Anda di halaman 1dari 22

RESPON ASIA TIMUR TERHADAP KEBANGKITAN CHINA

MELALUI PROGRAM BELT ROAD INITIATIVE (BRI)

Dosen Pengampu: Rizky Yusro, S.IP., M.Ipol

Disusun oleh:

Audry Jessica 192030086

Auliya Nur Avianty 192030087

Usamah Husnun Daudi 192030095

Annisa Syallsabila 192030107

Anggi Sawitri 192030118

Luqman Muhammad A. 192030138

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

2022
A. Pendahuluan
Aktifitas dunia internasional tidak bisa lepas daripada kekuatan yang dimiliki oleh
suatu negara, dalam hal ini kekuatan tidak disandarkan hanya kepada kekuatan yang
bersifat militer, namun aspek lain seperti ekonomi, politik, dan sosial pun menjadi
instrumen penting bagi perkembangan dunia. Secara sederhana, geopolitik mengkaji
bagaimana wilayah atau geografi memberikan dampak terhadap kebijakan suatu negara,
hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Kekuasaan merupakan bahan kajian
penting bagi setiap negara, bagaimana menjaga kepentingan negara juga memperluas
kekuasaan atau pengaruh kekuasaan tersebut.
Saat ini hegemoni dunia sudah tidak pada hanya satu negara, bangkitnya China
menjadikan iklim sistem internasional menjadi lebih hangat. Salah satu jurus yang
dimiliki China adalah Belt Road Initiative (BRI). Ekonomi China yang terus meningkat
cenderung signifikan berdampak kepada anggaran belanja untuk kekuatan militer.
Pada tahun 2012 berdasarkan dari Departemen Pertahanan China, ada peningkatan
anggaran militernya mencapai 670,27 Miliar yuan atau sekitar Rp. 965 triliun, meningkat
sekitar 11,2% atau 67 miliar.1
Kepentingan dalam pembahasan paper ini adalah ketidaksamaan persepsi negara-
negara lain dalam merespon kebangkitan China. Maka berdasarkan latar belakang di atas,
kemudian penulis mencoba untuk menganalisis terkait “Bagaimana Respon Kawasan
Asia Timur Menanggapi Kebangkitan China Melalui Program BRI (Belt And Road
Initiative)?.”
Adapun metode penelitian ini menggunakan kualitatif analisis deskriptif dengan
menggunakan penjelasan deduktif, dan menggunakan data sekunder baik dari laman web,
jurnal, dan buku. Data sekunder dijadikan sebagai dasar dalam membuat latar belakang
mengapa penelitian perlu dilakukan hingga pada tahap pengambilan hipotesis awal,
konteks masalah dalam penelitian sehingga menggambarkan sebuah ide dan teori.
Dengan hasil analisis berupa simpulan untuk menjawab atau bahkan tidak menjawab

1
BBC Indonesia - Laporan khusus - Di balik sengketa kepulauan di Laut Cina Timur.” BBC, 12
September 2012,
https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2012/09/120911_islandsqanda. Accessed 9
April 2022.
rumusan masalah, karena rumusan masalah bersifat sementara dalam penelitian kualitatif.
Hal tersebut, tergantung kondisi perkembangan di lapangan.
Namun dalam simpulan, berisikan sebuah penemuan baru yang sebelumnya
belum ada. Temuan tersebut dapat berupa gambaran atau deskripsi pemikiran dari objek
yang sebelumnya masih abu-abu, sehingga menghasilkan kejelasan setelah diteliti. Bisa
berupa hubungan kausal atau interaktif, bisa juga berupa hipotesis atau teori.2
B. Pembahasan

a. Dinamika Perubahan Kebijakan Ekonomi Cina


China merupakan the emerging superpower, dimana sektor ekonominya tumbuh
dan meraih prestasi ekonomi yang sangat besar. Salah satu contoh kecil bagaimana
hegemoni produk China di dunia adalah banyaknya produk China tersebar di berbagai
penjuru dunia. Dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonominya, China telah
mengalami banyak perubahan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dan
dilaksanakan oleh para pemimpin China di dalam setiap periode pemerintahannya, yang
antara lain:

1. Kebijakan ekonomi pada masa Mao Zedong ( 1949-1960 )

Pada masa kepemimpinannya, Mao Zedong sebagai ketua dari PKC dan Presiden
RRC memproklamasikan RRC sebagai negara komunis. Pada saat itu perekonomian
China sedang sangat buruk. Akibat dari perang China-Jepang dan perang saudara antara
nasionalisme dan komunis, China mengalami inflasi dalam perekonomiannya.
Pemerintahan Mao Zedong terbagi atas dua dekade, yaitu pada dekade tahun pertama (
1949-1957 ) dimana pada dekade ini peralihan industrialisasi dari sektor pertanian menuju
sektor industri, dekade tahun kedua ( 1930-1962 ) pada dekade ini terjadi krisis ekonomi
dan perubahan kembali dari dekade pertama, perubahan dari industri menjadi pertanian,
dan adanya gejolak politik ( 1966-1969 ).

2
Hardani, et al. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. 1 ed., Yogyakarta, CV. Pustaka Ilmu,
2020,https://perpustakaan.gunungsitolikota.go.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/YjU
0ZDA0M2M0ZjE5ZWM0ZTk3NWI0MGJhYmI2YWYyNmM1YTFlNWE5Yg==.pdf.
Pada saat perekonomian China memburuk karena mengalami inflasi pada tahun
1949, pemerintah China kemudian membuat mata uang baru yang disebut Renmin Piao
dan melarang peredaran mata uang asing di negara China.

Kebijakan ekonomi yang pertama pada saat itu adalah Hukum Penertiban Tanah
( Land Reform Law ) pada tahun 1950 dimana penduduk desa terbagi atas 4 bagian, salah
satunya terdapat tuan tanah dan petani penggarap. Pada kebijakan ini terjadi Revolusi
Agraria, dimana lahan milik tuan tanah disita negara yang kemudian dibagikan kepada
petani untuk digarap. Pemerintah mengirim kader komunis pada setiap wilayah untuk
merampas lahan tersebut dan menghukum mati tuan tanah. Pada tahun yang sama
diciptakanlah kebijakan yang berfokus pada Pajak yaitu pajak bagian komoditi, pajak
pada sektor pertanian, serta aneka pajak industri dan komersial wajib diberikan kepada
pemerintah Tiongkok.

Kemudian pada tanggal 29 Desember 1951 dilakukan sebuah kampanye gerakan


“Tiga Anti“ dalam pemberantasan terhadap korupsi, pemborosan dan birokratisme. Pada
tahun selanjutnya 1952 melakukan kampanye gerakan Lima Anti yaitu untuk
memberantas penyelewengan ekonomi pada bagian pajak, memberantas tindakan suap,
penggelapan uang negara, melakukan penipuan kontrak terhadap pemerintah, serta
mengambil informasi rahasia ekonomi negara tanpa izin.

Partai Komunis Cina membuat Repelita I atau disebut juga program Rencana
Pembangunan Lima Tahun tahun 1923-1957 sebagai pengembangkan industri sektor
industri China dan mengendalikan sumber-sumber daya ekonomi yang bertujuan untuk
meraih mengembangkan ekonomi Tiongkok ke tingkat yang lebih tinggi , dengan cara
berfokus pada sektor industri dengan menekan modal yang kemudian dilakukannya
kebijakan nasionalisasi dimana semua industri dan swasta milik negara.

Pada tahun 1958 Mao Zedong menciptakan kebijakan Lompatan besar ke depan
atau disebut juga Great Leap Forward, dimana pada program industrialisasi kebijakan
Great Leap Forward mengalami kekurangan tenaga petani untuk menanam tanaman
sebagai stok makanan yang diakibatkan dari dilakukannya perpindahan tenaga kerja
dibidang pertanian ke seluruh bidang industri untuk memperbesar produksi di pabrik baja
dan tambang
Pada tahun 1958 Kebijakan Komune rakyat memberikan dampak buruk pada
rakyat China yang disebabkan karena petani yang mengalami kelelahan. Pembasmian
burung-burung mulai menyebabkan terganggu keseimbangan alam. Pada kebijakan Great
Leap Forward tahun 1958 mengakibatkan dampak buruk pada Tiongkok karena kebijakan
tersebut mengalami kegagalan. Pada kebijakan ekonomi Great Leap Forward masyarakat
Tiongkok menderita kelaparan, terjadi kemiskinan bahkan berujung pada kematian.3

2. Reformasi Ekonomi China Tahun 1978

Pada masa pemerintahan Mao Zedong tahun 1966, terjadi Revolusi Kebudayaan
dengan membentuk sebuah gerakan anti kapitalisme. Mao Zedong tidak setuju dengan
nilai-nilai tradisional Tiongkok yang mengandung kapitalisme dan melakukan penekanan
untuk menghormati proletar masyarakat sosial dan nilai kebangsaan. Terjadinya Revolusi
Kebudayaan pada pemerintahan Mao Zedong mengakibatkan terhalangnya pertumbuhan
IPTEK dan terancam berkurangnya para tenaga ahli sebagai kebutuhan industrialisasi
jangka panjang, aktivitas politik lebih berfokus dan menghabiskan waktu pada para
pekerja pabrik, dibanding berusaha meningkatkan produktivitas mereka.

Pada tahun 1976 Ketua Partai Komunis China Mao Zedong, meninggal yang
kemudian digantikan oleh Deng Xiaoping sebagai pemimpin Tiongkok. Pada tahun 1979
Tiongkok mulai berpindah pada ekonomi pasar. Proses modernisasi pada tahun 1966-
1976 tersendat karena sistem perencanaan revolusi kebudayaan yang sudah diadopsi sejak
tahun 1950-an, akan sulit mengubah sesuatu yang sudah sejak lama ada. Namun pada
tahun 1978 Tiongkok mengalami reformasi ekonomi yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Yang pertama, sebenarnya walaupun revolusi kebudayaan ini sudah sejak lama
diterapkan, namun revolusi kebudayaan kurang populer di kalangan masyarakat
Tiongkok. Berakhirnya masa pemerintahan Mao Zedong dan dimulaikan masa
kepemimpinan Deng Xiaoping juga menjadi penyebab terjadinya reformasi ekonomi.

Selanjutnya penyebab terjadinya reformasi ekonomi yang kedua adalah


perekonomian Tiongkok yang tumbuh dan berkembang pesat ditambah lagi negara-
negara tetangga seperti Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan Singapura yang semakin

3
Oktasari, W. (t.thn.). PERAN MAO ZEDONG DALAM PEREKONOMIAN CINA TAHUN 1949-
1960, 2016
memajukan ekonomi Tiongkok. Yang ketiga, terjadinya reformasi ekonomi di Tiongkok
karena masyarakat Tiongkok sendiri ingin reformasi ekonomi yang berorientasi pasar.
Masyarakat Tiongkok juga menderita akibat harus menyesuaikan diri dengan pemasok
barang konsumsi dan menunggu dalam antrian panjang untuk mendapatkan apa yang
dibutuhkan akibat dari kebijakan ekonomi pusat, ditambah lagi masyarakat Tiongkok
kekurangan barang konsumsi dan kurangnya peningkatan kualitas SDM.4

3. Kebijakan ekonomi pada masa Deng Xiaoping (1978-1995)

Selama pemerintahan Deng Xiaoping, Tiongkok mulai menerapkan ekonomi


terbuka dengan negara luar, namun juga tidak sepenuhnya bergantung pada investor asing
yang akan menyebabkan hubungan ‘neo-koonial’ dimana investor asing malah menjajah
negara Tiongkok.

Dalam membuat kebijakannya, Deng Xiaoping dapat mencapai modernisasi


karena penerapan ekonomi terbuka terhadap investor asing. Modernisasi bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan taraf hidup dan
materi kekayaan masyarakatnya. Deng Xiaoping membuat kebijakan ekonomi yang
berorientasi pada perubahan ekonomi Tiongkok dalam memperbaiki masalah mendasar
seperti menitik beratkan investasi asing, sektor industrial dan juga kebutuhan insentifitas
dalam mendorong produksi.

Pada tahun 2001, Tiongkok sudah mengalami peningkatan ekonomi sebanyak 10


kali lipat dibanding pada tahun 1990, yaitu dengan diterimanya 47 miliar dolar dari sektor
investor asing. Investor-investor asing di negara ASEAN mulai melirik China sebagai
peluang yang lebih cerah. Pada tahun yang sama pertumbuhan teknologi di Tiongkok juga
mulai berkembang pesat, yang membuat negara-negara lain harus bersaing secara ketat
dengan Tiongkok. Produksi barang di Tiongkok memiliki banyak varian jenis, Tiongkok
juga mengekspor barang-barang yang di ekspor oleh negara lain, sehingga negara lain
kesulitan bersaing dengan Tiongkok.

4
Oktasari, W. (t.thn.). PERAN MAU ZEDONG DALAM PEREKONOMIAN CINA TAHUN 1949-
1960, 2016
Kemudian dengan adanya partisipasi Hong Kong ke dalam Tiongkok, maka
semakin pesat perekonomiannya yang kemudian dianggap sebagai satu 'gateway to
China'. Perlahan Tiongkok mulai menjadi salah satu negara superpower baru pada saat
itu karena perekonomiannya. Dalam hubungannya dengan negara lain, Tiongkok mulai
menjadi perwakilan Asia sebagai Dewan Keamanan Tetap PBB. Sejak terjadinya
reformasi ekonomi pada tahun 1978, skala kemiskinan penduduk China tahun 2001
menurun menjadi 8% yang awal mulanya mencapai 53% di tahun 1981. China sudah
memasuki pada usia 30 tahun sejak reformasi ekonomi 1978 yang “mengancam”
eksistensi hegemoni Barat di dunia.

Pada tahun 1980 terdapat Zona Ekonomi Khusus, dimana pada wilayah tersebut
terdapat kebijakan amdal yang lebih flexible, wilayah tersebut adalah Kota Shenzhen
Selatan. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau biasa dikenal dengan Zona Ekonomi
Khusus China mempunyai beragam jenis lingkup dan fungsi. Pengalaman Tiongkok
dengan KEK telah berkembang dari waktu ke waktu. Tiongkok memanfaat sumber daya
manusia yang banyak seperti masyarakatnya sendiri agar investor lebih murah membayar
upah pada pekerja. Hal-hal seperti amdal yang mudah dan sumber daya manusia yang
terampil dengan jumlah yang banyak membuat investor asing berbondong-bondong
memulai investasinya di negara Tiongkok. Dengan masuknya investor asing dan sumber
daya manusia yang berkembang, maka pemikiran barat pun juga mulai berkembang
disana.

Kemajuan ekonomi Tiongkok juga dibarengi dengan penyelewengan keuangan di


pemerintahan yang menyebabkan terjadinya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1986
untuk memprotes korupsi dan pengekangan politik yang terjadi di kota-kota Tiongkok
khususnya Beijing. Dua tahun setelah terjadinya demonstrasi tepatnya pada tahun 1988
terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan inflasi di kota-kota Tiongkok hingga mencapai
30%. Kemudian demonstrasi protes besar pun memuncak pada tahun 1989 dalam
menentang pemerintah dan menuntut pembubaran partai komunis china. Terjadinya
demonstrasi besar dalam memprotes pemerintah menyebabkan ratusan orang mati tergilas
karena instruksi partai komunis untuk menghentikan demonstran menggunakan sejumlah
kendaraan berat pada 3-4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen, Beijing.5

b. Kebangkitan China Melalui program BRI


Di abad ke 21 kebijakan luar negeri yang dikembangkan oleh China lebih
menggunakan prinsip non konfrontasi yang proaktif, bertujuan untuk menggambarkan
bahwa China tidak bertindak begitu agresif dan bisa diajak kerja sama. Hal itu
menggambarkan kepentingan nasional China dan Partai Komunis dengan cara internal
balancing dan soft balancing American Power untuk membendung kekuatan Amerika
pasca Perang Dingin, dan PKC mencoba mempertahankan legitimasinya setelah
hancurnya komunisme di China melalui politik kesejahteraan.6
Kebangkitan ekonomi China dipengaruhi oleh pengusaha swasta juga yang
memiliki bagian cukup besar dalam mengupayakan peningkatan ekonomi China.
Pemerintah telah mengupayakan penyesuaian kebijakan dalam negeri dengan
kepentingan swasta. Iklim usaha yang ramah bagi pengusaha swasta berhasil
dikembangkan oleh pemerintah China dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar
RRC pada tahun 1999. Amandemen ketiga dari UUD RRC menegaskan bahwasannya
pengusaha juga pihak swasta merupakan komponen utama dalam perekonomian.
Seiring dengan perkembangan teknologi cabang usaha mulai berkembang ke
arah yang lebih modern dengan perluasan pada sektor telekomunikasi, finansial, asuransi,
teknologi, e-commerce, serta berbagai aplikasi berbasis internet. Dengan Sektor-sektor
modern tersebut tercipta sebagai bidang usaha baru yang dibuat dan dijalankan langsung
oleh para pemilik modal.7
China ingin memainkan peran dalam kepemimpinan multilateralisme global. Hal
itu dilakukannya dengan cara memberikan pola sistematis berupa investasi kepada
negara-negara berkembang, yang nantinya memunculkan ketergantungan pada China.
Respon China terhadap kapitalisme global, dianggap masuk akal ketika menggambarkan
negara-negara berkembang telah melakukan pembentukan strategis terhadap suatu isu,

5
Tre, M. (n.d.). Chinese Economic Development (Chris Bramal).
6
Korwa, J. R. (2019). Kebangkitan China melalui Belt and Road Initiative dan Rekonstruksi Hubungan
Internasional dalam Sistem Westphalia. Jurnal Hubungan Internasional.
7
Korwa, J. R. (2019). Kebangkitan China melalui Belt and Road Initiative dan Rekonstruksi
Hubungan Internasional dalam Sistem Westphalia. Jurnal Hubungan Internasional.
yang berakar pada kepentingan nasional negaranya sendiri.8 Phillip Lipcy berpendapat
bahwa institusi berubah dalam mengakomodasi negara-negara yang sedang naik, karena
adanya praktik monopoli pada institusi.9
Presiden Xi Jinping menginisiasi untuk membentuk Bank Investasi Infrastruktur
Asia (AIIB) di tahun 2013, ketika ia berkunjung ke Indonesia. Selain itu ia menyerukan
untuk membuat proyek Belt and Road Initiative, yang bertujuan untuk meningkatkan
konektivitas pembangunan infrastruktur di Asia. Kemudian di bulan Oktober 2014,
sebanyak 21 negara menandatangani kesepakatan untuk mendirikan (AIIB), yang
berpusat di Beijing. Bahkan di tahun 2015, negara-negara seperti Inggris, Jerman, Italia,
Australia, dan Korea Selatan memiliki keinginan untuk turut serta menandatangani
pendirian AIIB.
Proyek tersebut selain didasarkan untuk meningkatkan konektivitas pembangunan
infrastruktur Asia, juga dimaksudkan untuk mendorong serta mempromosikan kerjasama
regional dalam mengatasi tantangan pembangunan yang dilakukan dengan kerjasama
bilateral atau multilateral.
China menjadikan AIIB sebagai prioritas dalam hubungan diplomatik, sehingga
China harus mampu mengendalikan diri dalam sebuah organisasi untuk menjaga
kredibilitasnya. AIIB juga dimaksudkan untuk menangani belanja infrastruktur di Asia.
Hal tersebut akan meminimalisir kesenjangan dalam pembangunan. AIIB dijadikan
sebagai organisasi tata kelola yang berkomitmen untuk melakukan bantuan pembangunan
di Asia. Selain itu, AIIB dijadikan China untuk menaikan status internasional dan kondisi
politik serta ekonomi dalam negerinya.10
Inisiatif pembentukan BRI juga dibentuk oleh China dengan acuan kepentingan
melakukan propaganda China 2025 dan memperluas kerjasama energi juga pengaruh
politiknya.
BRI mengusung kembali tatanan Eurasia dengan ide, norma serta aturan tata
kelola yang baru. Sehingga China, nantinya mampu memainkan pemerintahan global dan
memiliki kekuatan normatif akan hal itu. China meyakinkan negara-negara bahwa BRI,

8
Kastner, S. L., Pearson, M. M., & Rector, C. (2019). In China's Strategic Multilateralism:
Investing in Global Governance. Cambridge University Press. 10.1017/9781108695725, hlm 39
9
Ibid hal 225-226
10
Kastner, S. L., Pearson, M. M., & Rector, C. (2019). In China's Strategic Multilateralism:
Investing in Global Governance. Cambridge University Press. 10.1017/9781108695725. hlm 226-
233
dimaksudkan untuk mengusung model kerja sama baru dalam tata kelola global. BRI
dijadikan sebagai solusi terhadap ancaman tatanan liberal yang dianggap
mengeksploitasi.
Tujuan dari BRI digunakan untuk koordinasi kebijakan, sebagai media
konektifitas, mengadakan perdagangan tanpa hambatan, adanya integrasi keuangan, dan
terjalin nya ikatan antar warga. Dalam konsep pengaplikasian BRI area-area yang
menjadi cakupan utama tidak terbatas bekerja sama di area manapun selain jalur BRI,
sehingga memunculkan partisipasi aktif semua negara, organisasi internasional dan
regional.
Negara maju bisa dijadikan sebagai pihak ketiga untuk melengkapi negara-negara
berkembang dalam hal teknologi, modal, kapasitas produksi, pasar dengan prinsip
pertumbuhan bersama dan adanya kolaborasi.11
Sesuai dengan anggapan dari Stephen Walt mengatakan bahwa jika kebangkitan
China telah menjadikan kepentingan lain tumbuh akibat dari kekuatan negara China yang
meningkat. Maka dari itu, China harus mampu melindungi negaranya agar tetap
stabil.12Antisipasi itu telah disiapkan oleh China, karena sadar bahwa adanya ancaman
dari pengaruh asing yang bisa saja terjadi kapanpun.13

c. Kebijakan Modernisasi Militer China

China sering melakukan modernisasi militer untuk merespon ketegangan di


kawasan Asia Timur dan Laut Cina Selatan. Kebijakan pemerintah Cina untuk menaikkan
anggaran pertahanan telah menarik perhatian dunia internasional dan menimbulkan
kecemasan sejumlah negara. Negara-negara dikawasan Asia Timur sangat serius dalam
melihat perkembangan militer Cina.14 Mereka terus menekan program pengembangan
militer Cina dengan kritik bahwa jumlah anggaran militer Cina yang besar dapat memicu

11
Jones, L. (2020). Does China’s Belt and Road Initiative Challenge the Liberal, Rules-Based
Order? Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences, 13(1), 113–133.
https://doi.org/10.1007/s40647-019-00252-8 hlm 1-9
12
Goldstein, N. (2007). Global Issues: Globalization and Free Trade. In Infobase
Publishing hal.13214
13
Duncombe, C., & Dunne, T. (2018). After liberal world order. International Affairs,
94(1), 25–42. https://doi.org/10.1093/ia/iix234
14
Sa’adillah, and Maulida Hadry. “Sengketa Kepulauan Senkaku Antara China dan
Jepang di Laut China Timur Ditinjau dari Hukum Internasional.” Skripsi, 2013, pp. 1-
163.
instabilitas kawasan serta menyulut kemarahan negara-negara di Asia Timur yang dapat
mengakibatkan terjadinya perang.

Cina diprediksi akan menunjukkan kebijakan-kebijakan luar negeri asertif dengan


dukungan kapabilitas kekuatan militer dan ekonomi. Ini menimbulkan kekhawatiran
sejumlah negara di Asia Timur yang segera merasa perlu menjaga stabilitas keamanan
domestik mereka.15

Sesuai dengan sekuritisasi dari Barry Buzan, bahwa adanya identifikasi terhadap
isu tertentu baik politik maupun non-politik untuk dijadikan sebagai agenda keamanan.
Aktor yang berperan dalam sekuritisasi umumnya didominasi oleh negara. Dalam
sekuritisasi terdapat proses yang berkaitan erat dengan terminologi ancaman yang bersifat
lintas sektoral, sektor militer, sosial, ekonomi, dan lingkungan.16

Hal itu tergambar ketika, China dianggap menjadi ancaman baru bagi Jepang, dan
Amerika Serikat. Permasalahan ini dikarenakan kekuatan ekonomi dan perkembangan
militer China yang semakin meningkat di kawasan. Amerika Serikat dan Jepang selalu
khawatir akan perkembangan kekuatan militer Cina. Atas respon terhadap permasalahan
tersebut, Amerika Serikat sangat aktif membentuk aliansi militer di Kawasan Asia Timur
untuk membendung kekuatan dan pengaruh China. Munculnya sekuritisasi terhadap
ancaman keamanan Kawasan dilakukan oleh Amerika Serikat dan jepang Karena
Amerika serikat dan Jepang cukup khawatir dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh
china di Kawasan Asia Timur.

China secara cepat dan agresif melakukan modernisasi militer, misalnya dalam
pengembangan satelit luar angkasa, rudal balistik, dan pembangunan kapal selam, yang
tentu menyebabkan kekhawatiran bagi negara lain di Asia Timur terutama jepang. Karena
modernisasi militer cina, dapat membuat kekhawatiran terhadap jepang terkait dengan
status kepemilikan Kepulauan Senkaku.17 Persoalan sengketa perbatasan, termasuk klaim
pulau Senkaku, menjadi faktor penentu dalam peningkatan anggaran militer Jepang.

15
Lemhannas RI page 8
16
Ibid hlm. 8
17
Manda, ellan. Analisis Sikap Pemerintah Jepang terhadap Sengketa Kepulauan Senkaku
Kepulauan Senkaku adalah nama dalam bahasa Jepang, sedangkan China
menyebutnya dengan Kepulauan Diaoyu. Kepulauan Senkaku terletak di 150km dari
Pulau Yaeyama di Jepang dan 170km Timur laut dari Taiwan. Kepulauan Senkaku terdiri
dari sebuah pulau yang bernama Uotsuri Jima dan empat pulau yang berukuran lebih kecil
lainnya. Awal mula Jepang mengklaim Kepulauan Senkaku sebagai daerah teritorial nya
adalah ketika tahun 1895 dengan menggunakan hukum yang ada saat itu. Jepang
mengamati kepulauan tersebut, lalu terbukti bahwa kepulauan ini sedang tidak dibawah
kuasa siapapun.

d. Keamanan di Asia Timur Dalam Perspektif China Untuk


Menyusun Strategi Pemenuhan Kepentingan Nasional
Negara

Kawasan di Asia Timur menjadi kawasan strategis dalam konteks keamanan


global.18 AS yang awalnya hanya berfokus pada Timur Tengah, akibat kebangkitan China
mulai melirik dan mengamankan posisinya di kawasan Asia Timur.

Keamanan menjadi hal yang penting bagi suatu negara karena sifatnya yang
fundamental, maka harus dijaga dan dipertahankan keamanannya. Dalam keamanan
terdapat ‘ global power shifting ‘ dimana terjadi transfer kekuatan dari ‘Barat’ ke ‘Timur’
dan mengubah struktur internasional. Hal inilah yang terjadi baru-baru ini di Asia Timur.

China yang datang menajdi kekuatan baru di Asia Timur menyebabkan harus
adanya ancaman, Stephen Walt menyebutkan bahwa untuk melawan ancaman yang ada
yaitu dengan cara beraliansi. Perilaku aliansi negara ditentukan oleh persepsi terhadap
ancaman negara lain.19 Keseimbangan ancaman dan bandwagoning saling berhubungan
karena sebagian besar negara bagian memilih untuk menyeimbangkan atau bersekutu
melawan negara-negara yang mengancam. Menentukan arah kebijakan Jepang dikatakan

18
Al Syahrin, M Najeri (2018). Keamanan Asia Timur Realitas, Kompleksitas Danrivalitas.
Caturtunggal, Depok, Sleman, Komojoyo Press.
19
Mustacco, Christopher (2019). Balance of Threat Theory: Assumptions & Example
Offensive yang dapat diartikan sebagai suatu sikap yang menunjukkan bertahan, atau
Defensive yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana menunjukkan menyerang.

Dengan terjadinya decline yang dialami oleh Amerika Serikat di kawasan Asia
Timur, dan China yang mengalami rising. Amerika Serikat sebagai aliansi Jepang
melemah dan mengalami stagnan yang dapat dilihat melalui keputusan penarikan diri dari
Trans Pacific Partner ( TPP ) dan China yang mengalami kebangkitan power. Jepang
tidak memiliki hak untuk memulai perang atau menggunakan cara-cara ofensif
dikarenakan memiliki kondisi strategic culture yang menggunakan konstitusi damai, yang
kemudian mendorong Jepang untuk menggunakan geoekonomi sebagai pendukung
eksistensinya di dunia Internasional.

Hal ini dapat menguntungkan China dalam menjalankan programnya yaitu BRI
(Belt Road Initiative) dan memperkuat pengaruh China di kawasan Asia Timur.20 China
melakukan penguatan militer karena China merasakan perubahan kondisi keamanan
global, yang dimana kekuatan militer di suatu negara sangat dibutuhkan untuk mencapai
keamanan. China juga memiliki kekhawatiran dengan potensi - potensi konflik dengan
negara tetangganya salah satunya negara Jepang.

China memiliki kekhawatiran terhadap negara Jepang akan kembali menjadi


kekuatan yang tinggi di kawasan Asia Pasifik dalam sektor ekonomi dengan sektor militer
karena mengingat sejarah pada masa Perang Dunia yang dimana China dengan Jepang
pernah berkonflik yang disebut Perang China yang merupakan perang terbesar Asia pada
saat itu.

Hubungan kerjasama antara negara China dengan negara Jepang dapat dibilang
hubungan yang termasuk rumit. Karena China dengan Jepang memiliki hubungan
kerjasama pada sektor ekonomi yang baik dan bisa terbilang erat. Namun pada sisi lain,
potensi - potensi konflik terjadi diantara China dan Jepang seperti yang terjadi adalah
kasus sengketa di wilayah Lain China Selatan yang membuat hubungan antara China dan
Jepang menjadi tidak stabil. Hubungan kerjasama yang dilakukan Jepang dengan China

20
Matasak, I. C. (t.thn.). Perubahan Respon Jepang Terhadap Belt Road Innitiative (Bri)
Tiongkok. IR-Perpustakaan AirlanggaPerubahan Respon Jepang Terhadap Belt Road Innitiative
(Bri) Tiongkok.
ini merupakan sebuah kunci karena hubungan tersebut menentukan stabilitas keamanan
di Asia Timur. Modernisasi militer yang dilakukan China juga dapat menjadi sebuah
security dilemma bagi Jepang karena dapat menambah isu baru bagi kedua negara
tersebut. Hal tersebut dapat membuat hubungan diplomatik antara China dan Jepang
menjadi lebih buruk.

e. Respon Kawasan Asia Timur Terhadap Kebangkitan


China
Hubungan antar negara di kawasan Asia Timur didominasi oleh isu-isu seperti
sengketa wilayah, dengan Jepang, Korea Selatan dan China berlomba-lomba menjadi
negara paling berpengaruh di kawasan tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir,
persaingan di bidang militer, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin ketat,
namun perkembangan kekuatan militer menjadi isu yang paling banyak disalahpahami,
karena secara tidak langsung akan mempengaruhi masalah keamanan masing-masing
negara.
Pesatnya perkembangan modernisasi militer China sangat dihargai oleh negara-
negara tetangga. Modernisasi militer China didorong oleh keberhasilan pembangunan
ekonomi dan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan militer, menjaga kedaulatan
nasional dan kepentingan sosial, serta meningkatkan keamanan dan keselamatan.
Pertahanan, stabilitas, pembangunan dan keamanan nasional. Namun, hal ini
menimbulkan kekhawatiran di Jepang, karena peningkatan kekuatan militer China yang
signifikan dipandang sebagai ancaman bagi keamanannya.
Menanggapi fenomena politik dari aspek geografi dari Haushofer, mengarah pada
ekspansi yang dituduhkan Amerika dan Jeang kepada China, karena ditujukan untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup suatu bangsa. Kekuasaan yang dibangun di
darat berfungsi pula untuk memperkuat kekuasaan maritim. Geopolitik dijadikan sebagai
dasar kebijakan dalam memperjuangkan ruang hidup.21
Sehingga respon Jepang terhadap kebangkitan China bersifat defensif, yaitu mulai
merubah postur militernya, meningkatkan pengeluaran militernya, dan meningkatkan
aliansi pertahanannya dengan beberapa negara sahabat. Salah satu kekhawatiran Jepang

Mavric, Dr.Sc. (2017). Political Geography into Geopolitics – The Geopolitics of


21

Decline. ILIRIA International Review. 7. 10.21113/iir.v7i2.321.


adalah bahwa pada tahun 2008, dimana China mengumumkan kenaikan anggaran
militernya sebesar 17,6% lalu direspon oleh Kementerian Pertahanan Jepang melalui
pernyataan resminya yang menyerukan kepada China untuk memperhatikan kecemasan
masyarakat internasional dan mendesak China agar meningkatkan transparansi tentang
anggaran militernya.22 Nominal yang dianggarkan oleh China untuk belanja militer yang
jauh lebih besar dari anggaran militer Jepang dan dengan cepatnya perkembangan dalam
PLA, membuat militer China semakin tampil berani dan agresif. Aspek lain dari
modernisasi militer China yang membuat Jepang khawatir adalah peningkatan kekuatan
rudal balistik dan nuklir, serta kemampuan angkatan laut China yang berkembang sangat
pesat.
Menyikapi kebangkitan China yang ditandai dengan perbaikan ekonomi dan
modernisasi militer, Jepang mulai mengubah beberapa arah kebijakannya, baik di dalam
maupun di luar negeri. Respon Jepang pertama kali ditunjukkan pada tahun 2000 ketika
China mulai meningkatkan anggaran militernya dengan berpartisipasi dalam peningkatan
anggaran pertahanan dan keamanan sebagai akibat dari dilema keamanan. Pada tahun
2000, belanja pertahanan Jepang untuk pertama kalinya meningkat 0,3% dari anggaran
1999, menjadi 4,92 triliun yen. Dihitung dengan kurs dolar AS, meningkat dari
sebelumnya 43,2 miliar dolar AS menjadi 45,6 miliar dolar AS. Badan Pertahanan
(Japan’s Defense Agency) mengubah kebijakannya untuk lebih fokus pada pengeluaran
untuk pelatihan, kemampuan intelijen, dan kesiapsiagaan.23 Menurut Christopher W.
Hughes pemerintah Jepang membuat perubahan untuk mempersiapkan kebangkitan
kembali Jepang sebagai negara adidaya Asia Timur melawan China.24
Pada tahun 2009 anggaran pertahanan Jepang kembali dinaikkan setelah
sebelumnya terus turun selama tujuh tahun berturut-turut, bukti bahwa menandai
keseriusan Jepang dalam merespon peningkatan kekuatan militer China. Partai yang
berkuasa di Jepang yaitu Liberal Democratic Party of Japan (LDPJ), juga menyarankan
bahwa Kementerian Pertahanan Jepang untuk menambahkan anggaran pertahanan setiap

22
Adi Joko Purwanto, 2010, “Peningkatan Anggaran Militer Cina dan Implikasinya
Terhadap Keamanan di Asia Timur”
23
Rezki Satris, 2015, “Peningkatan Anggaran Persenjataan Militer China sebagai
Bagian dari Security Dilemma di Kawasan Asia Pasifik”
24
Christopher W. Hughes, “Japan’s Militarisation”, dalam Army Colonel, CHEN,
Chia-sheng, Ph.D., Japanese Strategy and Response to the Rise of China, hal. 117
dua tahun. Sesuai yang tercatat di Japan's National Defense Program Guidelines 2010,
dimana anggaran militer Jepang dibutuhkan untuk membiayai pengembangan teknologi
rudal jelajah sea-based dan sistem satelit untuk peringatan dini. Alasan lainnya yaitu
sekaligus untuk mulai mengurangi ketergantungan Jepang pada AS, terutama di bidang
intelijen dan pengumpulan informasi.25
Respon negatif dari Jepang dan negara tetangga Asia lainnya, Amerika Serikat
juga membentuk Zona Identifikasi Pertahanan Udara China pada 23 November 2013. Di
bidang antariksa internasional, ini adalah prinsip dasar hukum internasional, dan pasti
memiliki implikasi serius bagi penerbangan internasional.
Pada 24 November 2013, tepatnya sehari setelah kebijakan tersebut berlaku,
Jepang melakukan protes dan meminta China untuk menarik kembali kebijakannya
tersebut. Akan tetapi, China tidak setuju dan tetap menjalankan kebijakan zona tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 25 November 2013, Jepang menerapkan kebijakan non-
recognition dan non-acceptance Zona Identifikasi Pertahanan Udara, dan akan terus
memperkuat kerjasama dengan Amerika Serikat, sekutunya, khususnya di bidang
pertahanan dan keamanan. Berkoordinasi dengan negara-negara yang berkepentingan dan
dengan Jepang dalam keamanan regional.
Alasan mengapa Jepang mengadopsi kebijakan non-recognition dan non-
acceptance adalah karena peraturan ini bersifat wajib dari sudut pandang peraturan zona
identifikasi pertahanan udara. Jika negara-negara yang lewat tidak mau bekerja sama atau
bahkan menolak untuk mematuhi peraturan, China akan mengambil tindakan segera, kata
pernyataan itu. Faktor koersif membuat Jepang tidak mau mengakui atau menerima
ketentuan ini, yang tidak berpengaruh. Jika ADIZ diterapkan dalam yurisdiksinya dan
China menerapkannya di lokasi tertentu, China menganggap area cakupan tetap dalam
yurisdiksinya.26
Dari sudut pandang neorealisme, kebijakan yang diperkenalkan oleh China dan
Jepang memiliki karakteristik yang berbeda. Melalui kebijakan Zona Identifikasi
Pertahanan Udara, Tiongkok, berdasarkan prinsip-prinsip realisme ofensif, yaitu fear,

25
Richard J. Samuels, ‟New Fighting Power!‟ Japan’s Growing Maritime Capabilities
and East Asian Security, hal 85
26
Tamisari, F., & Heryadi, D. (2017). Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap
Pemberlakuan Zona Identifikasi Pertahanan Udara Cina. Journal of International
Studies,(No.2), 36-52. 10.24198/intermestic.v2n1.4
self-help, dan power maximization, karena ada pandangan bahwa negara yang memiliki
kekuatan dan kapabilitas yang besar, akan berpikir dan bertindak secara ofensif terhadap
negara lain.
Pada tahun 2015, parlemen Jepang berhasil meloloskan amandemen kesembilan
konstitusi Jepang, yang diupayakan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Dengan
amandemen ini, Jepang menyadari perlunya memperkuat kemampuan pertahanannya
untuk menghadapi situasi keamanan regional yang merugikan, terutama karena hubungan
politik dengan China terus memburuk. Jepang mulai mempertimbangkan pentingnya
mengembangkan kekuatan militer untuk mencegah kebangkitan Cina. Kekuatan militer
China, mengungguli Jepang, telah membuatnya agresif dalam menangani sengketa
wilayah yang melibatkan kedua negara. Melihat situasi tersebut, Jepang berkeyakinan
harus memperkuat kekuatan pertahanannya untuk menghadapi kemungkinan ancaman
keamanan dari China.27
Selain Jepang, ada juga tanggapan Taiwan terhadap kebangkitan China.
Tanggapan Taiwan terhadap ancaman peningkatan kemampuan militer China setiap
tahun, terutama setelah Tsai Ing-wen terpilih sebagai presiden Taiwan pada 2016. Tsai
Ing-Wen yang terpilih dari Democratic Progressive Party (DPP) mendukung
kemerdekaan Taiwan dan tidak ingin secara ekonomi tergantung pada China. Hal ini
menyebabkan China melakukan berbagai upaya untuk menekan Taiwan, termasuk
melalui aksi militer. Taiwan telah merespon dengan berbagai cara, yaitu meningkatkan
pengeluaran militer, latihan militer, perdagangan senjata dengan AS, dan meningkatkan
produksi senjata dalam negeri.28

f. Dampak Kebangkitan China Terhadap Polarisasi Asia


Timur

China telah memulai perdagangan multilateral setelah menjadi keanggotaan


WTO. dengan menjadi keanggotaan WTO itu menjadi peluang besar bagu china karena

27
Tamisari, F., & Heryadi, D. (2017). Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap
Pemberlakuan Zona Identifikasi Pertahanan Udara Cina. Ibid.
28
Presiden Tsai Ing-wen Menang Telak Pilpres 2020.” Taiwan Today, 11 January
2020,
https://id.taiwantoday.tw/news.php?unit=463&post=169353&unitname=Politik&postnam
e=Presiden-Tsai-Ing-wen-Menang-Telak-Pilpres-2020 Diakses pada 9 April 2022.
telah menjalankan prinsip ekonomi global. Akan tetapi dalam menerapkannya China
diperkirakan sedang berusaha membangun strategi untuk menyaingi perekonomian
Amerika Serikat.29 Hal itu terlihat pada persaingan China - Amerika Serikat di Asia Timur
karena dilihat secara geopolitik China begitu diuntungkan, sedangkan Amerika memiliki
modal yang cukup besar di Asia Timur. Melihat kawasan Asia Timur yang memiliki
potensi tinggi, China mendalami ulang tentang Asia Timur untuk kepentingan
ekonominya. Hal tersebut mencerminkan upaya China untuk menjadi pemimpin
kerjasama regional di Asia Timur. China memprioritaskan atau mengutamakan
pembangunan ekonomi dengan tujuan untuk membendung unipolaritas Amerika Serikat
setelah perang dingin. China yang secara perlahan bangkit mulai menyusun strategi
institusional dan multilateral di luar kawasannya guna mendesain ulang sektor ekonomi
dan politiknya.

Sebelum China menguasai atau mendominasi kawasan Asia Timur, Jepang yang menjadi
penguasa di kawasan tersebut yang sangat mendominasi dalam beberapa sektor seperti
sektor teknologi, industri, dan pembangunan. Tetapi di masa saat ini kekuatan Jepang
tidak relevan karena China mulai muncul sebagai aktor strategis dan secara bertahap
berfokus pada kebangkitan Pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional. Dan
karena itu negara-negara di Asia Timur memberikan kepercayaan lebih pada China untuk
berinvestasi. Kebanyakan dari seluruh rezim kerjasama regional memiliki tujuan yang
mengarah pada kerjasama itu sendiri, baik dari aktor dalam negeri maupun negara aliansi.

Polaritas kekuatan memperlihatkan distribusi kekuatan yang tidak rata di antara


negara-negara di kawasan Asia Timur. Polaritas di Asia Timur terlihat jelas ketika
dukungan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan, Taiwan dan Jepang menjadikan
Korea Utara dan Cina berupaya mengandalkan dan meningkatkan Polaritas yang tidak
seimbang ini akan berimplikasi pada pembentukan poros negara militer lemah dan negara
militer kuat, di mana negara militer lemah pada akhirnya cenderung sangat rentan akan
ancaman dari negara militer kuat.30

29
Andita, Belva (2021) Kebangkitan China di Asia Timur
30
Ayu Dewa, Putu Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di
Kawasan Asia Timur
C. Kesimpulan

Kebangkitan ekonomi China melalui program BRI bertujuan untuk menjadikan


China sebagai Global Power Shifting, namun karena ada kepentingan yang bertabrakan
akibatnya disekuritisasi menjadi sebuah ancaman bagi negara atau kawasan terkhusus di
Asia Timur dengan pandangan negatif Jepang bagi China. China terus meningkatkan
anggaran belanja militer yang mana menurut Jepang akan mengancam posisi nya di Asia
Timur, terlebih lagi kedua negara tersebut sedang berkonflik di Senkaku.

Maka Jepang beraliansi dengan Amerika dan mengeluarkan kebijakan defensive


untuk menekankan penyerangan dari China. Dengan konsep geopolitik Haushofer karena
ruang hidup bangsa dan tekanan kekuasaan ekonomi dan sosial yang rasial mengharuskan
pembagian baru dari kekayaan alam di dunia.

China tampil di Asia Timur untuk menjadi balance of power kekuatan AS. Hal ini
kemudian menyebabkan tindakan penyeimbangan kekuatan oleh negara-negara lain pula
dalam sistem, akibatnya Jepang berada pada security dilemma. Terdapat dua
kemungkinan utama yang muncul atas kondisi ini, yaitu negara-negara dikawasan akan
bergabung dengan kekuatan dominan (bandwagoning) atau membentuk aliansi baru
untuk mengimbangi kekuatan yang ada (balancing). Pada akhirnya karena keamanan
Jepang merasa terganggu, Jepang memutuskan untuk beraliansi dengan Amerika
menekan kekuatan China di kawasan Asia Timur.

Munculnya security dilemma disebabkan oleh adanya pengembangan senjata


nuklir oleh Korea Utara. Akibatnya negara-negara lain merasa risau dan berlomba
menaikkan persenjataan militernya. Jika Korea Utara berhenti untuk mengembangkan
nuklir maka Asia Timur akan cenderung stabil dan dapat membentuk sebuah organisasi
regional agar lebih mengembangkan potensi ekonomi.

Setelah perang dingin, kapitalisme AS berjaya. Namun China menganggap bahwa


kapitalisme hanya akan menyengsarakan suatu bangsa, maka China melalui program BRI
ingin mengubah konstelasi politik dunia menjadi multilateralisme dengan menjalin
kerjasama dengan berbagai negara. China harus meyakinkan negara-negara di Asia
khususnya untuk mendukung negaranya agar tampil menjadi balance of power Amerika,
dengan cara membantu atau memberikan dana investasi bagi negara-negara yang
membutuhkan dan diajak bekerjasama untuk mensukseskan program Belt and Road
Initiative.

Dalam menjalankan kepentingannya, Korea Selatan tidak selalu menganggap


bahwa China adalah ancaman. Maka China dapat melakukan pendekatan melalui
ekonomi kepada Korea Selatan. Selain itu agar mendapatkan simpati dari Jepang, China
seharusnya menuntaskan konflik Senkaku karena salah satu faktor, yang menganggap
China adalah ancaman dari perspektif Jepang adalah ketika China tidak bisa berkomitmen
atas apa yang telah ditetapkan sesuai hukum internasional untuk menyelesaikan konflik
Senkaku.
Daftar Pustaka

Jurnal

Andita, Belva (2021) Kebangkitan China di Asia Timur


Al Syahrin, M Najeri (2018). Keamanan Asia Timur Realitas, Kompleksitas Danrivalitas.
Caturtunggal, Depok, Sleman, Komojoyo Press.
Ayu Dewa, Putu, Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di
Kawasan Asia Timur
Christopher W. Hughes, “Japan’s Militarisation”, dalam Army Colonel, CHEN, Chia-
sheng, Ph.D., Japanese Strategy and Response to the Rise of China, hal. 117
Duncombe, C., & Dunne, T. (2018). After liberal world order. International Affairs,
94(1), 25–42. https://doi.org/10.1093/ia/iix234
Goldstein, N. (2007). Global Issues: Globalization and Free Trade. In Infobase Publishing
hal.13214
Jones, L. (2020). Does China’s Belt and Road Initiative Challenge the Liberal, Rules-
Based Order? Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences, 13(1), 113–
133. https://doi.org/10.1007/s40647-019-00252-8 hlm 1-9
Kastner, S. L., Pearson, M. M., & Rector, C. (2019). In China's Strategic Multilateralism:
Investing in Global Governance. Cambridge University Press.
10.1017/9781108695725, hlm 39
Korwa, J. R. (2019). Kebangkitan China melalui Belt and Road Initiative dan
Rekonstruksi Hubungan Internasional dalam Sistem Westphalia. Jurnal
Hubungan Internasional.
Manda, ellan. Analisis Sikap Pemerintah Jepang terhadap Sengketa Kepulauan Senkaku
Mustacco, Christopher (2019). Balance of Threat Theory: Assumptions & Example
Matasak, I. C. (t.thn.). Perubahan Respon Jepang Terhadap Belt Road Innitiative (Bri)
Tiongkok. IR-Perpustakaan AirlanggaPerubahan Respon Jepang Terhadap Belt
Road Innitiative (Bri) Tiongkok.
Mavric, Dr.Sc. (2017). Political Geography into Geopolitics – The Geopolitics of
Decline. ILIRIA International Review. 7. 10.21113/iir.v7i2.321.
Oktasari, W. (t.thn.). PERAN MAU ZEDONG DALAM PEREKONOMIAN CINA TAHUN
1949-1960, 2016
Purwanto, Joko, Adi, 2010, “Peningkatan Anggaran Militer Cina dan Implikasinya
Terhadap Keamanan di AsiaTimur”
Richard J. Samuels, ‟New Fighting Power!‟ Japan’s Growing Maritime Capabilities and
East Asian Security, hal 85
Satris, Rezki, 2015. “Peningkatan Anggaran Persenjataan Militer China sebagai Bagian
dari Security Dilemma di Kawasan Asia Pasifik”
Tamisari, F., & Heryadi, D. (2017). Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap
Pemberlakuan Zona Identifikasi Pertahanan Udara Cina. Journal of International
Studies,(No.2), 36-52. 10.24198/intermestic.v2n1.4
Tre, M. (n.d.). Chinese Economic Development (Chris Bramal)

Buku

Hardani, et al. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. 1 ed., Yogyakarta, CV. Pustaka
Ilmu,
2020,https://perpustakaan.gunungsitolikota.go.id/uploaded_files/temporary/Dig
italCollection/YjU0ZDA0M2M0ZjE5ZWM0ZTk3NWI0MGJhYmI2YWYyN
mM1YTFlNWE5Yg==.pdf.

Website

BBC Indonesia - Laporan khusus - Di balik sengketa kepulauan di Laut Cina Timur.”
BBC, 12 September 2012,
https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2012/09/120911_islandsqand
a. Accessed 9 April 2022.

Presiden Tsai Ing-wen Menang Telak Pilpres 2020.” Taiwan Today, 11 January 2020,
https://id.taiwantoday.tw/news.php?unit=463&post=169353&unitname=Politik
&postname=Presiden-Tsai-Ing-wen-Menang-Telak-Pilpres-2020. Accessed 9
April 2022.

Anda mungkin juga menyukai