Anda di halaman 1dari 44

DAMPAK

NEOLIBERALISME
EKONOMI MAKRO
DISUSUN OLEH:
- Aulia Dwi Safitri (2020008266)

- Galih Ilalang (2020008198)

- Made Merte (2020008164)

- Pipin Yustriani (2020008186)

- Yohanes Harut Daton (2020008179)

2A5 MANAJEMEN
Ordo-Liberal
Antara 1928-1930 sebuah kelompok para ahli hukum dan ekonomi

yang tergabung dalam ‘mazhab freiburg’ mengembangkan gagasan

ekonomi politik liberal. Gagasan liberal mereka merupakan

cerminan sebuah masyarakat yang secara bertahap dicengkeram

oleh kecenderungan totalitarianisme negara dalam rupa nazisme.


Gagasan utama ordo-liberal adalah ekonomi pasar sosial (social market
economy). Sebuah sistem ekonomi yang bebas (dalam pembedaan dengan
sistem ekonomi komando), namun dijaga dengan berbagai regulasi yang
diciptakan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan ekonomi yang biasanya
terjadi dalam bentuk kartel, trusts, dan perusahaan-perusahaan raksasa.
Regulasi itu vital untuk menjaga agar kinerja pasar tetap kompetitif dan adil.
Maka dalam rumusan Bohm, di satu pihak , gagasan ekonomi pasar sosial
“memerangi kekuasaan sektor publik maupun privat atas pasar” dilain pihak
“memerangi pasar bebas tanpa regulasi maupun kecenderungan
perencanaan yang otoriter”
Mengapa tidak melepaskan kinerja pasar secara bebas begitu saja? Berikut beberapa
pengandaian filosofis yang terlibat dalam ekonomi pasar sosial.
Pertama, dasar pemikiran ekonomi ordo liberal adalah gagasan anti-
naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Artinya, pasar bukanlah gejala alami
melainkan salah satu dari model hubungan sosial yang dibentuk oleh manusia
yang dapat diciptakan maupun dibatalkan menurut desain manusia. karena
bukan alami, kinerja pasar butuh tindakan politik yang bertugas menciptakan
aturan demi tercapainya pasar yang adil dan kompetitif.
Kedua, ordo liberal menolak konsepsi sejarah yang mengasalkan perubahan
sosial hanya pada proses-proses perubahan ekonomi kapitalis. Bagi kaum
ordo-liberal, sejarah kapitalisme adalah sejarah institusional-ekonomi. Antara
“ekonomi” dan “infrastruktur sosial” terjadi hubungan sebab akibat yang
timbal balik.

Ketiga, untuk para pemikir ordo-liberal, kinerja kapitalisme tidak seharusnya


diasalkan pada logika modal (capital), karena transaksi ekonomi hanyalah salah
satu bentuk dari relasi sosial. Hubungan sosial manusia ada bukan untuk
mengabdi pada kapitalisme, melainkan kapitalisme ada untuk membantu
berlangsungnya relasi sosial.
Keempat, selain sebagai pencegah kesenjangan kekuasaan yang tajam, tujuan
dari kebijakan sosial adalah untuk menciptakan dan memperluas etos
“kewirausahaan” (entrepreneurship) dalam masyarakat. Yang dimaksudkan bukan
hanya dalam arti usaha bisnis namun juga dalam arti penciptaan inovasi di segala
bidang. Dalam gagasan ordo-liberal kebijakan-kebijakan sosial itu merupakan
prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan kompetitif serta
terciptanya berbagai bentuk kewirausahaan didalam masyarakat
Kelima, tidak seperti liberalisme abad 18, ordo-liberal melihat bagaimana
menciptakan tata negara yang menjamin kebebasan ekonomi. Ordo-liberal juga
melihat negara sebagai sekedar prasarana ‘badan publik’ (public agency) yang ada
bagi tata keadilan masyarakat. Oleh karena itu, dalam gagasan ordo-liberal, aspek-
aspek komuniter dari hidup masyarakat mendapat perhatian khusus.
Terlihat dari beberapa pokok tersebut, gagasan dan agenda ordo-liberal
mencoba menerobos pilihan-pilihan yang ekstrem diantaranya:

Di satu pihak, sistem ekonomi komando dalam sosialisme negara


Di lain pihak, sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh konsentrasi
kekuasaan modal lewat perusahaan-perusahaan raksasa, kartel, dan
trusts.
Sebagaimana ditunjuk oleh Carl Friedrich, pokok gagasan kelompok
ordo-liberal adalah “membuat perimbangan antara kebebasan dan
keadilan sosial, manusia individual dan manusia komuniter”.
Ordo-liberal bukan satu-satunya gerakan pemikiran yang mencoba
membentuk arah sejarah. Satu diantara berbagai kelompok lain juga
waktu itu menunjukkan eksistensinya. Kelompok inilah yang
membentuk gagasan “neoliberalisme”
Neoliberalisme
Di tahun 1947, Friedrich August von hayek, seorang ekonom Austria
mengorganisir sebuah organisasi tertutup selama 10 hari di Mont Pelerin,
sebuah kawasan liburan di pegunungan Swiss . Undangan terdiri dari para
pemikir di berbagai bidang yang datang dari Amerika Utara dan Eropa,
seperti Milton Friedman, George Stigler, dll.
Mereka disatukan atas keprihatinan munculnya gelombang “kolektivisme”
yang melanda Eropa. Di tahun 1937, ketika komunisme dan fascisme
berkembang pesat Hayek menerbitkan artikel berjudul “economics and
knowledge” dalam artikel itu, ia menyatakan bahwa kapitalisme pasar
bebas bukan sekedar bentukan sosial , tetapi sebuah mekanisme alami
untuk mengelola informasi.
7 tahun kemudian Hayek menerbitkan the road to serfdom,
sebuah kritik tajam terhadap sosialisme dan segala bentuk
ekonomi perencanaan sentral. Dalam buku ini, Hayek mengajukan
keunggulan kapitalisme pasar bebas: dengan membiarkan jutaan
individu mereaksi secara individual terhadap harga pasar yang
tercapai secara bebas. Terjadilah optimalisasi alokasi modal,
kreativitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tidak
mungkin ditiru oleh perencanaan sentral, secerdik apapun
perencanaan itu.
Pengaruh besar Hayek bukan terutama terletak dalam
pengembangan teknis ekonomi pasar bebas, melainkan dalam
pendasaran filosofisnya.
Hayek dan Milton Friedman merupakan bapak Neoliberalisme, cukup diyakini
bahwa keduanya memiliki kedekatan dalam gagasan. Friedman dikenal sebagai
penantang keras gagasan ekonomi John M.keynes tentang campur tangan
pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat
kebijakan stabilisasi (seperti yang telah dipelajari sebelumnya tentang teori
ekonomi Keynes). Bagi Friedman kebijakan seperti itu justru malah akan
membangkrutkan masyarakat, karena kontrol atas inflasi dan pengangguran
berarti juga kontrol pemerintah atas peredaran uang (money supply) .
Kehidupan ekonomi masyarakat paling baik tanpa campur tangan pemerintah.
Tingkat pengangguran masyarakat tidak seharusnya diatasi dengan campur
tangan pemerintah, melainkan diserahkan saja kepada mekanisme pasar yang
bebas.
Insentif individual adalah pedoman terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Dalam konteks
itulah Friedman mencanangkan prinsip berikut ini “Ada satu, dan hanya satu, tanggung
jawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang
mengabdi akumulasi laba…”
Seperti gagasan Ordo-Liberal, neoliberalisme mazhab Chicago juga menentang keras
pembengkangan campur tangan birokrasi negara yang mengancam hak-hak individu.
Tetapi, berbeda dengan Ordo-liberal yang melihat transaksi ekonomi hanya sebagai salah
satu bentuk hubungan sosaial, mazhab Chicago mencoba menerapkan prinsip transaksi
ekonomi pada semua bidang relasi sosial. Mungkin itulah mengapa para pemikir Ordo-
liberal menyebut Hayek dan mazhab Chicago “bukan sebagai neoliberal, melainkan ‘paleo-
liberal’ –makhluk-makhluk purba yang membutakan diri terhadap kritik yang di ajukan
oleh sosialisme dan komunisme”. Kearah proyek ekonomi-politik seperti inilah sejarah
masyarakat kita secara perlahan dibentuk.
Pada mulanya Homo Economicus

Jantung neoliberalisme adalah gagasan yang mungkin bisa diringkas sebagai


berikut. Cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari
berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang
mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Baik itu persahabatan,
keluarga, hukum, tata-negara, maupun hubungan internasional. Dengan kata
lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kitta hanyalah ungkapan dari model
hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi
ekonomi. Manusia pertama-tama dan terutama adalah homo economicus
(manusia ekonomi), itulah kodrat manusia.
Gagasan itu mencapai dua hal, yaitu:

Pertama, hubungan-hubungan antar pribadi dan sosial kita mesti dipahami dengan
menggunakan konsep dan tolak-ukur ekonomi. Jadi ontologi economicus (kodrat ekonomi)
punya implikasi pada epistemologi (cara pandang) ekonomi pula. Karena itu, kemacetan
yang terjadi ataupun perubahan yang ingin dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan juga
hanya bisa di pahami dan di dekati dengan konsep dan solusi ekonomi (system pasar)

Kedua, prinsip ekonomi juga merupakan tolak-ukur untuk mengevaluasi berbagai


tindakan dan kebijakan pemerintah suatu Negara. Ontology dan epistemologi pada
gilirannya melahirkan etika ekonomi pula. Neoliberalisme menuntut kinerja pasar bebas
sebagai satu-satunya tolok-ukur untuk menilai berhasil-tidaknya semua kebijakan
pemerintah. ‘pasar bebas’ adalah meja pengadilan bagi setiap kebijakan pemerintah.
Gagasan ini berbeda dengan liberalisme klasik abad 18.
Liberalisme klasik Smith tetap memberikan ruang pada pemerintah lewat
penyelenggaraan tata-keadilan. Lebih jauh lagi, dalam gagasan liberalisme klasik ini,
‘akumulasi kekayaan’(accumulation of wealth) yang dilakukan setiap individu tidak
lepas dari kaitannya dengan proses pembangunan suatu bangsa.
Gagasan neoliberalisme tentang modal manusia (human capital), ekonomi-politik
klasik beranggapan bahwa produksi barang dan jasa bergantung pada tiga factor:
tanah(land), modal(money/capital), dan tenaga-kerja (labour). Ekonomi neoliberal
tidak melihat modal dan tenaga kerja dalam arti obyektif seperti itu, tetapi dalam arti
subyektif (subjective-voluntarist). Jadi titik berangkatnya adalah sudut pandang
subjektif orang yang melakukan kerja. Dalam gagasan neo-liberal, misalnya upah
(salary) seorang bukanlah ‘harga’ bagi tenaga kerja yang dijual, melainkan ‘laba’ dari
modal yang dipunyai nya (otot, keterampilan, pengetahuan, dsb).
Neoliberalisme melihat bahwa Negara tidak punya alasan apapun juga untuk
mencampuri dan mengawasi ‘pasar’ , karena pasarlah yang justru merupakan
prinsip yang mendasari Negara dan masyarakat. Pasar juga menjadi tolak-ukur
semua keberhasilan dan kegagalan kebijakan Negara. Karena itu, bila
kebijakan sosial (welfare system) menggangu kinerja pasar, mereka
seharusnya dihapus, atau paling tidak diubah supaya sesuai dengan prinsip
pasar bebas. Apa yang biasanya dimengerti adalah bahwa kebijakan-
kebijakan neoliberalisme (seperti deregulasi dan privatisasi) berusaha
memangkas atau bahkan menghabisi peran pemerintah dalam mengelola
ekonomi sampai tahap dimana otoritas legitim pemerintah untuk mengelolah
suatu Negara habis. Kesan tersebut tidak seluruhnya keliru, namun perkaranya
juga tidak sesederhana itu.
Gagasan neo-liberal tentang pemerintah tidak menghapuskan kekuasaan
pemerintah lalu memindahkannya ke tangan individu-individu. Sebaliknya, negara
dalam gagasan neoliberal tidak hanya diharuskan untuk mempertahankan peran
tradisionalnya sebagai ‘penjaga malam’ (seperti dalam liberalism klasik abad 18)
tetapi juga dibebani dengan tugas baru
Tugas baru pemerintah berupa pengembangan teknik-teknik mengontrol warga,
tanpa harus bertanggung jawab kepada mereka. Karena dalam gagasan
neoliberalisme merupakan kerumunan para wirausahawan yang otonom (entah
mereka buruh atau petani, guru atau manajer), masalah-masalah tersebut menjadi
tanggung jawab masing-masing warga negara. Konsekuensi logis dari gagasan bahwa
setiap warga negara adalah wirausahawan semula dianggap masalah sosial
(kemiskinan, pengangguran, dsb) kemudian menjadi masalah individual. Solusinya
bukan program sosial (welfare system), melainkan individual self-care (perawatan
pribadi).
Otoritas regulatif suatu pemerintah memang menyurut karena manusia
ekonomi (homo economicus) dalam neoliberalisme mensyaratkan pelimpahan
otoritas regulative dari tangan negara ke individu. Sebagaimana masalah
kemiskinan, pengangguran tidak lagi dilihat sebagai masalah sosial dan begitu
juga kinerja ekonomi juga bukan perkara sosial yang butuh regulasi sosial.
Regulasi berupa self-regulasi, kekurangan gizi dan pengangguran warga juga
merupakan urusan self-care.
Neoliberalisme merupakan proyek politik yang mau menjelaskan dan
mendekati berbagai perkara dalam hidup masyarakat sebagai soal ekonomi
juga. Proyek ini melihat perkara sosial sebagai urusan individual, tentu proyek
ini tidak hanya berlaku untuk individual perorangan, tetapi juga organisasi-
organisasi seperti perusahaan, sekolah, dapartemen pemerintah, dsb. Prinsip
tenaga kerja yang fleksibel (flexible labour forces) dalam rekruitmen serta
kontrak dan biasanya dipakai sebagai eufemisme bagi kemudahan pemecatan.
Ekonomi-Politik
Neoliberalisme
Jantung gagasan ekonomi-politik neoliberalisme adalah argumen bahwa
pertumbuhan ekonomi akan optimal jika lalu lintas barang/jasa/modal tidak
dikontrol oleh regulasi apapun. Pada lingkup individual, nasional maupun
global, pertumbuhan ekonomi pertama-tama tergantung pada tingginya
tingkat penanaman modal (investasi) privat. Investasi bergantung pada tingkat
tabungan (saving), dan tabungan tergantung pada tinggi-rendahnya
penghasilan pribadi (income). Pertumbuhan income tergantung pada
bekerjanya akumulasi laba yang terjadi dalam perdagangan bebas, karena
perdagangan bebas bisa menaikan tabungan. Kebijakan penting liberalisme
(modal financial, barang/jasa, tarif, pajak, tsb). Dalam pertalian dengan
kemajuan teknologi informasi (TI), kebebasan lalu-lintas modal/barang/jasa ini
menandai gelombang globalisasi ekonomi selama dua dasawarsa terakhir.
Pola yang terjadi secara rapi, kasus korea selatan dan Taiwan yang memberi pelajaran pada
tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (8%) selama dasawarsa 1970, kedua kehadiran ditandai
modal asing yang lebih kecil. Tabel 1 mencerminkan pola tersebut.

Tabel 1. Kehadiran Perusahaan Asing dalam Produksi Industri (dalam persen)

Negara Persentase kehadiran perusahaan asing (%)

Korea selatan (1978) 19


Taiwan (1976) 16
Argentina (1972) 31
Brazil (1977) 44
Chile (1979) 28
Columbia (1974) 43
Mexico (1970) 35
Faktor pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan Taiwan lebih tinggi meski volume
besar modal asing, yaitu tersedianya infrastruktur awal peninggalan Jepang,
proteksi industrial yang dilakukan infrastruktur pemerintah. Salah satu agenda
deregulasi dan liberalisme yang sering dilakukan secara serampangan untuk
menarik investasi dari negara-negara industri maju. Dalam perkiraan teoritis
negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan mudah akan menarik
investor bila deregulasi dan liberalisme dilakukan seluas-luasnya. Dalam 2000,
misal 81% dari investasi asing langsung (Foreign Direct Invesment) Amerika serikat
tidak menuju ke negara-negara pendapatan menengah dan miskin seperti
Indonesia, melainkan negara-negara industry maju sendiri, seperti Canada, Jepang,
dam negara-negara Eropa Barat. Hanya 1% ke negara miskin dan 18% ke negara
menegah.
Tabel 2. Ke Mana Modal Mengalir? Investasi Langsung Amerikat Serikat ke Luar
Amerikat Serikat, tahun 2000

Ke Mana Investasi AS Mengalir Jumlah (milyar $ AS) Persentase dari Total

Negara-negara berpendapatan 98,8 81,0


tinggi    
Negara-negara berpendapatan 218,1 18,0
menengah    
Negara-negara berpendapatan 12,2 1,0
rendah
Total 1.213,1 100,0
Proyek deregulasi yang direncanakan kaum neoliberalisme berisi pada
jangkauan kekuasaan para pemilik modal dan aset finansial. Penghapusan
berbagai aturan bagi operasi bisnis per definisi merupakan suatu langkah
pemberian hak istimewa dan kekuasaan yang begitu besar. Keluar-masuk
dengan bebas pada akhirnya menjadi truf (Senjata Pamungkas) yang secara
garis besar diberikan kepada mereka. Untuk menumpuk modal, teknologi
produksi, partisipasi penduduk setempat, dan sebagainya. Pemilik modal
dengan mudah dapat menolak tuntutan para buruh maupun peraturan
pemerintah dengan memboikat penanaman modal ataupun mengencam
hengkang dari satu negara lain.
Kekuasaan ekonomi berupa kemampuan yang semakin besar untuk memindah hasil
produksi yang diciptakan melalui keringat banyak warga masyarakat ke tangan semakin
sedikit orang. Resep mobilitas modal merupakan resep memindahkan berbagai sumber
daya masyarakat ke dalam tangan para pemilik modal berlangsung secara perlahan
membuat kesenjangan semakin besar dalam hal pendapatan (income).
Pada lingkup global, Gini coeficient ( indikator kesenjangan kekayaan )
melonjak dari 62,5 menjadi 66,0 hanya dalam waktu 5 tahun (1988-1993).
Satu persen(1%) warga terkaya di dunia menguasai kekayaan yang
diterima 57% warga termiskin. Itu sama dengan 5% warga terkaya dunia
menguasai 114 kali lipat income yang di perolah 5% warga termiskin.
Mungkin benar, membuat kelompok kaya lebih miskin tidak akan
menjadikan kaum miskin lebih kaya. Akan tetapi, perkara distribusi dan
redistribusi memang bukan soal membuat kelompok kaya menjadi lebih
miskin, apalagi kalah.
Namum bagaimana kaum neoliberal memberi pembenaran atas kesenjangan yang
semakin tajam itu? Ingat lingkaran pertumbuhan ekonomi-investasi-tabungan-income-
tabungan-investasi-pertumbuhan ekonomi. Hanya orang kaya yang paling mungkin
menabung dalam jumlah yang besar, sebab mereka punya income yang berlebih.
Karena itu investasi juga hanya paling mungkin datang dari orang-orang kaya. Income
kaum miskin tidak akan menjadi tabungan, karena mereka menghabiskannya untuk
bertahan hidup (pangan, sandang, papan). Maka semakin tinggi income kaum kaya
semakin tinggi juga investasi yang melahirkan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja yang
lalu terjadi adalah kesenjangan yang tajam, karena pertumbuhan cepat income
golongan kaya dilihat sebagai prasyarat mutlak untuk investasi dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Rumusan : pertumbuhan ekonomi maksimal dicapai hanya dengan membiarkan
distribusi income ditentukan oleh kinerja pasar bebas. Tidak satupun instansi
masyarakat (termasuk pemerintah) seharusnya membuat kebijakan atau program
pemindahan income dari kaum kaya ke miskin.
Dalam gagasan liberalisme klasik seperti Smith, negara masih punya otoritas sebagai badan
yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, infrastruktur lain),
sedang sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat. Para penganjur tata
ekonomi neoliberal tidak hanya berhenti menerapkan ‘pasar bebas’ itu untuk transaksi
ekonomi.
Transaksi pasar bebas bukan hanya salah satu dari beragam jenis hubungan sosial manusia,
melainkan satu-satunya prinsip yang mendasari semua bentuk hubungan manusia. Oleh
karena itu, prinsip ‘pasar bebas’ juga dipakai sebagai tolak ukur untuk mendekati berbagai
bidang hidup lain, baik itu bidang pendidikan, relasi antar pribadi dan organisasi, maupun
bidang kesehatan masyarakat. Pada masa-masa awal, biasanya privatisasi bisa menjadi cara
yang efektif untuk menyuntikan etos “kewirausahaan” (enterpreneursip) kedalam berbagai
perusahaan milik negara.
Istilah pasar bebas telah dipakai untuk mengaburkan suatu realitas yang brutal.
‘pasar’ adalah cara jitu bagi transaksi ekonomi yang telah dipakai para leluhur
kita beribu tahun lalu, dan bukan temuan kaum neo-liberal. Kita perlu dan harus
memakainya.
Yang menjadi masalah pada ‘pasar bebas’ versi neoliberal bukan persoalan
dinamika transaksi dan kompetisi, melainkan diskriminasinya terhadap mereka
yang tidak mampu menjual dan membeli. Artinya, orang-orang yang cacat, tua,
sakit, buta huruf, miskin, tak punya keterampilan menurut pasar. Dan kalau
program-program seperti ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan
petani, jaring pengaman sosial, dsb digusur karena tidak sesuai dengan prinsip
pasar bebas, maka dunia laksana rimba yang semakin ganas.
Kaum neoliberal tidak seluruhnya keliru ketika mereka mengkritik tentang
program-program welfare sebagai mekanisme yang sering melahirkan kultur
ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau kita ‘jatuh’ (misal: kehilangan
pekerjaan atau jatuh sakit), negara atau pemerintah sealu siap memberi jaminan,
yang tidak jarang terjadi adalah kita akan hidup saja dari jaminan negara. Maka
etos kerja dan “wirausaha” dalam masyarakat secara perlahan menjadi hancur.
Kritik kaum neoliberal tidak seluruhnya keliru, apa yang rancu adalah bahwa
kelemahan yang terjadi dalam tataran implementasi program welfare dijadikan
alasan bagi penghapusannya.
Masalah yang sama juga bisa kita temui dalam demam ‘privatisasi’ (privatization at all
costs) yang dalam banyak hal merupakan salah satu pokok kebijakan kaum neoliberal,
seperti privatisasi perusahaan milik negara, pendidikan, dan kesehatan. Perdebatan
mengenai privatisasi lebih sering terjebak kedalam pilihan antara pro-swasta atau pro-
negara, bukan nasionalis atau unnasionalis, asing atau domestik. Efisiensi atau
inefisiensi. Mereka yang fanatik mendukung privatisasi biasanya mengajukan alasan
“efisiensi” sebagai alasan utama. Sedangkan mereka yang menolak biasanya
menggunakan alasan “nasionalisme” sebagai dasarnya.
Privatisasi tidak lagi bisa dilihat sebagai putih atau hitam. Artinya, privatisasi tidak selalu
baik atau buruk. Ia bisa baik jika semakin menjamin terselenggaranya kepentingan umum,
dan ia buruk jika justru makin menghapus pertimbangan kepentingan umum. Pada masa-
masa awal, biasanya privatisasi bisa menjadi cara yang efektif untuk menyuntikkan etos
“kewirausahaan” (entrepreneurship) kedalam berbagai perusahaan milik negara yang
sudah tidak beroperasi. Namun dalam proses selanjutnya, dengan mudah privatisasi
membawa petaka, sebab kinerja badan-badan usaha itu dengan cepat meninggalkan
pertimbangan kepentingan umum, dan semakin digerakkan oleh perhitungan akumulasi
laba semata.
Pada akhirnya bisa dikatakan bahwa berbagai kebijakan ekonomi politik neoliberal mesti
menjawab pertanyaan umum. Klaim kaum neoliberal bahwa agenda mereka persis berisi
pelaksanaan kepentingan umum tidaklah meyakinkan. Dengan kata lain tidak ada
kepentingan umum selain kepentingan individual. Karena individual pertama-tama
dipahami sebaga Homo economicus,maksimalisis laba individu pula yang petama-tama
menjadi tujuan. Apakan dengan itu kepentingan umum terselenggarakan atau tidak,
bukanlah kepedulian “filsafat” neoliberal.
Gagasan-gagasan neoliberal tidak tersebar dengan sertamerta. Masuknya kedalam
kebijakan-kebijakan ekonomi politik melewati proses panjang dan berbagai jaringan.
Sebagaimana disebut dalam bagian kedua esai kecil ini gagasan neolibelarisme ekonomi
sudah digarap dan disebarkan secara terorganisir setelan perang dunia ke II. Pencipta
kebijakan neoliberalisme yang kemudian menjadi Thatcherrisme:The Institute of Economic
Affair (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS).
Pembentukan IEA langsung di ilhami oleh gagasan-gagasan hayek. Pendirinya, Anthony
Fisher, adalah seorang mantan pilot Angkatan Udara Inggris yang kecewa terhadap politik
dan ekonomi Inggris setelah membaca versi singkat karya hayek, The Roed to Serfdom, di
majalah Reader’s Digest.
Agenda utama IEA adalah menerbitkan berbagai reset ekonomi mikro tentang solusi pasar
terhadap ‘kegagalan negara’ / government failure (sebagai lawan terhadap gagasan para
pengikut John Maynart Keynes yang menguji ‘gagasan pasar’. Produk awal IEA adalah teks-
teks ekonomi untuk para pelajar sekolah menengah dan mahasiswa /I Strata-1 perguruan
tinggi. IEA mulai naik daun ketika bergabung dalam koferensi MPS di Oxford tahun 1959.
Pada dasawarsa 1960, IEA mulai mempengaruhi berbagai kebijakan secara langsung. Pada
pertengahan dekade 1970 gagasan IEA sudah menjadi Bahasa kaum “kanan baru” di Inggris.
Pada pertengahan dekade 1970, gagasan-gagasan IEA sudah menjadi bahasa kaum “kanan
baru” : masalah Inggris adalah inflasi, militansi kaum buruh, pembengkakan program
welfare, perusahaan milik negara, campur tangan pada kehidupan privat dan pilihan
individual. Solusi IEA adalah kebijakan-kebijakan ketat, kontrol atas hak-hak buruh,
pemangkasan berbagai program welfare, dan meyerahkan penyelenggaraan fasilitas publik
(seperti kesehatan dan pendidikan) kepada sektor bisnis swasta.
Bila IEA berkonsentrasi pada persoalan ekonomi, CPS menjadi gagasan sosial partai
konservatif. Pada tahun 1975, CPS menggarap konsep oposisi menyiapkan strategi
pengambilan kekuasaan yang akhirnya terjadi pada tahun 1979 di bawah kepemimpinan
Thatcher.
Pada dasawarsa 1980, baik CPS maupun IEA menjadi dua Lembaga penting yang memasok
gagasan -gagasan neo-konservatisme rezim Thatcher yang pada waktu itu mulai
melancarkan revolusi deregulasi privatisasi. Demikian, sebagaimana terjadi di negara lain,
termasuk Indonesia. Setiap makelar kekuasaan rezim pada akhirnya dimangsa oleh tuannya
sendiri.
Diskusi Kasus
Menurut kelompok kami, berdasarkan contoh kasus diatas dapat
dilihat bahwa kasus tersebut merupakan contoh dari masalah
neoliberalisme.
Artikel tersebut membahas tentang perijinan usaha dari pemerintah,
pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha dimana

Diskusi Kasus masyarakat ikut andil dalam pengawasan untuk perijinan usaha
tersebut.
Masyarakat Berperan Dalam
Pengawasan Melalui peraturan pemerintahan, tentang penyelenggaraan perijinan
berusaha berbasis resiko, mengatur 2 mekanisme pengawasan yaitu
dari pelaku usaha dan ispeksi, kedua dari keluhan masyarakat. Pada
akhirnya, para pelaku usaha mendapat pengawasan ketat dari
pemerintah atas usahanya.
THANKS

Anda mungkin juga menyukai