Anda di halaman 1dari 4

UTS Globalisasi, Demokratisasi & Desentralisasi

Achmad Surya Hadi Kusuma

274222004

1. Dalam konteks Indonesia pasca-otoritarianisme, Vedi Hadiz menyebutkan bahwa


militer masih belum terlepas penuh dalam urusan politik, walaupun sudah tidak lagi
duduk dalam posisi politik yang sekarang dipegang sipil, tapi di daerah, militer masih
terlibat dalam urusan politik dengan politisi maupun pebisnis lokal, bahkan tidak jarang
di antaranya yang terlibat dalam bisnis terlarang seperti penebangan ilegal,
perdagangan manusia, dan pelacuran.1 Melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Pasal 26, Pimpinan Satuan
Teritorial Tentara Nasional di Daerah (komandan resor militer/komandan distrik militer
tergantung pada tingkatan daerahnya apakah provinsi atau kabupaten/kota) merupakan
salah satu anggotanya, yang mana Forkopimda bertujuan untuk melancarkan
pelaksanaan urusan pemerintahan umum di daerah. Hal ini berarti TNI masih terlibat
dalam urusan politik di daerah. Salah satu contohnya adalah apa yang disampaikan oleh
Pangdam V Brawijaya, Mayjend TNI Farid Ma'ruf yang mana militer akan terlibat
dalam pengendalian inflasi di Jawa Timur seperti melalui program TNI Manunggal
Membangun Desa (TMMD), yakni masuk ke dalam pembangunan jalan-jalan strategis.
Selain itu TNI di Jatim akan dilibatkan juga dalam program ketahanan pangan nasional
yang mana program itu akan memanfaatkan Dandim dan Danrem untuk menanam
tanaman yang diyakini mampu mengetahui secara langsung keluhan masyarakat,
terutama berkaitan dengan asupan gizi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Contoh ini
menunjukkan bahwa militer Jatim akan terlibat dalam proyek pembangunan jalan dan
ketahanan pangan, bisa saja suatu titik SDM militer akan dikerahkan untuk proyek
tersebut dengan pertimbangan mendapatkan pemasukan lebih dari APBD yang
disediakan bagi program-program di atas.
2. Rezim pengetahuan berkaitan dengan pendapat Michel Foucault mengenai kekuasaan
yang menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru dan sebaliknya,
pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan.2 Dalam kaitannya dengan

1
Hadiz, Vedi. (2011). Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective.
Singapore: ISEAS, hlm. 45.
2
Siregar, Mangihut. (2021). “Kritik terhadap Teori Kekuasaan-Pengetahuan Foucault.” Jurnal Ilmu Sosial dan
Politik, 1(1), hlm. 5.
neoliberalisme, Tania Murray Li berpendapat bahwa perencanaan pembangunan di
Indonesia merupakan proyek neoliberalisme yang digawangi oleh Bank Dunia melalui
“pembangunan masyarakat.” Program tersebut merujuk dari pengetahuan dan praktik
yang dikenal sebagai neoliberalisme yang mengedepankan persaingan dan akuntabilitas
serta menggabungkan kedua konsep tersebut dengan konsep partisipasi dan
pemberdayaan yang berasal dari kumpulan pengetahuan dan praktik yang
diperkenalkan oleh pihak ketiga seperti organisasi nonpemerintah atau lembaga
swadaya masyarakat.3 Dari penjelasan Tania yang juga merujuk kepada Foucault, dapat
diketahui bahwa pola ekonomi politik di Indonesia tidak terlepas dari corak
neoliberalisme dengan mengadopsi sejumlah kebijakan dari organisasi keuangan
internasional semacam Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional. Kondisi ekonomi
politik ini tidak terlepas dari naiknya Suharto sebagai presiden kedua Indonesia yang
mana ia membutuhkan stabilitas politik dengan membuat lingkungan dan kebijakan
yang akan menarik investasi.4 Suharto menugaskan sejumlah menteri yang nantinya
akan membantu menarik investor dengan pertemuan bersama Inter-Governmental
Group on Indonesia (IGGI). Selanjutnya ia memberikan keringanan modal asing untuk
masuk ke negaranya dengan deregulasi.5 Salah satu perusahaan yang masuk ke
Indonesia pada era Orde Baru adalah Freeport McRoran melalui kontrak karya yang
ditandatangani langsung oleh Suharto, hal ini memperbolehkan perusahaan tersebut
untuk melakukan pengeboran di daerah Papua guna mengeruk emas yang terkandung
di kawasan tersebut.6 Akan tetapi warisan dari perjanjian Suharto itu tidak bisa
dihilangkan karena secara teknologi, Indonesia bergantung kepada Freeport walaupun
sudah memegang 51 persen dari saham perusahaan multinasional itu. Pasca-reformasi,
Indonesia juga tidak terlepas dari corak ketergantungan terhadap modal asing yang
sudah menjadi kebijakan selama 32 tahun. Hal ini terbukti dari kebiasaan pemerintah
Indonesia melalui kementerian keuangan untuk meminjam dana dari luar negeri yang
berasal dari pengetahuan yang dibentuk oleh klik teknokrat ekonomi Suharto yang
dikenal sebagai Mafia Berkeley. Orang yang terlibat dalam kelompok tersebut
menempati posisi strategis di bidang ekonomi dalam jangka waktu yang panjang, salah

3
Li, Tania Murray. (2021). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri, hlm. 404.
4
Winters, Jeffrey A. (1996). Power in Motion: Capital, Mobility, and the Indonesian State. Ithaca: Cornell
University Press, hlm. 50.
5
Ibid., hlm. 59-61.
6
Leith, Denise. (2003). The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i.
satunya adalah Ali Wardhana yang menempati jabatan Menteri Keuangan selama 15
tahun. Hampir semuanya, termasuk Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Dorodjatun
Koentjoro-Jakti dan Johannes Baptista Sumarlin merupakan dosen yang mengajar di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dari sinilah muncul generasi baru ekonom
yang memiliki pola pikir atau corak kebijakan yang sama dengan pendahulunya, karena
pengetahuan itu (pendekatan neoliberalisme) terlembagakan dalam dunia pendidikan.
Pada akhirnya, rezim pemerintahan bisa berganti, akan tetapi kebijakan perekonomian
Indonesia mungkin akan tetap sama jika melihat sumbernya dari Mafia Berkeley.
3. Sosialisme ala China mulai bergaung pada masa Mao Tse Tung semenjak pecahnya
aliansi komunis antara China dan Soviet. Muncul anggapan dari para komunis Cina
bahwa Soviet menganut doktrin revisionisme. Tiongkok di bahwa Mao menganut
komunisme anti-imperialis yang diarahkan kepada Amerika Serikat. Hal ini disebabkan
keberpihakan AS terhadap Taiwan semenjak awal konflik antara China Komunis
dengan China Nasionalis.7 Semasa Mao ini, muncul banyak proyek besar atas nama
sosialisme, seperti Lompatan Jauh ke Muka, Revolusi Kebudayaan, bahkan Teori Tiga
Dunia dan pandangan Mao mengenai buffer zone atau zona perantara yang menandakan
pertempuran ideologi antara Amerika Serikat dan negara kapitalis dengan Uni Soviet
bersama negara-negara sosialis (pandangan sebelum perpecahan Sino-Soviet). Akan
tetapi istilah socialism with chinese characteristics mulai menggaung pada masa Deng
Xiaoping, yang mana istilah itu adalah teori yang memasukkan kapitalisme ke dalam
perencanaan pusat untuk meningkatkan produktivitas, mengembangkan kebudayaan
Tiongkok, dan meningkatkan kepentingan masyarakat, maka dari itu terbentuk
kapitalisme negara Tiongkok. Deng juga mengklaim bahwa sosialisme didasarkan pada
perencanaan terpusat sementara perencanaan kapitalis berdasarkan pasokan dan
permintaan, karena keduanya dirancang untuk memengaruhi hasil perekonomian, maka
keduanya dianggap konsisten dengan sosialisme, maka dari itu Deng mengutarakan
bahwa China harus melalui tahapan sosialisme, akan tetapi penggunaannya harus
dikendalikan oleh negara. Ada empat prinsip utama dalam penerapan kapitalisme untuk
keuntungan negara: jalan sosialis, kediktatoran demokratis rakyat, kepemimpinan
Partai Komunis China, dan pemikiran Maoisme serta Marxisme-Leninisme.8

7
Dahana, A. (2022). Perang Dingin, Tiongkok, Malaya dan Malaysia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 15-
17.
8
Moak, Ken & Miles W. N. Lee. (2015). China’s Economic Rises and Its Global Impact. New York: Palgrave
Macmillan, hlm. 93.
Sementara apa yang menjadi landasan Xi Jinping merupakan penyesuaian pemikiran
Deng Xiaoping pada abad ke-21 yang menekankan kepada kesetiaan kepada partai
komunis, terdapat pengulangan berkali-kali pada istilah sosialisme dengan karakteristik
China, namun tidak dijelaskan secara terperinci apa yang dimaksud dengan hal tersebut.
Walaupun dijelaskan bahwa perlu ada upaya memperkuat hubungan politik dan
ekonomi di seluruh dunia dan secara aktif menghadapi tantangan globalisasi serta selalu
mempercepat langkah modernisasi China.9 Hal ini diwujudkan Xi Jinping dalam
program kerja sama ekonomi One Belt One Road (OBOR) yang sekarang menjadi Belt
and Road Initiatives. Prakarasa ini didasarkan pada kisah lama Tiongkok sebagai
negara yang menguasai jalur sutra hanya saja sekarang berwarna lebih merah
(komunis). Pada suatu titik kerja sama ini bisa merugikan sebuah negara hingga mereka
bangkrut seperti Sri Lanka, yang mana 10 persen dari hutang Sri Lanka dipegang oleh
China.

9
Zhang, Yupu. (2020). “Three Aspects of Xi Jinping’s Thought on Socialism with Chinese Characteristics in the
New Era.” Advances in Social Science and Humanities Research, 415, hlm. 175.

Anda mungkin juga menyukai