Anda di halaman 1dari 4

Demokrasi atau Kesejahteraan?

1
GINANDJAR KARTASASMITA2

Beberapa hari yang lalu kita membaca sebuah pernyataan di harian ini
bahwa demokrasi dapat dinomorduakan. Ungkapan ini muncul karena
seolah-olah antara demokrasi dan kesejahteraan ada potensi untuk
bertentangan.

Belajar dari pengalaman, termasuk kita sendiri, saya mempunyai


pandangan yang agak berbeda.

Memang banyak pandangan, terutama di dunia Barat, yang


berpendapat bahwa demokrasi itu sendiri adalah tujuan. Kebijakan
negara Barat untuk memaksakan demokrasi di negara lain, seperti di
Irak atau Afganistan, dapat dilihat dalam konteks itu.

Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan pandangan seperti itu, tetapi
yang menjadi persoalan adalah apakah benar demokrasi dapat menjadi
penghalang tercapainya kesejahteraan? Apakah demokrasi dan
kesejahteraan bukan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama,
atau merupakan sebuah konsep yang sama dilihat dari sudut pandang
yang berbeda?

Demokrasi ditinjau dari berbagai sudut pandang memang melahirkan


bermacam penafsiran dan definisi. Pada masa perang dingin, kedua
sistem besar di dunia menggunakan demokrasi sebagai atribut. Sistem
politik yang tidak demokratis seperti di Korea Utara dan Vietnam
menyebut dirinya Republik Demokrasi.

Paling dramatis

Betapapun luasnya dan beragamnya orang menafsirkan demokrasi,


kalau dilihat pada sejarah kontemporer, pergerakan ke arah demokrasi
dan kebebasan merupakan perkembangan yang paling dramatis
menjelang akhir abad yang lalu.

Di Amerika Selatan satu demi satu rezim otoriter berguguran dan,


memasuki dasawarsa 1990-an, hampir seluruh kawasan itu telah
menerapkan pemerintahan demokrasi, dalam arti pemerintahan yang
dipilih oleh rakyat. Pada tahun 1980-an, negara-negara yang disebut
"macan- macan" ekonomi Asia satu per satu meninggalkan sistem
otoriter dan menerapkan sistem demokrasi. Dan yang paling besar
dampaknya pada konstelasi dunia adalah perubahan di negara-negara
Eropa Timur dan Uni Soviet.
1
http://kompas.com/kompas-cetak/0711/30/opini/4038376.htm
2
Ginandjar Kartasasmita Ketua Dewan Perwakilan Daerah.
Memasuki dasawarsa 1990-an, negara-negara yang masih belum
menjalankan asas demokrasi mendapat tekanan yang besar, baik dari
dalam karena krisis ekonomi maupun menguatnya gerakan reformasi,
berakhirnya perang dingin yang berarti berakhirnya "sponsor" rezim-
rezim diktator yang dapat bertahan dengan memainkan kartu-kartu
perang dingin, serta tekanan dari negara-negara dan lembaga-lembaga
donor yang memberi bantuan. Indonesia salah satu di antaranya. Kini
hanya tinggal beberapa negara yang masih bertahan dalam sistem
pemerintahan yang tidak bersandar pada hak politik rakyat.

Negara-negara itu juga tinggal tunggu waktu saja untuk terbawa arus
demokratisasi, apabila telah memasuki apa yang dikenal sebagai "zona
transisi". Menurut Samuel Huntington (1991), negara otoriter dengan
pendapatan per kapita 1.000-3.000 dollar AS berada dalam zona transisi
tersebut. Argumentasi democratic threshold itu diperkuat oleh peneliti-
peneliti lain seperti Przeworski (2000) yang juga menemukan gejala
empiris yang sama.

Pembahasan mengenai masalah demokrasi ini tidak pernah berhenti


karena dari sejarah, terutama belakangan ini, tampak makin jelas
betapa erat kaitan antara kemajuan kehidupan umat manusia dan
demokrasi. Namun, tali-temali kaitan itu dalam kehidupan ekonomi dan
politik yang sebenarnya tidak selalu mudah dipahami.

Pengalaman menunjukkan betapa demokrasi dipertentangkan dengan


stabilitas dan kemajuan ekonomi pada tahun-tahun awal setelah Perang
Dunia II. Betapa banyak pemikiran di negara berkembang mengarah
kepada perlunya pemerintah yang "kuat" (baca: tidak perlu demokratis),
untuk menjamin stabilitas dan membawa kemajuan.

Demokrasi yang dianggap sebagai sistem dan manifestasi budaya


politik Barat acapkali dicemooh sebagai yang mendatangkan chaos dan
tidak menunjang pembangunan.

Namun, perkembangan sejarah menunjukkan sebaliknya, pertumbuhan


yang terjadi tanpa demokrasi tidak mampu berjalan secara
berkelanjutan seperti dibuktikan oleh pengalaman negara-negara
komunis dan perjalanan bangsa kita sendiri. Juga pertumbuhan ekonomi
dalam sistem yang tidak mengindahkan partisipasi politik rakyat
cenderung menghasilkan kesenjangan, yakni kesenjangan antara yang
memperoleh kesempatan dan tidak memperoleh kesempatan dalam
sistem yang tertutup. Tidak terjadinya rembesan dalam pertumbuhan
seperti yang diharapkan melalui paradigma trickle down adalah karena
struktur kekuasaan menghambat terjadinya dampak rambatan dari
pertumbuhan ekonomi pada kesejahteraan masyarakat. Dengan kata
lain, manfaat pertumbuhan ekonomi terbendung dalam struktur yang
hanya memberi kesempatan pada lingkup yang terbatas.
Lebih jauh lagi, negara-negara industri baru yang kemudian sukses
dalam pembangunan ekonominya adalah negara-negara yang
menerapkan asas-asas demokrasi. Di Asia dan Amerika Selatan, polanya
serupa, yakni demokrasi dan kesejahteraan berjalan bergandengan.

Dengan sendirinya, tidak otomatis negara demokrasi maju ekonominya.


Tentu banyak faktor lain yang juga ikut memengaruhi. India adalah
sebuah contoh. India di satu pihak menjalankan demokrasi dalam
politik, tetapi di pihak lain untuk jangka waktu yang panjang
ekonominya tertutup. Selain itu, sistem sosialnya juga menjadi kendala.
Akan tetapi, belakangan ini India menggulirkan kebijaksanaan-
kebijaksanaan pembaruan dan membuka perekonomiannya. Ekonomi
India sekarang telah bergerak maju dan punya potensi untuk tumbuh
menjadi kekuatan ekonomi yang besar.

Bukan kesalahan demokrasi

Dari pengalaman-pengalaman itu memang ada elemen lain yang juga


penting, yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tepat.

Demokrasi tidak berjalan serasi dengan sistem ekonomi yang tertutup.


Dalam negara demokrasi biasanya sistem ekonomi yang dianut adalah
ekonomi pasar. Di negara-negara Barat kedua sistem ini telah tumbuh
dan berkembang serta teruji dan berjalan sekurang-kurangnya selama
dua ratus tahun. Keduanya sudah menyatu bahkan dapat dikatakan
yang satu mendukung yang lain dan keduanya saling memperkuat.

Untuk negara-negara berkembang, kedua sistem tersebut tidak selalu


dapat berkembang secara alamiah. Oleh karena memang sistem-sistem
tersebut lahir dan berkembang dalam budaya Barat sehingga seperti
telah dicontohkan di atas, tidak semua negara yang menganut paham
demokrasi pembangunan ekonominya otomatis berhasil.

Banyak pemimpin perjuangan dan pemikir di dunia ketiga yang


mencoba mengembangkan sistemnya sendiri, yang berakar pada
tradisi, latar belakang sejarah, dan kondisi lingkungannya. Pemikir-
pemikir ekonomi di Amerika Latin malah mengembangkan teori
"melawan" arus pemikiran ekonomi politik dan ekonomi pembangunan
yang berkembang di Barat dan dicoba diterapkan di negara
berkembang, yang dikenaI dengan dependency theory. Di Indonesia
sendiri pernah diterapkan konsep demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin, sosialisme (Marxisme).

Sejarah akhirnya menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh pada waktu


itu tidak memberikan hasil terutama pada kesejahteraan masyarakat,
dan juga tidak mengembangkan kehidupan demokrasi. Akan tetapi,
harus dipahami adanya keinginan pada waktu itu untuk tidak
menerapkan begitu saja konsep-konsep politik dan ekonomi dari luar.
Dalam perkembangannya, peningkatan kesejahteraan rakyat telah
dijadikan barometer berlangsung tidaknya proses demokrasi. Bahkan
ekonom penerima hadiah Nobel Amartya Sen (2000) melukiskan
demokrasi sebagai alur pemikiran utama dalam memahami persoalan
kemiskinan. Dalam dinamika proses, keputusan hasil dari sebuah proses
demokrasi yang merupakan agregasi manfaat bersama akan
menghasilkan senyawa demokrasi yang pro kesejahteraan.

Oleh sebab itulah, proses demokrasi yang benar dapat dilihat dari
tercapai tidaknya kesejahteraan sebagai tujuan akhirnya. Jika tidak ada
peningkatan kesejahteraan, yang salah bukanlah demokrasinya, tetapi
cara menjalankannya. ***

Anda mungkin juga menyukai