Anda di halaman 1dari 13

Perkembangan Industri Kreatif di Indonesia : Dangdut sebagai Media Kreatif

PENDAHULUAN

Negara Cina saat ini dikenal sebagai salah satu negara dengan idealisme komunisme yang
masih berdiri dan bertahan dengan idealismenya, meski banyak negara dengan komunisme
yang serupa berkali-kali terpisah atau bahkan tidak menjadi sebuah negara lagi. Dibalik,
ketahanan Cina memilih komunisme sebagai idealismenya, banyak gejolak dan revolusi juga di
dalamnnya. Termasuk dalam masalah politik, industri dan media. Tiga hal ini menjadi
berkaitan satu sama lain. Media dan industri keduanya saling membutuhkan dan terkait,
dimana ada media, industri hadir memanfaatkan untuk kepentingan pemasaran. Politik ikut
andil, karena bentuk dari perekonomian di Cina tidak menganut komunisme sepenuhnya,
sehingga pemerintah dan swasta membutuhkan tarik-menarik agar keduanya tidak saling
menjatuhkan ataupun mendominasi.

Konsep industri budaya sendiri bukan berasal dari China, melainkan China
mengadaptasi konsep tersebut dari paham yang berasal dari Barat dalam buku berjudul
Dialectic of Enlightenment yang ditulis oleh Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer yang
merupakan akademisi Frankfurt School.
“..’the cultural industri’ exemplifies a standardized mass production of cultural
commodities for passive consumption emerging in the early twentieth century as a
consequence of capitalist industrialization, urbanization and modernization (Adorno dan
Horkheimer 1944/1991 dalam W.Su 2014:514).”
Menurut mazhab ini, adanya industri budaya karena munculnya pola konsumsi pasif
dengan komoditas budaya yang diproduksi secara masal sebagai akibat dari transisi ke masa
industrialisasi kapitalis, urbanisasi dan modernisasi. Kegiatan ini jika berlangsung terus
menerus mempunyai akibat yang tidak baik bagi perputaran kegiatan ekonomi karena dapat
membunuh kreativitas, kebebasan dan imajinasi manusia. Tampaknya ada perbedaan
pemaknaan ‘budaya’ oleh ilmuwan sosial dari abad 19-20 yang mewakili seni dan kreativitas
manusia sedangkan di masyarakat modern, industri dan budaya merupakan sebuah sinergi
yang menguntungkan kalangan sehingga penggabungan indutri budaya dapat menciptakan
sebuah komoditas baru dalam kapital.
Melihat kompleksitas dari ideologi komunis Cina, tidak heran jika mereka mengalami
berkali-kali revolusi. Meski tidak sampai bergantinya ideologi komunis, namun tetap berusaha
mengikuti perkembangan jaman. Selama sejarah mencatat, setidaknya ada tiga kali revolusi
terjadi di Cina (Lampton, 2014:74).. Revolusi terakhir terjadi pada tahun 1977, ketika ekonomi
mulai bertransformasi menjadi lebih terbuka terhadap umum atau disebut industri budaya.
Namun pemerintah masih mengawasi ekonominya secara politik, sehingga kepemilikan aset-
aset ekonomi atau faktor-faktor produksi sebagian besar merupakan kepemilikan bersama. Tak
mengherankan China menjadi basis kekuatan ekonomi yang besar di wilayah benua Asia.
Sebagai salah satu negara-negara Asia Timur yang telah berulang kali mengalami pergeseran
politik budaya serta kebijakan budaya negara mereka, dinilai mempengaruhi pembentukan
industri budaya mereka.

Media massa di China

Industri media

Proses transformasi perekonomian China yang dahulunya tertutup bagi dunia luar menjadi
terbuka membawa arus modernitas yang berefek pada segala sektornya secara perlahan.
Setidaknya pemerintah telah mulai menyadari untuk keluar dari kondisi ekonomi warisan rezim
Mao Zedong, berusaha untuk mengadopsi dan mengadaptasi sistem kapitalis liberal kedalam
sistem ekonominya, serta tidak hanya berhenti pada sistem ekonomi kapitalis saja namun juga
mulai mengembangkan industri kreatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi semakin lebih
baik. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah memerlukan alat yang dapat menyampaikan dan
memanipulasi masyarakat secara massif, disinilah peran utama media massa dalam
mempengaruhi masyarakat secara politis dan sosial.

Industri media merupakan salah satu bentuk dari industri kreatif dimana didalamnya
menuntut suatu ide-ide baru sehingga terus mendapatkan pangsa pasar baik di dalam maupun
di luar negeri. Keadaan geografis China yang mana negara di sekitarnya telah banyak
berinovasi dalam industri media sehingga cara untuk melawannya diperlukan strategi jitu.
Contohnya adalah Korean Wave yang juga dikatakan sulllit untuk diminimalisir di China sendiri,
begitu juga dengan Japan Pop, belum lagi dari Hongkong dan Taiwan yang mana mereka lebih
lama menerapkan pemerintahan yang terbuka membeaskan imajinasi warga masyarakatnya
untuk menciptakan inovasi baru sedangkan di China pemerintah masih cenderung membatasi
ruang gerak pikiran dan imajinasi masyarakatnya sehingga kemudian hal itu menjadi salah satu
kendala utama yang dihadapi. Namuan kemudian terus melakuakn beragam pembaharuan dan
terus berinovasi meski tidak semulus untuk mengalahkan dalam sektor non-industri kreatif.

Media massa dan Pemerintah


Dimasa lalu, media digunakan sebagai alat untuk membangun bangsa, alat propaganda
ideologi negara, ia mengharuskan pekerja di ranah media untuk membentuk populasi
masyarakat menjadi satu pemikiran sosialis. Namun kemudian seteah reformasi media 1940
hingga 1978 dasarnya masih kepada pembangunan bangsa, yang menggunakan istilah seperti
‘upholding’ dan ‘constructing’. Kemudian tahun 1980-an hingga 1990-an perubahan yang terjadi
mulai pada tatanan struktur. Bagaimana modernisasi pada infrastruktur budaya di China
dengan tema utamanya adalah persaingan melawan ‘serigala asing’ (Zhao dan Schiller 2001;
Zhao 2003 dalam Keane 2009: 183). kemudian memasuki abad ke-21 perubahan mulai masuk
pada tataran penggunaan deskripsi industri itu sendiri.

Pada rencana lima tahun yang ke-11 (2005-10) reformasi industri yang menandai upaya
untuk memodifikasi China pada pengembangan ekonomi dan identitas diri dilakukan dengan
melihat ke arah luar yang kemudian menambah lisensi untuk melakukan inovasi. Akan tetapi
disini tetap ada regulasi yang mengontrol adanya proses inovasi yang dilakukan yang oleh
Keane dikatakan dalam empat cara kontrol yakni bisnis media diminta untuk terus inovatif
namun dengan batas yang didefinisikan samar-samar; adanya kompetisi sumber daya yang
kemudian menyebabkan disonansi kebijakan; pemain yang kuat seperti partai Sekertaris
memiliki kekuatan hak veto sehingga menambah kekuatan untuk merasa takut gagal; dan
ambiguitas kebijakan yang diperburuk dengan tujuan reformasi yang terus berubah (2009: 184).
Dengan begitu maka para inovator yang diminta oleh pemerintah untuk terus berinovasi dalam
media ini cenderung untuk ‘melipir’ menemukan jalan aman dengan tidak berbalik atau stagnan
dengan melakukan peniruan atau imitasi untuk memperkecil potensi kegagalan. Jadi reformasi
media disini lebih tidak berani untuk menantang resiko seperti pada pangsa pasar internasional.
Namun kemudian berbagai usaha dilakukan untuk memperbesar proyek media ini salah
satunya dengan dorongan untuk berinvestasi di dalam negeri untuk mendukung produksi TV di
bulan Juni 2003. kemudian pada tahun 2005 beberapa langkah dirumuskan untuk mempercepa
ekspor budaya yang sudah dimulai sejak tahun 2003 tadi yakni dengan adanya mekanisme
dukungan keuangan seperti jaminan investasi dan ‘saluran pinjaman hijau’ bagi industri media
yang berjuang untuk bersaing di luar negeri.

Gaya perpolitikan

Gaya perpepolitikan yang diterapkan oleh pemerintahan Cina dapat dilihat dari bagaimana
perkembangan media massanya. Meski pemerintah telah memberikan kebebasan bagi media
untuk mengembangkan perusahaannya, akan tetapi sebenarnya hanya setengah hati
melepaskannya yang dibuktikan dengan tidak ditunjuknya seorang kepala untuk mengurusi
Division of Cultural Studies yang bergerak di bawah kementrian kebudayaan China sejak
dibentuknya tahun 1998 hingga tahun 2002.

PROBLEMATISIR

Refleksi perjalanan media masa di Indonesia

Melihat perkembangan media massa yang terjadi di Cina, yang terjdi di negara Indonesia
seakan tidak jauh berbeda apalagi dalam masa pemerintahan orde baru. Salah satu media
massa yang tidak kalah populer dengan media massa yang lain adalah televisi. Televisi
pertama yang ada di Indonesia yang terkenal adalah TVRI akan tetapi kini pamornya sudah
mulai kalah dengan televisi swasta lainnya.

Tahun 1988, Rajawali Citra Televisi Indonesia atau RCTI memulai siarannya di Jakarta
(Krishna Sen, 1994). Keputusan untuk melepaskan kebijakan penyiaran TV swwasta
merupakan satu keputusan yang ‘dramatis’ karena hampir selama seperempat abad berada di
bawah kekuasaan negara. Sen memberikan 3 faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan televisi swasta di Indonesia, yakni keluarga presiden yang tertarik pada industri,
tekanan yang berasal dari masyarakat agar lebih terbuka dalam bidang pertelevisian, dan
pengaruh media internasional yang kemudian membuat perkembangan industri pertelevisian
tidak dapat terelakkan (1994: 117). Tekanan secara tidak langsung dari luar negeri kaitannya
dengan perkembangan industri pertelevisian terjadi karena pada tahun 1980-an, trend adanya
deregulasi dan privatisasi televisi atau televisi swasta pada negara-negara dimana sebelumnya
televisi sangat dikuasai oleh pemerintah, termasuk juga yang terjadi di negara Malaysia
(Quester, 1990 dalam Sen, 1994).

Faktor yang disampaikan oleh Sen yang pertama kaitannya dengan ketertarikan keluarga
presiden terhadap industri dapat dilihat pada orang yang berpengaruh didalamnya. Pada
stasiun televisi RCTI ada Bambang Trihatmojo, anak ketiga Suharto yang merupakan pimpinan
kuat dalam Bimantara Grup yang fokus pada industri primer dan manufaktur. RCTI membuka
stasiun kedua di Bandung, kemudian merencanakan pembangunan stasiun di Jogjakarta
bekerja sama dengan Hussein Naro, anak dari John Naro, salah satu tokoh yang sangat pro-
Suharto dan merupakan senior politik dalam PPP.

Stasiun SCTV atau Surya Citra Televisi yang berada di Surabaya dan kemudian di
Denpasar di dalamnya ada Sudwikatmono, ponakan presiden Suharto yang memiliki peranan
kuat. Sudwikatmono merupakan seorang tokoh kontroverrsial yang terkenal di tahun 1980-an
karena melakukan monopoli kontrol atas film impor dan pendistribusiannya. Begitu juga dengan
anak perempuan terakhir presiden Suharto, Tutut yang juga memulai bisnis pertelevisian yakni
TPI pada Desember 1990 dengan menyewa fasilitas transmisi milik TVRI. Sedangkan Tommy
Suharto, anak terakhir presiden terkenal sebagai perencana channel olahraga nasional. Selain
itu, terpisah dari keluarga presiden, konglomerat lain dari asosiaso masyarakat China Lim Sioe
Liong’s Salim Group dan Bakrie Group yang mengelola AN-TV juga memiliki lisensi penyiaran
nasional (1994:118).

Dalam perkembangannya, RCTI menjadi yang paling kuat berdiri dalam persaingan industri
pertelevisian di Indonesia. Sejak mulai dari masa pemakaian decoder (atau alat pengurai a tau
pengubah sinyal elektronik kedalam suara atau gambar) pada Agustus 1990, hingga pada
tahun 1992 jaringannya sudah ada dalam satelit Palapa sehingga siarannya dapat dinikmati
oleh seluruh masyarakat yang ada di Indonesia dengan menggunakan antena parabola.

TVRI pernah juga melakukan pengiklanan pada tahun 1963 yang bersifat komersial dan
mendatangkan keuntungan sangat besar, namun dipermasalahkan dengan dibentukan pada
asper komersialnya dengan program dan fungsi dari stasiun televis tersebut yang didanai publik
dengan perannya untuk pembangunan bangsan dan sebagainya.

Pada 5 Januari 1981, tanpa adannya pemberitahuan sebelumnya tiba-tiba presiden


berbicara kepada DPR dan membuat keputusan untuk menghentikan pengiklanan di TVRI.
Alasan yang ada dibaliknya-pun sangat tidak jelas mengenai larangan tersebut, kecuali
larangan bersamaan dengan rumah judi yang sebelumnya telah dilegalkan pada masa
pemerintahan gubernur Ali Sadikin di pertengahan tahun 1970-an.

Dalam perkembangannya di tahun 1986 setelah dilegalkannya penggunaan parabola,


kementrian informasi dan pemerintah lokal mengupayakan penyediaan parabola pada tiap desa
agar masyarakatnya dapat mengakses TVRI. Akan tetapi dalam perkembangannya dengan
adanya stasiun televisi swasta membuat pemerintah sulit untuk mengontrol apa yang dilihat
oleh masyarakat pada umumnya.

Sen berpendapat bahwa televisi swasta bukanlah penyerahan yang tiba-tiba dari
pemerintah yang dulunya sangat memonopoli dan sudah sangat lama. Televisi swasta
bukanlah langkah untuk meliberalisasikan televisi, melainkan sebuah bentuk pertarungan untuk
merayu penonton nasional kembali ke ruang media nasional, dengan jenis televisi yang
berbeda dari pemerintah dan terlihat lebih mampu untuk menyediakan siaran yang lebih
menghibur (1994:123).

Sedikit tidak jauh berbeda dengan televisi, radio yang mulai dikenalkan sejak tahun 1920-
an jaman penjajahan di Indonesia memiliki perjalanan yang lumayan. Pada mulanya di tahun
1930-an stasiun “Eastern” menyiarkan musik-musik lokal, yang sebagian besar merupakan
pertunjukan langsung. Konten-konten kebudayaan lokal sangatlah familiar, namun yang juga
tak kalah disini adalah bagaimana teknologi penyiarannya itu sendiri (Lindsay, 1997:122).

Pada masa orde lama (1945-1966) siaran radio sangat bernuansa kuat akan tradisi lokal.
Kemunculan kembali radio swasta ada pada tahun 1966 dimasa peralihan antara orde lama
dengan orde baru bernama ‘radio amatir’ yang merupakan bagian dari pergerakan mahasiswa.
Radio amatir ini selain menyiarkakan bantahan dari berita pusat dari RRi juga menyiarkan
musik barat populer yang pada masa orde lama sangat dilarang. Kemunculan radio amatir
lainnya dengan cepat terjadi setelah adanya kegagalan serangan mendadak pada September
1965. dan akhir 1960-an menjadi masa meledaknya pemancar radio amatir.

Tahun 1970-an menjadi tahun berbunganya pemancar radio amatir, nmaun juga
merupakan tahun dimana mereka harus bersaing dengan pemancar radio milik pemerintah.
Pemerintah mencabut perlindungan hukum pada radio amatir dan kemudian mengganti
namanya menjadi radio swasta yang katanya jauh dari konotasi tidak profesional. Dan unutk
menjadi radio swasta maka pemancar-pemancar radio ini harus memenuhi beberapa
persyaratan hingga lolos siaran, akibatnya jumlah pemancar radio swasta menjadi menurun.
Ketika tahun 1974 PRSSNI atau Persatuan Radio Siaaran Swasta Nasional Indonesia telah
ada, terdapat 217 pemancar radio swasta yang terdaftar di seluruh Indonesia. Di tahun 1977
dirubah menjadi PRS atau Persatuan Radio Siaran

Disisi lain, RRI atau Radio Republik Indonesia menjadi media resmi suara pemerintah dan
juga membuat radio swasta terpinggirkan dengan membuat kewajiban radio itu harus memiliki
fungsi sosial, alat pendidik, penerangan, dan hiburan yang kemudian akan mensukseskan
program pemerintah. Namun kedian radio-radio swasta semakin berkembang dengan
dukungan dari hasil pengiklanan yang tidak ada dalam radio RRI. Hingga pada tahun 1997
jumlah dari radio swasta mencapai lebih dari 700 stasiun (Lindsay, 1997).

Lindsay (1997 :123) berpendapat bahwa radio swasta sangat kaya informasi untuk
digunakan sebagai studi perubahan dan mengubah identitas regional. Hal ini karena radio
swasta yang ada di tiap daerah atau kota memiliki ciri yang berdeda dalam menampilkan
kebudayaan dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Selain itu program yang pasti dibawakan
juga mengarah pada apa yang diinginkan oleh masyarakat agar siaran mereka tetap ada yang
menikmati. Banyak penelitian ilmiah mengenai kondisi masyarakat melalui media cetak dan
televisi, mungkin sekarang melalui internet, namun penelitian pada radio lebih banyak
terabaikan.

Media masa pada masa orde baru:

I. Pengekangan pendapat

Pengekangan pendapat pada masa orde baru memang sangat jelas terlihat dengan
banyak adanya pembredelan pada berbagai media cetak. Adanya monopoli pemerintah
terhadap stasiun televisi dan radio pada awal orde baru dan merupakan kelanjutan dari orde
lama juga menunjukkan bagaiana pendapat dan opini pubik sangat diatur oleh pemerintah.
Degan adanya TVRI pada masa itu dan RRI pemerintah berusaha mengontrol apa yang harun
diketahui dan yang tidak diketahui oleh publik.

II. Menyampaikan pendapat melalui musik

Banyak dari masyarakat kita yang sebenarnya ingin mengemukakan pendapat soal cara
peerintah mengambil kebijakan, menyuarakan penderitaan orang-orang marginal melalui karya
seni seperti lagu atau pertunjukan teater dan sebagainya. Lagu dan pertunjukan teater--pun
juga pernah ikut dicekal. Salah satu contohnya adalah seniman Virgiawan Listianto atau yang
kita kenal sebagai Iwan Fals. Jika kita mengikuti perkembangan lagunya sejak masa dulu,
banyak dianatra karyanya yang merupakan kritik pedas terhadap pemerintah. Karya-karyanya
sangat menarik untuk ditujukan kepada pemerintah pada masa itu.

Musisi lain yang pada masa itu memiliki dukungan sangt luas dari masyarakat adalah musik
dangdut yang dipupulerkan oleh Rhoma Irama. Menguasai berbagai media masa di Indonesia,
mengarahkan sasaran kepada anak muda dengan musik yang sedikit mengena untuk menari,
dengan pesan-pesan populis, bernuansa Islami dan macam-macam dunia, serta merupakan
‘best-known popular entertainer’ pada masa setelah Soekarno khususnya tahun 1975-1981
(Frederick, 1982).

REFLEKSI INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

Transformasi Dangdut Menjadi Budaya Massa


I. Dangdut Rhoma Irama

Pada sekitar tahun 1970an musik dangdut mulai menunjukkan kehadirannya dalam
belantika musik nasional. Musik dangdut yang konon terkenal semenjak munculnya Rhoma
Irama, Elvi Sukaesih, dengan grup Soneta dan berbagai tokoh lainnya menjadi sebuah awal
baru bagi kehidupan dunia musik dangdut. Dangdut yang dibawakan oleh Rhoma Irama
merupakan sebuah bentuk alternatif dari merebaknya musik-musik barat terlebih musik pop dan
rock yang pada saat itu sedang marak dalam industri musik Indonesia. Selain irama dan
instrumen yang khas, dangdut pada masa awal munculnya memiliki lirik dengan pesan-pesan
religius khususnya agama Islam.

Tak dapat dipungkiri, Rhoma Irama menjadi seorang pelopor musik alternatif tersebut
dengan lantunan musik Melayu Deli dan lirik yang sangat kental dengan pesan-pesan dakwah
Islam. Pesan-pesan religius yang disampaikan melalui lagu-lagunya sempat membuat
popularitasnya naik dan makin banyak dikenal dan digemari oleh masyarakat pada waktu itu.
Apa yang dilakukan oleh Oma (nama asli Rhoma Irama) dianggap oleh banyak penulis sebagai
sebuah langkah jitu untuk menarik massa, hal tersebut dibuktikan dengan animo penggemar
pada tahun 1984 yang telah mencapai 15 juta atau sekitar 10 persen total penduduk Indonesia
pada saat itu (Tempo, 30 Juni 1984 dalam Raditya, 2017). Tingginya angka penggemar
tersebut selain dipengaruhi oleh iramanya yang mengundang untuk berjoget, nilai-nilai religi
yang terdapat dalam liriknya juga mengundang sebagian penggemarnya untuk terus menikmati
musik-musiknya. Hal ini juga didukung dengan kondisi sosial pada masa Orde Baru yang
menekan Islam pada saat itu, sehingga musik dianggap sebagai satu-satunya media dakwah
yang dapat dengan mudah untuk diterima dan tidak mendapatkan intervensi apapun dari
pemerintah pada saat itu.

Keberjayaan musik dangdut dalam industri musik Indonesia tidak berhenti pada masa
tersebut. Menjelang tahun 1990an tepatnya menjelang jatuhnya pemerintahan Presiden
Soeharto atau memasuki masa reformasi, posisi dangdut semakin menguat. Kondisi sosial dan
politik pada saat itu yang sedang mencoba menggandeng agama Islam semakin memperkuat
posisi dangdut pada masa transisi kepemimpinan menuju reformasi. Terlebih pada masa
tersebut musik dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat menjadi alternatif pemersatu
bangsa yang pada saat itu identitas mengenai kedaerahan, kesukuan, dan agama menjadi
sangat sensitif pada masyarakat (Barendregt & van Zanten, 2002 , p. 71). Pada masa reformasi
inilah menjadi momentum penting bagi musik dangdut untuk lebih populer dan menjadi identitas
nasional ditengah ketidakseimbangan kondisi sosioekonomi, dan budaya yang disebabkan oleh
kondisi perpolitikan di Indonesia. Penguatan posisi dangdut sebagai budaya populer dan
dianggap sebagai identitas baru bangsa Indonesia juga dipengaruhi dengan dekatnya Soeharto
dan Islam, terlebih musik dangdut yang kental dengan pesan-pesan dakwah islam (Heryanto,
2008, p. 13) dan adanya pernyataan secara lantang dari Rhoma Irama sebagai ‘raja dangdut’
bahwa dangdut merupakan musik Islam yang pengaruh tersebut sangat nampak melalui
penampilan musik dangdut yang ramah, dan sopan jauh dari gerakan-gerakan erotis seperti
kesenian ledek maupun sintren.

II. Dangdut Kekinian

The Rise of Koplo

Semenjak lengsernya kekuasaan Soeharto dan memasuki millennium baru,


perkembangan dangdut makin menguat. Dangdut yang semula sangat terkesan islami baik dari
lirik lagu hingga penampilannya yang sopan mendapatkan saingan sesama aliran musik
dangdut. Munculnya pesaing musik dangdut ‘klasik’ ditengarai karena munculnya kebebasan
berekspresi yang digaungkan semenjak lengsernya Soeharto. Dalam fenomena ini para
seniman musik mulai berani untuk menunjukkan kreatifitasnya dengan memadukan musik
dangdut dengan kekhasan daerahnya. Sehingga fenomena yang disebut oleh Weintraub
dianggap sebagai kebangkitan dangdut daerah atau dangdut etnik.

“After the fall of Suharto, another kind of “ethnic dangdut” (which I will call
“regional dangdut” or dangdut daerah) saturated local music scenes in many
parts of the country. Sung in regional languages and marketed to specific ethnic
communities, dangdut spin-offs developed in West Sumatra (Minang saluang
dangdut), West Java (Sundanese pong-dut), Cirebon (Cirebonese tarling), East
Java (Javanese koplo), and Banjarmasin (Banjarese dangdut Banjar), among
others” (Weintraub, 2010, p. 201).

Munculnya dangdut etnik atau dangdut lokal mulai banyak menghisasi belantika musik
Indonesia. Sesuai dengan kutipan diatas dari buku Dangdut Stories karya Weintraub, diketahui
bahwa ditiap daerah memiliki kekhasan tersendiri dalam musik dangdut. Munculnya jenis musik
dangdut daerah secara tak langsung menambah kekayaan musik dangdut tersendiri yang
bukan saja diketahui secara nasional namun juga memiliki apropriasi tersendiri dalam tingkat
daerah atau lokal. Salah satu fenomena yang menjadi satu titik puncak dari berkembangnya
musik dangdut daerah seiring dengan mulai dikenalnya subkultur dangdut tersebut dalam
tingkat lokal. Sosok Inul Daratista dianggap sebagai pelopor dikenalnya dangdut lokal dalam
ranah nasional. Inul Daratista seorang biduan dangdut yang berasal dari daerah Jawa Timur
mulai dikenal secara luas semenjak rekaman aksi panggungnya tersebar melalui VCD/DVD
bajakan yang beredar luas di pasaran terlebih dengan aksi ‘goyang ngebor’ yang terkesan
erotis khas miliknya. Sehingga tak jarang musik dangdut koplo mendapatkan julukan sebagai
dangdut sensasional atau dangdut sexy dilihat dari aksi panggung maupun dilihat dari lirik
lagunya (Weintraub, 2010, p. 215).

ANALISIS

Kelas Sosial Baru dan Dangdut Koplo

Dangdut telah lama muncul dan ikut berkembang seiring dengan perubahan kondisi
sosial politik negara dimulai sejak kekuasaan Soeharto dengan dangdut islami yang kental
dengan unsur melayu hingga munculnya dangdut koplo sebagai bentuk dari ekspresi
kebebasan setelah Soeharto turun. Setelah kurang lebih 20 tahun memasuki masa reformasi,
aliran musik dangdut mengalami sebuah perkembangan pesat khususnya pada sub aliran
koplo. Dangdut koplo dicirikan dengan instrumen dan lirik yang berbeda dengan dangdut
kebanyakan yang pada masa Soeharto sangat kental dengan nuansa Islam. Muncul dan
berkembangnya dangdut koplo pada awalnya dipelopori oleh Inul Daratista dengan ‘goyang
ngebor’nya turut menyulut lahirnya biduan-biduan dangdut yang mengikuti langkahnya dengan
menampilkan goyangan erotis. Kepopuleran dari dangdut koplo semakin meluas seiring dengan
munculnya VCD/DVD bajakan berisi rekaman pentas biduan-biduan bersama Orkes Melayu
(O.M) di daerah sepanjang Pantai Utara Jawa sebelum terangkat secara nasional (Heryanto,
2006).
Pada tahun 2015, dangdut koplo mengalami masa keemasannya dalam belantika musik
Indonesia. Musik koplo mulai dikenali dan digandrungi masyarakat semenjak munculnya nama-
nama seperti Via Vallen, Nella Kharisma, NDX AKA Familia kedalam kancah musik nasional.
Lagu-lagu berjudul ‘Sayang’, ‘Bojo Galak’, ‘Jaran Goyang’ semakin mudah ditemui dan diputar
di berbagai tempat. Kepopuleran dan semakin maraknya penikmat koplo juga didukung dengan
akses internet terutama Youtube sebagai salah satu sarana penyebaran musik koplo pada
masyarakat digital saat ini. Sehingga dangdut koplo kini dikenal hampir diseluruh wilayah
nusantara dan mendapatkan basis penggemar dengan berbagai macam latar belakang etnis
berbeda meskipun secara lirik, kebanyakan lagu koplo menggunakan campuran bahasa Jawa –
Indonesia (Wardoyo, 2018).
Kalangan masyarakat kelas bawah sering disebut sebagai pangsa utama penggemar
dangdut koplo. Pernyataan tersebut juga semakin dikuatkan oleh Jeremy Wallach dalam
artikelnya yang menganggap masih adanya stigma musik dangdut merupakan jenis musik kelas
bawah meskipun kalangan tersebut juga masih menikmati irama dangdut (Wallach, 2014).
Pernyataan tersebut nampaknya sudah mulai bergeser dengan populernya dangdut koplo
sekarang ini. Tak hanya terbatas pada kelompok ekonomi tertentu, kini kebanyakan masyarakat
luas tanpa memandang usia, jenis kelamin, maupun status ekonomi tak hanya sekedar
menikmati namun juga mulai mengonsumsi musik koplo. Selain tergambarkan dengan
banyaknya penggemar atau penikmat musik koplo melalui aktivitas mereka di internet, kini juga
mulai bermunculan café dan diskotik di Yogyakarta ikut mengundang penyanyi dan Orkes
Melayu untuk tampil ditempat mereka. Di mana banyak pengunjung café dan diskotik sendiri
dapat digolongkan kedalam kalangan kelas menengah.

Kelas menengah menjadi pembahasan yang menarik saat dikaitkan dengan fenomena
konsumerisme masyarakat Indonesia. Seperti pada tulisan Kurosawa Aiko (2015) pada bagian
Introduction pada buku Consuming Indonesia, yang menguraikan tentang pergeseran makna
konsumsi pada masyarakat Indonesia era pemerintahan Presiden Soeharto yang kemudian
memunculkan kelas menengah baru yang disebut pseudo middle class (kelas menengah
pseudo). Secara singkat isi tulisan beliau yang menjadi referesnsi kami dalam penelitian ini,
menceritakan masyarakat ekonomi menengah setelah melewati krisis ekonomi tahun 1997-
1998, Indonesia menikmati pembangunan ekonomi dimana disana terjadi konsumsi besar-
besaran. Fenomena ini tak hanya dapat dilihat dari membeli kebutuhan sehari-hari tapi juga dari
sektor jasa seperti kesehatan, pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Terdapat pergeseran makna
dari ‘konsumsi berdasarkan kebutuhan’ menjadi ‘konsumsi berdasarkan keingingan’ dimana
konsumsi dilakukan untuk menghasilkan kenyamanan dan kesenangan. Dari pergeseran ini,
muncul kelas menengah baru, yang mana individu yang tergolong dalam kelas ini, berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya karena prestis (gengsi) bukan pada keperluan sehari-harinya.
Dari budaya ‘gengsi’ ini muncul kelas menengah ‘pseudo’ yang aslinya mereka tak memiliki
modal untuk memenuhi gaya hidup ala masyarakat kelas menengah ke atas, umumnya mereka
merupakan masyarakat urban yang tinggal dipinggir kota besar di Indonesia. Karena perubahan
ini membuat strategi pasar berubah agar tak terkonsentrasi dalam memenuhi kebutuhan
konsumen kalangan menengah-atas, namun juga dapat memenuhi kalangan ‘pseudo’ ini.

Dangdut koplo merupakan karya nyata dari konsumsi kreatif yang dilakukan oleh
masyarakat kalangan ini. Peneliti dalam cultural studies seperti Chambers, Fiske, dan Hebdige
mengatakan aktivitas produksi makna secara kreatif yang dilakukan konsumen yang menjadi
bricoleur (orang yang suka mengotak-atik), menyeleksi dan menata elemen komoditas dan
tanda-tanda penuh makna (Barker, 2004). Yang lebih menariknya Fiske menegaskan
konsumen kebudayaan populer bukanlah orang pasif melainkan secara aktif memproduksi
makna dengan cara melakukan pemilahan (Fiske, 1989a dalam Barker, 2004, p. 49).

Tentunya dalam pandangan masyarakat Indonesia, musik dangdut koplo diidentikan


dengan selera masyarakat bawah yang kemudian di era ini penyuka jenis musik ini merambah
pada kelas sosial menengah-atas yang tanpa malu-malu lagi menyatakan dirinya sebagai
penggemar musik koplo. Sejarah konsumsi musik dangdut koplo dalam perkembangannya
sendiri pun tak dapat melupakan begitu saja pengaruh politis yang dibawa oleh subkultur ini.
Dalam studi kebudayaan populer, Hall berpendapat bahwa konsepsi politis kebudayaan pop
sebagai arena memperjuangkan makna.

“Peniliaian atas kebudayaan pop terpusat pada pertanyaan yang tidak diarahkan
kepada nilai estetis atau nilai-nilai kultural (kebudayaan yang baik atau buruk) namun
diarahkan kepada kekuasaan dan tempat kebudayaan pop di dalam formasi sosial
yang lebih luas. Konsep tentang yang populer menentang bukan hanya pemisahan
antara budaya tinggi dengan budaya rendah namun juga menentang aksi klasifikasi
kebudayaan dengan dan melalui kekuasaan (Hall, 1996e dalam Barker, 2004, p. 51).

KESIMPULAN

Musik dangdut identik dengan irama musik perkusinya yang mengajak penikmatnya
untuk bergoyang, entah itu dengan menggerakkan anggota gerak atas maupun bawah, hanya
mengangguk-anggukan kepala ataupun dengan jari tangan membentuk angka satu sambil
menggerakkan seluruh tubuhnya. Sejak dulu musik dangdut memang digunakan untuk hiburan
namun berbeda penikmat, dulu penikmat dangdut merupakan kalangan kelas bawah sehingga
dangdut dianggap sebagai hiburan yang murahan, namun semenjak Rhoma Irama dengan
gitarnya membuat irama dangdut yang agak berbeda dari biasanya, lirik yang sarat akan
pendapat politis dan nilai-nilai keislaman yang ‘booming’ di era orde baru, mengubah
pandangan masyarakat terhadap dangdut, dimana penikmat dangdut mulai mewabah di
kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini pun tak lepas dari kondisi politik orde baru,
Rhoma Irama dengan dangdutnya yang mewakili perasaan masyarakat Indonesia menjadi
angin segar ditengah-tengah ketatnya pemerintah saat itu. Seolah-olah dangdut menjadi simbol
pemberontakan terhadap otoritas pemerintah orde baru, sehingga partai politik dengan ideologi
‘Islam’ mulai melirik dangdut lewat Rhoma Irama untuk kepentingan politiknya dan secara tidak
langsung menegaskan Rhoma Irama sebagai simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap
pemerintah.

Namun, karena kemunculan Rhoma Irama, munculah bintang-bintang dangdut yang


lain, salah satunya yang terkenal ialah Inul Daratista. Diva dangdut ini memang sangat berbeda
dengan Rhoma Irama, ia benar-benar memaknai dangdut sebagai hiburan dan pekerjaannya
tanpa ada unsur sosial politik yang diusung dalam lagu-lagunya. Dan dalam tampilan
pertunjukannya, Inul Daratista dikenal karena goyangannya yang disebut ‘goyang nge-bor’ dan
karena goyangannya ia sempat terkena kasus pornografi, pada saat bersamaan sedang
hangat-hangatnya dibahas UU pornografi di publik.

Pengaruh penikmat musik dangdut yang mayoritas berasal dari kelas menengah tak
dapat dipisahkan dari proses produksi dan konsumsi kreatif yang perlahan merubah dangdut.
Dangdut yang pada masa orde baru digunakan sebagai media untuk aspirasi masyarakat
menjadi bergeser fungsinya saat ini, yaitu dijadikan sebagai lahan kreatif akibat pengaruh dari
kapitalis. Dalam hal inipun, dangdut berubah menjadi sebuah industri kreatif yang masih dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhan zamannya selama kreatifitas yang dimiliki manusia tidak
padam.

Anda mungkin juga menyukai