kiyai
itu menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid sebenarnya bertindak sebagai agen Cina. (hal.
261)

Mengenai tiga perspektif yang berlawanan ini, ada satu konteks sosiologis yang lebih luas
bagi ketidaksepakatan mereka. Dengan kemunduran bisnis-bisnis Muslim lama dan naiknya para
profesional Muslim baru, pusat kegawatan ekonomi bagi komunitas Muslim berpindah dari
perdagangan dan industri kecil ke pemerintah dan profesi-profesi. Dipinggirkan dari perolehan
operasi-operasi bisnis,kelas menengah Muslim baru dengan buruk diposisikan untuk membentuk
kembali hubungan-hubungan produksi dalam suatu hal yang konkret.

Di hampir semua hal kelas menengah Muslim baru kurang siap bersaing di pasaran
dibandingkan para pendahulunya. Tidak seperti lawan-lawan Sino-Indonesia mereka. Banyak
kelas menengah baru ini kurang memiliki sumberdaya kekeluargaan dan kewargaan yang
membuat mereka mampu membangun perusahaan dari bawah ke atas. Dalam kondisi seperti ini,
tidak mengherankan beberapa di antara mereka bisa tergoda untuk percaya bahwa bisnis bisa
dibangun dari atas ke bawah.

DAFTAR PUSTAKA

Chalmers, Ian, dan Vedi R. Hadiz. 1997. The Politics of Economic Development in Indonesia:
Contending Perspektif. Routledge Studies in the Growth Economies of Asia. London and New York:
Routledge.

Clegg, S.T., dan S.G. Redding, ed. 1990. Capitalism in Contrasting Cultures. New York: Walter de
Gruyter.

Crouch, Harold. 1996. Government and Society in Malaysia. Ithaca: Cornell University Press.

Feillard, Andree. 1995. Islam et Armee dans J Indonesie Contemporaine. Paris: L Harmattan.

Hefner, Robert. 2000. Islam Pasar Keadilan. Jakarta. LKis.

Hill, Hall. 1996. The Indonesian Economy Since 1966: Southeast Asias Emerging Giant. Cambridge:
Cambridge University Press.
MacIntyre, Andrew J., and Kanishka Jayasuriya. 1992. The Politics and Economics of Economic Policy
Reform in South-east Asia and the South-west Pacific. Dalam MacIntyre and Jayasuriya, ed.,The
Dynamicsof Economic Policy Reform in South-east Asia and the South-west Pasific, pp. 1-9.
Singapore: Oxford University Prees.

Reeve, David. 1985. Golkar of Indonesia: An Alternative to the Party System. Singapura dan New York:
Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai