Studi antropologi ekonomi dan pendekatannya memberi gambaran antropologi ekonomi
menuju kehadiran globalisasi di bidang ekonomi dan kebudayaan. Tidak kalah penting antropolog di Indonesia juga harus menyimak dinamika ekonomi sebagai imbas dari meluasnya liberalisasi politik yang melahirkan era demokrasi, desentralisasi, dan otonomi desa. Antropologi ekonomi perlu mengembangkan pendekatan ekonomi politik guna mencermati lebih mendalam tentang keragaman dinamika pengaruh politik diarus lokal sebagai imbas dari liberalisasi politik terhadap berbagai bentuk dan proses ekonomi. Selain itu, disiplin ini juga perlu memperhatian trend menguatnya studi ekonomi kultural yang membedakan antropologi ekonomi dengan ilmu ekonomi dan disiplin lainnya.
EKONOMI POLITIK DAN GLOBALISASI
Ada tiga orientasi studi ekonomi politik (Caporaso dan Levine, 1992) yaitu : a. Mengkaji tentang pengaruh kebijakan dan program pembangunan ekonomi negara terhadap proses produksi, distribusi, dan konsumsi b. Penggunaan politik seperti kuasa dan kekuatan untuk tujuan ekonomi c. Kontestasi antar berbagai aktor dalam ekonomi pasar dalam meningkatkan posisi tawar dalam negosiasi pengelolaan, akses, dan kontrol atas sumberdaya ekonomi serta implikasi yang ditimbulkannya. Pendekatan ekonomi politik hidup dalam berbagai aliran bukan hanya Marxis, tetapi juga populis baru dan institusionalis baru. Aliran ini menggarisbawahi bahwa gejala ekonomi tidak dapat dipisahkan dan distirilkan dengan gejala politik, dan analisis ekonomi. Para pengembang antropologi ekonomi memang selalu responsif terhadap tantangan yang muncul pada zamannya. Selain itu telah berhasil meletakkan landasan teoretis dalam menjelaskan berbagai gejala yang diamati. Karena itu antropologi ekonomi menjadi sebuah disiplin yang mampu memahami dan menjelaskan berbagai isu dan masalah ekonomi. Dimulai dari era penjajahan, modernisasi, hingga pada era globalisasi Dengan menggunakan pendekatan formalis dan substantivis, para antropolog telah menyumbangkan suatu pemahaman dan penjelasan yang mendalam tentang keragaman ekonomi pada masyarakat suku dan petani diberbagai belahan dunia. Teori-teori yang dihasilkan para ahli antropologi ekonomi memperluas kerja para antropolog yang berhasil mengembangkan berbagai teori dalam antropologi seperti fungsionalis, strukturalis, dan teori perubahan kebudayaan. Para ahli antropologi ekonomi berhasil menemukan otentiksitas sistem ekonomi suku asli atau petani. Tidak ketinggalan para antropolog juga berhasil menyimak diferensiasi sosial-ekonomi dan praktik meluasnya kontrol negara dan kapitalis dalam masyarakat tradisional dan petani, serta impilikasi sosial ekonomi yang ditimbulkan Memasuki era modernisasi, pendekatan Marxis baru, populis baru dan institusionalis baru menyumbangkan gagasan-gagasan baru yang kritis terhadap kerja ekonomi pada masyarakat tradisional dan petani. Pada era modernisasi, negara berkembang dan terbelakang, ketiga pendekatan mulai memasukkan analisis tentang peran negara dan kapitalis sebagai agen yang mengontrol kerja ekonomi. Perhatian para ahli tidak lagi difokuskan pada upaya untuk menemukan keaslian ekonomi suku, melainkan dinamika antara ekonomi kapitalis dengan prakapitalis atau ekonomi modern dengan tradisional serta keterlibatan negara dalam menentukan arah perkembangan sistem ekonomi. Kajian tentang interaksi antar dua sektor ekonomi telah disimak dalam kerangka studi formalis dan substantivis. Akan tetapi perhatian para ahli lebih dipusatkan pada upaya otentiksitas dari pendekatannya. Sementara itu dalam konteks pendekatan marxis baru, populis baru dan institusionalis baru, bukan hal otentiksitas dari teori dengan dukungan data lapangan. Akan tetapi pada masalah keadilan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, dan berbagai masalah ekonomi yang menjadi wacana pembangunan serta implikasi yang ditimbulkan dari kehadiran negara dan kapitalis pada masyarakatnya Pendekatan Marxis baru dan populis baru memahami persoalan ekonomi dari sudut ekonomi politik. Para antropolog melihat bahwa masalah ketimpangan ekonomi, aset sumberdaya ekonomi kelompok-kelompok masyarakat local, sangat dipengaruhi oleh praktik dominasi, eksploitasi, dan persaingan ekonomi. Praktik ekonomi politik bekerja bukan hanya memakai kekuatan capital, tetapi kekuatan politik melalui pengaturan bidang regulasi produksi, distribusi, dan konsumsi. Ekonomi politik banyak dipakai oleh para penganut aliran populis baru dalam mengamati tentang perkembangan ekonomi kerakyatan, ekonomi pedesaan, dan meluasnya ekspansi pasar pada era pemerintahan orde baru hingga masa reformasi. Seperti, menjelaskan tentang acaman WTO (World Trade Organization) terhadap kemandirian ekonomi petani kecil di Indonesia, kegagalan landreform dan meningkatnya krisis lapar tanah yang berujung pada konflik. Selain itu terjadinya perampasan lahan (land grabbing) dan meluasnya sektor pertambangan, perkebunan kapitalis besar di pedesaan dan wilayah masyarakat adat Kaum populis baru menghasilkan publikasi yang mengamati meningkatnya kerentanan ekonomi masyarakat kecil, dan gejala tersebut dikaitkan dengan meluasnya persaingan ekonomi dalam sistem ekonomi pasar yang terjalin erat dengan kebijakan negara memihak kepentingan kapitalis. Memasuki era globalisasi, ekonomi yang digerakkan oleh neoliberalisme, harus mengamati dampak dari era terhadap dinamika ekonomi di arus lokal. Proses globalisasi merupakan dua sisi mata uang. Pertama, globalisasi dapat diartikan sebagai gejala semakin meluasnya pasar dunia, dan negara berperan sebagai agen yang ikut mengambil bagian dalam meluasnya kapitalis global, seperti keikutsertaan Indonesia untuk mengikuti kesepakatan perdagangan bebas yang digariskan WTO. Kedua, globalisasi dimaknai sebagai merebaknya interaksi sosial antar umat manusia sebagai bagian dari komitmen bangsa di dunia untuk membangun kehidupan bersama yang terbuka. Neoliberalisme menghendaki hilangnya sekat-sekat hubungan sosial komunitas-komunitas kecil diberbagai Negara. Dengan tujuan semua bangsa bersama- sama hidup dalam satu komunitas pasar dunia Dalam konteks ekonomi, neoliberalisme mendorong tumbuhnya pasar bebas sehingga negara menjadi fasilitator dengan tujuan dihapuskan proteksi barang-barang produksi dalam negeri guna melawan barang impor antar negara (Jhtami dan Hanin, 1999: 60-75). Dengan alasan pasar yang menentukan harga, dan barang yang baik dan murah. Selain itu pasar yang akan menguasai konsekuensi keuntungan, meliputi produsen, buruh, dan konsumen. Dengan menjadi bagian dari komunitas pasar dunia, kapitalis tidak diatur oleh negara, sebaliknya, negaralah yang diatur oleh kapitalis. Sejumlah pengamat telah mengamati dampak dari WTO terhadap ekonomi petani Jika awalnya ekonomi petani sangat dikendalikan oleh negara, maka kedepan akan dikendalikan oleh perdagangan bebas. Melalui jurnal wacana tahun1999, secara kritis mengamati tentang masalah globalisasi bagi kaum tani di Indonesia. Tulisan Jhatami dan Hanin (1999), menegaskan tentang peraturan perdagangan internasional yang tetap bias kepentingan kapitalis dunia. Sehingga susah bagi kaum tani di Indonesia untuk memasarkan hasil produknya ke Eropa dan Amerika bahkan dalam negeri sendiri. Hal ini karena pasar dalam negeri dikuasai oleh produk-produk pertanian yang bibitnya berasal dari varitas yang diproduksi oleh negara kapitalis dunia. Artinya negara yang menguasai pasar, teknologi, dan modal sehingga petani lokal akan kalah bersaing Tulisan FX Wahono (2006) memperlihatkan bekerjanya globalisasi dalam ekonomi petani. Ia menggambarkan bahwa revolusi hijau telah membawa keluar kaum tani dari perangkap involusi yakni kemiskinan. Akan tetapi, membawa mereka terperangkap globalisasi, karena revolusi hijau telah mendepak keluarga petani gurem dari sektor pertanian, dan mereka memaksa untuk masuk kesektor industri yang sarat dengan eksploitasi terhadap buruh dan ketidakberdayaan negara serta sektor swasta yang harus menggenjot produksi untuk melunasi hutang luar negerinya. Pertanyaan yang relevan dalam mencermati globalisasi ekonomi adalah apakah masyarakat lokal tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi hegemoni kapitalis dunia yang berlangsung secara massif? Apakah akses bagi masyarakat diarus lokal hanya menyumbangkan faktor-faktor produksi yang rendah nilainya dalam induștri kapitalis global? Apakah yang dipertukarkan dalam pasar bebas oleh masyarakat diarus lokal hanya tenaga kerja murah seperti TKI dan TKW dan bahan-bahan mentah yang tidak mungkin bernilai tanpa diolah oleh industri kapitalis global? Apakah globalisasi yang digerakkan oleh neoliberalisme tidak memberikan peluang inovasi ekonomi dan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat diarus lokal. Apakah justru neoliberalisme akan membuat suatu tata ekonomi yang tidak adil dan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat lokal dan pelaku ekonomi UKM. Sebaliknya apakah globalisasi akan melahirkan berbagai arus perlawanan, adaptasi atau sebuah kolaborasi pelaku ekonomi diarus lokal dengan global? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut diajukan meskipun telah muncul pandangan yang skeptis terhadap gelagat dari proses globalisasi yang menghancurkan otonomi ekonomi masyarakat diarus local Kajian globalisasi dalam arti kedua juga telah diinisiasi oleh sejumlah ahli dan membuka ruang baru dalam mempelajari masalah kebudayaan dan ekonomi. Proses globalisasi dalam konteks meluas dan terbukanya pergaulan hidup antar umat manusia telah menimbulkan gejala yang cukup masif di dunia ini. Pertama, globalisasi dapat diartikan telah menimbulkan gejala yang disebut homoginisasi kebudayaan. Misalnya, diperlihatkan meluasnya orientasi nilai-nilai budaya dan perilaku sosial yang seragam antar warga masyarakat dari berbagai belahan dunia sehingga menjadi bagian dari komunitas imaginatif umat manusia sejagad. Pertandingan sepakbola liga Inggris, misalnya, telah membentuk komunitas penggemar sepakbola diberbagai belahan dunia dan tidak ketinggalan di Indonesia. Di lain pihak, kampanye tentang demokrasi dan HAM dari bangsa-bangsa di negara maju telah merembes masuk ke negara-negara berkembang dan menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa bahkan perkumpulan komunitas semacam rukun tetangga (RT) Globalisasi juga dapat menimbulkan heteregonisasi kebudayaan. Hal itu karena masyarakat mempunyai kecenderungan merespon nilai-nilai dan citra budaya baru yang hadir di lingkunganya sesuai dengan jagad pandang dan kepentingannya. Makan di restoran McDonald, di Indonesia menjadi gaya hidup kelas menengah di kota. Akan tetapi tidak di negeri asalnya mengingat di sana dicitrakan sebagai makanan siap saji yang cocok untuk kelas pekerja (fash food). Dalam arus budaya yang semakin padat dan beragaman, karena meluasnya interaksi antar umat manusia dengan ditunjang oleh media yang meluas. Maka sepertinya setiap kelompok mempunyai banyak pilihan untuk menentukan citra-citra budaya yang cocok dengan kepentingannya Dalam proses globalisasi yang pertama maupun kedua terlihat bahwa kebudayaan menjadi sebuah kekuatan yang dapat meningkatkan peluang pasar dan daya saing produsen. Baik pasar barang, jasa, atau interaksi social, pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk dari pertukaran sosial yang memanfaatkan kebudayaan sebagai sebuah komoditas. Contoh sederhana dapat dilihat dalam industri pariwisata budaya di Bali. Orang Bali bukan menjual barang dan tontonan, tetapi menjual sebuah citra budaya keBalian yang dapat dinikmati oleh turis mancanegara. Sebaliknya, membanjirnya handphone di Indonesia bukan sekedar sebuah fakta tentang meningkatnya arus barang impor semata, tetapi yang lebih penting adálah meluasnya citra modernitas di masyarakat sehingga mereka menjadi consumen teknologi. Dengan tujuan untuk meningkatkan status, identítas, dan atas gaya hidup Melalui iklan agen-agen kapitalis bukan sekedar menawarkan produk industri sebagai barang yang memiliki kecanggihan dari aspek teknologi, melainkan justru menawarkan sebuah realitas hidup dan gaya hidup yang melekat dengan teknologi itu. Komodifikasi budaya muncul dan digerakkan pada era kebudayaan massa (mass culture) ketika industrí menjadi sector ekonomi yang dominan di negara maju dan di daerah perkotaan di negara berkembang. Kini era globalisasi komodifikasi diperluas dan dipercanggih meskipun masih harus ditelaah lebih lanjut tentang proses perluasan dan pencanggihan dalam mengontrol pasar dan masyarakat. Apa yang dapat dibaca dari proses komodifikasi adalah terwujudnya upaya-upaya yang dilakukan oleh para pelaku pasar untuk menciptakan suatu masyarakat konsumen kebudayaan (consumer of culture). Adapun perluasan dan pencanggihan komodifikasi kebudayaan pada masa kini terlihat pada kecenderungan meluasnya ekspansi kapitalis dalam ekonomi rumah tangga dan dimanfaatkannya media massa dan para ahli citra (imagolog) untuk mendeşain dan menjajakar produksinya sebagai sesuaatu yang bernilai dalam memenuhi kebutuhan konsumsi. Sesungguhnya penggunaan kebudayaan sebagai kekuatan untuk melakukan tindakan ekonomi bukan suatu yang baru. Bahkan gejala tersebut memang dapat dianggap sebagai yang universal dan berlaku abadi. Bedanya, pada masa lalu ketika masyarakat masih relatif tertutup, permainan kebudayaan dilakukan oleh aktor-aktor yang berada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketika masyarakat belum mengenal negara (stateless society) dan belum ada pembelahan antara penguasa sebagai pihak negara (state) versus warga sebagai warga masyarakat sipil, permainan kultural akan mengikuti sebuah skenario yang sudah ditradisikan. Suku-suku Arunta, misalnya sudah mentradisikan untuk membagi hewan hasil buruannya kepada sanak famíli berdasarkan pada status dalam sistem kekerabatan, siapa yang akan menerima hati, kepala dan kaki hewan disesuaikan dengan posisinya dalam norganisasi kekerabatannya. Tanpa melalui pasar yang kompetitif, perputaran sumber daya ekonomi berlangsung sesuai dengan kaidah-kaidah yang diamanatkan oleh kebudayaanya. Aktor-aktor yang kuat adalah yang mendapat previlage yang digariskan oleh kebudayaan atau sistem kekerabatanya. Ketika masyarakat memasuki arena negara, dan lahirlah pasar sebagai institusi penting untuk mengatur dan memfasilitasi kebutuhan ekonomi. Pemerintah bahkan memfasiliatsi pembangunan pasar lokal dan memperkenalkan berbagai tanaman komoditas serta memasukkan barang-barang kebutuhan pokok seperti pakaian. Era globalisasi telah membangun kesadaran bagi setiap agen baik Negara. Kapitalis dan masyarakat mengelola citra-citra sepiawi agar berhasil dalam mewujudkan kepentingan politik dan ekonominya. Di Indonesia, rezim Orde Baru sepertinya sadar tentang pentingnya memanfatkan kebudayaan untuk kepentingan seperti itu. Pemerintah misalnya membangun citra pakaian dan seragam nasional, batik dipakai sebagai identitas nasional, dan acuannya adalah orang diajak untuk memakai pakaian batik, baik untuk acara dinas, resmí, atau acara pesta, sehingga dampaknya adalah membudayanya baju batik untuk acara seremonial diinstansi pemerintah dan bahkan acara informal. Permainan memanfaatkan citra pakaian seragam sebagai identitas kutural juga dilakukan oleh kaum muslim dengan menawarkan jilbabnya. Permainan ini telah mengacaukan pakaian konvensional yang dipromosikan negara dan kapitalis. Namun demikian, dalam perkembangan jilbab şebagai identitas muslim dimanfaatkan oleh kaum kapitalis sebagai domain dalam bisnis kulturalnya. Kisah tentang pakaian sebagai identitas kultural dan domain bisnis, mengungkapkan bahwa pasar lahir melalui permainan kebudayaan yang dikerjakan dengan membangun dan mereproduksi identitas guna melayani kebutuhan masyarakat untuk mewujudkan jatidiri, gaya hidup, dan kekuatan. Masalahnya adalah apakah benar bahwa kapitalis selalu menjadi kekuatan yang hebat dalam mengembangkan identitas kultural? Kajian Freidman mengungkapkan bahwa semua pihak baik kaum kapitalis besar, pengusaha skala kecil, dan menengah mempunyai kreativitas sendiri diera globalisasi. Artinya ikut andil dalam pengembangan identitas kultural. Sementara itụ, masyrakat yang berbeda kelas juga ikut mewarnai pengembangan identitas sebagai bagian dari upaya membangun jati diri dan gaya hidup. Kaum kapitalis yang bekerja diera global telah belajar banyak membangun citra-citra kultural mengenai produk barang dan jasa yang dipasarkan. Kaum kapitalis sadar bahwa langkah mengkomodifikasi produk bisnis sebagai identitas kultural dapat gagal jika berlawanan dengan arus pencintraan kultural yang ada pada masyarakat. Karena itu menjadi penting bagi kapitalis global untuk mengembangkan bisnis dengan cara menjual produk-produk barang yang memiliki citra-citra cultural sesuai dengan yang dibangun oleh masyarakat lokal. Karena itu pula bisnis kapitalis selalu aktif melakukan survai pasar dan mengenal berbagai budaya lokal untuk diadopsi dan dan dimodifikasi sebagai bagian dari inovasinya. Dengan cara seperti itu maka tidak mengherankan bahwa kaum kapitalis bias menjual aneka produk yang amat bernuasa local. Misalnya yang memiliki produk batik dengan motif local, dan bahkan dengan berbagai kreativitas budaya seperti menyelenggarakan festival dan kontes kecantikan dengan memakai kebaya atau batik yang bernuansa lokal. Perbincangan tentang berbagai pendekatan diatas menegaskan bahwa para ahli antropologi dituntut untuk mengembangkan perspekif kebudayaan dalam memahami gejala ekonomi yang semakin mengglobal dan bermuatan lokal. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah semua tindakan kebudayaan selalu berurusan dengan kepentingan ekonomi. Apakah klub-klub fashion pada kalangan anak muda di Congo menjadi jembatan bagi industri fashion di Paris untuk meluaskan pasarnya? Friedman melihat bahwa munculnya klub-klub ini merupakan suatu bentuk dari budaya masyarakat Congo yang bergerak ke arah hipermodernisme, dan gejala ini tidak membawa arus barang dari Paris masuk ke Congo. Ajan tetapi sekedar melahirkan identitas modernitas yang berlebihan pada orang Congo. Friedman juga melihat bahwa penjualan benda-benda etnik dilakukan oleh orang Ainu di Jepang. Hanya kegiatan itu disemangati oleh kepentingan orang Ainu untuk membangun identitasnya. Pada masa lalu orang Ainu dianggap sebagai orang tradisional yang gagal meniru menjadi orang Jepang. Dengan cara meningkatkan produksi budayanya, maka kehormatan sebagai orang Ainu diperoleh karena dapat memperlihatkan eksistensinya. Mempelajari masalah ekonomi dalam konteks globalisasi akan semakin peka jika menyimak implikasi golobalisasi terhadap kebudayaan manusia. Melalui buku Friedman (1994) dapat ditemukan adanya gejala budaya seperti hipermodernisme kembali ketradisionalisme, multikulturalisme, serta munculnya homoginisasi dan hetereoginisasi kebudayaan manusia. Berbagai bentuk kebudayaan yang muncul pada masa kini merupakan respon terhadap semakin terbukanya arus budaya dari luar. Khususnya dari pusat-pusat peradaban dan respon ini dapat berupa penolakan atau penerimaan. Orang asli Hawai, misalnya mengambil sikap menolak dengan konstruksi kebudayaan Hawai yang dikehendaki oleh para turis orang Amerika dan para antropolog. Pilihan orang Hawai adalah membangun budaya Hawai sesuai dengan kepentingannya agar tidak terjerat dalam industri pariwisata yang dikendaļikan oleh kapitalis global. Sementara itu etnik-etnik perantauan diberbagai belahan dunia dapat menghidupkan kembali budaya ețniknya yang sama sekali berbeda dengan daerah asalnya. Dengan alasan karena hidup dilingkungan etnik yang berlainan. Globalisasi juga mendapat perlawanan yang sengit dari gerakan LSM yang melihat semakin rapuhnya masyarakat sipil di arus lokal. Karena itu LSM mencanangkan gerakan melawan globalisasi, seperti misalnya melawan WTO yang memberikan akses yang kuat bagi negara maju untuk menggilas komoditas kaum tani di negara-negara terbelakang dan berkembang. Kiprah LSM dan perjuangan kaum tani melawan globalisme patut mendapat perhatian dari peneliti untuk mencermati mosaik dari dinamika perseteruan antara globalisme dan lokalisme. Antropolog dihadapkan pada kompleksitas kontestasi antar berbagai aktor dalam memperebutkan pengaruh dalam era globalisasi. Perhatian seperti ini patut dilakukan karena segala bentuk agenda globalisasi dan konter terhadap globalisasi justru bertemu dalam arena yang sama. Sehingga para antropolog memerlukan ketajaman analisis yang memadai. Seperti merebaknya agenda penguatan modal sosial pada kelompok-kelompok ekonomi skala kecil dan komunitas kecil di pedesaan. Dalam konteks kapitalisme global sebagaimana yang terlihat dalam program World Bank, LSM, dan organisasi masyarakat sipil, penguatan modal sosial menjadi agenda penting agar masyarakat kecil agar dapat mengembangkan bisnis lebih baik. Pengalaman membuktikan bahwa penguatan bisnis skala kecil dengan dukungan bantuan permodalan material tidak akan efektif. Sebaliknya, masyarakat kecil dapat bangkit dan memanfaatkan bantuan modal usahanya ketika mereka mampu kerjasama dengan cara menggerakkan modal sosialnya. Silvey Rachel dan Elmhirst (2013) dalam studinya di Indonesia mengungkapkan bahwa perempuan menggantungkan modal sosial untuk keluar dari situasi krisis ekonomi tahun 1998. Studi Dhiassari Paminta Resti (2015) tentang Kewirausahaan di Kalangan Pengusaha UKM Kuliner Lokal juga mengungkakan bahwa perempuan yang usahanya bias berhasil bangkit dengan memiliki pasar yang luas adalah yang memiliki modal sosial yang kuat. Seperti organisasi sebagai wadah membangun kapasitas, jaringan, dan kepercayaan. Ketika Bank Dunia dan pemerintah giat mengkampanyekan penguatan modal sosial pada kelompok UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Mengenah), dan para aktivis LSM ikut mendorong penguatan modal social. Akan tetapi disisipi dengan agenda meningkatkan daya kritis mereka untuk melawan ekspansi kapitalis. Gerakan anti globalisasi menempatkan penguatan modal sosial sebagai alat untuk membuat kaum anti globalisasi tidak tergentung kepada kekuatan kapitalis. Dengan memiliki modal sosial yang kuat, kaum anti globalisasi akan dapat mengontrol bekerjanya pasar yang berpihak kepada kekuatan kapitalis global. Selain menyimak gejala dinamika ekonomi masyarakat dalam dekapan globalisasi, para antropolog juga semakin terbawa arus untuk menggunakan pendekatan ekonomi politik untuk menyimak dinamika ekonomi dalam konteks meluasnya demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi desa. Liberalisasi politik di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1998 telah melahirkan era demokrasi, desentralisasi, dan otonomi desa. Era-era tersebut secara nyata telah menimbulkan dinamika ekonomi dan politik di arus lokal. Demokratisasi telah melahirkan perubahan relasi kuasa di daerah, meningkatnya kuasa para elit local, dan terbukanya kesempatan warga untuk melakukan negosiasi politik yang lebih baik. Akan tetapi sekaligus meruntuhkan ekonomi para penguasa di arus lokal yang dibentuk oleh rezim Orde Baru. Pada era demokrasi, elit local tidak lagi bersikap korporatis terhadap negara. Sebagian dari elit lokal memperkuat pososi politiknya melalui dua agenda. Pertama, mengembangkan kekuatan ekonomi dengan menjadi pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, atau menjadi pengusaha lalu terjun ke dunia politik untuk menempati kursi DPRD, bupati atau gubernur. Hal ini nampak dari disertasi Ibrahim (2013) tentang munculnya golongan elit Thionghoa di wilayah Bangka Belitung. Elit Tionghoa semula memilih sebagai pengusaha, tetapi sejak era reformasi elit Tinghoa berupaya untuk mengkases jabatan politik, atau setidaknya menjadi pengusaha agar mengontrol kekuasaan di daerah. Kedua, elit Tinghoa menjadi kepanjangan, tangan dari bisnis kapitalis global atau nasional. Peran riil dari semua elit local adalah pada pilihan untuk tetap menjadi pengusaha saja, atau melompat menjadi politisi. Dua peran tersebut ujungnya adalah berusaha untuk menguasai SDA secara langsung, atau menjadi kepanjangan tangan dari pengusaha di daerah. Karena itu, tidak mengherankan bahwa selama era reformasi, hampir setiap pemerintah daerah mengeluarkan izin penambangan dan migas kepada para pengusaha dari luar. Para elit di daerah ini mendapatan rente dengan membuka kran masuknya pengusaha lokal, nasional, dan global disektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Akibatnya, terjadilah gejala land grabbing atas tanah yang semula dikuasai oleh masyarakat local, kemudian dikuasai oleh para pemilik modal besar (Pujiriyani, et.al, 2014 McCarthy dan Robinson, 2015). Kehadiran para elit lokal dalam perebutan sumber daya ekonomi di arus local, juga sekaligus menceritakan lahirnya raja-raja kecil dan peran elit local sebagai bos lokal. Peran seperti itu mengingatkan studi klasik antropologi ekonomi. Akan tetapi, kehadiran bos lokal pada masa kini sarat dengan adanya liberalisasi politik, dan globalisasi. Sedangkan bos lokal pada studi antropologi klasik dikaitkan konteks struktur sosial dan sistem tehno-ekonomi masyarakat kecil yang relatif tertutup. Sekalipun adanya elit di daerah dengan cara memanfaatkan peluang bisnis dan berkuasa atas lahirnya era desentralisasi, masyarakat desa dan masyarakat adat juga mengambil peran aktif dalam era demokrasi dan otonomi desa guna membangun kemandirian dan memperebutkan sumber daya (Hudayana, 2016:106). Beberapa studi telah menggambarkan meningkatnya posisi tawar masyarakat desa dan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak tradisional dan otonomi pemerintahannya (Hudayana, 2005). Selain itu, puluhan organisasi masyarakat sipil telah berhasil dalam melakukan advokasi kebijakan sehingga keberadaan masyarakat desa dan adat diperhitungkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di daerah. Di tingkat nasional, dunia mengakui keberadaan masyarakat adat dan mengeluarkan protokol Nagoya yang menghargai adanya kekayaan alam hayat sebagai milik masyarakat lokal yang harus dihargai oleh industri kapitalis. Tidak kalah penting diberbagai forum internasional, masyarakat adat selalu dibela kepentingannya sehingga mereka diperhitungkan oleh industri ekstraktif. Akhir-akhir ini masyarakat adat di Indonesia juga berhasil melakukan advokasi hutan adat, sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengakui dan mengancam eksistensi hutan negara yang berada di wilayah hutan adat. Sementara itu, masyarakat desa dan masyarakat adat dengan dukungan masyarakat sipil berhasil mengadvokasi lahirnya UU Desa Nomor 6 tahun 2014 yang memberikan pengakuan terhadap keberadaan otonomi desa dengan kewenangan skala lokal yang dimiliki, dan pembangunan secara lebih partisipatif, serta dukungan keuangan negara melalui skema dana desa dari APBN yang jumlahnya dapat menjadi 1,4 milyar rupiah per tahun per desa. Munculnya gerakan pembaharuan desa, dan menguatnya posisi tawar dalam mengelola rumah tangga desa, akan berimbas pada pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat desa, serta berbagai perilaku ekonomi baru masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan bersama. Imbas dan berbagai perubahan yang muncul dari bergeraknya pembaharuan desa merupakan tema baru untuk diangkat dalam studi antropologi ekonomi kedepannya. Bila dulu antropolog fokus pada etno-ekonomi yang bersifat lokal dan tertutup, atau memberikan perhatian pada dinamika ekohomi peasant dalam konteks meluasnya ekonomi pasar, maka saat ini para antropolog perlu memberikan perhatian pada gerakan ekonomi desa, gerakan ekonomi kerakyatan, pertanian organik, ekonomi ramah lingkungan, pemberdayaan perempuan, kaum miskin, dan marginal dalam kerangka memperkuat hak dan ekspresinya sebagai warga negara di arus desa. Meskipun masyarakat mengalami ancaman atas hilangnya SDA karena ekspansi pasar yang memanfaatkan kekuatan politik local dari para bos lokal dan patron di daerah, masyarakat desa juga mempunyai kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam persaingan untuk memperebutkan SDA di daerah. Berbagai studi telah mencatat meningkatnya gerakan sosial desa dapat membentuk UU Desa yang pro dengan kepentingan warga lokal daripada pengusaha di pusat. Lahirnya prakarsa masyarakat dęsa dan masyarakat adat adalah untuk memperkuat akses dan kontrol mereka terhadap SDA. Meluasnya ekspansi globalisasi dan dinamika politik ekonomi lokal dalam konteks liberalisasi politik patut mendapat perhatian para antropolog agar masyarakat desa dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi kesejahteraan dan kemandirian ekonomi masyarakat. Para antropolog tidak hanya sekedar berhenti sebagai peneliti, tetapi mampu memberikan sumbangan pemikiran kritis bagi penguatan kemandirian dan kedaulatan ekonomi masyarakat lokal. Para ahli antropologi ekonomi tidak hanya berhenti untuk memperdalam kajian, tetapi juga menjadi bagian penting dari gerakan sehingga pemikirannya dapat memperkuat gerakan kewargaan di arus lokal, bukan menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis.
STUDI EKONOMI KULTURAL
Pada awal lahirnya para antropolog telah menegaskan bahwa studi antropologi ekonomi diarahkan untuk memperlihatkan adanya hubungan antara kebudayaan dan tindakan ekonomi (Coleman, 2005:347). Wilk (1996) memandang ekonomi cultural sebagai sebuah kajian yang lebih antropologis dalam studi antropologi ekonomi. Pada masa kini hubungan tersebut dipandang penting guna menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang mengedalikan dinamika ekonomi pada era globalisasi khususnya pada era e-commerce sekarang ini. Studi antropologi ekonomi yang menitikberatkan pada warga budaya dalam dunia ekonomi diberi label sebagai kajian ekonomi kultural. Dengan ekonomi kultural, para antropolog menghendaki agar studinya mampu menunjukkan warna dan muatan budaya dalam menggambarkan kehidupan ekonomi masyarakat yang diteliti, baik di sektor produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan menggunakan label ekonomi kultural, maka para antropolog akan mengaplikasikan berbagai teori simbol dan budaya untuk memahami persoalan ekonomi pada berbagai masyarakat yang semakin terjalin erat dengan persoalan polițik dan ekonomi dalam kehidupan manusia yang semakin mengglobal. Studi kebudayaan khususnya tentang simbol dan rekayasa budaya dalam masyarakat telah berkembang dalam antropologi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memahami dinamika ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat masa kini yang hidup bergantung dalam sistem ekonomi pasar. Sebuah contoh yang muncul belakangan ini adalah kasus kenaikan harga BBM yang mendapat reaksi negatif dari publik. Negara melakukan rekayasa sosial melalui permainan simbol dalam iklan layanan sosial. Rekasi positif muncul karena dalam iklan layanan sosial negara mengatakan bahwa kenaikan BBM dikaitkan dengan isu pengurangan subsidi BBM kepada lapisan atas. Negara menyatakan bahwa subsidi BBM memang yang hanya dinikmati oleh sektor swasta dan kelas menengah ke atas sebagai konsumen terbesar BBM. Dalam hal ini negara memainkan sentimen kelas seolah pro dengan kelas bawah. Negara memberikan jaminan social kepada warga lapisan bawah agar terdongkrak daya belinya dengan mengeluarkan bantuan langsung tunai ketika harga BBM dinaikkan. Perusahaan swasta juga memainkan símbol yang menawan, bukan sekedar membanting harga guna menarik perhatian konsumen. Misalnya, beberapa perusahaan properti menyediakan paket tamasya, umroh, berbagai kebutuhan gaya hidup yang direproduksi melalui rekayasa budaya agar konsumen tergiur untuk membeli produknya. Dengan berkiblat kembali dalam agenda ekonomi cultural yang fokus pada analisis berbagai bentuk budaya ekonomi, maka kajian antropologi ekonomi bukan berarti harus berkiblat ke aliran substantivis. Namun, menurut hemat saya ekonomi cultural diarahkan pada upaya antropolog memahami tingkah laku dengan memposisikan manusia sebagai homo-sapien yang menggunakan simbol pengetahuan budayanya dalam melakukan rasionalisasi, kontrol, kontestasi dan kerjasama dalam aktivitas produksi, serta memanfaatkan sumberdaya ekonomi termasuk mewujudkan kebiasaan konsumsi dalam masyarakat. Ekonomi kultural akan membuka akses para antropolog untuk menjelajahi berbagai fenomena ekonomi yang selama ini kurang disimak secara mendalam. Meskipun bukan seorang antropolog Geremy Rifkin (1993) dengan bukunya berjudul "Beyond Beef, the Rise and Fall of the Cattle Culture" mampu menyimak dengan tajam tentang ekonomi kultural. Ia menyimak tentang budaya peternakan dan konsumsi daging di Amerika. Beliau menyimak bagaimana rekayasa budaya ternak sapi dilakukan di Amerika, dan berlanjut pada rekayasa budaya konsumsi daging sehingga melahirkan budaya konsumtif makan daging yang berlebihan. Beliau melihat arus balik setelah meluasnya budaya hidup sehat yang menolak konsumsi berlebih atas produk daging di masyarakat modern. Dengan mengikuti penelitian ekonomi kultural, maka antropolog akan peka tentang berbagai bentuk rekayasa budaya yang berkembang dalam dunia iklan, dan berbagai barang konsumsi dan layanan jasa. Kebudayaan menjadi instrumen yang penting untuk membangkitkan fantasi dan dorongan konsumtif yang menawarkan simbol-simbol yang bernilai dan yang menggairahkan orang untuk melakukan pekerjaan, investasi, rekreasi, konsumsi, dan memanfaatkan berbagai layanan yang ditawarkan melalui e-commerce. Dunia sekarang mulai dikendalikan oleh e-commerce yaitu penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi. Berkat e-commerce daņ tersedianya piranti gadget, maka reprodusi simbol dapat dilancarkan secara kreatif, kompetitif, dan intensif dalam membangkitkan hasrat, nafsu, kebahagian, kesadaran akan identitas diri, kelas, golongan dan kekuasaan kepada konsumen atau masyarakat untuk bergabung dalam mengembangkan bisnis. Penelitian antropologi ekonomi belum menyentuh dunia e-commerce yang sedang merebak diberbagai negara dan komunitas. Beberapa tokoh menjadi bukti bahwa e-commerce telah berhasil meng,uasai pasar (Storemantap 2017:1). Salah satu contoh Alibaba, yaitu merupakan perusahaan e- commerce terbesar di Tiongkok. Jack Ma adalah orang dibalik kesuksesan saat berkuhjung ke Seattle, USA 1995 temannya memperkenalkan Jack pada internet. Saat mengetikkan keyword "beer" pada search engine, beliau tidak dapat menemukan data tentang Tiongkok. Dari situlah beliau bertekad untuk mengembangkan bisnis |online di Tiongkok. Akhirnya tahun 1999 Jack mendirikan situs Alibaba yang berfungsi untuk mempertemukan supplier dengan customer dalam skala gobal. Nama Alibaba dipilihnya ketika beliau sedang berada disebuah kedai kopi di San Francisco. Contoh kedua adalah dari Indonesia. Sebelum mendirikan Buka Lapak, Zaky telah memiliki cukup banyak pengalaman dalam membangun sistem IT untuk berbagai perusahaan besar (Storemantap 2017:2). Karena ingin menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi banyak orang, Zaky mendirikan BukavLapak pada tahun 2010. Tujuannya yakni mengubah hidup banyak orang dengan memajukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui internet. Awalnya, Zaky mengajak para pedagang di mall untuk bergabung dengan Buka Lapak. Setelah sering mendapat penolakan, klien pertama justru berasal dari pedagang kecil. Sejak saat itu, Zaky memutuskan untuk fokus mengajak para pelaku UMKM yang belum begitu berkembang. Hanya dalam waktu satu tahun, telah ada 10.000 pedagang yang bergabung dengan Buka Lapak. Contoh ketiga juga dari Indonesia. Sempat dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya. William sama sekali tidak mundur untuk mewujudkan mimpinya dalam berbisnis. Selama dua tahun beliau mencari modal, hingga akhirnya atasan tempat kerjanya saat itu memberi modal sebesar 10%. Ketika berdiri pada tahun 2009, Tokopedia hanya memiliki modal seadanya. Beliau mengaku susah menyakinkan investor karena mereka takut Tokopedia akan kabur setelah diberi suntikan dana. Namun, tidak lama kemudian investor mulai berdatangan, salah satunya adalah East Ventures. Selama lima tahun berdiri, Tokopedia berhasil menjadi situs e-commerce yang sukses membantu UMKM dalam mengembangkan usaha (Storemantap 2017:3). Antropologi ekonomi tidak hanya menyimak tentang berbagai lembaga e-commerce yang muncul dan bekerja untuk mengadu nasi dan menguasai sumberdaya ekonomi. Akan tetapi juga menyimak bagaimana para pedagang, produsen, dan konsumen bertransaksi melalui peran dari lembaga bisnis e-commerce. Antropolgi akan menemukan berbagai rekayasa budaya, dari nilai, dan kebiasaan serta kelakuan manusia untuk dimanfaatkan dala melakukan transaksi ekonomi.