Anda di halaman 1dari 13

Keadilan Standart Harga Pasar dalam Jual Beli menurut Pandangan Ibnu Taimiyah

dengan Perspektif Philosophy of Economy System Capitalist

M. Jauhar Madinah

180231100053/Kelas B

https://youtu.be/qlP4SMarCs4

Abstrak

“Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah ekonomi yang melibatkan
hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, hubungan itu harus didasarkan pada norma
– norma agama islam yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk yang berkaitan
dengan masalah mu‟amalah. Dalam konteks, usaha mengembangkan system ekonomi islam,
kita mencoba melihat sebuah konsep pemikiran yang sangat brilian pada zamannya, sebagai
inspirasi dan petunjuk. Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok – pokok pikiran
dari salah satu ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan masalah
ekonomi,beliau memiliki ilmu pengetahuan yang sangat dalam tentang ajaran islam. Islam
masa kini membutuhkan pandangan ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan
bagaimana sesuatu itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan
dalam berusaha dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh Negara
yang adil dan mampu menegakkan hukum syari‟at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan,
kecuali suatu kegiatan tersebut secara tegas dilarang oleh syari'at”.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pasar merupakan tempat yang dapat menghubungkan pihak penjual dan pembeli
untuk melakukan transaksi barang atau jasa. Pasar juga didefinisikan sebagai tempat
terjadinya proses penentuan harga. Menurut sistem kapitalis, pasar berperan penting dalam
menggerakkan roda ekonomi masyarakat (Rozalinda, 2014:143). Akan tetapi, peran
pemerintah dalam pengawasan pasar sangat terbatas, sehingga dalam sistem kapitalis
memungkinkan adanya praktek monopoli, di mana para pemilik modal/penguasa yang dapat
mengendalikan harga. Dampaknya, harga yang terbentuk bukan merupakan hasil permintaan
(demand) dan penawaran (supply), tetapi ketentuan dari pemilik modal. Oleh karena itu,
pasar yang berjalan bukan merupakan pasar yang bersaing sempurna (perfect competition)
(Rozalinda, 2014:146). Namun, sesungguhnya dalam Islam memiliki konsep yang jelas
tentang pasar dan harga, seperti pemikiran seorang cendekia muslim yang bernama Ibnu
Taimiyah yang terkenal dengan teorinya ”tsaman mitsl” atau harga yang setara. Ibnu
Taimiyah banyak membahas permasalahan ekonomi yang dihadapi pada masa itu, baik dari
tinjauan sosial ataupun hukum Islam. Karyanya juga mencakup aspek makro dan mikro

1
ekonomi. Oleh karena itu, hasil karyanya mencakup ide-ide yang berpandangan luas ke masa
depan, yang selanjutnya dikaji oleh para ekonom Barat (P3EI dan BI, 2008:111).

Pasar mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian. Islam mengakui


adanya mekanisme pasar dengan syarat pasar bisa berjalan secara sempurna. Namun, pada
kenyataannya seringkali terjadi distorsi pasar yang disebabkan oleh ulah para kapitalis. Untuk
itu, Islam memandang pentingnya intervensi pemerintah dalam penetapan harga. Salah satu
pemikiran ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga itu ditetapkan
melalui kekuatan permintaan dan penawaran. Hanya dalam kasus di mana harga naik karena
terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan mekanisme pasar, maka pemerintah boleh ikut
campur dalam menetapkan harga. Tetapi, jika naik/turunnya harga berjalan secara alamiah
dalam kondisi normal, pemerintah sama sekali tidak memiliki otoritas menetapkan harga.
Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Taimiyah ini tidak hanya memberikan analisa yang tajam
tentang apa yang terjadi pada masa itu, tetapi tergolong modern untuk masa sekarang,
sehingga diharapkan dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat
saat ini ). Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana pemikiran ekonomi
Ibnu Taimiyah mengenai mekanisme pasar dan regulasi harga yang dilakukan oleh
pemerintah.

PEMBAHASAN

A. Biografi

Nama lengkapnya adalah Taqiyudin Ahmad bin Abd. Al-Halim bin Abdi Salam bin
Taimiyah. Beliau lahir di Harran 22 januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661). Ayahnya Abdal-
Halim, pamannya Fakhruddin dan kakeknya Majduddin merupakan ulama besar dari mazhab
Hambali. Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi dan termasuk ulama
besar Mazhab Hambali. Atas kejeniusannya, sejak usia muda ia telah menamatkan beberapa
mata pelajaran, seperti fiqih, tafsir, hadis, filsafat dan matematika dan menjadi unggul di
antara teman-temannya. Ibnu Taimiyah juga membahas prinsip-prinsip masalah ekonomi
dalam dua buku, yaitu: al Hisbah fi al Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam) dan al Siyasah al
Syar‟iyyah fi Ishlah al Ra‟Iwa al Ra‟iyah (Hukum Publik dan Privat dalam Islam). Dalam
buku pertama, ia banyak membahas tentang keadilan harga pasar dan intervensi pemerintah
dalam kehidupan ekonomi. Dalam buku kedua, ia membahas masalah pendapatan dan
pembiayaan publik. Dengan pemikirannya yang dianggap revolusioner dan pembaharu, serta
ijtihadnya dibidang muamalah membuat namanya semakin terkenal di seluruh dunia (Islahi,
1997:71). Dalam kehidupan politik, ia pernah di penjara sebanyak empat kali. Hal ini
disebabkan oleh fatwanya yang dianggap bertentangan dengan pemerintah saat itu. ketika di
penjara, ia banyak menghabiskan waktu untuk menulis dan mengajar. Ia menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 26 September 1328 M (20 Zulqa’idah 728 H). Pembaharu
Islam ini juga memiliki banyak karya ilmiah yang sangat fantastis. Ia memiliki karya buku
yang menguraikan tentang hukum, ekonomi, filsafat dan lain-lain. Ibnu Taimiyah juga
membahas tentang prinsip-prinsip ekonomi yang ditulis dalam dua kitabnya, yakni al-Hisbah
fi al Islam (lembaga hisbah dalam Islam) dan al-Siyasah al Syar’iyyah fi Ishlah al Ra’i wa al
2
Ra’iyah (hukum publik dan privat dalam Islam). Kitab pertama banyak membahas tentang
regulasi harga pasar dan intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi, sedangkan kitab
kedua membahas tentang pendapatan dan pembiayaan publik (Amalia, 2005:206-207).

B. Islamic Economy, Philosophy of Economy System Capitalist

Kapitalisme berasal dari asal kata capital yaitu berarti modal, yang diartikan sebagai alat
produksi semisal tanah dan uang. Sedangkan kata isme berarti paham atau ajaran.
Kapitalisme merupakan sitem ekonomi politik yang cenderung ke arah pengumpulan
kekayaan secara individu tanpa gangguan kerajaan. Dengan kata lain kapitalisme adalah
suatu paham ataupun ajaran mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan modal atau
uang. Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal bisa
menguasai pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan yang besar.
Industrialisasi bisa berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme.

Fernand Braudel pernah menyatakan bahwa “kaum kapitalis merupakan spekulator dan
pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk memperoleh keuntungan besar tanpa
menanggung banyak risiko”. Menurut Ayn Rand, kapitalisme adalah a social system based on
the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is
privately owned (suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu,
termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat). Kapitalisme, sebagaimana
yang diperkenalkan oleh Karl Marx (lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama
Herschel keturunan para Rabisekitar abad 19 yang sering dijuluki sebagai bapak dari
komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus), adalah suatu sistem produksi
yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan tenaga kerja. Pemilik modal (kapital)
memiliki hak penuh terhadap apa yang dimiliki. Maka dalam kapitalisme ada individual
ownership, market economy, competition, and profit.

Ketika berbicara soal sistem ekonomi modern, kita biasanya merujuk pada dua sistem
besar: kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Kapitalisme adalah sistem yang
didasarkan atas pertukaran yang sukarela (voluntary exchanges) di dalam pasar yang bebas.
Sebaliknya, sosialisme mencoba mengatasi problem produksi, konsumsi dan distribusi
melalui perencanaan atau komando. Hal yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa ada
dua sistem besar dalam ekonomi modern tidak berarti adanya dikotomi atau bipolarisasi. Saat
ini tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi peradaban
dunia global. Berakhirnya Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni
Soviet beserta negara-negara satelitnya sering diinterpretasikan sebagai kemenangan
kapitalisme. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadir
menggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap kapitalisme justru bermuara
kepada terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme. Islam,
sebagai sebuah agama langit yang komplit, mengatur segala sendi kehidupan umat manusia,
termasuk ekonomi.

Ekonomi Islam, sebenarnya telah lahir sejak Muhammad saw memulai kariernya
sebagai pedagang. Meskipun institusi Islam saat itu belum muncul, namun Muhammad sudah
mempraktikkan sistem perdagangan yang di kemudian hari diakomodir dalam Islam. Tentu
3
ekonomi Islam memiliki ciri khas yang membedakannya dengan yang lain, termasuk dengan
kapitalisme maupun sosialisme. Dasar pemikiran ekonomi Islam dilhami dari Alquran dan
Hadis yang berasal dari wahyu Allah Swt., Sedangkan teori ekonomi kapitalis adalah hasil
pemikiran manusia. Maka kedua sistem ini pasti berbeda. Walaupun ada yang menganggap
bahwa urusan ekonomi adalah urusan dunia yang diserahkan kepada manusia, namun
kebebasan manusia untuk menciptakan peradaban ekonomi yang baik tentu tidak boleh
melanggar pokok-pokok aturan dari Allah Swt. Karena sumbernya adalah wahyu maka segala
aktivitas ekonomi Islam harus bersifat pengabdian kepada Allah Swt.. Hal itu berbeda dari
kegiatan ekonomi dalam sistem yang dihasilkan oleh pemikiran manusia. Teori kapitalis
sangat mendewakan individualisme. Sehingga teori ini menonjolkan rasionalisme dan
materialisme. Yang menjadi pedoman ajarannya adalah bebas berbuat dan bebas bertindak.

Teori kapitalis mengajarkan bahwa kesuksesan ekonomi ditentukan oleh diri sendiri
atau disebut anthropocentrism indivi-dualism. Sedangkan konsep dalam teori ekonomi Islam
adalah kalau manusia mau sukses, maka dia harus berusaha untuk mendapatkan karunia dari
Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Penentu. Oleh karena itu dalam Islam yang menjadi
penentu bagi berhasil atau tidaknya seseorang, hal itu tidak bisa terlepas dan dilepaskan
kaitannya dengan kehendak-Nya. Manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah, maka tidak
boleh terlepas dari aturan yang menjadikannya khalifah. Demikian juga dalam hal mencari
dan mengumpulkan harta, teori kapitalis tidak membatasi cara manusia untuk mengumpulkan
harta, namun Islam membatasinya dengan jalan yang baik dan tidak melanggar aturan-aturan
Allah Swt.. Dalam bisnis Islam dilarang gharar, maysir, najsy, dan barang haram namun
dalam konsep kapitalis tidak ada aturan yang ditetapkan. Karena tujuan utamanya adalah
kepuasan individual. Teori kapitalis mengajarkan bahwa harta yang sudah diperoleh mutlak
menjadi hak milik pribadi. Karena mendapatkannya dari usaha sendiri maka untuk
menggunakannya juga bebas atas kemaunnya sendiri.

Sedangkan Islam mengajarkan bahwa pemilik mutlak harta adalah Allah Swt.,
manusia hanyalah sebagai pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan untuk
kesejahteraan bersama. hak milik dalam ekonomi Islam terikat dengan aturan yang ditetapkan
oleh syariat. Jadi kepemikan dalam Islam tidaklah mutlak namun nisbi. Jika kita merujuk
kepada nas Alquran yang menyatakan bahwa semua yang ada dilangit dan bumi adalah milik
Allah Swt., 14 maka kita bisa menyimpulkan bahwa semua harta bahkan kita sendiri adalah
milik Allah. Jika seluruh harta adalah milik Allah, maka manusia hanyalah diberi mandat
untuk menggunakan dan memanfaatkan saja. Sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia
terikat dengan ketentuan yang ditetapkan Allah. Allah Swt. telah memberikan kuasa kepada
manusia untuk memanfaatkannya. Hal ini bukan berarti bahwa Islam tidak mengakui hak
milik kekayaan, namun hak milik tersebut tersebut terikat oleh aturan-aturan untuk
kepentingan orang banyak dan tidak membahayakan orang lain.

C. Dasar Pemikiran Ibnu Taimiyah Terhadap Philosophy of Economy System


Capitalist

4
Dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan
yang disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya
penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan al-Hadits
yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian dan pembaharuan
pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid). Dalam konteks makna dan hakikat
pembaharuan (tajdid) dan kenyataan empirik yang terjadi polarisasi pemahaman Islam, sosok
Ibn Taimiyyah adalah seorang pembaharu dan pemurni Islam abad pertengahan yang
memilki otoritas tinggi. Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Tamiyyah bukan hanya sebagai
pembaharu, tapi juga sebagai da‟i yang tabah, wara‟, zuhud dan ahli ibadah, serta orang yang
pemberani mengakkan kebenaran. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari
kezaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela akidah umat
dengan lidah dan penanya. Upaya yang dilakukan Ibnu Taimiyah berangkat dari asumsi dasar
bahwa kaum Muslimin generasi pertama maju dengan pesat karena mereka berpegang kepada
ajaran Islam dan menghormati al-Qur’an. Sebaliknya, kaum muslimin pada masanya lemah
dan kurang dihargai komunitas agama lain karena mereka telah meninggalkan sumber
ajarannya. Ia berkesimpulan bahwa tugas utama yang harus dijalankannya adalah menyeru
umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, dengan menggunakan pemahaman
kaum muslimin generasi pertama untuk menguji madzhab madzhab dan hasil pemikiran
kaum muslimin dari masa ke masa. (Dahlan, Azis dkk, 2003: 199).

Konsep Harga Menurut Ibnu Taimiyah

 Konsep Mekanisme Harga yang Adil

Mekanisme harga merupakan suatu proses yang berjalan karena adanya faktor
permintaan dan penawaran di pasar output (barang) maupun input (faktorfaktor produksi)
(Kuswanto, 1993:6). Secara umum, harga diartikan sebagai sejumlah uang yang memiliki
nilai tukar atas suatu barang tertentu. Konsep harga yang adil sebenarnya telah berlaku sejak
awal kehadiran Islam. Dalam al-Quran disebutkan konsep keadilan dalam aspek kehidupan
manusia, seperti dalam surat al-Nahl: 90, al-Nisa: 58, al-Maidah: 8, al-Hadid: 25 dan Hud:
85. Oleh karena itu, konsep keadilan ini juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya
berkaitan dengan harga. Selain itu, istilah harga yang adil juga disebutkan dalam beberapa
hadis Nabi, seperti dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya, sehingga
budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya mendapatkan sebuah kompensasi
dengan harga yang adil. Istilah yang sama juga pernah digunakan oleh Umar bin Khattab
ketika ia menetapkan nilai baru untuk diyat, setelah daya beli dirham menurun yang
mengakibatkan harga naik (Islahi, 1997:92). Para fuqaha telah menetapkan aturan transaksi
dengan menggunakan konsep harga yang adil. Menurut para fuqaha, harga yang adil adalah
harga yang dibayarkan untuk objek yang sama, sehingga mereka sering menyebutnya dengan
istilah tsaman al-mitsl atau harga yang setara (Karim, 2006:353-354). Meskipun penggunaan
istilah tersebut telah ada sejak awal Islam, Ibnu Taimiyah termasuk orang yang pertama kali
memberikan perhatian khusus terhadap persoalan harga yang adil.

Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Amalia (2005), harga yang adil adalah:
“Nilai harga di mana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum seagai hal

5
yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di
tempat dan waktu tertentu”. Kemudian, Ibnu Taimiyah memperjelas apa yang dimaksud
dengan Tsaman al-Mitsl dalam kitabnya al-Hisbah, yakni: “Apabila orang-orang
memperjualbelikan barang dagangannya dengan cara-cara yang biasa dilakukan, tanpa ada
pihak yang dizalimi kemudian harga mengalami kenaikan karena berkurangnya persediaan
barang ataupun karena bertambahnya jumlah penduduk (permintaan), maka itu semata-mata
karena Allah Swt. Dalam hal demikian, memaksa para pedagang untuk menjual barang
dagangannya pada harga tertentu merupakan tindakan pemaksaan yang tak dapat dibenarkan
(Amalia, 2005:210).”

 Relevansi Standart Harga yang Adil

Menurut Ibnu Taimiyah, suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan. naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan
oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau
penurunan impor dari barang- barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah
barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun, harga dengan
sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan
permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan
oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan
ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Ibnu Taimiyah
memberikan penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan
dan tingkat harga. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (people’s desire)


terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al
matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce)
daripada yang banyak jumlahnya.
2. Tergantung kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/
consumer/ tullab). Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu
barang.
3. Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang,
selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang
kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan
dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.
4. Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-
mu’awid). Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam
membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga
yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda
kewajiban atau mengingkarinya).
5. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat
pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka
kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan
mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.

6
Hal di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan
penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat
memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau lancar dibandingkan
dengan jika pembeli tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya.
Tingkat kemampuan dan kredibilitas pembeli berbeda-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli
maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa pun juga. Obyek dari suatu
transaksi terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak nyata. Tingkat harga barang yang
lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Hal yang
sama dapat diterapkan untuk pembeli yang kadang-kadang dapat membayar karena memiliki
uang, tetapi kadang-kadang mereka tidak memiliki uang cash dan ingin meminjam. Harga
pada kasus yang pertama kemungkinan lebih rendah daripada yang kedua.

Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang.
Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat memperoleh
manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun. Akan tetapi, kadang-kadang penyewa tidak
dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, seperti yang terjadi di desa yang
dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang
pemangsa. Sebenarnya, harga sewa tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang
tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Hisbah fi
Al-Islam membedakan dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan cacat hukum serta
harga yang adil dan sah menurut hukum

‫ومنه ما هو عدل جائز‬، ‫ومن هنا یتبین أن السعر منه ما هو ظلم ال یجوز‬

“Dan dari sini jelaslah bahwa harga itu diantaranya ada yang zholim dan dia tidak
diperbolehkan, dan ada juga yang adil dan dia diperbolehkan”.

Dalam kitab al Hisbah Ibnu Taimiyah lebih memperjelas apa yang dimaksud dengan harga
yang adil yaitu:

، ‫ وٕاما لكثرة الخلق‬، ‫فإذا كان الناس یبیعون سلعهم على الوجه المعروف من غیر ظلم منهم وقد ارتفع السعر إما لقلة الشيء‬
‫فهذا إلى اهللا‬

“Apabila orang-orang memperjual belikan barang dagangannya dengan cara-cara yang bisa
dilakukan tanpa ada pihak yang dizholimi kemudian harga mengalami kenaikan karena
kurangnya persediaan barang ataupun bertambahnya jumlah penduduk (permintaan) maka itu
semata-mata karena Allah SWT”

Dalam membicarakan harga yang adil, Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah,
yaitu: Harga Yang Setara (Tsaman Al-Mitsl) dan Kompensasi Yang Setara (Iwadh Al-Mitsl)
Dari sekian banyak ekonom muslim klasik Ibnu Taimiyah adalah orang yang pertama kali
menjelaskan tentang harga yang adil dan harga yang tidak adil sebagaimana diungkapkan
dalam kitabnya al-Hisbah.

Ketika membahas masalah harga yang adil Ibnu Taimiyah mengunakan dua istilah yaitu:

7
1. Harga yang Setara (Tsaman Al-Mitsl) Harga yang setara adalah harga yang dibentuk
oleh keseimbangan pasar atau Equilibrium Price dengan demikian pendapat Ibnu
Taimiyah tentang harga yang setara tersebut mempunyai relevansi dengan konsep
yang berlaku pada zaman sekarang karena sebagaimana dijelaskan pada alenia diatas
secara teoritis tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemikiran Ibnu Taimiyah
dengan pemikiran yang ada sekarang (modern) dan begitu pula secara praktis. Hanya
saja karena konsep pasar yang ada pada masa Ibnu Taimiyah merupakan pasar
sederhana tidak seperti zaman sekarang sehingga terjadi perbedaan meskipun secara
prinsip tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
2. Kompensasi yang Setara (Iwadh Al-Mitsl) Dalam mendefinisikan kompensasi yang
setara (‘Iwadh Al-Mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud, dalam pemakaian
yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan
(‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap
kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut
dengan barang lain yang setara.

Dalam jual beli keadilan harga tidak selamanya tetap akan tetapi harga tersebut bisa
berubah tergantung oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketika perubahan tersebut
menimbulkan ketidakadilan harga karna adanya proses yang menyimpang seperti adanya
penimbunan barang (Al-Ikhtikar) maka dibutuhkan intervensi pemerintah untuk
mengatasinya. Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh AA Islahi: Ibnu Taimiyah
merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan
memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila) menolak untuk menjual barang
dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (Al-Qimah Al-
Ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut,
mereka diharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara.

Di Indonesia misalnya, secara rasional, keseimbangan pasar dirusak oleh konlomerasi


dan monopoli yang merugikan masyarakat konsumen, penimbunan BBM maupun beras, dan
kasus terakhir bebas masuknya gula dan beras impor yang dimasukkan oleh pelaku bermodal
besar, sehingga supply gula di pasar menjadi tinggi dan akhirnya turunlah harga jualnya
dibawah biaya produksi. Kasus ini jelas merugikan petani tebu dan pabrik gula lokal. Dalam
ekonomi liberal atau bebas, kasus ini sah dan dibenarkan atas prinsip bahwa barang bebas
keluar masuk pasar dan kebebesan bagi para pelaku pasar untuk menggunakan modalnya.
Ketika terjadi kasus seperti ini menurut Ibnu Taimiyah pemerintah harus menintervensi untuk
menetapkan standar harga agar menjadikan harga kembali dalam keadaan normal. Selain
Ibnu Taimiyah, ulama lain seperti Yusuf Qordhawi juga mengajurkan intervensi pemerintah
dalam memberikan standar harga bahkan Yusuf Qordawi berpendapat intervensi pemerintah
tidak hanya berlaku dalam kondisi tertentu, tapi dalam semua kondisi yang menyangkut hajat
orang banyak. pemerintah harus membuat undang-undang untuk menetapkan harga resmi
yang tidak boleh menjual diatas harga yang telah ditetapkan.

Para ahli ekonomi modern pun menganjurkan negara untuk menetapkan harga dalam
kasus-kasus tertentu seperti di atas. Kenaikan harga yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan

8
pasar dalam suatu perekonomian modern, terdiri atas beberapa macam berdasarkan pada
penyebabnya, yakni harga monopoli, kenaikan harga sebenarnya, dan kenaikan harga yang
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk itu, adalah peran pemerintah untuk
melakukan intervensi pasar dalam rangka mengembalikan kesempurnaan pasar, salah satunya
adalah dengan menetapkan harga pada keempat kondisi di atas.

 Regulasi Harga yang adil

Setelah menguraikan konsep harga yang adil dan relevansi harga yang adil, Ibnu
Taimiyah juga membahas tentang regulasi harga yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi
harga merupakan aturan pemerintah terhadap harga-harga barang yang ada di pasar.
Tujuannya adalah untuk menegakkkan keadilan serta memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat (Amalia, 2005:210).

Berkaitan dengan hal di atas, Nabi Saw. menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:

‫ إن هللا هˆˆو المسˆˆعر‬:‫ فقˆˆال رسˆˆول هللا صˆˆلى هللا عليه وسˆˆلم‬.‫ قال الناس يا رسول هللا غال السعر فسعرلنا‬:‫عن أنس قال‬
‫القابض الباسط الرازق وإنى ألرجو أن ألقى هللا وليس أحد منكم يطالبنى بمظلمة فى دم وال مال‬

“Dari Anas bin Malik beliau berkata: harga barang-barang pernah mahal pada masa
Rasulullah Saw. lalu orang-orang berkata: Ya Rasulullah, harga-harga menjadi mahal,
tetapkanlah standar harga untuk kami, lalu Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allahlah yang
menetapkan harga, yang menahan dan membagikan rizki, dan sesungguhnya saja
mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah Swt dalam keadaan tidak seorang pun
di antara kamu sekalian yang menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpahan darah
(pembunuh) dan harta.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah 1998:362).

Menurut Ibnu Taimiyah, Hadis tersebut berisi penolakan terhadap regulasi harga, karena
termasuk dalam kasus khusus, bukan merupakan kasus yang umum. Oleh karena itu,
kenaikan harga bukan disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar, melainkan karena kekuatan
permintaan dan penawaran (Karim, 2002:30). Dari Hadis tersebut juga diketahui bahwa Nabi
Saw. tidak ingin terlibat dalam penetapan harga, karena naiknya harga dikarenakan kondisi
objektif pasar di Madinah, bukan karena adanya kecurangan atau ulah sekelompok orang
yang menginginkan keuntungan semata. Pada masa itu, pasar Madinah mengalami penurunan
produksi atau kekurangan supply impor sehingga mengakibatkan harga naik, serta tidak
terdapat indikasi adanya pedagang melakukan ihtikar. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa naiknya harga pada masa Nabi disebabkan karena mekanisme pasar
bekerja secara sempurna. Ibnu Taimiyah membuktikan bahwa Nabi Saw. pernah menetapkan
harga yang adil dalam beberapa kondisi, yaitu (1) Kasus pembebasan budak, di mana harus
ada pertimbangan harga yang adil dari budak tersebut tanpa adanya penambahan atau
pengurangan harga. (2) Kasus perselisihan antara dua orang, yakni pemilik pohon dan
pemilik tanah. Dalam hal ini, pemilik tanah merasa terganggu atas pohon orang lain (pemilik
pohon) yang tumbuh di area tanahnya, sehingga hal itu dilaporkan kepada Rasul. Kemudian
hasil keputusannya adalah Rasul memberikan dua pilihan kepada pemilik pohon, yakni
menyerahkan secara sukarela pohon tersebut kepada pemilik tanah atau menjualnya kepada
pemilik tanah dengan imbalan ganti rugi yang setara (Amalia, 2005:215). Dari permasalahan

9
ini diketahui bahwa jika cara penyerahan barang dengan sukarela sulit dilakukan, maka boleh
dipaksakan untuk dilakukan penjualan barang. Hal ini termasuk intervensi yang dilakukan
oleh Rasulullah agar terhindar dari kerugian pihak tertentu. Selain itu, penetapan harga
menurut Ibnu Taimiyah juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penetapan harga yang
tidak adil atau mengandung unsur kezaliman dan penetapan harga yang adil menurut hukum
(Qardhawi, 1977:467).

Sebagaimana pernyataannya: “Memaksa masyarakat untuk menjual barang-barang


dagangan tanpa ada dasar yang mewajibkannya atau melarang mereka menjual barangbarang
yang diperbolehkan merupakan sebuah kezaliman yang diharamkan” Dari pernyataan ini
dapat dipahami bahwa setiap orang bebas keluar masuk pasar. Namun, unsur-unsur
monopolistik dan segala bentuk kecurangan, kolusi dan pemalsuan produk harus dihilangkan
dari pasar. Selain itu, jika terjadi keadaan darurat, seperti bencana kelaparan, maka
pemerintah harus menetapkan harga dan boleh memaksa pedagang untuk menjual barang-
barang kebutuhan pokok, seperti bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ibnu
Taimiyah juga menjelaskan bahwa sebelum dilakukannya penetapan harga, pemerintah harus
mengadakan musyawarah dengan masyarakat atau para tokoh perwakilan pasar terlebih
dahulu. Hal ini bersifat persuasif karena pemerintah memberikan penawaran kepada peserta
musyawarah dalam hal penetapan harga, sehingga hasil keputusannya bisa disetujui oleh
semua pihak (Amalia, 2005:216). Jadi intinya Regulasi harga yaitu pengaturan terhadap
harga-harga barang yang dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk memelihara
kejujuran dan kemungkinan penduduk untuk dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

Jika dilihat konsep regulasi harga yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah merupakan contoh
ilustratif yang sangat bagus. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, pemenuhan kebutuhan pokok
manusia menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah, baik kebutuhan pangan, sandang,
papan dan sebagainya. Oleh karena itu, penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah
dipandang baik, namun hal itu tidaklah bersifat absolut. Hanya dalam kondisi tertentu saja
pemerintah boleh ikut campur dalam menetapkan harga, seperti harga naik karena terjadinya
ketidakadilan atau ketidaksetaraan mekanisme pasar yang disebabkan ulah penjual. Untuk itu,
diperlukan sebuah dewan yang bisa mengimbangi kepentingan pembeli dan penjual. Dalam
kondisi serupa seperti itu, kini dianjurkan diadakannya pengawasan atas peningkatan harga
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mekanisme pasar sangat penting, baik sebagai
regulator atau pengawas mekanisme pasar agar berjalan secara sempurna sehingga
terciptanya harga yang adil bagi penjual dan pembeli.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang luas tentang mekanisme pasar dan regulasi
harga. Dalam Islam, pasar tidak bisa bekerja sendiri, karena merupakan kesatuan dari

10
individu, masyarakat dan negara yang saling berhubungan satu sama lain untuk mewujudkan
kesejahteraan dunia dan akhirat. Islam mengakui adanya mekanisme pasar dengan syarat
pasar bisa berjalan secara sempurna. Namun, jika terjadi distorsi dalam pasar yang
mengganggu jalannnya perekonomian, maka perlu adanya intervensi pemerintah. Seperti
praktek ihtikar atau penimbunan barang yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan
tujuan mendapatkan keuntungan yang besar, maka pemerintah boleh melakukan intervensi
harga. Apabila kenaikan harga terjadi secara alamiah, yakni berdasarkan kekuatan permintaan
dan penawaran, maka dalam hal ini, pemerintah sama sekali tidak memiliki otoritas dalam
menetapkan harga. Dari berbagai pemikiran Ibnu Taimiyah tersebut, diharapkan dapat
diterapkan untuk masa sekarang dengan sedikit penyesuaian agar relevan dengan kebutuhan
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penetapan harga yang adil oleh pemerintah.

1. Harga terbentuk karna adanya proses tarik menarik antara hukum permintaan dan
penawaran, sehingga membentuk keseimbangan yang disebut standar harga
2. Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang keadilan harga dalam Jual Beli dengan
perkembangan pasar yang ada di Indonesia sekarang memiliki relevansi baik secara
teoritis maupun praktis. Hanya saja kondisi zaman yang berbeda sehingga pelaku
pasar lebih kompleks dari zaman Ibnu Taimiyah, dimana pasar pada zaman Ibnu
Taimiyah lebih sederhana dari pasar yang ada di zaman modern sekarang ini.
3. Dalam kondisi normal Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam penentuan harga.
Namun dalam kondisi tertentu, Intervesi pemerintah berlaku, jika terjadi keadaan
darurat yang disebabkan kelaparan atau terjadinya penipuan. sedangkan di Indonesia
sekarang ini, masih terdapat intervensi pemerintah walaupun sedikit, diantaranya
intervensi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), dan beberapa peran pemerintah
yang lain dalam bidang ekonomi.

B. Saran

1. Bagi masyarakat yang melakukan transaksi Jual Beli Untuk menjalankan transaksi
Jual Beli yang bersih terbebas dari keragu-raguan kita harus mengetahui secara pasti
tentang Standard Harga yang berlaku dalam Islam, sehingga kita tidak hanya
melakukan sebuah aktivitas dunia tanpa mendapatkan nilai ibadah.
2. Bagi Ulama dan Pemerintah Agar lebih mendapatkan kepastian hukum tentang
sesuatu hal yang berhubungan dengan muamalah kita hendaknya mempelajari
kembali bagaimana pandapat para ulama yang berkompeten untuk kita jadikan
sebagai bahan rujukan dalam bertindak.
3. Sebagai Akademisi Ekonomi Islam hendaknya kita harus selalu tanggap dan mencari
sebuah jawaban terhadap persoalan ummat yang sangat urgen dan crucial, sehingga
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat Muslim tentang Ekonomi Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ahmad Zainal, Sejarah Islam Dan Umatnya Sampai Sekarang; Perkembangan
Dari Zaman Ke Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet. Pertama

11
Al-Bahy Muhammad, Alam Pikiran Islam Dan Perkembangannya, terj; Al-Yasa’ Abu
Bakar, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

Al-Shadar, M.B , “Perbedaan Antara Ilmu dengan Sistem Ekonomi”, Cetakan XX, Beirut:
Dasar Al-Ta’aruf, 1987.

Amin Ahmad Husayn, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997, cet. Ke-2

Amaliyah, Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqih Islam, jakarta: INIS, 2005

An-Nabhani, T, “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif ;Prespektif Islam”,


Diterjemahkan Oleh: Moh. Maghfur Wachid. Risalah Gusti, Surabaya, 1999.

An-Nabhani, Taqyuddin.. An-Nidlam Al-Igtishadi fil Islam, (terj.) “Membangun Sistem


Ekonomi Alternatif”, cet. VIII, Surabaya: Risalah Gusti, 2009

Asmuni Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Cet. Ke-2

Aziz Dahlan Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 1996,
jilid I

Chapra, M. Umer, “Masa Depan Ilmu Ekonomi”, (terj.) Ikhwan Abidin. The Future of
Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-6

Karim, Adiwarman, “Ekonomi Islam Suatu Kajin Ekonomi Makro”, Jakarta: The
International Institute Of Islamic Thought, 2002

Khan Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Terj; Anas Mahyudin, Bandung:
Pustaka Bandung, 1983

Lubis K Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000 Sabiq Sayid,

Fiqih Sunnah, 1988, Jilid 12

12
Mudzakir, Abdul Kohar, "Ekonomi Islam: Suatu Perbandingan Pandangan dan Sejarah
Perkembangan Pemikiran," Paper Penelitian IPB, Bogor: Institut Pertanian Bogor,
2005.

Perdana, Ari A, “Ekonomi Islam: Di Luar Spektrum Kapitalisme dan Sosialisme?”,


http://islamlib.com/id/artikel/ekonomi-islam-di-luar-spektrum-Kapitalisme-dan-
Sosialisme/, 28 Mei 2007.

Perwata Atmadja, Karnaen A. dan Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islami: Refleksi
Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan”,
Jakarta: Cicero Publishing, 2008.

Prayudi, “Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam”, http ://www . Fatimah .org /artikel/ 3
sudut.htm

Qardhawi. Yusuf, “Norma dan Etika Ekonomi Islam”, Penerjemah: Zainal Arifin dan
Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Rahman Fazlur, Islam, terj; Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka bAndung, 1984

13

Anda mungkin juga menyukai