Anda di halaman 1dari 5

RANGKUMAN

“PERKEMBANGAN TV DI INDONESIA”

DOSEN PENGAMPU:

Siti Aisyah, S,Sos,M,Ikom

DISUSUN OLEH:

Kayyisa Aufa Meidina Rahma (44322010070)

UNIVERSITAS MERCU BUANA

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

MARKETING COMMUNICATION

2022
(1) MASA SOEKARNO
Jika kita menilik kembali perkembangan pertelevisian di Indonesia, maka yang pertama kita harus tahu
adalah berdirinya TVRI pada tahun 1962 pada masa pemerintahan Terpimpin Soekarno. Dalam
proses pendiriannya, televisi plat merah ini konon terkesan terburu-buru, sebab pada saat itu bangsa
Indonesia tengah mempersiapkan hajatan akbar pekan olah raga se-asia “Asian Games IV” di
Jakarta. Karena serba mendadak untuk sementara waktu TVRI menggandeng RRI untuk pengadaan
sumber daya manusianya. Dengan semangat kesederhanaan dan seadanya TVRI telah menorehkan
sejarah pertelevisian di Indonesia, dan menjadi stasiun televisi ketiga setelah Filiphina dan Thailand
di Asia Tenggara, dan keempat di Asia setelah Jepang (Mufid, 2005:47).
(2) Masa Soeharto
Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai
indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik
yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara
Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim
Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit
Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari
segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde
Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional
dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri
Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media
(integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema
berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya)
terhadap perpindahan modal asing. Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde
Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam
bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di
luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga
Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi
berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis
ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan
aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM)
membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang
redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan
pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable
Revolusi Mei 1998.

Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya
perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran
Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi
lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997
tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian
hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip
Neoliberalisme. Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan
Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain
banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang
Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of
Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan
mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan. Untuk
memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis
spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode
kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara
sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup
besar. Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam
penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah
dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level,
yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun
Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh
keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada
gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional.

Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa
reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area
jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level
organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya
dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal
tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih
menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang
overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah. Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi
relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan
imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung
pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk
lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau
popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal
selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi
ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam
pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta
pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global. Di sisi lain,
harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk
memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum
menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari
publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif
seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis
Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-
dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal.

industri penyiaran televisi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan Negara.Kekuasaan
Negara menjadi faktor penentu fungsi keberadaan industri penyiaran bagi masyarakat. Di Indonesia,
pendirian Televisi Republik Indonesia tidak lepas dari kepentingan keuasaan Negara, dalam hal ini
pemerintah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Orde Baru memanfaatkan Televisi
Republik Indonesia sebagai alat kampanye terselubung dalam Pemilihan Umum 1977. Metode yang
digunakan yaitu penelitian sejarah kritis terdiri beberapa tahapan; heuristic, verifikasi, interpretasi,
historiografi. Pesawat televisi dan siaran televisi berkembang di era Pemerintahan Soeharto.Hal ini
membuat pemerintah merasa perlu untuk mengendalikan program acara yang ditayangkan untuk
kepentingan pemerintah, yaitu mendukung pembangunan nasional dan memelihara stabilitas
nasional.Peluncuran Satelit Komunikasi Satelit Domestik Palapa di tahun 1976, membuat siaran
Televisi Republik Indonesia semakin menjangkau daerah pelosok di Indonesia.Semakin banyaknya
penonton, dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mensosialisasikan hasil hasil pembangunan.
Menjelang Pemilihan Umum 1977, Departemen Penerangan membuat Rencana Operasi Penerangan
Pemilu dengan tujuan agar Orde Baru kembali berkuasa.Televisi Republik Indonesia sebagai
sebuah lembaga yang berada di bawah Deppen, mempunyai kewajiban melaksanakan Rencana
Operasi Penerangan Pemilu 1977.

Anda mungkin juga menyukai