Sistem perekonomian pasar juga disebut sebagai sistem kapitalis. Sistem inilah yang pada
awalnya berada, misalnya pada jaman kerajaan-kerajaan di Inggris, Belanda, Belgia, juga pada
jaman kerajaan dahulu di Indonesia, misalnya pada kerajaan majapahit, sriwijaya, dan
sebagainya. Pada masa kerajaan tersebut perekonomian diserahkan pada kaum swasta atas
dasar permintaan dan penawaran. Seiring berjalannya waktu, sistem ekonomi di kerajaan-
kerajaan di Eropa menuju kepada kemakmuran pada sebagian masyarakat seperti tuan tanah,
kaum pengusaha, dan kaum elite masyarakat lainnya, sedangkan di pihak lain mengakibatkan
kemelaratan pada sebagian masyarakat, terutama kaum buruh sehingga akhirnya muncul
seruan agar kaum buruh bersatu. Dari pergerakan inilah kemudian muncul sistem ekonomi
“komando” atau sistem ekonomi ala “Marxis”.
Sistem komando tersebut dianut oleh Uni Soviet, Tiongkok, dan Negara-negara
sosialis Eropa Timur dan dikenal sebagai sistem ekonomi komunis/sosialis. Pada sistem
komunis, semua kegiatan ekonomi merupakan masalah perencanaan negara, dimana
negara mempunyai peranan sentral dalam perekonomian dan pada dasarnya tidak ada
satu negara pun yang mengikuti sistem ekonomi komunis ini. Sedangkan dalam sistem
sosialis, negara juga memegang peran yang penting dalam perekonomian, biasanya
dilaksanakan perencanaan pusat, meskipun sesungguhnya peran permintaan dan
penawaran masih berlaku. Moneter dan sistem devisa, dan perusahaan pada umumnya
milik/dikuasai oleh Negara. Pada tahun 1936 dengan terbitnya buku karangan J.M.
Keynes yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money muncullah
aliran ekonomi baru yang mementingkan peranan negara dalam perekonomian dan
dianggap sebagai aliran untuk mengatasi keadaan perekonomian saat itu. Aliran tersebut
disebut Keynesian Economics. Dengan itu sistem pasar mengakui peran pemerintah
dalam perekonomian. Jadi, dewasa ini tidak ada satu negara pun di dunia ini yang
sepenuhnya kapitalis (menganut sistem pasar sepenuhnya) dan juga tidak ada satu negara
pun yang sepenuhnya menganut sistem komunis (perencanaan pusat). Semua negara di
dunia ini mengakui arti penting Negara dalam perekonomian.
Unsur pemikiran pokok yang terkandung pada masyarakat dualistis telah secara
implisit terkandung dalam teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah
dinyatakan dalam teori ekonomi pembangunan ketergantungan internasional, sehingga
konsep masyarakat dualistus telah merupakan dasar dari teori pembangunan ekonomi.
Istilah sistem ekonomi sosialis ala Indonesia muncul pada akhir periode dari
kepemimpinan presiden Soekarno, yakni sekitar tahun 1960. Pada periode tersebut kiblat
politik Indonesia adalah ke Negara-negara sosialis Eropa Timur, Rusia dan RRC; tidak
ke Negara-negara kapitalis seperti Amerika serikat dan Eropa Barat. Pada periode
tersebut Indonesia adalah anti neo kolonialisme dan neo liberalism, dan Indonesia keluar
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan membentuk masyarakat baru yang disebut New
Emerging Forces. Perekonomian pada periode itu sangat mirip dengan sistem
perekonomian negara sosialis yang antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah Indonesia telah menyusun Pembangunan Semesta Berencana Delapan
Tahun 1960-1968. Rencana tersebut bersifat menyeluruh di segala sektor dan
seluruh wilayah (semesta), namun belum sempat dilaksanakan.
2. Perusahaan-perusahaan besar dimiliki oleh negara. Hal ini adalah akibat dari
nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda sekitar tahun 1957. Beberapa
perushaan-perusahan hasil nasionalisasi adalah usaha penerbangan, perusahaan
kereta api, perusahaan Bus Damri, perusahaan pelayanan Pelni, perusahaan
perdagangan yang bergerak di bidang ekspor dan impor, perusahaan perbankan,
perusahaan perkebunan, dan sebagainya. Oleh karena nasionalisasi tersebut,
perekonomian Indonesia baik dalam maupun luar negerinya dilaksanakan/dikuasai
oleh perusahaan milik negara dan koperasi. Ini tidaklah berarti swasta sama sekali
tidak berperan. Katakanlah pada pedagang eceran dan perushaan kecil serta koperasi.
Pasar-pasar tradisional masih tetap berperan, dan meskipun lambat namun terus
berkembang.
3. Sistem perbankan, semula adalah bank-bank swasta milik Belanda yang telah di
nasionalisasi menjadi milik pemerintah, kemudian diubah menjadi sistem perbankan
Rusia. Ini dikerjakan dengan cara mengubah nama-nama bank pemerintah menjadi
satu nama dengan unit-unit tertentu. Sebagai contoh, Bank Indonesia diubah
namanya menjadi Bank Negara Indonesia Unit I, BNI 1946 diubah menjadi BNI unit
II , Bank Rakyat, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Ekspor Impor, dan
sebagainya diubah menjadi BNI unit. Sistem perbankan yang demikian ini persis
merupakan sistem perbankan di Rusia.
4. Sistem devisa yang dipakai waktu itu adalah sistem devisa yang sangat umum
dipakai oleh negara-negara sosialis yakni, Exchange Control. Pada sistem ini tidak
diperkenankan mata uang asing (devisa) beredar di masyarakat. Semua devisa
dimiliki negara. Devisa hasil ekspor, pinjaman,/bantuan negara luar kepada
Indonesia dan hasil devisa lainnya yang masuk ke Indonesia harus diserahkan/dijual
kepada negara. Kemudian negara menjual devisa yang dimilikinya kepada importer
atau siapa saja yang memerlukan devisa. Pemerintah menentukan kurs devisa, dan
oleh karena itu devisa seperti ini juga disebut sistem devisa dengan harga tetap (fixed
Exchange Rate) atau juga disebut sistem devisa dengan harga yang di pakukan
(pegged Exchange Rate).
Harga barang dan jasa di dalam negeri, sebagaimana kita ketahui yang berlaku di
Indonesia waktu itu, selalu mengalami kenaikan. Atau dengan kata lain, nilai tukar
Rupiah selalu mengalami penurunan, yang akibatnya dibandingkan dengan nilai tukar
devisa (dolar) karena kurs devisa yang tetap, rupiah dinilai terlalu tinggi (over valued).
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah perlu mengadakan penyesuaian nilai mata
uangnya dengan melaksanakan kebijaksanaan Devaluasi.
Sebelum Pemerintah melaksanakan devaluasi Rupiah, dengan adanya kenaikan
harga-harga umum di dalam negeri, para eksportir merasa enggan (disinsentif) untuk
melakukan ekspor, karena merasa dirugikan. Nilai ekspornya yang tetap, dengan kurs
dolar yang tetap, mereka memperoleh hasil ekspor dalam rupiah yang makin kecil
nilainya. Di samping itu, para importir makin bergairah untuk mengimpor barang, karena
harga devisa (dolar) yang tetap dan relatif rendah. Kebijaksanaan devaluasi membalikkan
posisi tersebut. Jadi devaluasi bersifat mendorong ekspor dan mengekang impor. Tabel
berikut ini menunjukkan harga dolar di pasar, sedangkan harga resmi yang ditentukan
oleh pemerintah adalah tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2018. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana Press