Anda di halaman 1dari 41

MEKANISME PASAR ISLAM

Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Syariah

Dosen Pengampu : Dr. Nurul Ichsan, MA

Kel.10

Muhammad Al Fath 11210860000042

Muhammad Nabris Akmal 11210860000085

Muhammad Faisal 11210860000086

Prodi Ekonomi Syariah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


DAFTAR ISI

Bab 1 3
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penyusunan 4

Bab 2 5
2.1 Pemikiran Ekonom Muslim tentang Mekanisme Pasar 5
2.2 Permintaan dan Penawaran dalam Islam 8
2.3 Mekanisme Pasar dalam Islam dan Pembentukan Harga yang Adil 13
2.4 Hisbah (Pengawasan) dan Intervensi Pasar 17
2.5 Pasar Bebas dalam Perspetif Islam 19
Bab 3 37
3.1 Kesimpulan 37
Daftar pustaka 40
Bab 1

Pendahuluan

Islam adalah agama yang yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga
harakiyah (dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna
dari agama-agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan , baik
yang bersifat aqidah maupun muamala. Dalam kaidah tentang mualamah, Islam
mengatur segala bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk didalamnya adalah kaidah Islam
yang mengatur tentang ekonomi dan mekanismenya. Salah satu sistem ekonomi di
zaman Nabi Muhammad saw. yang patut dijakan panutan untuk diaplikasikan dalam
kehidupan modern saat ini adalah pasar (al-suq). Pasar adalah tempat dimana antara
penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa.
Pasar mempunyai peran yang besar dalam ekonomi. Pasar adalah tempat yang
mempunyai aturan yang disiapkan untuk tukar-menukar hak milik dan menukar barang
antara produsen dan konsumen. Di pasar orang bisa mendapatkan kebutuhannya dan
tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar. Masyarakat saat ini seakan merindukan
sebuah sistem pasar yang tepat sebagai bagian dari penolakan pada sistem Kapitalis dan
Sosialis yang mengalami kegagalan dalam menciptkan kesejahteraan.

Secara umum, kedua sistem ekonomi tersebut tidak sepenuhnya bertentangan


dengan nilai-nilai Islam, namun Islam hendak menempatkan segala sesuatu sesuai pada
posisinya, tidak ada yang dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari
kehidupan holistik dunia dan akhirat. Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus
berdiri di atas prinsip persaingan sempurna (perfect competition). Namun demikian
bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus
oleh freme (kerangka) syari’ah. Dalam Islam, transaksi terjadi secara sukarela
(antaradim minkum) Sebagaimna disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’: 29

َ‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ@ ْٓ@وا اَ ْنفُ َس@ ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َك@@ان‬ َ @َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن ت‬
ٍ ‫@ر‬
‫بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”

1.1 Latar Belakang

Perkembangan kegiatan ekonomi saat ini tumbuh dengan sangat pesat. Orang
tidak hanya memenuhi kebutuhan yang primer saja, tetapi juga kebutuhan sekunder dan
tersier. Dalam proses pemenuhan kebutuhan terhadap barang atau jasa terjadi interaksi
antara pelaku ekonomi, yaitu produsen/supplier, konsumen, dan pemerintah sebagai
regulator. Adanya interaksi tersebut maka terbentuklah mekanisme pasar.

Pembahasan tentang mekanisme pasar tidak hanya dilakukan oleh para pemikir
ekonom barat saja, seperti Adam Smith (1776 M) dengan teori invisible hands-nya,
namun jauh sebelum itu para pemikir ekonom Islam juga telah menyumbangkan
pemikirannya, seperti Abu Yusuf, Ibnu Thaimiyah, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari mekanisme pasar?


2. Siapa sajakah ekonom muslim dan bagaimana pemikiraannya tentang
mekanisme pasar ?
3. Bagaimana mekanisme pasar dalam islam dan pembentukan harga yang adil ?
4. Apa itu hisbah ?
5. Bagaimana intervensi pasar dalam perspektif islam ?

1.3 Tujuan Penyusunan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari mekanisme pasar, siapa saja tokoh ekonom
muslim dan bagaimana dengan pemikirannya terhadap mekanisme pasar.
2. Untuk mengetahui mekanisme pasar dalam islam dan pembentukan harga yang
adil.
3. Untuk mengetahui pengertian hisbah.
4. Untuk mengetahui intervensi pasar dalam perspektif islam.
Bab 2

Pembahasan

2.1 Pemikiran Ekonom Muslim tentang Mekanisme Pasar

Mekanisme Pasar

Mekanisme pasar adalah interaksi antara permintaan dan penawaran sehingga


menentukan terjadinya suatu harga tertentu terhadap barang atau jasa. Adanya interaksi
permintaan dan penawaran mengakibatkan perpindahan suatu barang atau jasa di antara
pelaku ekonomi, yaitu produsen/supplier, konsumen, dan pemerintah. Jadi, syarat
terjadinya mekanisme pasar adalah adanya kegiatan transfer suatu barang atau jasa yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi (produsen/supplier, konsumen, dan pemerintah) melalui
kegiatan perdagangan.

Islam menempatkan pasar dalam posisi yang sangat penting dalam kegiatan
perekonomian. Pada masa Rasulullah dan masa sahabat, menunjukan adanya peranan
pasar yang besar terhadap kegiatan ekonomi umat. Rasulullah sangat menghargai harga
yang dibentuk di pasar sebagai harga yang adil. Rasul menolak adanya intervensi pasar
sehingga mempengaruhi harga jika harga tersebut terjadi secara alamiah berdasarkan
hukum permintaan dan penawaran. Namun harga yang dibentuk oleh pasar
mengharuskan adanya prinsip moralitas (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan
(transparancy) dan keadilan (justice). Sehingga tidak ada alasan untuk menolak harga
pasar. Berikut pemikiran para ekonom islam tentang mekanisme pasar :

1. Abu Yusuf (731 M – 798 M)


Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-
Kufi Al-Baghdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada
tahun 113 H (731) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M).

Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang menyinggung tentang


mekanisme pasar. Abu Yusuf hidup pada masa terjadi fenomena di mana harga
cenderung tinggi jika adanya kelangkaan, sedangkan pada saat barang tersebut
melimpah, maka harga cenderung turun atau lebih rendah. Kondisi ini sesuai dengan
pandangan teori ekonomi modern, di mana jika jumlah persediaan barang (Q) banyak,
maka harga (P) akan turun, begitu pula sebaliknya, jika jumlah persediaan barang (Q)
sedikit, maka harga (P) akan naik. Namun, Abu Yusuf membantah pemahaman seperti
itu. Menurut Abu Yusuf, jumlah barang yang sedikit tidak selalu mengakibatkan harga
menjadi lebih mahal, begitu pula sebaliknya, jumlah barang yang banyak tidak selalu
mengakibatkan harga menjadi lebih murah.

Dalam kitabnya, Al-Kharaj Abu Yusuf berkata:

“Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang


makanan sangat sedikit tetapi murah”

Di lain pihak, Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain
yang mempengaruhi naik turunnya harga, yaitu adanya pergeseran dalam permintaan,
jumlah uang yang beredar, atau kegiatan penimbunan dan penahanan barang.

2. Ibnu Thaimiyah (1263 M – 1328 M)

Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin
Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu
Thaimiyah, lahir di kota Harran pada tahun 661 H (1263 M) dan meninggal dunia pada
tahun 728 H (1328 M).

Menurut Ibnu Thaimiyah, naik turunnya harga tidak hanya diakibatkan oleh
kazaliman para pedagang, tetapi juga dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di
pasar. Naiknya harga karena jumlah persediaan barang yang sedikit, sedangkan
turunnya harga karena jumlah persediaan barang melimpah. Menurut Ibnu Thaimiyah,
kenaikan atau penurunan jumlah persediaan barang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
produksi dan impor.

Menurut Ibnu Thaimiyah (dalam Adiwarman Karim, 2006: 366-367) ada


beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga,
yaitu: Keinginan masyarakat, jumlah para peminat, lemah atau kuatnya kebutuhan
terhadap suatu barang, kualitas pembeli, jenis uang yang digunakan dalam transaksi,
tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara kedua belah
pihak, dan besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.

3. Al-Ghazali (1058 M – 1111 M)

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, atau


yang lebih dikenal sebagai Al-Ghazali, lahir di Thus pada tahun 1058 M / 450 H, dan
meninggal di Thus pada tahun 1111 M / 505 H.

Al-Ghazali dalam mengemukakan teori permintaan dan penawaran. Melalui


tulisannya Al-Ghazali manyatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi
produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah. Selain itu ia
juga menyatakan bahwa  harga-harga makanan yang melambung tinggi, maka harga
tersebut dapat menurunkan permintaan.

Selain membahas tentang permintaan dan penawaran, Al-Ghazali juga


membahas tentang barter dan evolusi uang, di mana ia menjelaskan bagaimana uang
mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter. Al-Ghazali juga
membahas yang sekarang ini dikenal sebagai elastisitas permintaan, ia menjelaskan
bahwa mengurangi margin keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan
meningkatkan volume penjualan, dan ini pada gilirannya akan meningkatkan
keuntungan.

4. Ibnu Khaldun (1332 M – 1383 M)

Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar


Muhammad bin al-Hasan, atau lebih dikenal sebagai Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia
pada tahun 732 H/1332 M, dan meninggal dunia pada tahun 1383 M.

Ibnu Khaldun mengemukakan dalam kitabnya Al-Mukaddimah, bahwa harga


ditentukan oleh ketersediaan barang. Jika persediaan barang melimpah, maka harga
turun, begitu pula sebaliknya, jika persediaan barang sedikit, maka harga naik. Ibnu
Khaldun berkata:

“Penduduk suatu kota memiliki makanan lebih banyak daripada yang mereka
perlukan, karenanya, harga makanan rendah, kecuali jika nasib buruk menimpa
dikarenakan kondisi cuaca yang dapat mempengaruhi (persediaan) makanan”

2.2 Permintaan dan Penawaran dalam Islam

Konsep permintaan dalam islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa) tidak
semuanya bisa dikonsumsi maupun digunakan, dibedakan antara yang halal dengan
yang haram .Oleh karena itu, dalam teori permintan Islami membahas permintaan
barang halal, sedangkan dalam permintaan konvensional, semua komoditi dinilai sama,
bisa dikonsumsi dan digunakan. QS. Al Maidah: 87-88

@َ ‫ت َما َأ َح َّل هَّللا ُ لَ ُك ْم َواَل تَ ْعتَدُوا ِإ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْعتَ ِد‬
‫ين‬ ِ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تُ َحرِّ ُموا طَيِّبَا‬

(88) )87( َ‫طيِّبًا َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي َأ ْنتُ ْم بِ ِه ُمْؤ ِمنُون‬
َ ‫َو ُكلُوا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم هَّللا ُ َحاَل اًل‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah
dihalalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas (87), Dan makanlah makanan yang halal
lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah
Yang kamu beriman kepada-Nya (88)” .
Menurut Ibnu Taimiyah, permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap
sesuatu, yang digambarkan dengan istilah raghbah fi al-syai. Yang diartikan sebagai
Jumlah barang yang diminta.secara garis besar, permintaan dalam ekonomi islam sama
dengan ekonomi konvensional, namun ada batasan batasan tertentu yang harus
diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya. Islam mengharuskan untuk
mengkonsumsi barang yang halal lagi thoyyib. Aturan Islam melarang seorang muslim
memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat dimana apabila barang
tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh pada kesehatan muslim tersebut. Selain
itu, dalam ajaran Islam orang yang mempunyai banyak uang tidak diperbolehkan
membelanjakan uangnya semau hatinya. Batasan anggaran belum cukup untuk
membatasi konsumsi. Batasan lain yang perlu diperhatikan adalah seorang muslim tidak
boleh berlebihan (ishrof), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah). Sebagaimana
di dalam surah al a’raf :31

ۚ ‫ٰيبَنِ ْٓي ٰا َد َم ُخ ُذوْ ا ز ْينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َّو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َواَل تُس‬
ِ ‫ْرفُوْ ا اِنَّهٗ اَل ي ُِحبُّ ْال ُمس‬
َ‫ْرفِ ْين‬ ِ ِ

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. “

Islam tidak menganjurkan permintaan suatu barang dengan tujuan kemegahan,


kemewahan, kemubadziran. Bahkan islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai
nishab, untuk menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infaq, dan
shodaqoh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan

Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa menjelaskan, bahwa hal-hal yang
mempengaruhi permintaan suatu barang antara lain:

1. Keinginan atau selera masyarakat terhadap suatu barang yang berbeda dan
selalu berubah-ubah. Dimana ketika masyarakat telah memiliki selera terhadap suatu
barang maka hal ini akan mempengaruhi jumlah permintaan terhadap barang tersebut.

2. Jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang
menginginkan barang tersebut semakin banyak, maka harga barang tersebut akan
semakin meningkat.
3. Kualitas pembeli (al-mu’awid). Dimana tingkat pendapatan merupakan salah
satu cirri kualitas pembeli yang baik. Semakin besar tingkat pendapatan, semakin tinggi
kualitas manyarakat untuk membeli.

4. Lemah atau kuatnya kebutuhan suatu barang. Apabila kebutuhan terhadap


suatu barang itu tinggi maka permintan terhadap barang itu juga tinggi.

5. Cara pembayaran (tunai atau angsuran). Jika pembelian barang tersebut


dengan transaksi tunai, biasanya permintaannya lebih tinggi

6. Besarnya biaya transaksi. Apabila biaya transaksi dari suatu barang rendah,
maka permintaan akan meningkat..

Membahas teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan
manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang bersamaan. Dalam
memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia, larangan yang
harus dipatuhi adalah “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Larangan
ini tersebar di banyak tempat dalam Al-Qur'an dan betapa Allah sangat membenci
mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Secara umum tidak banyak perbedaan
antara teori permintaan konvensional dengan islami sejauh hal itu dikaitkan dengan
variabel atau faktor yang turut berpengaruh terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk
kurva secara umum pada hakekatnya sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu
perbedaan dalam pespektif ini kemungkinan besar berasal dari landasan filosofi dan
moralitas yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam. Yang pertama adalah bahwa
Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau produsen,
sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang
didorong oleh islam dalam kehidupan perekonomian adalah kesederhanaan, tidak silau
dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-
nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man. Yang kedua adalah
norma-norma islam yang selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram.
Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-
hal yang diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-barang atau
transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya. Namun
demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh
kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam
menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di
balik itu. Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah
lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi islam menjadi lebih sempit dari pada
yang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan
(filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi islam
menyempit yaitu filosofi kehidupan islam dan norma moral islam. Dalam perspektif
ekonomi islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk
memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi
keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang selau
menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang
diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan
tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah).Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan
produksi barang yang tidak berguna secara syar’i. Kedua rasionalitas. Asumsi kedua ini
merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat
bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan
keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang
mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama
manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara
apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan
keuntunganan, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional
dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin
memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada
jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.

Faktor yang mempengaruhi penawaran terhadap suatu barang

Faktor yang mempengaruhi penawaran menurut Ibnu Khaldun adalah banyaknya


permintaan tingkat keuntungan relative (tingkat harga), tingkat usaha manusia
(produktifitas) misalnya besarnya tenaga buruh termasuk termasuk ilmu pengetahuan
yang dimiliki dan keterampilan yang dimiliki, keamanan dan ketenangan serta
kemampuan teknik dan perkembangan secara keseluruhan. Adapun faktor-faktor yang
lain yang mempengaruhi penawaran terhadap suatu barang:

1. Biaya dan teknologi


Biaya dan teknologi adalah dua konsep yang sangat erat berkaitan satu sama
lain. Yang dimaksud dengan biaya adalah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi
barang dan jasa mencakup baiaya tenaga kerja, biaya bahan baku, jika sistem ekonomi
konvensional dalam operasionalnya. Teknologi adalah penemuan dan peningkatan
teknologi yang diterapkan untuk menurunkan biaya produksi contohnya adalah
penggunaan robot dan komputer. Jika diterapkan teknologi baru dan sebagainya.

2. Jumlah penjual

Jumlah penjual memiliki dampak langsung terhadap penawaran, makin banyak


jumlah penjual yang mampu menjual pada tingkat harga tertentu makin tinggi
penawaran.

3. Dugaan tentang masa depan

Aspek dugaan atau ekspetasi terhadap masa depan mencakup dugaan mengenai
perubahan harga dari barang tersebut. Misalnya, jika penjual menduga bahwa harga
barangnya akan meningkat dimasa depan, ia akan mengurangi penawarannya pada saat
ini. Akibatnya penawarannya berkurang. Hal ini dilarang oleh nabi, karena seperti nanti
yang akan kita lihat, perilaku ini mengakibatkan harga dipasar melonjak.

4. Kondisi alam

Kondisi alam seperti terjadi banjir, gempa bumi dan sebagainya. Bisa
mengakibatkan penawaran barang-barang tertentu berkurang khususnya barang-barang
hasil pertanian.

2.3 Mekanisme Pasar dalam Islam dan Pembentukan Harga yang Adil

Mekanisme pasar dalam islam

Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam
keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinal, sehingga salah satunya
menjadi dominan dari yang lain. Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas
menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang
mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam kenyatannya sulit
ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair}. Distorsi pasar tetap sering
terjadi, sehingga dapat merugikan banyak pihak. Pasar yang dibiarkan berjalan
sendiri (laissez faire), tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah
menyebabkan penguasaan pasar secara sepihak oleh pemilik modal (capitalist),
penguasa infrastruktur dan pemilik informasi. Asimetrik informasi juga menjadi
permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam
mempunyai peran yang sama dengan pasar, tugasnya adalah mengatur dan mengawasi
ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi
yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas
menjadikannya dominan, sebab negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar
yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam
sistem pasar.

Konsep mekanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasulullah
SAW sebagaimana disampaikan oleh Anas ra., sehubungan dengan adanya kenaikan
harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini, terlihat dengan jelas
bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep mekanisme
pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut:

"Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan
saran kepada Rasulullah dengan berkata, "Ya Rasulullah hendaklah engkau
menentukan harga." Rasulullah saw. Berkata, "Sesungguhnya Allahlah yang
menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku
harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu
menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta".

Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah dalam hadits tersebut tidak
menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada
mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan
mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditentukan.
Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini
dikarenakan, ucapan Nabi itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai
dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hokum supply and demand.

Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh
Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut
teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak terlihat (invisible hands).
Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan
Allah).

Oleh karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan di


pasar, maka harga barang tidak boleh ditetapkan pemerintah, karena ketentuan harga
tergantung pada hukum suppy and demand. Namun demikian, ekonomi Islam masih
memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk melakukan intervensi harga (price
intervention) bila para pedagang melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan
dan merugikan konsumen.

lntervensi pasar telah dilakukan pada zaman Rasulullah dan Khulafu ar-
Rasyidin. Saat itu harga gandum di Madinah naik. Di masa Khulafu ar-Rasyidin, para
khalifah pemah melakukan intervensi pasar, baik pada posisi supply maupun demand.
Intervensi pasar yang dilakukan Khulafu ar-Rasyidin sisi suppy ialah mengatur jumlah
barang yang ditawarkan, seperti yang dilakukan 'Umar bin Khathab ketika mengimpor
gandum dari Mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah.

Sedang initervensi dari sisi demand dilakukan dengan menanamkan sikap


sederhana dan menjauhkan diri dari sifat konsumerisme. Intervensi pasar juga
dilakukan dengan pengawasan pasar (hisbah). Dalam pengawasan pasar ini Rasulullah
menunjuk Sa'id bin Sa'id Ibn al-'Ash sebagai kepala pusat pasar (mutassib) di pasar
Mekkah.

Pembentukan harga yang adil

Sebagaimana yang telah dibahas di awal, bahwa masalah pengawasan atas harga
muncul pada masa Rasulullah sendiri sebagaimana yang telah diceritakan dalam
hadits bahwa Rasulullah menolak menetapkan harga.
Ibn Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hanbali
mengatakan: "Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki wewenang untuk
mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual barang-barang mereka
dengan harga berapapun yang mereka sukai." Ibnu Qudamah mengutip hadits
tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenankan mengatur atau
menetapkan harga. Pertama, Rasulullah tidak pernah menetapkan harga, meskipun
penduduk menginginkannya. Bila itu diperbolehkan, pastilah Rasulullah akan
melaksanakannya. Kedua, menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (kezaliman)
yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang, yang di dalamnya setiap orang
memiliki hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan
pemiliknya.

Ibn Qudamah selanjutnya mengatakan 'bahwa ini sangat nyata apabila adanya
penetapan dan regulasi serta pengawasan harta dari pihak pemerintahan akan
mendorong terjadinya kenaikan, harga-harga barang semakin melambung (mahal).
Sebab jika para pedagang dari luar negeri mendengar adanya kebijakan pengawasan
harga, meraka tak akan mau membawa barang dagangannya di luar harga yang
diinginkan. Para pedagang lokal, yang memiliki barang dagangan akan
menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen yang rnembutuhkan akan
meminta barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena
harganya melonjak atau tinggi. Harga akan meningkat dan kedua belah pihak
menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi rnenjual barang dagangan
mereka, dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi
dan dipuaskan. Inilah alasan mengapa Ibn Qudamah melarang regulasi harga oleh
pernerintah."

Negara memiliki kekuasaan unutk mengontrol harga dan menetapkan besarnya


upah pekerja, demi kepentingan publik. Ibn Taimiyyah tidak menyukai pengawasan
harga dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya, penduduk bebas
menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka sukai. Melakukan
penekanan atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan menimbulkan dampak
negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri dari penjual barang atau
menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual dengan harga terendah, selanjutnya
kualitas produk akan merosot yang akan berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang
bertentangan dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk yang akan
merugikan konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman,
akan berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi
konsumen tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan harga, dan negeralah yang
berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan
sewenang-wenang, harga ditetapkan melalui musyawarah. Harga ditetapkan dengan
pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak dan akibat buruk dari
penetapan harga itu bisa dihindari.

Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara
keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan
itu, negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk
mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok ini bisa
mengakibatkan ketidak-stabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin menghindari
anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak terbatas, sebab
akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan ketidak-percayaan publik atas
mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang terbuat dari selain emas dan
perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau alat nilai tukar barang. Karena itu
otoritas ekonomi (negara) harus mengeluarkan mata uang berdasarkan nilai yang
adil dan tak pemah mengeluarkan mata uang untuk tujuan bisnis. Ibnu Taimiyyah
sangat jelas memegang pandangan pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas
ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur dan alat pertukaran. Setiap upaya untuk
merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi ekonomi

2.4 Hisbah (Pengawasan) dan Intervensi Pasar

Hisbah
Lembaga yang bertugas dalam melakukan kontrol harga disebut dengan hisbah.
Rasulullah, sebagaimana dijelaskan di awal, memandang penting arti dan peran
lembaga hisbah (pengawasan pasar). Para muhtasib (orang-orang yang duduk di
lembaga hisbah), pada masa Rasul sering melakukan inspeksi ke pasar-pasar. Tujuan
utamanya untuk mengontrol situasi harga yang sedang berkembang, apakah normal
atau terjadi lonjakan harga, apakah terjadi karena kelangkaan barang atau faktor lain
yang tidak wajar. Dari inspeksi ini tim pengawas mendapatkan data obyektif yang
bisa ditindaklanjuti sebagai respons. Jika terjadi kelonjakan harga akibat
keterbatasan pasok barang, maka tim pengawasan memberikan masukan kepada
Rasulullah dengan target utama untuk segera memenuhi tingkat penawaran,
agar segera tercipta harga seimbang. Namun, tim inspeksi juga tidak menutupi bahwa
jika faktor kelonjakan harga karena faktor lain (mungkin penimbunan, ihtikdry maka
Rasulullah langsung mengingatkan agar tidak melakukan praktek perdagangan
yang merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Terjunnya Rasulullah, segera
direspon positif dalam bentuk penurunan harga. Sementara pedagang Yahudi dan
paganis tidak berdaya menolak himbauan Rasul. Dari realitas itu terlihat bahwa
lembaga hisbah sejak masa nabi cukup efektif dalam membangun dinamika harga
yang di satu sisi memperhatikan kepentingan masyarakat konsumen dan di sisi lain
tetap menumbuhkan semangat perniagaan para pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.

Setelah Rasulullah wafat, peranan lembaga bisbab diteruskan oleh Khulafa' ar-
Rasyidin. Bahkan ketika Khalifah 'Umar, lembaga hisbah lebih agresif lagi. Hal
ini didasarkan oleh perkembangan populasi yang memaksa pusat-pusat
perbelanjaan juga meningkatkan jumlahnya. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi
dengan sistem kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi potensi ketidakseimbangan
harga yang merugikan masyarakat konsumen.

Menyadari potensi resiko ini, para khalifah yang empat memandang penting lembaga
hisbah. Sejarah mencatat bahwa pada masa khalifah yang empat, masalah harga
dapat dikontrol dan pada barang tertentu dapat dipatok dengan angka minimum-
maksimum yang wajar. Maknanya di satu sisi, kepentingan konsumen tetap
dilindungi, dan di sisi lain, kepentingan kaum pedagang tetap diberi kesempatan
mencari untung, tetapi dirancang untuk menjauhi sikap eksploitasi dan kecurangan.
Yang perlu dicatat adalah keberhasilan lembaga bisbab dalam mengontrol harga dan
pematokan harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan efektivitas kerja .
tim lembaga hisbah yang commited terhadap misi dan tugas pengawasan di
lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh anggota tim untuk melakukan kolusi
dan menerima risywah (suap).

Lebih lanjut, lbn Taimiyyah mencatat beberapa hal menyangkut


persoalan harga di dalam pasar, hubungannya dengan

faktor yang mempengaruhi demand and supply sebagai benkut."

a. Keinginan konsumen (ragbah) terhadap jenis barang yang beraneka ragam


atau sesekali berubah. Keinginan tersebut karena limpah-ruahnya jenis barang
yang ada atau perubahan yang terjadi karena kelangkaan barang yang diminta
(mathlub). Sebuah barang sangat diinginkan jika ketersediaannya berlimpah, dan tentu
akan berpengaruh terhadap naiknya harga.

b. Perubahan harga juga tergantung pada jumlah para konsumen.

Jika jumlah para konsumen dalam satu jenis barang dagangan itu

banyak, maka harga akan naik. Dan terjadi sebaliknya, harga akan turun jika
jumlah permintaan kecil.

c. Harga akan dipengaruhi juga oleh menguatnya atau melemahnya tingkat kebutuhan
atas harga barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan,
bagaimanapun besar ataupun kecilnya. Jika kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan
naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuha itu kecil atau lemah.

d, Harga juga berubah-ubah sesuai dengan siapa pertukaran itu dilakukan


(kualitas pelanggan). Jika ia kaya dan dijamin bayar

hutang, harga yang rendah bisa diterima olehnya, dibanding dengan orang lain
yang diketahui sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran atau diragukan
kemampuan mem- bayarnya.

e. Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk alat pembayaran (uang)

yang digunakan dalam jual-beli. Jika yang digunakan umum


dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar

dengan uang yang jarang ada di peredaran.

f. Suatu obyek penjualan (barang), dalarn satu waktu tersedia secara fisik dan
pada waktu lain terkadang tidak tersedia. Jika obyek penjualan tersedia, harga akan
lebih murah ketimbang jika tidak tersedia. Kondisi yang sama juga berlaku bagi
pembeli yang sesekali mampu membayar kontan karena mempunyai uang, tetapi
sesekali ia tak memiliki dan ingin menangguhkannya agar bisa membayar. Maka
harga yang diberikan pada pembayaran kontan tentunya akan lebih murah dibanding
sebaliknya.

Intervensi pasar

Pasar adalah tempat bertemunya antara penjual (penawaran) dan Pembeli (permintaan)
baik barang, jasa maupun sumber daya. Ekonomi islam memandang pasar, negara, dan
individu berada dalam keseimbangan (iq-qtishad), tidak ada batasan yang menjadikan
salah satunya lebih mempengaruhi (berkuasa). Pasar bebas menentukan cara-cara
produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya
keseimbangan pasar. Ajaran islam berusaha untuk menciptakan suatu keadaan pasar
yang dibingkai oleh nilai-nilai syari’ah, meskipun tetap dalam suasana yang bersaing,
suasana bebas tapi masih dalam kerangka norma-norma dan nilai syari’ah Islam.

Mekanisme pasar menentukan tingkat harga tertentu dalam pasar. Dalam islam Allah-
lah yang menentukan harga. Sehingga dalam islam keuntungan yang akan dicapai oleh
seorang pedagang adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat disini
berupa a) harga yang dipatok penjual tidak memberatkan konsumen, b) berdagang
sebagai realisasi ta’awun (tolong menolong), dan c) bernilai ibadah apabila berdagang
dengan mematuhi etika ekonomi islam.

Namun dalam perkembangannya, ternyata pemerintah banyak mengintervensi dalam


menentukan harga di pasar. Sebagai salah satu contoh di Indonesia, yaitu kebijakan
penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dll. Dimana harga BBM bukan harga
alamiah yang terjadi akibat pasar bebas (normal), tetapi harga yang telah tetap dari
Negara (pemerintah). Bagaimanakah ekonomi islam memandang intervensi pasar ini?
Adakah konsep penetapan harga perspektif ekonomi islam?

Pada masa Rasulullah masyarakat muslim sangat menjunjung tinggi mekanisme pasar
dalam menjalankan perekonomian. Bahkan nabi sendiri seorang pelaku pasar yang aktif
juga menjadi pengawas pasar hingga akhir hayatnya. Sebagai  pengawas pasar,
Rasulullah saw sangat menghargai harga yang terjadi akibat mekanisme pasar yang
bebas, sehingga tidak ada alasan masyarakat untuk tidak mentaatinya. Dari itu beliau
menolak untuk membuat kebijakan penetapan suatu harga tertentu di Madinah manakala
harga suatu barang tidak menentu. Penolakan yang beliau ajukan ini, dengan alasan, bila
kenaikan yang terjadi dari suatu harga diakibatkan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran yang murni, yang tidak adanya dorongan-dorongan monopolitik dan
monopsonistik, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menolaknya atau tidak
menghargai harga yang terjadi di pasar.

Kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan dimana pasar sudah menjadi sunatullah


(hukum alam), Penetapan harga di pasar merupakan suatu ketidakadilan (zulm) yang
akan dituntut pertanggung jawabannya dihadapan Allah, sebab, pasar merupakan
kekuatan kolektif yang telah menjadi ketentuan-Nya dan tidak seorangpun secara
individual yang dapat mempengaruhi pasar. Oraang yang menetapkan harganya sendiri
termasuk orang yang ingkar terhadap Allah. Mekanisme pasar dilakukan berdasarkan
rasa suka sama suka.

Mekanisme dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual goodwill bagi
pelakuknya apabila nilai-nilai moralitas ditegakkan. Nilai-nilai moralitas yang mendapat
perhatian khusus dalam pasar yang Islami dan harus menjadi pegangan bagi setiap
personal adalah persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan
(tranparancy), dan keadilan (justice). Nilai-nilai moralitas ini  harus menjadi dasar yang
kuat dalam pasar yang Islami.

Dalam praktiknya perlu adanya penjagaan agar pasar berjalan sesuai dengan persaingan
yang Islami maka perlu suatu lembaga khusus yang berfungsi mengontrol pasar dalam
praktek-praktek yang menyimpang. Pada masa Rasulullah lembaga ini dikenal dengan
nama al-Hisbah (market controller), sedangkan petugas dari al-hisbah disebut sebagai
al-Muhtasib. Al-Hisbah  berfungsi untuk memerintahkan kebaikan sebagai kebiasaan
dan melarang hal yang buruk agar tidak menjadi kebiasaan. Selain itu tujuan dari
dibentuknya al-Hisbah itu sendiri adalah untuk memerintahkan suatu kebaikan (al-
ma’ruf) dan mencegah keburukan (al-munkar).

Denga adanya al-Hisbah tersebut ekonomi pasar kita akan bisa dikontrol dengan baik
sesuai dengan syari’ah Islam. Dengan kata lain, al-hisbah harus terhindar dari campur
tangan permerintahan suatu negara, dimana kontrol sering dilakukan oleh kementrian,
depertemen-depertemen, dinas atau lembaga-lembaga terkait, yang tidak
mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Al-hisbah harus dipisahkan dari
permerintahan suatu negara, agar bisa mengontrol pasar dengan baik.

Jika hal tersebut dilakukan dimasa sekarang al-hisbah harus dilakukan oleh negara
(pemerintahan), maka setidaknya ada kriteria-kriteria khusus sebagai syarat bagi  al-
Hisbah yaitu adanya nilai-nilai islam di dalamnya. Al-Hisbah (pemerintah) ini tidak
sekedar berperan menjadi perangkat ekonomi, tetapi juga berfungsi sebagai religius dan
sosial, yaitu al-muhtasib (orang-orang yang ada dalam al-hisbah) harus melaksanakan
sholat jum’at dan sholat wajib lainnya, menegakkan kebenaran, melarang perbuatan
buruk seperti berkata dusta, tidak jujur, mengurangi timbangan, penipuan dan lain
sebagainya hal-hal yang bertentangan dangan ajaran Islam.  Dengan demikian, maka al-
hisbah akan memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan ekonomi pasar yang
Islami dalam suatu negara.
Konsep harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang
Islami. Sebab pada prinsipnya, transaksi bisnis harus dilkukan dengan harga yang adil,
karena hal tersebut merupakan cerminan dari komitmen syari’ah Islam terhadap
keadilan yang menyeluruh. Secara umum, harga yang adil ini adalah harga yang tidak
menimbulkan eksploitasi (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak yang
menguntungkan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan
penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli
memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahawa islam sangat menjunjung tinggi
mekanisme pasar yang bebas. Harga keseimbangan dalam pasar yang bebas
(competitive market price) merupakan harga yang paling baik, sebab mencerminkan
kerelaan antara produsen dan konsumen, meskipun terkadang harga keseimbangan tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam dunia nyata,
mekanisme pasar seringkali tidak berjalan secara baik. Dalam keadaan seperti ini,
perlukah intervensi pemerintah ke dalam pasar agar harga bisa pada posisi yang
diinginkan?

Konsep Islam dalam model kebijakan regulasi harga ditentukan oleh 2 hal, yaitu: (1)
jenis penyebab perubahan harga tersebut, dan (2) urgensi harga terhadap kebutuhan
masyarakat, yaitu keadaan darurat. Secara garis besar penyebab perubahan harga dapat
dibagi menjadi 2 hal, yaitu:

• Genuine Factors, yaitu faktor-faktor yang bersifat alamiah. Kebijakan yang ditempuh
untuk stabilisasi harga adalah dengan intervensi pasar (market intervention) dengan
mempengaruhi posisi permintaan dan penawaran sehingga tercipta harga yang lebih pas
dan wajar.
• Non Genuine Factors, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan distorsi terhadap
mekanisme pasar yang bebas. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah
dengan menghilangkan penyebabkan distorsi tersebut sehingga mekanisme pasar yang
bebas dapat bekerja kembali, termasuk dengan cara penetapan harga (price
intervention).

Dengan sebab diatas maka pemerintah dapat melakukan intervensi harga. Keadaan ini
sangat diperlukan sehingga dapat disebut darurat, karenanya harus diambil suatu
kebijakan yang sifatnya darurat pula. Intervensi pasar juga dapat dilakukan manakala
pemerintah menemukan bukti bahwa para pedagang banyak menahan barang-
barangnya. Bahkan, demi kemaslahatan bersama, pemerintah dapat memaksa pedagang-
pedagang tersebut untuk menjual barang-barang mereka sehingga pasar akan kembali
beroperasi dengan bebas. Dalam hal ini, pemerintah juga dapat menggunakan dana dari
baitul mal (dana negara) untuk membiyai intervensi pasar. Namun, jika dana yang
digunakan dari baitul mal tidak memadai maka pemerintah dapat meminta bantuan dana
dari masyarakat golongan kaya.

Dalam pandangan islam ppenetapan harga dapat dilakukan apabila 1) faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan harga adalah distorsi terhadap genuine factors, dan 2) terdapat
urgensi masyarakat terhadap penetapan harga, yaitu keadaan darurat. Beberapa
penyebab yang lazim menimbulkan distorsi ini antara lain:

 • Adanya penimbunan (ikhtikar) oleh segelintir penjual.

 • Adanya persaingan yang tidak sehat, dengan menggunakan cara-cara yang tidak fair
antar penjual, sehingga harga yang tercipta bukan harga pasar yang sebenarnya.
 • Adanya keinginan yang sangat jauh berbeda antara penjual dan pembeli, misalnya
penjual ingin menjual barangya dengan harga yang terlalu tinggi, sementara pembeli
ingin membeli dengan harga yang terlalu rendah

Para intelektual muslim sepakat bahwa kondisi darurat (emergency) dapat menjadi
alasan pemerintah dalam mengambil kebijaka intervensi harga, tetapi tetap berpijak
pada keadilan. Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah:

1. Harga naik sedemikian tinggi di luar kewajaran, sehingga tidak terjangkau oleh
masyarakat (kenaikan harga yang tidak wajar yaitu setinggi 2 kali lipat harga pasar)

2. Menyangkut barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya


barang pangan

3. Terjadi ketidakadilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi di pasar.    

Demkianlah bagaimana Islam melihat bahwa pasar merupakan wujud yang mendorong
untuk kemajuan sebuah perekonomian Islam.  Pasar yang Islami adalah sebuah pasar
persaingan sempurna, yaitu persaingan dalam bingkai nilai dan moralitas Islam. Dengan
kata lain pasar tersebut tidak mengandung deviasi dari nilai dan moralitas Islam. Jadi
jelas bukan pasar yang bebas-sebebasnya sebagaimana dalam pandangan kapitalisme,
tetapi pasar yang bebas yang dibingkai oleh nilai dan moralitas islam. 

2.5 Pasar Bebas dalam Perspetif Islam


Dalam Ethics and Economics an Islamic Synthesis, Syed Nawad Haider Naqvi
(1981) mengungkapkan bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan essensi manusia
sebagai mahkluk yang memiliki kebebasan. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan
kegiatan guna mendapatkan kebutuhannya secara optimal. Dalam kebebasannya untuk
memenuhi kebutuhan, manusia berhadapan dengan manusia lain yang juga memiliki
derajat kebebasan yang sama dalam memenuhi kebutuhan. Bila antara manusia
melanggar batas kebebasan kebutuhan antara sesamanya maka akan terjadi
konflik. Konflik akan merugikan bagi manusia, bila hal ini terjadi maka manusia akan
kehilangan peluang untuk mendapatkan kebutuhan yang diharapkannya. Oleh
karenanya manusia berusaha menjauhi konflik melalui cara-cara tertentu sebagai usaha
untuk menghindari kerugian seminimal mungkin dan pendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin dalam “mengekspresikan kebebasannya”. Cara-cara tersebut
relatif konsistensi dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan penandaan bagi manusia
untuk memformulasikan  dalam bentuk teori-teori, maka berkembanglah teori
konsumsi, teori produksi dan teori lainnya.

Sebagaimana diungkapkan Milton Friedman (1972) dalam Capitalism and


Freedom, bahwa manusia tidak bisa bebas, karena kebebasan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dibatasi kebebasan manusia lain. Kita tidak hanya berhubungan
dengan manusia yang kita kenal di satu kampung tetapi juga di lain kampung, di lain
daerah dan di lain negara yang mempunyai pemahaman terhadap kebebasan dalam
memenuhi kebutuhan yang berbeda. Selain itu manusia juga berhubungan dengan alam
semesta dengan segala isinya, yang juga memiliki “kebebasan” yang berbeda dengan
manusia. Manusia tidak bisa menafsirkan kebebasan sekehendak dirinya, kebebasan
manusia dalam kehendak kebebasan yang menciptakan kebebasan manusia itu sendiri,
Allah SWT, Sang Maha Berkehendak.

Adanya pasar, karena aktualisasi manusia dalam menginterpretasikan kebebasan


yang dimilikinya. Oleh karena itu, karakter pasar tidak dipisahkan sikap-sikap manusia
dalam memahami kebutuhannya. Secara tidak langsung Islam mengakui pasar bebas,
artinya pasar merupakan implementasi dari kemanusiaan manusia—yang terbatas oleh
ruang dan waktu, dan ini menimbulkan kecenderung yang tidak sama antara
pemahaman manusia di satu wilayah dengan wilayah lain—. Oleh karena itu pasar
bebas tetap mengakomodasikan berbagai masalah kemanusiaan yang mempunyai
potensi berbeda. Dan ini, secara tidak langsung menunjukkan bahwa sesungguhnya
manusia tidak bisa memaksakan bentuk “sistem ekonomi” kepada orang lain dengan
alasan sistem tersebut terbukti baik dalam suatu wilayah tertentu. Sebagaimana Amerika
tidak bisa melegitimasi sistem ekonomi kapitalisme ala Amerika-nya sebagai sistem
yang ideal di negara lain, seperti di Indonesia.

Karena manusia tidak bisa menjawab sistem ekonomi yang ideal bagi
kehidupannya maka manusia perlu pedoman guna dijadikan petunjuk dalam
membangun suatu sistem yang akomodatif terhadap masalah kemanusiaan. Al-Quran,
sebagai firman Allah SWT, penguasa alam semesta beserta isinya dan hadist Rasulullah
SAW, sebagai utusan Allah SWT menjadikan bahan yang presentatif untuk dijadikan
pedoman membangun sistem ekonomi yang lebih ideal. Dengan begitu kebebasan pasar,
masuk dalam teritorial kehendak Allah SWT, bukti bahwa mekanisme ekonomi yang
berjalan di dunia ini atas kehendak Allah SWT manusia tidak mengetahui kerumitan
yang ada dalam kehidupan ini demikian juga kerumitan-kerumitan yang ada dalam
ekonomi. Terbukti, jumlah pakar ekonomi yang bergelar Profesor, Doktor ataupun
Master semakin banyak di bumi ini tetapi tidak semakin banyak masalah ekonomi
masyarakat yang dapat diselesaikan. Artinya manusia tidak bisa menyelesaikan
kerumitan-kerumitan yang ada di dalam ekonomi.

Kerumitan ekonomi tersebut dalam kekuasaan Allah, Allah SWT yang


menentukan masalah di balik kehidupan (ekonomi) masyarakat, dan manusia tidak
berkuasa atas kerumitan ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Waqqi’ah
(68) ayat 68-69, “Adakah kamu lihat air yang kamu minum? Kamulah yang
menurunkan nya dari awan atau Kamilah yang menurunkannya ?”. Allah juga yang
mengatur kebutuhan mahluk hidup, dalam surat al-Hijr (15): 19-20 “Dan Kami telah
menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup dan (kami menciptakan pula
pula makluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pembeli rejeki kepada-
Nya)”. Demikian juga dalam surat Huud (11) ayat 6 Allah SWT berfirman “Dan tak ada
suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah yang memberikan rejekinya dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat menyimpannya. Semakin tertulis
dalam kita yang nyata (Lauh Mahfud).

Ekonomi Kebebasan.

Pengakuan akan ketidakberdayaan manusia dalam mengatur ekonomi diakui


oleh Adam Smith (1723-1790) yang dianggap pelopor pasar bebas—dan akhirnya
sejarah menyebut kapitalisme. Walaupun saat ini “kecemerlangan” Adam Smith sebagai
seorang ekonom terdistorsi oleh praktek pasar bebas yang lebih berorintasi pada usaha
untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan individual. Walaupun sebenarnya, belum
tentu praktek kapitalisme saat ini seperti apa yang dibayangkan oleh Adam Smith pada
jamannya, apalagi kemunculan pemikirannya mengenai pasar bebas merupakan kritik
atas sistem ekonomi Merkantilisme pada saat itu. Jadi tidak perlu kita secara serta merta
memposisikan Adam Smith menjadi suatu “tesis” dan sistem ekonomi Islam—yang
berdasarkan al-Quran dan al-Hadist—sebagai “antitesis” dari “tesis” Adam Smith, itu
sama halnya dengan menyamakan posisi pemikiran Adam Smith—sebagai manusia
biasa— dengan al-Quran dan al-Hadist. Apalagi Adam Smith mengakui keberadaan
Sang Maha Penentu Pasar— Allah SWT— yang dimetaforsiskan dalam bentuk “tangan
gaib”.

Menurut Amartya Sen (1985) dalam the Moral Standing of the


Market dalam Ethics and Economics, pasar bebas adalah sistem ekonomi yang baik
karena menjamin secara cukup baik hak-hak setiap orang, hak atas hidup, atas
kebebasan, atas pribadi. Adam Smith pun membela pasar bebas karena alasan-alasan
yang diungkapkan Amartya Sen; keadilan. Walaupun Adam Smith tidak berprentensi
bahwa pasar bebas akan menjamin sepenuhnya suatu keadilan ekonomis dan distribusi.
Akan tetapi Ia percaya bahwa dengan mekanisme “tangan gaib” sistem ekonomi pasar
bebas pada akhirnya tidak hanya akan menjamin hak-hak individu melainkan juga akan
menciptakan suatu kehidupan ekonomis yang lebih baik. Sebagaimana dikatakan Adam
Smith (1982) dalam The Theory of Moral Sentimen, “mereka dipimpin oleh tangan gaib
untuk melakukan distribusi kebutuhan-kebutuhan hidup secara hampir sama dengan
yang akan dilakukan jika bumi dibagi sama rata di antara semua penduduk dan karena
itu tanpa bermaksud melakukannya, tanpa mengetahuinya, mereka memajukan
kepentingan masyarakat. Dan menyediakan sarana-sarana untuk melipatgandakan
mahluk manusia “

Dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations atau
dikenal dengan The Wealth of Nation, Adam Smith (1985) mengulang fenomena
“tangan gaib”, Adam Smith mengemukaan pandangan bahwa sesungguhnya aktifitas
manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap kepentingan pribadi. Melalui
kepentingannya sendiri lebih sering memajukan kepentingan masyarakat jauh lebih
efektif daripada seandainya ia memang bermaksud mencapai kepentingan masyarakat
tersebut. Dari pernyataan di atas Adam Smith ingin mengatakan bahwa ada suatu
kecenderungan kodrati dalam sistem sosial yang bekerja tanpa diketahui untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti bahwa kesejahteraan sosial dicapai
oleh pasar bebas hanya sebagai produk sampingan, sebagai konsekuensi yang tidak
dimaksudkan dari kegiatan manusia, tentu saja dengan ini tidak berarti bahwa
konsekuensi ini tidak direncanakan. Sebaliknya konsekuensi yang menguntungkan ini
memang telah direncanakan, tapi bukan direncanakan oleh setiap individu melainkan
oleh pencipta alam.

Sebagaiman dikatakan Adam Smith, semua peristiwa di dunia ini dibimbing


oleh Yang Maha Berkehendak ; Allah SWT yang bijaksana berkuasa, kita boleh yakin
bahwa apapun yang terjadi hal itu dimaksudkan bagi kejayaan dan kesempurnaan
semua. Tetapi tidak berarti Allah SWT tidak turut campur langsung, campur tangan
Allah SWT melalui tangan manusia. Menurut Campbell sebagaimana dikatakan Hegel
(1975) dalam Lectures on the Philosophi of the Wordh History, “tangan yang dimaksud
adalah tangan seorang perancang atau pencipta mesin dan bukan tangan seorang
mekanis yang setiap saat turun menyelamatkan mesin ketika ada kerusakan”

Pandangan Pemikir Muslim

Relevan dengan apa yang di pikirkan Adam Smith tentang pasar, 10 abad
sebelumnya, Al Ghazali (1058-1111) menangkap adanya sesuatu yang tidak bisa
dikendalikan manusia dalam pasar, karena sebenarnya pasar mempunyai “kehidupan”
sendiri. Dalam Ihya Ulumuddin Al-Ghazali mengatakan, “Dapat saja petani hidup di
mana alatalat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup di
mana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling
memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan
makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk
menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil
sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani tukang
kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi
ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan
menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan
sebagian persediaan. Pedagang kemudian menjauhnya dengan suatu tingkat keuntungan.
Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”

Secara eksplisit al-Ghazali mengatakan bahwa ada pihak ketiga yang mengatur
hubungan di antara satu manusia dengan manusia lain. Pihak ketiga tersebut adalah
Allah SWT yang menciptakan nurani (atau hasrat) di dalam diri manusia untuk tetap
bertahan hidup. Bukan suatu kesengajaan bahwa timbulnya pasar dikarenakan hubungan
manusia, tetapi lebih merupakan bagian dari usaha untuk memenuhi nurani itu sendiri.
Sehingga di balik keteraturan pasar masih tersisa sesuatu yang tidak bisa dikontrol oleh
manusia— sebagai pelaku yang ada di dalamnya. Oleh karena sampai sekarang belum
ada teori yang benar-benar bisa menjawab secara tuntas tentang masalah-masalah yang
terjadi di dalam pasar. Walaupun teori-teori tersebut di ambil dari masalah-masalah
yang ada di pasar, tetapi penyelesaian masalah hanya dalam kerangka positivis maided,
misalnya jika inflasi meningkat, bunga harus dinaikkan, maka bila bunga naik bertanda
adanya inflasi. Bila bunga naik investasi turun, maka bila investasi turun bertanda bunga
naik. Kesimpulannya untuk menaikkan investasi maka inflasi harus turun, karena
turunnya inflasi menjadikan bunga turun maka investasi akan naik. Oleh karena itu
penyelesaian ini tidak akan mampu mendeteksi secara proporsional masalah-masalah
ekonomi yang dipengaruhi oleh masalah sosial, politik, dan budaya.

Bila ada ada suatu teori yang mampu mengatur mekanisme pasar secara
sempurna maka tidak akan ada masalah ekonomi, sosial, politik maupun budaya yang
menyebabkan timbulkan kerusakan, kerusuhan, diskriminasi, dan lain sebagainya.
Manusia hanya bisa menidentifikasi, meklasifikasi, meverifikasi masalah-masalah
ekonomi yang ada di masyarakat. Manusia tidak bisa mevonis adanya satu-satunya
alternatif teori untuk memecahkan masalah–masalah ekonomi— sebagaimana dilakukan
oleh kebanyakan pemikir ekonomi saat ini—. Oleh karena itu salah satu pemikir
ekonom Muslim, Ibnu Taimiyah (1263-1328) menyebutkan keterlibatan Allah SWT
tidak bias dielakkan dalam teori ekonomi. Seperti dinyatakan dalam al-Hisbah wa Ma’
uliyah al- Hukumah al-Islamiyah atau Al-Hisbah fi’ l-Islam (1976), Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Jika penduduk menjual barang mereka dengan cara umum yang diterima,
bukan karena ketidakadilan pihaknya, harga akan menurun sebagai konswensi
dari penurunan jumlah persediaan barang itu atau meningkat jumlah penduduk,
semuanya karena Allah SWT”
Kritik ekonomi Islam terhadap ekonomi pasar bebas
Dasawarsa belakangan ini terjadi perubahan yang sangat drastic dalam hampir
segala lini kehidupan manusia. Perubahan – perubahan itu demikian cepat dan
drastisnya sehingga sekat kehidupan antar Negara dan bangsa di dunia ini seolah – olah
tiada terbatas (endless of the world). Fenomena ini ditandai dengan adanya
interpendensi, integrasi dan interaski pasar dari berbagai Negara – bangsa (nation state).
Sebagian ilmuwan menyebutnya dengan globalisasi yang merupakan representasi dari
kebangkitan kembali gerakan ekonomi liberal. Liberal memiliki pandangan yang
menekankan pentingnya menyingkirkan peran dan intervensi Negara dalam kehidupan
ekonomi. Karena baginya, campur tangan Negara yang terlalu besar dalam bidang
ekonomi hanya mendistorsi dan membuat ekonomi dunia tidak efektif.

Selain itu, ada tiga sistem ekonomi yang kini dominan di dunia, yakni kapitalis,
sosialis dan keturunannya, Negara sejahtera yang sekuler. Masing – masing telah
mengalami berbagaai revisi penting dari versi aslinya karena berbagai problem yang
dihadapi selam bertahun – tahun, dan berbagai perubahan telah diajukan untuk
mengatasinya. Sistem – sistem itu kini bentuknya telah jauh berbeda dari aslinya.
Namun, kendati telah dilakukan “revisi” dalam sistem – sistem itu, kemewahan yang
diperoleh Negara – Negara penganut sistem ini, dan sumber daya yang relative
melimpah, namun Negara – Negara ini gagal pada berbagai tingkat untuk
merealisasikan yang hendak mereka capai. Banyak diantaranya menghadapi
ketidakseimbangan makro ekonomi yang serius. Bahkan problem – problem yang harus
dihadapi kian bertambah. Kekacauan sosial dan kejahatan meningkat dan secara umum
mereka suatu situasi krisis.

Sejumlah Negara pendukung gerakan liberalism dalam berbagai momen


menuntut perlunya internasionalisasi dan transformasi gagasan liberalisasi. Mereka
membuat konsensus perlunya menyingkirkan tantangan bagi terlaksananya liberalisasi
seperti menghilangkan tarif, menghilangkan kuota dan privilege, serta memberikan dan
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi investasi dan perdagangan impor.Dengan
kemunculan sebuah perekonomian yang global, maka perekonomian nasional yang
khusus, strategi – strategi domestic perekonomian nasional semakin tidak relevan.
Liberalisme (perdagangan bebas) menekankan setiap individu diberi hak untuk
mengejar kepentingan dengan tetap mengacu pada aturan main dimana individu tidak
boleh melanggar hak dan kepentingan individu yang lain. Disinilah maka harus ada
permainan yang fair, termasuk juga harus ada kepatuhan terhadap aturan/perundangan
(a stable of legal framework) sehingga tidak mengganggu harmoni sosial.

Sementara itu, dikatakan bahwa peranan pemerintah yang dikurangi dalam


bidang ekonomi akan membantu menurunkan absorsi domestic dengan melakukan
pengendalian fiskal dan memotong defisit anggaran. Dengan demikian sektor swasta
akan bisa berperan banyak dan aktif dalam ekonomi dengan dorongan yang lebih besar
untuk memenuhi kepentingan pribadinya, akan memberikan sumbangan lebih besar
pada efisiensi. Dengan menipisnya peran Negara, maka giant corporation, dengan
modal milyaran dollarnya mendominasi. Dalam konteks ini, pasar memainkan peran
tanpa intervensi Negara. Pasar berlaku sistem efisien apabila sejumlah prasyarat yang
ditetapkan terpenuhi, seperti; pasar itu harus bersaing, biaya total produksi harus
ditanggung produsen dan dimasukkan dalam harga jual produsesn atau disebut juga
internalisasi biaya. Selain itu, modal harus memiliki akar local atau nasional dan
pemiliknya terlibat langsung dalm mengelolanya.

Dalam doktrin ekonomi liberal, harmoni sosial justru bisa timbul dari konflik –
konflik individu. Agar dapat memberikan sumbangan sosial, Individu dalam mengejar
kepentingannya harus bebas menentukan gerak dan corak perdagangan ekonominya.
Demikian pula, ia harus bebas dan intervensi Negara. Sistem ekonomi liberal tidak
membutuhkan perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Semuanya diserahkan
pada pasar, dan suatu invisible hand akan membawa perekonomian tersebut ke arah
keseimbangan, dimana dalam posisi keseimbangan semua sumber daya dimanfaatkan
sepenuhnya. Sedangkan persaingan pasar bebas yang dikatakan Marx sama dengan
kaidah (prinsip) kebebasan berusaha. Yaitu, masing – masing orang memiliki hak untuk
memproduksi apa saja yang dia inginkan sesukanya.

Sebagaimana halnya ketika persaingan bebas itu terjadi, maka ia juga


menyebabkan melimpahnya produk (barang konsumtif) secara berlebihan, sehingga
kuantitas produk tersebut akan melebihi apa yang mampu dibeli oleh konsumen dan
kalangan pekerja, karena mereka mendapatkan upah yang tidak mencukupi. Itulah yang
menyebabkan krisis (resesi ekonomi), yang berakibat sebagian orang – karena asalnya
kaya raya – berkurang habis kekayaannya, kemudian mereka masuk dalam kelas pekerja
. makin lama sistem yang ada sekarang, makin bertambah pula krisis – krisis ekonomi
yang terjadi pada waktu yang akan datang. M. Umer Chapra berpandangan bahwa,
mekanisme pasar juga diterima oleh islam dalam ekonomi, tetapi ia menuntut pihak
yang bersaing dalam pasar agar beroperasi dibawah bimbingan nilai – nilai moral yang
diterapkan pada self-interest dan harta milik individu untuk memastikan keadilan bagi
semua pihak yang berinteraksidi pasar, konsumen dan factor produksi.

Dan ada satu hal yang menjadi kesepakatan bagi doktrin ekonomi, baik itu
ekonomi Kapitalis, Marxis maupun Ekonomi Islam, yaitu pertumbuhan produksi dan
pemanfaatan alam hingga batas tertinggi dalam kerangka umum masing – masing
doktrin. Ketiga doktrin ekonomi ini (kapitalis, marxis dan ekonomi Islam) sepakat ihwal
pentingnya tujuan ini, juga realisasinya dengan seluruh cara serta metode yang sesuai
dengan kerangka dan warna masing – masing doktrin.

Ekonomi Islam sebagai solusi alternatif dalam menghadapi pasar bebas

Di abad 21 ini ada beberapa agenda yang harus dipikirkan dan dikerjakan demi
mengurangi permasalahan ekonomi dunia secara berkesinambungan. Hal ini tentu
menuntut keseriusan seluruh elemen yang bertanggung jawab pada permasalahan ini.
Kesenjangan sosial, ketidakadilan distribusi di berbagai belahan dunia saat ini,
mencerminkan benang merah permasalahan ekonomi dunia. Ditambah lagi tingkat
konsumtif yang mendera ummat, menyadarkan betapa “mengerikan” sistem ekonomi
dominan yang berkembang saat ini; kapitalisme dan liberalism. Maka dari itu, ekonomi
syariah di percaya oleh sebagian kalangan dan ilmuwan ekonomi sebagai alternative
dalam menghadapi krisis yang berlangsung sekarang ini. Bahkan ekonomi syariah atau
ekonomi Islam juga dituntut untuk berani berkompetisi dengan sistem ekonomi
konvensional yang sudah lama bercokol. Dan dalam era globalisasi ini sebenarnya
memberi kesempatan emas bagi sebuah sistem yang disebut dengan ekonomi Islam ini.

Berbagai factor – factor yang menjadi masalah dalam ekonomi saat ini, berbeda
dengan masalah yang diangkat oleh ekonomi Islam yang justru memandang distribusi
kesejahteraan dan pengelolaan sumber daya alam sebagai masalah utama ekonomi dunia
saat ini. Oleh karana itu, menurut Mannan, “yang membedakan ekonomi Islam dari
sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur,
arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi”. Dengan demikian tugas
ekonomi Islam adalah “menganalisis fakto – factor yang mempengaruhi asal – usul
permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya kea rah
distribusi yang lebih adil.Sistem ekonomi Islam menurut Mannan, merupakan sistem
yang berdiri diatas kakinya sendiri dan menggabungkan semua segi yang baik dari
sebuah masyarkat yang sehat dan seimbang.

Konsumsi, produksi dan distribusi dalam pandangan ekonomi Syariah (islam):


tawaran untuk solusi alternatif

Ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat didalamnya kebijakan –


kebijakan yang memihak kaum miskin dan mereka yang lemah secara ekonomi. Bias
tersebut mencerminkan penekanan ekonomi Islam terhadap keadilan, yang di
terjemahkan sebagai egalitarianisme. Tujuan keadilan sosioekonomi dan pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan sudah jelas dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari filsafat moral islam dan didasarkan pada komitmennya pada persaudaraan manusia.
Sesungguhnya ada penekanan yang besar terhadap keadilan dan persaudaraan dalam al
– qur‟an dan sunnah. Oleh karena itu, keduanya tidak dapat diaktualisasikan tanpa
pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Berikut ini pandangan Ekonomi syariah
dalam konsumsi,produksi dan distribusi:

1. Konsumsi

Konsumsi mengandung arti permintaan, atau juga bisa diartikan sebagai


pemanfaatan. Konsumsi merupakan bagian akhir dari produksi. Kekayaan itu di
produksi hanya untuk dikonsumsi dan bahwasanya kekayaan yang digunakan pada hari
ini, akan digunakan untuk hari esok. Oleh karena itu, konsumsi berperan sebagai bagian
yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi seseorang maupun suatu Negara. Dalam
mengkonsumsi barang, kita senantiasa untuk berhati – hati dalam penggunaan kekayaan
dan berpikir rasional dalam mengkonsumsi suatu barang.

Dalam Islam, ajaran mengenai teori konsumsi diatur sedemikian rupa, sehingga
apa yang menjadi tujuan akhir dari konsumsi tersebut benar – benar tercapai. Al –
qur‟anul karim memberikan kepada kita tentang petunjuk – petunjuk sangat jelas dalam
hal konsumsi. Al-qur‟an mendorong penggunaan barang – barang yang baik dan
bermanfaat serta melarang adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal – hal yang
tidak penting. Dan juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali
yang hanya baik, berdasarkan firman Allah dalam surah Al – maidah ayat 4, yang
terjemahannya “Mereka menanyakan kepada mu, apakah yang dihalalkan bagi mereka,
katakanlah dihalalkan bagimu yang baik – baik”.

Dalam konsep ekonomi Syariah yang dimaksud barang – barang konsumen


adalah barang – barang konsumsi yang berguna dan baik, yang manfaatnya
menimbulkan perbaikan secara materiil, moral maupun spiritual pada konsumennya.
Berdasarkan pola konsumsi diatas, yakni pola penggunaan harta secara berimbang dan
wajar, penulis menganggap bahwa hal tersebut merupakan sifat moderatnya seseorang
di dalam pengeluaran sehingga tidak mengurangi sirkulasi kekayaan (menimbun harta)
dan juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyarakat akibat pemborosan. Maka
ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan menggunakan harta secara wajar dan
berimbang yakni pola yang terletak antara kekikiran dan pemborosan. Dan inilah cara
atau pola pembelanjaan/konsumsi yang paling bijaksana dan bermanfaat ditengah arus
globalisai yang over konsumtif.

2. Produksi

Produksi berarti kegiatan untuk menimbulkan atau menaikkan faedah atau nilai
suatu barang atau jasa. Sedangkan menurut pandangan salah satu pemikir ekonomi
Islam yaitu Monzer Kahf, , produksi dapat dilihat dari sisi positif dan normative. Jika
hukum – hukum materiil dan ekonomi serta hal- hal lain yang berkaitan dengan fungsi
produksi masuk dalam sisi positif, mendorong produksi dan tujuannya masuk ke dalam
sisi normatif”. Kahf membicarakan topic – topic yang biasa di bahas oleh para ahli
ekonomi Islam, yakni tujuan dan motif produksi, factor produksi, dan tujuan firm. Oleh
karena produksi dipandang tidak hanya sebagai sarana untukmemperbaiki kesejahteraan
materiil melainkan juga kesejahteraan spiritual, maka menurut Kahf, hal ini memiliki
implikasi pada tujuan produksi, yakni:

1) Barang yang mungkin saja menguntungkan secara materiil, namun dilarang oleh
Islam, tidak dipandang menguntungkan dan tidak boleh diproduksi (karena
kedudukan spiritual manusia menjadi merosot karenanya). 
2) Sangat penting untuk mendistribusikan benefit produksi kepada sebanyak mungkin
orang. 

3) Kelangkaan tidak lagi dilihat dalamkonteks kebutuhan, melainkan sebagai akibat


dari kemalasan manusia dan keengganan untuk menggali sepenuhnya benefit
hadiah dari Allah Swt.

Sementara itu, Islam tidak memberikan kebebasan tanpa batas di dalam usaha
ekonomi, seperti yang terdapat pada sistem kapitalis, dimana orang – orang diizinkan
mencari harta sebanyak mereka sukai dengan cara yang mereka sukai pula. Dalam
sistem ekonomi Islam pula, tidak terlalu mengikat mereka dengan pengawasan
ekonomi, seperti yang dilakukan komunisme, sehingga orang – orang kehilangan
kebebasannya secara total. Maka dari itu, Islam telah memberikan prinsip – prinsip
produksi yang adil dan wajar di mana mereka dapat memperoleh kekayaan tanpa
mengeksploitasi individu–individu lainnya atau merusak kemaslahatan masyarakat.
Maka demikian, sesungguhnya segala bentuk produksi, dimana harta kekayaan
diperoleh dengan jalan yang salah dan tidak adil diharamkan dalam Islam. Hanya cara –
cara yang wajar dan jujur saja yang diperbolehkan. Segala bentuk penawaran tidaklah
sah jika di dalam keuntungan seseorang bergantung pada kerugian orang lain, seperti
perjudian, lotre. Ringkasnya sistem produksi dalam ekonomi Islam, harus dikendalikan
oleh kriteria objektif maupun subjektif.

Hal lain juga menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi yakni, maksimilisasi laba
bukanlah satu – satunya motif dan bukan pula motif utama produksi. Seperti dalam
praktek produksi ekonomi Kapitalis. Yang ada, menurut siddiqi adalah keberagaman
tujuan yang mencakup maksimilisasi laba dengan memerhatikan kepentingan masyarkat
(maslahah „aammah) , produksi kebutuhan dasar masyarkat, penciptaan employment
serta pemberlakuan harga rendah untuk barang – barang esensial.

3. Distribusi

Pembahasan mengenai redistribusi pendapatan tidak lepas dari pembahasan


tentang konsep distribusi. Distribusi mengandung arti pembagian atau penyaluran
sesuatu kepada orang atau pihak lain. Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi
masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalan masyarakat. M.A Mannan
menybutkan bahwa teori ekonomi modern tentang distribusi merupakan suatu teori
yang menetapkan jasa produksi. Mannan memandang bahwa” keterlibatan Islam yang
bersifat pragmatis dan realistis bagi si miskin adalah sedemikian tulus sehingga
distribusi pendapatan merupakan pusat berputarnya pola dan organisasi produksi di
dalam suatu Negara Islam”. Selain itu, Mannan menambahkan bahwa “pertimbangan
distributif-lah yag harus mempengaruhi prioritas produksi barang dan jasa, dan dengan
demikian ia juga menjadi indikator konsumsi”.

Masalah distribusi berhubungan erat dengan persoalan kepemilikan. Dalam


pemikiran beberapa tokoh ekonomi Islam, ada dua hal fundamental yang disepakati.
Pertama kekayaan tidak boleh berakumulasi di tangan orang–orang kaya saja (QS Al-
hasyr:7). Kedua baik kerja maupun kebutuhan adalah sumber pendapatan yang sah.
Distribusi juga didasarkan atas kebutuhan, seseorang memperoleh upah karena
pekerjaannya dibutuhkan oleh pihak lain. satu pihak membutuhkan materi dan pihak
lain membutuhkan tenaga kerja sebagai factor produksi. Lebih lanjut M. Anas Zarqa
mengemukakan beberapa prinsip – prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu:

1) Pemenuhan kebutuhan bagi semua mahkluk

2) Menimbulkan efek positif bagi si pemberi itu sendiri

3) Menciptakan kebaikan diantar semua orang, anatar kaya dan miskin

4) Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan

5) Pemanfaatan sumber daya alam secara lebih baik

6) Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian

Dalam hal distribusi menurut Sayed Nawab Haider Naqvi, bahwa kepemilikan
sumber daya awal yang tak merata akan mengharuskan dilakukannya reditribusi yang
„berat‟ kepada si miskin. Selain itu menurutnya, bahwa zakat bukanlah tindakan amal
dan bukan altruisme orang kaya, melainkan hak yang melekat yang dimiliki orang
miskin dalam pandangan ekonomi Islam.

Jaminan Sosial dan Program Anti Kemiskinan


Kecondongan Islam yang begitu terasa kepada kelompok miskin dan fakir
memerlukan Negara untuk menyediakan kebutuhan dasar dan tingkat pendapatan yang
memadai bagi semua orang. Keperluan untuk menegakkan keadilan sosial
mengharuskan Negara melakukan suatu kebijakan pernyataan utilitas (utility
equalization) antara individu. Hal itu berarti harus dilakukan ‘penurunan tingkat
pendapatan golongan atas’ secara substansial dan menaikkan pendapatan golongan
bawah yang mengharuskan tidak saja penyamaan pendapatan melainkan juga konsumsi.
Sekalipun jelas tidak akan ada yang membantah bahwa suatu program keadilan sosial,
program pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendapatan bagi kelompok miskin
merupakan ciri suatu sistem ekonomi Islam.
Bab 3

Kesimpulan

Mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran telah


diungkapkan oleh para ilmuan Islam jauh sebelum para ilmuan barat (seperti Adam
Smith). Hal ini terlihat dari penjelasan para tokoh cendikiawan muslim seperti Abu
Yusuf, Ibnu Thaimiyah, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun yang telah ada sebelum para
pemikir barat tersebut. Mereka mengemukakan teori tentang mekanisme pasar
walaupun tidak menggunakan bahasa atau istilah-istilah modern yang ada dalam
ekonomi konvensional sekarang ini.

Permintaan dan penawaran adalah dua konsep yang mendasari kegiatan


perekonomian yang sangat luas. Permintaan dan penawaran juga merupakan dua kata
yang paling sering digunakan oleh para ekonom, keduanya merupakan kekuatan yang
membuat perekonomian pasar bekerja. Konsep ekonomi islam mengenai permintaan
dan penawaran ini mirip sekali dengan ekonomi konvensional, namun terdapat batasan-
batasan individu untuk berperilaku sesuai dengan aturan syariah. Dalam ekonomi Islam,
norma dan moral islami merupakan prinsip dasar islam dalam melakukan kegiatan
ekonomi, sehingga teori ekonomi yang terjadi menjadi berbeda dengan teori pada
ekonomi konvensional. Konsep permintaan dalam islam menilai suatu komoditi (barang
dan jasa) tidak semuanya bisa untuk dikonsumsi atau digunakan, dibedakan antara yang
halal maupun yang haram. Oleh karena itu dalam teori permintaan, islam membahas
permintaan barang halal, barang haram, dan hubungan diantara keduanya. Sedangkan
dalam permintaan konvensional, semua komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi maupun
digunakan.

Ada hak manusia untuk menentukan jalan perekonomiannya tetapi di lain pihak
manusia tidak bisa mengatur sepenuhnya jalannya perekonomian yang ada, terbukti dari
banyaknya distorsi dalam sejarah perkembangan perekonomian yang tercatat dari jaman
dulu sampai sekarang. Ada saja celah kesalahan teori-teori ekonomi di dalam
memberikan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Ini pertanda bahwa perekonomian
sebagai bagian dari kehidupan yang tidak sepenuhnya mampu di kuasai manusia. Dan
siapa lagi yang menguasainya kecuali yang menciptakan itu semua, Allah ta’ala.
Daftar Pustaka

1. Arif Wahyudi. Telaah Kritsi Pemikiran Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme


Pasar Dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian. Jurnl Eksyar. Volume 01. Maret
2014: 056-068.
2. Ibrahim, Abu Yusuf ibn Ya’qub ibn. 1979. Kitab al-Kharaj.Beirut: Dar al-
Ma’rifah li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr.
3. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press. Jakarta. 2001
4. T.Gilarso SJ;Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro.Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
2003
5. N .Gregory Mankiw ; Principle of Microeconomics. jilid 1. edesi
terjemahan .Erlangga. Jakarta. 1998
6. Sukirno, Sadono. 1999. Ekonomi Mikro. Jakarta: Rajawali Press.
7. Karim, Adiwarman, A. 2007. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
8. Qaradhawi, Yusuf, Peran Nilai dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan Didin
Hafidudin, Jakarta: Robbani Press, 1977.
9. Ibn Qudâmah, Al-Mughnî ‘alâ Mukhtashar al-Kharqî, Lubnân: Dâr al-Maktab
al- ‘Ilmiyyah 1994.
10. Fattach An’im. (2017). Teori permintaan dan penawaran dalam islam. Jurnal
Penelitian Ilmu Manajemen, 2(3), 451-460,
https://jurnalekonomi.unisla.ac.id/index.php/jpim/article/view/56/56
11. https://dinarku2010.wordpress.com/2011/01/18/pasar-dalam-perspektif-islam/
12. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, 1999, Risalah Gusti
13. Gidden, Anthony.1999. jalan ketiga: pembaharuan demokrasi social
(terjemahan),Jakarta, Gramedia
14. Taqyuddin An-Nabhani, membangun sistem ekonomi alternative (perspektif
islam), penerjemah Drs. Moh.Maghfur Wachid, pen. Risalah gusti,2002
15. Masa depan ilmu ekonomi: sebuah tinjaun islam, Graha insani press dan tazkia
cendekia,2001
16. Amiruddin K,M.EI. Menggagas ekonomi islam kontemporer, alauddin
university press, 2012
17. Mohammed Aslam Haneef, pemikiran ekonomi islam kontemporer (analisa
komparatif terpilih, 2010, terjemahan, rajawali pustaka
18. Departemen pendidikan dan budaya, Kamus besar bahasa Indonesia
19. M.A Mannan, Teori dan Praktik ekonomi Islam, Yogyakarta: dana bakti wakaf,
1993

Anda mungkin juga menyukai