Anda di halaman 1dari 5

Jingga Ramadhintya_072111333008

REVIEW BUKU
Judul: Third Wave Democratization
Pengarang: Samuel Huntington
Tahun Terbit: 1991

Huntington memulai buku ini dengan penjelasan singkat mengenai demokrasi, studi
di buku ini menjelaskan sistem politik abad 20-an sebagai sistem yang demokratis apabila
pembuat kebijakan yang memiliki otoritas paling besar dipilih dengan pemilihan yang adil,
jujur, dan periodik di mana para kandidat dapat secara bebas berkompetisi untuk
mendapatkan suara dan populasi orang dewasa layak untuk memberi suara. Sehingga dapat
didefinisikan bahwa demokrasi melibatkan dua dimensi– kontestasi dan partisipasi.
Pendekatan prosedural dalam demokrasi ditekankan sebagai salah satu syarat utama. Kudeta
militer, sensor, pemilu yang dicurangi, koersi, dan pelecehan terhadap oposisi, memenjarakan
oposisi politik, dan pelarangan pertemuan politik tidak kompatibel dengan demokrasi.

Selain itu, dijabarkan beberapa poin penting mengenai demokrasi:


1. Definisi demokrasi dalam konteks pemilihan umum adalah definisi yang minimal
(disimplifikasi). Definisi demokrasi bisa jadi kabur krn perbedaan interpretasi. Namun
ada esensi-esensi utama seperti pemilihan umum, keadilan, keterbukaan, kebebasan.
Demokrasi hanya salah satu kebajikan umum, bukan satu-satunya.
2. Suatu masyarakat dapat memilih pemimpin politiknya melalui makna2 demokrasi,
namun para pemimpin ini mungkin tidak dapat melaksanan kekuatan yang
sesungguhnya, bahkan dapat juga mereka ini adalah alat dari kelompok lain. Dalam
demokrasi, para pemangku kebijakan yang terpilih tidak melaksanakan kekuatan total;
apabila mereka dapat menjadi wajah bagi kumpulan orang yang memiliki kekuatan
lebih besar dan dipilih secara nondemokratis, maka sistem politik itu turut menjadi
tidak demokratis.
3. Kerapuhan dan stabilitas sistem politik demokrasi. hal ini dapat didefinisikan bahwa
demokrasi adalah konsep stabilitas atau pelembagaan. Sebuah sistem yang
dikategorikan sebagai sistem yang demokratis dapat memiliki tingkat stabilitas yang
berbeda. Stabilitas suatu sistem berbeda dengan jenis sistem itu sendiri.
Jingga Ramadhintya_072111333008

4. Apakah demokrasi dan non-demokrasi merupakan dikotomi atau variabel yang


kontinyu? Banyak ahli memilih opsi kedua dan mengembangkan ukuran-ukuran
demokrasi yang mengombinasikan keadilan pemilu, kebebasan pers dan lain
sebagainya. Namun, dalam buku ini pendekatan dikotomi lebih sesuai karena
Huntington mencoba menjelaskan fokusnya terhadap transisi dari rezim yang
demokratis dan non-demokratis.
5. Rezim non-demokrasi tidak memiliki kompetisi elektoral dan partisipasi suara yang
luas

Gelombang Demokratisasi
Demokrasi modern merupakan demokrasi negara-bangsa dan kemunculannya
dikaitkan dengan perkembangan negara-bangsa. Dorongan kuat terhadap demokrasi di
megara Barat terjadi di awal-pertengahan abad 17. Pada akhir abad 20 lebih banyak lagi
negara-negara yang membentuk institusi demokratis. Gelombang demokratisasi adalah
sekelompok transisi dari rezim non-demokratis ke rezim demokratis yang terjadi dalam suatu
periode tertentu dan transisi ini lebih mendominasi ketimbang gelombang oposisinya. Namun
tidak semua transisi ke demokrasi terjadi selama gelombang demokrasi terjadi.
.
1. The First Wave of Democratization
Berakar di Amerika dan Revolusi Prancis. Demokrasi pada era ini adalah demokrasi minimal
yang mensyaratkan: 1) 50 persen populasi pria dewasa layak memberi suara dan 2) Eksekutif
yang bertanggung jawab harus memertahankan dukungan mayoritas dalam parlemen yang
terpilih atau dipilih dalam pemilihan yang periodik. Dalam gelombang pertama ada pula
gelombang terbalik pertama, peristiwa ini terjadi secara besar-besaran di negara-negara yang
sebelumnya telah mengadopsi sistem politik demokrasi sebelum atau tak lama setelah Perang
Dunia I, gelombang terbalik pertama dimulai tahun 1922 dengan fenomena March on Rome
dan pembuangan Mussolini , gelombang terbalik ini juga direfleksikan dengan bangkitnya
komunis, fasis, dan ideologi militer.

2. The second wave of democratization.


Dimulai di Perang Dunia II, di mana pendudukam sekutu mempromosikan institusi
demokratik di Jerman Barat, Italia, Austria, Jepang, dan Korea. Di saat ini pula banyak
terbentuk negara-negara baru yang memerdekakan diri dari kolonialisme barat, dan mulai
Jingga Ramadhintya_072111333008

mengenal sistem demokrasi.Namun, negara baru ini masih belum stabil dan meraba-raba,
contohnya Indonesia yang mengalami kebingungan tentang bentuk demokrasi parlementer
dari tahun 1950-1957. Gelombang terbalik kedua dimulai pada awal tahun 1960 dengan
perubahan rezim, contoh paling menonjol adalah Amerika Latin. Pergeseran terhadap rezim
otoritarianisme terjadi, dapat dilihat salah satunya di Filipina ketiga Presiden Ferdinand
Marcos mencanangkan rezim militer Martial Law.
3. The third wave of democratization
Rezim demokratis menggantikan rezim otoriter di rata-rata 30 negara di Eropa, Asia, dan
Amerika Latin. Di negara lain yang menganut rezim otoriter, liberalisasi yang cukup besar
juga terjadi sekitar tahun 1974-1990. Gelombang demokrasi diwujudkan pertama kali di
Eropa Selatan, mengikuti jatuhnya kediktatoran di Portugis. Di akhir dekade gelombang ini,
demokrasi turut melanda negara-negara komunis.

Bab 2 menjelaskan secara lebih rinci mengenai penyebab fenomena demokratisasi: 1) Single
Cause. Dapat terjadi karena kebangkitan baru dari kekuatan yang besar atau perubahan
mayor dalam distribusi kekuasaan internasional. Misalnya perang atau keadaan lain yang
akan berdampak besar bagi masyarakat; 2) Parallel Development. Demokratisasi dapat
terjadi karena perkembangan tertentu dalam variabel independen yang sama. Contohnya,
suatu negara lebih mungkin untuk berubah ke negara yang demokratis memerlukan
perkembangan ekonomi seperti peningkatan GNP; 3) Snowballing. Penyebab penting
demokrasi di satu negara dapat juga terjadi di negara lain (efek bola salju).

Bab selanjutnya menjelaskan terdapat tiga kelompok rezim yang melalui prosesnya
menuju gelombang ketiga demokrasi yakni: 1) Sistem satu partai. Dalam sistem ini partai
memiliki kuasa lebih dalam melakukan monopoli. Cara partai melegitimasi kekuasaanya
melalui ideologi; 2) Rezim militer. Kekuasaan militer dijalankan secara institusional; 3)
Kediktatoran pribadi, individu memiliki kekuasaan atas akses dan juga sumber dari otoritas.
Selain itu terdapat 3 pengelompokan dalam proses demokratisasi:1) Transformasi (reformasi)
berlangsung ketika elite mewujudkan demokrasi; 2) Pergantian dapat terjadi apabila
kelompok oposisi berhasil membawa demokrasi dan menggulingkan otoriter; 3)
Transplacement. Merupakan pengelompokan demokratisasi yang terjadi atas kerja sama
pemerintah dengan kelompok oposisi.
Jingga Ramadhintya_072111333008

Setelah membahas transisi demokrasi, Huntington menuju pada konsolidasi


demokrasi dan tantangannya. Jika bab sebelumnya membahas apa, mengapa dan bagaimana
transisi gelombang ketiga menuju demokrasi, bab akhir ini melanjutkan pendekatan empiris
dari chapter 4 dengan menganalisis: 1) dua masalah transisi utama dalam demokrasi baru; 2)
lagkah-langkah yang terlibat dalam perkembangan institusi politik demokratis dan budaya
politik yang demokratis; 3) faktor yang berdampak pada probabilitas konsolidasi demokrasi.
Negara-negara menghadapi 3 jenis masalah dalam mengembangkan dan mengkonsolidasikan
sistem politik demokratik baru mereka: 1) Masalah transisi.

Permasalahan dalam mendirikan sistem konstitusional dan elektoral baru,


mengeluarkan pejabat yang pro-otoritarian dan menggantinya dengan pejabat demokratik,
mencabut atau memodifikasi hukum yang tidak cocok dengan demokrasi, menghapuskan
badan-badan otoriter; 2) masalah kontekstual. Berasal dari sifat masyarakat, ekonomi,
budaya, dan sejarahnya, dan dalam beberapa derajat endemik negara, apa pun bentuk
pemerintahannya; 3) masalah sistemik. Sistem politik otoriter menderita masalah yang
berasal dari sifat khusus mereka, seperti pengambilan keputusan yang terlalu terkonsentrasi,
umpan balik yang tidak memadai, ketergantungan pada legitimasi kinerja. Masalah-masalah
ini telah menimpa demokrasi lama, dan demokrasi gelombang ketiga baru mungkin juga
mengalami masalah ini.

Pada akhirnya penghujung buku kembali merefleksikan tantangan dan kesempatan


bagi demokratisasi. Tantangan politik adalah ketiadaan pengalaman menjalani rezim
demokrasi di negara-negara yang lama berada dalam otoritarianisme, hal ini merujuk pada
kelemahan komitmen untuk menjalankan nilai-nilai demokrasi oleh pemimpin politik.
Tantangan kedua adalah budaya negara dunia ketiga mengalami kompleksitas yang berbeda
dengan demokrasi dari negara barat. Ketiga ialah tantangan ekonomi, dapat dilihat pada
pergeseran otoritarianisme ke demokrasi pada 1974-1990 yang terkonsentrasi di “zona
transisi” dengan level perkembangan ekonomi menengah atas. Hal ini kembali pada
penyebab awal di bab 2 yang menerangkan bahwa perkembangan ekonomi menjadi salah
satu faktor penting.

Tanggapan pembaca terhadap buku ini adalah, Huntington secara fundamental


menggali proses transisi demokrasi dan menjadikan buku ini sebagai salah satu bacaan wajib
dalam kajian demokrasi. Huntington tidak menampik fakta bahwa demokrasi bermula dari
Jingga Ramadhintya_072111333008

negara barat dan karenanya, negara-negara lain memiliki kerumitan tersendiri dalam proses
demokratisasi. Ia juga menjadikan variabel utama bukan demokrasi melainkan demokratisasi
itu sendiri, yang jelas menunjukkan bahwa literatur ini berfokus pada transisi dan pergeseran
demokrasi secara spesifik. Kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak ada penyebab tunggal
yang dapat menjelaskan perkembangan demokrasi di satu atau banyak negara, demokratisasi
dalam setiap negara merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang juga menyebabkan
demokrasi di tiap negara berbeda-beda. Huntington juga secara implisit menerangkan bahwa
demokratisasi merupakan proses yang tidak linear dan lurus, melainkan menghadapi berbagai
dinamika dan tantanan konsolidasinya.

Anda mungkin juga menyukai