Anda di halaman 1dari 11

Pada dasarnya, hanya ada dua sistem perekonomian, yakni sistem pasar dan sistem komando.

Sistem perekonomian pasar juga disebut sebagai sistem kapitalis. Sistem inilah yang pada
awalnya berada, misalnya pada jaman kerajaan-kerajaan di Inggris, Belanda, Belgia, juga pada
jaman kerajaan dahulu di Indonesia, misalnya pada kerajaan majapahit, sriwijaya, dan
sebagainya. Pada masa kerajaan tersebut perekonomian diserahkan pada kaum swasta atas
dasar permintaan dan penawaran. Seiring berjalannya waktu, sistem ekonomi di kerajaan-
kerajaan di Eropa menuju kepada kemakmuran pada sebagian masyarakat seperti tuan tanah,
kaum pengusaha, dan kaum elite masyarakat lainnya, sedangkan di pihak lain mengakibatkan
kemelaratan pada sebagian masyarakat, terutama kaum buruh sehingga akhirnya muncul
seruan agar kaum buruh bersatu. Dari pergerakan inilah kemudian muncul sistem ekonomi
“komando” atau sistem ekonomi ala “Marxis”.
Sistem komando tersebut dianut oleh Uni Soviet, Tiongkok, dan Negara-negara
sosialis Eropa Timur dan dikenal sebagai sistem ekonomi komunis/sosialis. Pada sistem
komunis, semua kegiatan ekonomi merupakan masalah perencanaan negara, dimana
negara mempunyai peranan sentral dalam perekonomian dan pada dasarnya tidak ada
satu negara pun yang mengikuti sistem ekonomi komunis ini. Sedangkan dalam sistem
sosialis, negara juga memegang peran yang penting dalam perekonomian, biasanya
dilaksanakan perencanaan pusat, meskipun sesungguhnya peran permintaan dan
penawaran masih berlaku. Moneter dan sistem devisa, dan perusahaan pada umumnya
milik/dikuasai oleh Negara. Pada tahun 1936 dengan terbitnya buku karangan J.M.
Keynes yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money muncullah
aliran ekonomi baru yang mementingkan peranan negara dalam perekonomian dan
dianggap sebagai aliran untuk mengatasi keadaan perekonomian saat itu. Aliran tersebut
disebut Keynesian Economics. Dengan itu sistem pasar mengakui peran pemerintah
dalam perekonomian. Jadi, dewasa ini tidak ada satu negara pun di dunia ini yang
sepenuhnya kapitalis (menganut sistem pasar sepenuhnya) dan juga tidak ada satu negara
pun yang sepenuhnya menganut sistem komunis (perencanaan pusat). Semua negara di
dunia ini mengakui arti penting Negara dalam perekonomian.

4.1 Analisa Sistem Ekonomi Dualisme


Sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini perekonomian Indonesia masih juga
menunjukkan ciri-ciri adanya dualisme, baik dualisme yang bersifat teknologis maupun
yang bersifat ekonomis, sosial dan kultural. Masalah dualisme telah dibahas secara
mendalam oleh ahli ekonomi Indonesia dan ahli ekonomi asing. J. Boeke, yang
melakukan penelitian untuk program doktor ekonominya di Indonesia pada tahun 1953
memberikan definisi yang termashyur mengenai masyarakat dualistis sebagai:
“Masyarakat yang mempunyai gaya sosial berbeda, yang masing-masing hidup
berdampingan. Dalam proses evolusi sejarah normal yang berlaku bagi masyarakat
homogen, kedua gaya sosial tersebut mewakili tahap perkembangan sosial yang
berbeda, dipisahkan oleh satu gaya sosial lain yang mewakili suatu tahap transisi,
misalnya masyarakat sebelum kapitalisme dan masyarakat kapitalisme maju yang
dipisahkan oleh masyarakat kapitaisme awal. Di dalam masyarakat dualistis, satu
dari kedua sistem sosial yang hidup berdampingan itu, dan selalu yang lebih maju,
berasal dari luar masyarakat tersebut dan mengalami perkembangan di lingkungan
yang baru tanpa menggeser atau berasimilasi dengan sistem sosial yang asli. Dan
akhirnya tidak akan timbul satu cirri umum yang berlaku bagi masyarakat tersebut
secara keseluruhan.”
Selanjutnya Boeke mengatakan bahwa adaya sikap yang masih bersifat “pra
kapitalis” di dalam masyarakat dualistis membedakan sikap penduduk asli masyarakat
tersebut dengan masyarakat barat terhadap rangsangan ekonomis di dalamnya. Menurut
Boeke, sikap dasar penduduk asli di pengaruhi oleh pendapat bahwa kebutuhan manusia
itu terbatas (limited wants). Apabila kebutuhan yang terbatas ini sudah terpenuhi maka
tidak ada lagi keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, dan oleh
karena itu, tidak akan ada sikap baru terhadap kesempatan ekonomi yang lainnya.
Beberapa penulis lain beranggapan bahwa tidak adanya sikap penduduk asli dari berbagai
masyarakat Asia terhadap rangsangan ekonomi bersumber dari kepercayaan mistik yang
bersifat anti rasional. Menurut mereka perhatian penduduk lebih diarahkan kepada hal-
hal yang tidak berhubungan dengan dunia nyata, dan pandangan seperti ini tidak dapat
dilepaskan dari warisan budaya dan spiritual masyarakat Timur.
Beberapa penulis lain (Indonesia dan Asing seperti Benjamin Higgins dan Mohamad
Sadli) tidak setuju dengan pandangan itu. Mereka menunjukkan berbagai contoh dan
keadaan orang-orang Indonesia yang mempunyai sikap yang sama terhadap rangsangan
harga dan rangsangan ekonomi lainnya. Masalahnya, selama ini rangsangan-rangsangan
yang sesuai sangat jarang timbul karena adanya ketidaksempurnaan dan ketegaran dalam
sistem perekonomian, dan sering pula bersumber pada kebijakan pemerintah yang tidak
tepat.
Para pengamat umumnya berpendapat bahwa ciri-ciri dualistis perekonomian
Indonesia seperti digambarkan Boeke masih tetap nyata terlihat, dan dari berbagai segi
ciri-ciri tersebut menjadi semakin nyata akibat adanya perubahan teknologi. Masuknya
modal asing sejak tahun 1968 telah mempertajam perkembangan antara sector modern
dan sector tradisional. Disamping itu, tersebarnya teknologi baru di daerah pedesaan
telah memperjelas sifat dualistis perekonomian pedesaan dibandingkan dengan keadaan
semasa jaman penjajahan. Dari segi lain tentunya kita dapat mengatakan bahwa
kecenderungan ini adalah akibat normal, dan harus ditanggung masyarakat yang
mengalami kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi itu sendiri adalah unsur dasar dari
proses pembangunan ekonomi. Sebaliknya nampak akibat-akibat sosial dari
kecenderungan lebih tajam kea rah dualism yang belum mendapat perhatian sepadan dari
pemerintah, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan belum
mampu mengurangi beban mereka yang dirugikan dalam proses pembangunan.
Pada dasarnya ekonomi dualism melihat dunia terbagi kedalam dua kelompok besar,
yakni Negara-negara kaya dan miskin, dan di Negara-negara berkembang terdapat
segelintir penduduk yang kaya diantara begitu banyak penduduk yang miskin. Dualisme
adalah konsep yang menunjukkan adanya jurnag pemisah yang kian lama terus melebar
antara negara-negara kaya dan miskin, serta diantara orang-orang kaya dan miskin pada
berbagai tingkatan di setiap negara. Pada dasarnya konsep ekonomi dualism ini terdiri
dari empat elemen kunci sebagai berikut:
1. Beberapa kondisi berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan “inferior”, hadir
secara bersamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah
hakikat dari konsep dualisme. Contoh penerapan konsep dualisme ini adalah dapat
dilihat pada pemikiran A. Lewis tentang koeksistensi metode-metode produksi
modern di kota dan metode tradisional di pedesaan, koeksistensi kelompok elit
yang kaya raya yang terdidik dan banyaknya orang-orang yang miskin dna buta
huruf, adanya koeksistensi antara Negara-negara industry yang serba makmur yang
berkuasa dengan negara-negara agraris kecil yang miskin serta lemah di dalam
perekonomian internasional.
2. Koeksistensi tersebut bukanlah satu hal yang bersifat sementara atau transisionalm
melainkan satu hal yang bersifat baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga
bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya
waktu. Artinya, elemen yang superior memiliki kekuatan untuk mempertahankan
superioritasnya sedangkan elemen yang inferior tidaklah mudah untuk
meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara
kaya dan miskin bukanlah hanya merupakan sesuatu fenomena sejarah yang akan
membaik dengan sendirinya bila saatnya sudah tiba.
3. Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan
hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkuran, melainkan bahkan
cenderung meningkat. Sebagai contoh, kesenjangan produktivitas antar pekerja di
Negara-negara maju dengan para pekerja di Negara-negara berkembang
tampaknya semakin lama semakin melebar.
4. Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dan elemen-
elemen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga
keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak
membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior.
Dengan demikian apa yang disebut sebagai prinsip “penetasan kemakmuran
kebawah” (trickle down effect) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam
kenyataanya, elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan,
memanipulasi, mengeksploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior.
Jadi, yang mereka kembangkan justru keterbelakangannya.

Unsur pemikiran pokok yang terkandung pada masyarakat dualistis telah secara
implisit terkandung dalam teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah
dinyatakan dalam teori ekonomi pembangunan ketergantungan internasional, sehingga
konsep masyarakat dualistus telah merupakan dasar dari teori pembangunan ekonomi.

4.2 Analisa Sistem Ekonomi Sosialis ala Indonesia

Istilah sistem ekonomi sosialis ala Indonesia muncul pada akhir periode dari
kepemimpinan presiden Soekarno, yakni sekitar tahun 1960. Pada periode tersebut kiblat
politik Indonesia adalah ke Negara-negara sosialis Eropa Timur, Rusia dan RRC; tidak
ke Negara-negara kapitalis seperti Amerika serikat dan Eropa Barat. Pada periode
tersebut Indonesia adalah anti neo kolonialisme dan neo liberalism, dan Indonesia keluar
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan membentuk masyarakat baru yang disebut New
Emerging Forces. Perekonomian pada periode itu sangat mirip dengan sistem
perekonomian negara sosialis yang antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah Indonesia telah menyusun Pembangunan Semesta Berencana Delapan
Tahun 1960-1968. Rencana tersebut bersifat menyeluruh di segala sektor dan
seluruh wilayah (semesta), namun belum sempat dilaksanakan.
2. Perusahaan-perusahaan besar dimiliki oleh negara. Hal ini adalah akibat dari
nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda sekitar tahun 1957. Beberapa
perushaan-perusahan hasil nasionalisasi adalah usaha penerbangan, perusahaan
kereta api, perusahaan Bus Damri, perusahaan pelayanan Pelni, perusahaan
perdagangan yang bergerak di bidang ekspor dan impor, perusahaan perbankan,
perusahaan perkebunan, dan sebagainya. Oleh karena nasionalisasi tersebut,
perekonomian Indonesia baik dalam maupun luar negerinya dilaksanakan/dikuasai
oleh perusahaan milik negara dan koperasi. Ini tidaklah berarti swasta sama sekali
tidak berperan. Katakanlah pada pedagang eceran dan perushaan kecil serta koperasi.
Pasar-pasar tradisional masih tetap berperan, dan meskipun lambat namun terus
berkembang.
3. Sistem perbankan, semula adalah bank-bank swasta milik Belanda yang telah di
nasionalisasi menjadi milik pemerintah, kemudian diubah menjadi sistem perbankan
Rusia. Ini dikerjakan dengan cara mengubah nama-nama bank pemerintah menjadi
satu nama dengan unit-unit tertentu. Sebagai contoh, Bank Indonesia diubah
namanya menjadi Bank Negara Indonesia Unit I, BNI 1946 diubah menjadi BNI unit
II , Bank Rakyat, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Ekspor Impor, dan
sebagainya diubah menjadi BNI unit. Sistem perbankan yang demikian ini persis
merupakan sistem perbankan di Rusia.
4. Sistem devisa yang dipakai waktu itu adalah sistem devisa yang sangat umum
dipakai oleh negara-negara sosialis yakni, Exchange Control. Pada sistem ini tidak
diperkenankan mata uang asing (devisa) beredar di masyarakat. Semua devisa
dimiliki negara. Devisa hasil ekspor, pinjaman,/bantuan negara luar kepada
Indonesia dan hasil devisa lainnya yang masuk ke Indonesia harus diserahkan/dijual
kepada negara. Kemudian negara menjual devisa yang dimilikinya kepada importer
atau siapa saja yang memerlukan devisa. Pemerintah menentukan kurs devisa, dan
oleh karena itu devisa seperti ini juga disebut sistem devisa dengan harga tetap (fixed
Exchange Rate) atau juga disebut sistem devisa dengan harga yang di pakukan
(pegged Exchange Rate).

Harga barang dan jasa di dalam negeri, sebagaimana kita ketahui yang berlaku di
Indonesia waktu itu, selalu mengalami kenaikan. Atau dengan kata lain, nilai tukar
Rupiah selalu mengalami penurunan, yang akibatnya dibandingkan dengan nilai tukar
devisa (dolar) karena kurs devisa yang tetap, rupiah dinilai terlalu tinggi (over valued).
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah perlu mengadakan penyesuaian nilai mata
uangnya dengan melaksanakan kebijaksanaan Devaluasi.
Sebelum Pemerintah melaksanakan devaluasi Rupiah, dengan adanya kenaikan
harga-harga umum di dalam negeri, para eksportir merasa enggan (disinsentif) untuk
melakukan ekspor, karena merasa dirugikan. Nilai ekspornya yang tetap, dengan kurs
dolar yang tetap, mereka memperoleh hasil ekspor dalam rupiah yang makin kecil
nilainya. Di samping itu, para importir makin bergairah untuk mengimpor barang, karena
harga devisa (dolar) yang tetap dan relatif rendah. Kebijaksanaan devaluasi membalikkan
posisi tersebut. Jadi devaluasi bersifat mendorong ekspor dan mengekang impor. Tabel
berikut ini menunjukkan harga dolar di pasar, sedangkan harga resmi yang ditentukan
oleh pemerintah adalah tetap.

Guna mendorong ekspor, di samping melaksanakan kebijakan devaluasi, Pemerintah


Indonesia pada waktu itu, meluncurkan program perangsang ekspor melalui
kebijaksanaan bahwa kepada setiap dolar hasil ekspor, para eksportir diperkenankan
memakainya secara langsung sejumlah persentase tertentu dari hasil ekspornya. Sebelum
kebijaksanaan tersebut, eksportir harus menyerahkan/menjual semua dolar hasil
ekspornya kepada negara dengan kurs yang sudah ditentukan. Dengan adanya
kebijaksanaan tersebut para eksportir diperkenankan menggunakan persentase tertentu
dari ekspornya (10 persen) untuk keperluannya sendiri. Kebijaksanaan perangsang yang
demikian ini dikenal sebagai Alokasi Devisa Otomatis (ADO) Eksportir.
Rangsangan ekspor tidak hanya diberikan kepada eksportir, melainkan juga kepada
daerah penghasil ekspor. Perangsang ini disebut ADO Daerah. ADO daerah ini diberikan
kepada daerah penghasil barang/jasa ekspor yang diperhitungkan melalui kota pelabuhan
dari mana ekspor tersebut dilaksanakan. Misalnya, Jawa Tengah mengekspor batik
sejumlah nilai tertentu yang dilaksanakan melalui pelabuhan Semarang. Maka ADO
Daerah diberikan lewat pelabuhan Semarang. ADO Daerah ini kemudian mengalami
masalah karena daerah penghasil barang/jasa ekspor jauh atau berbeda dengan pelabuhan
melalui mana ekspor tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh, Bali mengekspor sapi dan
barang lainnya ke Singapura dan Hong Kong melalui pelabuhan Surabaya, Maluku
mengekspor rempah-rempah ke Eropa melalui pelabuhan laut Makasar. Yang
memperoleh ADO Daerah dalam hal ini adalah Surabaya (Jawa Timur) dan Makasar
(Sulawesi Selatan). Bisa dibayangkan tuntutan Bali dan Maluku dalam hal ini. Kesulitan
semacam ini belum terselesaikan, sementara sistem ekonominya secara keseluruhan
berganti karena pergantian pemerintahan.
Dari pembicaraan pada butir 1 sampai butir 4 di atas jelaslah bahwa sistem
perekonomian yang berlaku di Indonesia pada saat itu hampir sepenuhnya sama dengan
sistem perekonomian sosialis yang berlaku di negara-negara Eropa Timur.
Pertanyaannya adalah mengapa pada sistem perekonomian Indonesia disebut Sosialis
Ala Indonesia dan sistem ekonomi yang berlaku di negara-negara sosialis Eropa Barat
hanya disebut sistem ekonomi sosialis, tanpa embel-embel ala Eropa Barat. Sistem
ekonomi sosialis, sebagaimana dapat disingkap dari pembicaraan di atas, muncul karena
sistem perekonomian pasar memberikan hasil munculnya kaum proletar; kaum marhaen,
kaum miskin, dan sudah dengan sendirinya sistem ekonomi sosialis sangat
memperhatikan nasib kaum proletar, kaunl marhaen tersebut. Dengan kata lain, pada
sistem ekonomi sosialis, tidak terdapat lagi kaum proletar, kaum miskin. Namun dalam
perekonomian Indonesia pada saat itu, Pemerintah belum sempat melaksanakan pasal 34
UUD 45 yang mengatakan bahwa fakir miskin dan anak - anak terlantar dipelihara oleh
negara. Akibatnya adalah bahwa di Indonesia saat itu masih terdapat banyak orang yang
tergolong di bawah garis kemiskinan. Jadi, barangkali, sistem perekonomian sosialis di
mana masih terdapat orang miskin dalam proporsi yang cukup besar, sehingga sistem
perekonomian kita disebut Sosialis Ala Indonesia.
Alasan lain adalah bahwa di Indonesia pendukung perekonomiannya (investor,
produsen dan konsumen) adalah rakyat Indonesia yang mempunyai falsafah hidup
berketuhanan, sedangkan hal ini tidak umum di negara Eropa Timur, Rusia ataupun RRC.
Di Indonesia setiap orang harus mempunyai atau memeluk salah satu dari agama yang
diakui pemerintah, sedangkan di negara-negara sosialis biasanya diperkenankan
seseorang tidak beragama dan bahkan anti agama pun diperkenankan asalkan tidak
mengganggu keamanan publik.
4.3 Sistem Ekonomi Pancasila
Istilah sistem ekonomi Pancasila muncul pada periode Pemerintahan Orde Baru
yakni setelah Pelita III. Sistem perekonomian pada saat itu ditandai, antara lain oleh hal-
hal berikut:
1. Perencanaan Ekonomi. Indonesia pada saat itu masih berada dalam perencanaan
pembagunan ekonomi lima tahun dengan prioritas utama pada perkembangan sektor
pertanian menuju swasembada beras/pangan.
2. Peranan Perusahaan Asing. Pada awalnya penanaman modal asing harus berbentuk
joint venture dan hanya pada bidang-bidang tertentu, namun kemudian berkembang
kebanyak sektor dalam bentuk usaha besar.
3. Peranan Perusahaan Domestik. Perusahaan dalam negeri mendapat angin segar
dengan diundangkannya UUPMDN, dimana kredit diberikan kepada usaha-usaha
domestik besar.
4. Peranan IGGI dan IMF serta hutang luar negeri. Pemerintah telah mendirikan IGGI
(Inter Govermental Group on Indonesia) yang berfungsi untuk memberikan nasihat
dalam APBN. Setiap tahun, APBN kita mengalami kekurangan sumber pembiayaan
dan IGGI lah yang membantu dengan memberi pinjaman kekuranganny untuk APBN.
Institut yang memegang peran penting dalam IGGI adalah Bank dunia dan IMF,
dimana Indonesia mempunyai hutang besar kepada kedua lembaga tersebut.
5. Sistem Devisa. Tindakan pertama yang dilakukan saat Orde Baru adalah dilakukannya
adalah liberalisasi perdagangan luar negeri termasuk sistem devisa. Dari sistem devisa
yang sepenuhnya dikuasai negara diubah menjadi sepenuhnya berdasarkan atas
permintaan dan penawaran. Sistem devisa yang didasarkan atas permintaan dan
penawaran akan mata uang asing dikenal dengan istilah Freely Fluctuate Exchange
Rate namun sifat kurs devisa itu tetap sehingga disebut Fixed Exchange Rate (Kurs
tetap).
Perekonomian Indonesia yang berlaku pada tahun 1965-1969 lebih mendekati
pereknomian pasar atau sistem kapitalis dibandingkan dengan perekonomian sosialis.
Beberapa ahli menyatakan bahwa para pelaku ekonomi di Indonesia mempunyai prilaku
yang berbeda dengan para pelaku ekonomi di negara-negara Kapitalis Barat, dimana di
Indonesia mempunyai prilaku yang didasarkan atas falsafah negara Pancasila dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuntunan hidup Pancasila ini mengakibatkan pelaku
ekonomi tidak hanya mementingkan keuntungan maksimum, namun juga
mempertimbangkan keadilan sosial. Hal tersebut yang menyebabkan beberapa ahli
mengklaim bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem Ekonomi Pancasila,
disamping alasan umum bahwa perekonomian Indonesia telah diatur dalam pasal 33
UUD 1945.
Kelompok Prof Mubyarto tetap berpadangan bahwa Indonesia seharusnya menganut
sistem ekonomi Pancasila, meskipun keadaan perekonomian saat itu lebih menyerupai
ekonomi kapitalis/liberal. Menurut mereka setidaknya ada 5 ciri-ciri dari sistem ekonomi
Pancasila tersebut yang harus diperhatikan yakni:
1) Adanya peranan dominan koperasi dalam kehidupan ekonomi.
2) Diterapkan rangsangan-rangsangan yang bersifat ekonomis maupun moral
untuk menggerakan roda perekonomian.
3) Adanya kecendrungan dan kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme
atau pemerataan sosial.
4) Diberikannya prioritas utama pada terciptanya suatu perekonomian nasional
yang tangguh.
5) Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan
ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi
perkembangan ekonomi.

4.4 Sistem Ekonomi Kerakyatan


Demonstrasi mahasiswa (rakyat) yang menuntut turunnya Suharto dari
pemerintahan pada tahun 1997 dan meminta agar dilaksanakan reformasi. Reformasi
yang dituntut adalah, antara lain, reformasi di bidang politik dan reformasi di bidang
ekonomi. Reformasi di bidang politik adalah kebebasan bersuara, berpolitik, atau secara
singkatnya adalah kebebasan demokrasi, yang selama pemerintahan Suharto (1965 -
1997) sangat dikekang atau dipasung. Reformasi di bidang ekonomi dikatakan bahwa di
bawah presiden Suharto pemerintah terlalu memihak kepada perusahaan besar, pada hal
terbukti dari krisis yang lalu (1997) bahwa usaha kecil dan menengah atau usaha rakyat
terbukti tahan banting. Yang mengalami kehancuran pada krisis 1997 adalah usaha besar,
PHK juga dilakukan oleh perusahaan besar, perusahaan multinasional. Kredit diarahkan
terutama untuk kepentingan perusahaan besar. Dominasi asing dalam perekonomian,
seperti misalnya peranan Bank Dunia, IMF, dan lembaga asing lainnya, dianggap sebagai
satu hal yang berlebihan dan rakyat menginginkan agar perekonomian lebih bersifat
berdiri di atas kaki sendiri. Oleh karena itu hutang kepada IMF dan Bank Dunia dibayar
lunas. Namun hutang luar negeri tidaklah seluruhnya lunas dalam waktu setahun,
ironisnya adalah bahwa sementara hutang luar negeri berkurang ternyata hutang dalam
negeri meningkat dengan tajam, Beberapa hal berikut ini merupakan kebijakan
pemerintah selama dalam sistem ekonomi Kerakyatan:
1. Peranan IGGI dikurangi, semula diganti dengan CGI (consultative Group on
Indonesia) sehingga badan tersebut hanya bersifat konsultasi dalam menyusun
kebijaksanaan ekonomi.
2. Investasi Asing dengan UUPMA dan investasi dalam negeri dengan UUPMDN,
yang memberikan prioritas pada pengusaha besar tidak banyak mendapat sorotan,
tidak dihapuskan, namun berjalan seperti semula. Kalau memang benar-benar
sistem ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah) mestinya usaha asing dan
domestik besar dikurangi secara drastis atau ditentang.
3. Tampak adanya usaha swastanisasi perusahaan negara namun belum selesai dan
usaha swastanisasi ini merupakan isu internasional dan bukanlah disebabkan oleh
karena sistem ekonomi kerakyatan.
4. Sistem devisa masih seperti sebelumnya, yakni didasarkan atas sistem pasar
(permintaan dan penawaran) dengan cadangan devisa yang besar untuk menjaga
stabilitas kurs mata uang.
5. Dari tinjauan di atas dan pengamatan yang mendalam, sistem ekonomi
kerakyatan ini masih mempunyai ciri yang sangat kental sebagai sistem ekonomi
pasar. Kalau ekonomi kerakyatan itu adalah ekonomi kecil, maka perusahaan
kecil (keluarga) biasanya diumpamakan mempunyai tujuan untuk
memaksimumkan produksi (atau memaksimumkan penerimaan total). Contohnya
pada pertanian keluarga yang subsisten (produksinya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga). Mereka memaksimumkan penerimaan total
(TR=total revenue), bukan memaksimumkan laba (TR-TC, Total Revenue - Total
Cost).

DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2018. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana Press

Anda mungkin juga menyukai