Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terpilihnya tokoh sayap kanan Brazil, Jair Bolsonaro, sebagai presiden dalam
kontestasi Pemilu tahun 2019 menambah daftar panjang tren presiden dengan label
“diktaktoral” sejak beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, pada tahun 2016, Donald
Trump dan Rodrigo Duterte juga berhasil menjadi pemenang dalam Pemilu Presiden
di negaranya masing-masing, yaitu Amerika Serikat dan Filipina. Fenomena tersebut
telah dijelaskan oleh dua ilmuwan politik dari Universitas Hardvard, Steven Levisky
dan Daniel Ziblatt, dalam bukunya berjudul “How Democraties Die” (2018). Mereka
menyebut, bahwa saat ini kemunculkan beberapa pemimpin diktator justru berasal
dari hasil Pemilu. Jadi, “kelunturan demokrasi” mungkin tidak lagi disebabkan oleh
kudeta, melainkan karena pemimpin yang diktator.1
Jika dikritisi, pernyataan dari Stevel Levisky dan Daniel Ziblatt sesungguhnya
bisa dibantah dengan tren kudeta gaya baru yang melibatkan parlemen di Amerika
Latin dan mengancam proses konsolidasi demokrasi. Seperti contoh yang terjadi di
Brazil pada tahun 2016, ketika Dilma Roussef (petahana) terpilih sebagai presiden
secara demokratis pada tahun 2014, tetapi kemudian dilengserkan melalui voting di
parlemen atas tuduhan memanipulasi anggaran. 2 Padahal, tuduhan tersebut bahkan
belum diproses dan diputuskan di pengadilan. Gaya kudeta yang hampir sama saat
ini juga tengah mengincar Nicolas Maduro (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia) –
meskipun pada konteks ini mereka dicap sebagai pemimpin diktator.
Apabila ditarik lagi ke belakang, kudeta memang senantiasa menjadi warna
tersendiri bagi konstelasi politik di negara-negara Amerika Latin. Pada dekade 1970
-an dan dekade 1980-an misalnya, negara-negara di kawasan Amerika Latin jatuh ke
tangan “junta militer”. Selanjutnya, di tahun 1990-an, secara gradual Amerika Latin
terbebas dari kediktatoran militer, tetapi “rezim demokratis” justru dinilai semakin
memperparah kemiskinan dan jurang ketimpangan. Pada akhirnya, berbagai kudeta
kembali mewarnai kancah perpolitikan negara-negara Amerika Latin, seperti terjadi
di Honduras (2009), Paraguay (2012), sampai Brazil (2016).
1
Stevel Lavitsky & Daniel Ziblatt, How Democraties Die, Crown Publishing, New York, 2018, pp. 4.
2
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/08/160831_dunia_brasil_dilma, diakses pada tanggal 20 Juni
2019. Kasus tersebut dikenal dengan Operasi Lava Jato (Operation Car Wash).

1
Dari hasil kajian awal penulis, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan
situasi politik di Amerika Latin menjadi sangat kompleks, sehingga juga berdampak
pada fluktuasi demokrasi di sana. Pertama, perebutan kekuasaan oleh tiga kelompok
besar dengan spektrum berbeda-beda, yaitu partai-partai berhaluan kiri (sosialis),
kaum militer (diktator), dan partai-partai sayap kanan (liberal/konservatif). Kedua,
intervensi hegemoni Amerika Serikat secara halus melalui apa yang disebut dengan
“covert action” (operasi rahasia). Tidak dipungkiri, banyak aksi kudeta yang terjadi
di negara-negara Amerika Latin didukung oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti
contohnya di Brazil (1964) dan Chilie (1973). 3
Brazil adalah salah satu negara dengan sistem politik demokrasi di Amerika
Latin. Menurut kajian The Democracy Index4 yang dirilis oleh Economist Intelligence
Unit (EIU) pada tahun 2018, Brazil menempati posisi 50 negara paling demokratis
dengan skor 6.97. Sebenarnya, skor Brazil sempat menyentuh angka 7.38 di tahun
2014, tetapi kemudian terus jatuh seiring dengan krisis politik yang mendera negara
terbesar di Amerika Latin tersebut.5 Meskipun demikian, dari segi politik-ekonomi,
Brazil masih relatif lebih mapan dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin
lain —dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam grup ekonomi utama (G-20). Hal
itu membuat penulis tertarik menganalisis, bagaiamana Brazil melewati fase transisi
dan konsolidasi demokrasi hingga seperti sekarang. 6

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana transisi demokrasi di negara Brazil?
2. Bagaimana konsolidasi demokrasi di negara Brazil?

C. Tujuan
1. Menganalisis transisi demokrasi di negara Brazil.
2. Menyigi konsolidasi demokrasi di negara Brazil.

3
Rahul Mahajan, Melawan Negara Teroris: Dominasi Amerika Serikat terhadap Irak & Kedaulatan Dunia, Mizan
Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 152.
4
Ada lima indikator yang digunakan dalam Democracy Index, yaitu: 1) electoral process and pluralism, 2)
functioning of government, 3) political participation, 4) political culture, dan 5) civil liberties.
5
https://infographics.economist.com/2019/DemocracyIndex/, diakses pada tanggal 20 Juni 2019.
6
Faktor lain dari ketertarikan penulis terhadap demokrasi di Brazil adalah setelah menonton film dokumenter
The Edge of Democracy karya Petra Costa yang bercerita tentang perjalanan demokrasi Brazil melewati rezim
militer yang lama, kemudian masuk di era Lula da Silva dan Dilma Rousseff, tetapi keduanya dipenjara atas
tuduhan kasus kourpsi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Transisi Demokrasi
1. Teori Transisi Demokrasi
Transisi demokrasi (demokratisasi) secara umum dapat dimaknai sebagai
proses peralihan rezim non-demokratis menuju ke sistem yang lebih demokratis.
Dalam konteks global, Samuel Huntington membagi demokratisasi ke dalam tiga
gelombang melalui bukunya yang berjudul “The Thrid Wave (Democratization in
the Late Twentieth Century” (1991), yaitu tahun 1828-1926 saat Revolusi Prancis
dan Amerika (gelombang pertama), tahun 1943-1962 pasca kemenangan sekutu
Perang Dunia II (gelombang kedua), dan tahun 1974 yang ditandai oleh transisi
demokrasi di kawasan Amerika Latin, Asia Pasifik, dan Eropa Timur (gelombang
ketiga).7 Dewasa ini, periodisasi tersebut telah berkembang lebih jauh, sebab ada
“celah” demokratisasi yang belum dijelaskan oleh Huntington, yakni keruntuhan
Uni Soviet (1989-1991) dan Arab Spring (2011-2012), termasuk pembalikannya
yang terjadi di negara-negara lain.
Selanjutnya, beberapa teoritisi memiliki pandangan yang beragam dalam
memahami transisi demokrasi. Ada ahli yang melihatnya dari perspektif peran
kepartaian (Holmes, 1994), kedudukan eksekutif-parlemen (Remington, 1994),
pengaruh budaya politik (Almond dan Verba, 1984), dan ada juga yang melihat
dari kacamata partisipasi, kompetisi, dan kebebasan (Sorensen, 2003). 8 Di luar
pandangan itu, ada argumen yang mengkaitkan demokratisasi dengan kapasitas
ekonomi.9 Hal tersebut setidaknya tercermin dalam kasus transisi demokrasi di
wilayah Amerika Latin pada tahun 1960-1970-an. Meskipun ternyata, pada masa
perkembangan selanjutnya, pembangunan ekonomi tidak terbukti secara mutlak
berbanding lurus dengan demokratisasi. Contohnya pada tahun 1970-1980-an di

7
Samuel Huntington, The Thrid Wave (Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma
Press, Oklahoma, 1991, pp. 16-23.
8
Zeffry Alkatiri, Perdebatan Teori Transisi Demokrasi, Jurnal Wacana, Universitas Indonesia, Volume 9, No. 1,
April, 2017, hlm. 39.
9
Argumen tersebut menjadi hipotesis dari Seymour Martin Lipset dalam esainya yang berjudul Some Social
Requisites of Democracy, bahwa pembangunan ekonomi akan menghasilkan demokrasi. Sumber: Siti Witianti,
Demokrasi dan Pembangunan, Jurnal Wacana Politik, Universitas Padjadjaran, Vol. 1, No. 1, Maret 2016, hlm.
75.

3
wilayah Amerika Latin dan Afrika, saat kemampuan ekonomi meningkat, sistem
otoritarian junta militer masih bertahan memonopoli kekuasaan. 10
Sampai di sini bisa dipahami, bahwa transisi demokrasi merupakan suatu
proses yang kompleks, multifaset, dan tidak linier. Berkaca dari keragaman cara
pandang dalam menganalisis transisi demokrasi, Mochtar Mas’ud menawarkan
tiga pendekatan yang cukup komprehensif, yaitu modernisasionis, transisional,
dan struktural.11 Masing-masing pendekatan tersebut memiliki fokus perhatian
yang berbeda-beda. Pertama, pendekatan modernisasionis menaruh fokus pada
kondisi sosial dan ekonomi. Kedua, pendekatan transisional berfokus di proses
politik dan perilaku elite. Ketiga, pendekatan struktural yang menekankan pada
perubahan struktur kekuasaan yang mendukung demokrasi. Jika dikembangkan
lebih jauh sesuai dengan variasi cara pandang para teoritisi di atas, pendekatan
tersebut dapat bertambah menjadi lima, yakni dengan pendekatan institusional
(pelembagaan dan konstitusi) dan kultural (aspek budaya dan religius).
Dengan pandangan yang multiperspektif, tentu akan sulit merumuskan
formula baku tentang faktor-faktor penyebab transisi demokrasi. Belum lagi, ada
kalanya di beberapa jenis kasus, faktor-faktor yang telah disusun oleh para ahli
tersebut mengalami “pembalikan” atau “anomali”. Semua itu tidak terlepas dari
pernyataan penulis sebelumnya, bahwa transisi demokrasi adalah proses yang
kompleks, multifaset, dan tidak liner. Di sini, penulis memilih mengutip Samuel
Huntington yang menyatakan ada lima faktor utama pendorong demokratisasi—
secara khusus gelombang ketiga demokratisasi. Kelima faktor tersebut adalah:
1) penurunan legitimasi rezim otoriter, 2) pertumbuhan output ekonomi global,
3) penekanan hak-hak individu dan oposisi oleh Vatikan II, 4) faktor kontingensi
regional, dan 5) faktor eksternal dari upaya demokratisasi yang dibawa oleh Uni
Eropa dan Amerika Serikat.12

10
Richard D. Anderson, JR., et al., Postcommunism and The Theory of Democracy, Princeton University Press,
New Jersey, 2001, pp. 57.
11
Rendy R. Wrihantnolo dan Riant Nugroho, Demokrasi bagi Negara-negara Berkembang, Sumber: https://
www.bappenas.go.id/files/3213/5028/6740/02mustopadidjaja__20091014125643__2248__0.pdf, diakses
pada tanggal 20 Juni 2019.
12
Samuel Huntington, Op.cit., 1991, pp. 45.

4
2. Transisi Demokrasi di Brazil
Sebagai fondasi dalam menganalisis transisi demokrasi di Brazil, penulis
merasa perlu terlebih dahulu menyajikan gambaran latar sejarah dari perjalanan
pemerintahan Brazil. Negara yang terletak di bagian tengah dan timur Amerika
Selatan tersebut telah menjadi wilayah jajahan Portugis sejak tahun 1494. Brazil
meraih kemerdekaannya pada tanggal 7 September 1822. Kemudian, pada tahun
1889, sistem pemerintahannya berubah dari sistem monarki menjadi republik.
Sebelum sampai di era republik baru seperti saat ini, Brazil melewati empat era
sejarah. Keempat era sejarah tersebut terdiri atas: 1) masa republik lama (1889-
1930) dengan dominasi oligarki, 2) masa Vargas (1930-1946) di bawah Getulio
Vargas, 3) masa republik kedua (1945-1961) yang ditandai “kudeta militer” dan
instabilitas politik, dan 4) masa diktator militer (1964-1985) saat Brazil dikuasai
oleh pemimpin angkatan bersenjata. 13 Adapun, era Republik Baru Brazil dimulai
pada tahun 1985 sampai sekarang yang diawali oleh terpilihnya Tancredo Neves
sebagai presiden pertama Brazil dari kalangan sipil sejak 1964.
Berdasakan ulasan historis di atas, maka bisa ditarik simpulan bahwa era
transisi demokrasi Brazil terjadi antara masa diktator militer (1964-1985) dan
masa republik baru (tahun 1985-sekarang). Transisi demokrasi di Brazil diawali
oleh pernyataan Presiden Ernesto Geisel dan Kepala Kebinet Golbers de Couto e
Silva pada Maret 1974 yang mengumumkan niat mereka untuk mempromosikan
liberalisasi politik secara pelan dan hati-hati.14 Hal tersebut amat menarik, sebab
pemerintahan yang berkuasa ketika itu adalah diktator militer. Diktator militer
menguasai pemerintahan Brazil selama hampir dua puluh tahun. Rezim militer
Brazil bahkan memberikan model bagi rezim militer dan kediktatoran lainnya di
Amerika Latin dengan “Doktrin Keamanan Nasional”. 15 Meskipun, pengumuman
semacam itu bukan yang pertama kali keluar dari rezim militer 16, tetapi menjadi
berarti karena juga diikuti oleh sejumlah kebijakan pelonggaran Geisel.

13
Rebeca Duran, History of Brazil Republic, Sumber: https://thebrazilbusiness.com/article/history-of-brazil-
republic, diakses pada tanggal 20 Juni 2019.
14
Scott Mainwaring, The Transition to Democracy in Brazil, Journal of Interamerican Studies and World Affairs,
Vol. 28, No. 1, 1986, pp. 149.
15
Eduardo Gonzales, Brazil Shatters Its Wall of Silence on the Past, Sumber: https://www.ictj.org/news/brazil-
shatters-its-wall-silence-past, diakses pada tanggal 21 Juni 2019.
16
Sebelumnya, pernah diumumkan di era Presiden Branco (1964-67), Costa e Silva (1967-69), dan Medici
(1969-74). Sumber: Scott Mainwaring, Op.cit., 1986, pp. 150.

5
Sejak berkuasa (1974), Geisel yang merupakan purnawirawan Jenderal
Angkatan Darat memang dikenal memiliki sikap yang lebih “moderat” daripada
pendahulunya –Medici. Geisel mengambil kebijakan pelonggaran secara gradual
untuk kekuasaan diktatornya dengan label abetura (pembukaan) atau distensao
(dekompresi).17 Wujud dari kebijakan tersebut salah satunya adalah saat Geisel
mengizinkan opisisi Brazillian Democratic Movement (MDB) untuk berkampanye
dengan bebas sebelum Pemilu November 1974. 18 Kebijakan Geisel yang longgar
terhadap oposisi ikut didorong oleh perubahan dalam Geraja Katolik di Vatikan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Huntington, bahwa reformasi dalam Gereja
Katolik oleh Vatikan II yang menekankan hak-hak individu dan oposisi terhadap
pemerintahan otoriter menjadi salah satu faktor pendorong gelombang transisi
demokrasi.19 Dampaknya, ada pergeseran pandangan dunia dalam menilai pihak
oposisi, secara khusus bagi negara-negara Katolik di Mediterania dan Amerika
Latin, termasuk Brazil sendiri. Jadi, di sini pendekatan kultural memainkan peran
yang penting untuk mamahami fase awal demokratisasi di Brazil.
Berikutnya, fase transisi demokrasi Brazil berlanjut ketika Presiden Joao
Figueiredo mengarahkan transfer kekuasaan pada pemerintahan sipil. 20 Dengan
kata lain, Figueiredo melanjutkan kebijakan “relaksasi” Geisel, meskipun itu juga
mendapatkan tentangan dari kelompok militer garis keras. Di awal tahun 1980,
Figueiredo membubarkan partai National Renewal Alliance Party (ARENA) dan
sistem dwipartai yang memungkinkan banyak parai-partai baru lahir. 21 Pada sisi
yang lain, depresi ekonomi sedang mencapai “titik klimaks” sejak krisis minyak
tahun 1973 yang berakibat pada meningkatnya inflasi, pengangguran, dan utang
luar negeri yang mencapai nominal 90 milliar dollar kepada pemberi pinjaman
internasional.22 Akhirnya, pada tahun 1984 terjadi demonstrasi besar-besaran.
Kemudian, dalam Pemilu Presiden tahun 1985 oleh electoral college, terpilihlah

17
Enrique A. Baloyra, Comparing New Democracies: Transition And Consolidation In Mediterranean Europe And
The Southern Cone, Routledge, London, 2019, pp. 230.
18
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/distensao,
diakses pada tanggal 22 Juni 2019.
19
Samuel Huntington, Op.cit., 1991, pp. 45.
20
Sue Branford & Jan Rocha, Joao Figueiredo (Hapless Soldier Caught in Brazil’s Search for Reform, Sumber:
https://www.theguardian.com/news/1999/dec/29/guardianobituaries2, diakses pada tanggal 22 Juni 2019.
21
Tom Muller, Political Handbook of the World, SAGE, California, 2012, pp. 146.
22
http://www.archontology.org/nations/braz/braz_rep3/figueiredo.php, diakses pada tanggal 22 Juni 2019.

6
Tancredo Neves sebagai presiden pertama dari kalangan sipil sejak tahun 1964
yang sekaligus menandai dimulainya era Republik Baru Brazil.
Jika dianalisis, kronik transisi demokrasi Brazil saat Geisel dan Figueiredo
menjabat relevan dengan sejumlah faktor gelombang ketiga demokrastisasi yang
dikemukakan oleh Huntington maupun beberapa pendekatan lain dalam melihat
transisi demokrasi. Pertama, faktor “merosotnya” legitimasi rezim otoriter. Hal
tersebut terjadi ketika Geisel dan Figueiredo terlilit oleh depresi ekonomi akibat
krisis minyak dan hutang luar negeri, sehingga berdampak pada relasi kausalitas
dengan tingkat keabsahan (legitimasi) pemerintahan militer yang ikut menurun.
Kedua, kebijakan pelonggaran Geisel dan Figueireda juga bisa dicermati dengan
pendekatan transisional. Pendekatan transisional melihat, bahwa demokratisasi
disebabkan oleh perubahan perilaku elite. Pendekatan itu terbukti ketika Geisel
dan Figueireda –sebagai pemimpin politik– mengambil kebijakan relaksasi yang
reformis pada era rezim militeristik. Di luar faktor dan pendekatan itu, kita juga
tidak boleh melupakan peran kepartaian (multipartai) seperti diungkapkan oleh
Holmes (1994) dan jeratan institusi Bretton Woods yang melemahkan kapasitas
ekonomi Brazil sehingga memantik gelombang besar demonstrasi.

B. Konsolidasi Demokrasi
1. Teori Konsolidasi Demokrasi
Jika transisi demokrasi melihat proses perubahan rezim non-demokratis
menuju sistem yang demokratis, maka konsolidasi melihat bagaimana berbagai
elemen demokrasi dapat bersatu untuk secara padu memfasilitasi demokratisasi.
Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi adalah fase lanjutan dari demokratisasi
atau transisi demokrasi. Setelah rezim otoriter berakhir, situasi politik seringkali
tidak menentu karena terjadi “chaos” dan fragmentasi sipil.23 Akibatnya, konflik-
konflik terbuka menjadi sulit dikendalikan mengingat penguasa yang baru belum
memiliki legitimasi secara kuat di masyarakat. Peran dari konsolidasi demokrasi
adalah membangun sebuah rezim demokratis yang melembaga secara kuat dan
stabil pasca keruntuhan rezim otoriter atau non demokratis. Menurut O’Donnel
dan Schimitter, unsur-unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi terdiri

23
Kris Nugroho, Konsolidasi Demokrasi, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, Th XIV, No. 2, April 2001,
hlm. 31.

7
atas lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok
kepentingan, maupun masyarakat politik.24
Selanjutnya, dua akademisi ilmu politik yang sering memberikan ide-ide
terkait demokrasi, Juan J. Linz dan Alfred C. Stepan, menjelaskan tiga prasyarat
minimal yang harus dipenuhi oleh suatu negara sebelum berbicara konsolidasi
demokrasi. Tiga prasyarat tersebut adalah: 1) pemenang Pemilu tidak memakai
kekuatan monopolistis, 2) transisi demokrasi harus diselesaikan dengan Pemilu
yang bebas dan layak, serta 3) pemimpin harus memerintah secara demokratis,
tidak hanya dipilih secara demokratis.25 Di samping itu, Juan J. Linz dan Alfred C.
Stepan juga menyatakan masih ada lima syarat lain yang saling berhubungan dan
memperkuat agar demokrasi dapat dikonsolidasikan. Pertama, masyarakat sipil
yang bebas dan aktif. Kedua, ada masyarakat politik yang relatif otonom. Ketiga,
aktor politik utama (pemerintah dan aparatur negara) tunduk terhadap aturan
yang melindungi warga negara. Keempat, birokrasi yang dapat digunakan oleh
pemerintah demokratis yang baru. Kelima, ada masyarakat ekonomi baru yang
dilembagakan (bukan ekonomi komando dan ekonomi pasar).26

2. Konsolidasi Demokrasi di Brazil


Setelah Tancredo Neves terpilih sebagai Presiden Brazil pada tahun 1985,
dinamika transisi demokrasi masih berlangsung. Hal tersebut tidak terlepas dari
belum diamandemennya konstitusi lama Brazil (1967-1969) yang memiliki sifat-
sifat executive heavy.27 Di samping itu, kondisi negara belum sepenuhnya stabil
pasca krisis politik dan ekonomi yang berdampak besar pada rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat. Meskipun demikian, tahun itu telah diakui sebagai era
kontemporer Brazil, yakni era Republik Baru (Nova Republica) sejak kekuasaan
rezim militer. Menjelang pelantikan presiden tahun 1985, Tancredo Neves justru
jatuh sakit yang membuatnya tidak dapat menghadiri pelantikan. Oleh sebab itu,
Jose Sarney sebagai wakilnya yang dilantik menjadi Presiden Brazil. 28 Pada masa
awal kepemimpinan Sarney, konstitusi baru mulai disusun untuk menggantikan
24
Ibid, hlm. 27.
25
Juan J. Linz & Alfred C. Stepan, Toward Consolidated Democracies, Journal of Democracy, Johns Hopkins
University Press, Volume 7, No. 2, 1996, pp. 14.
26
Ibid, hlm. 15.
27
Salah satunya dicirikan dengan kewenangan veto yang dimiliki oleh presiden, sebab rezim yang sedang
berkuasa adalah rezim diktatoral militer.
28
Scott Mainwaring, Op.cit., 1986, pp. 149.

8
konstitusi lama. Setelah konstitusi baru diumumkan pada tahun 1988, di tahun
1989 Brazil mengadakan Pemilu Presiden secara langsung dan Fernando Collor
terpilih sebagai Presiden.
Sejak diberlakukannya Konstitusi 1988, suksesi kepemimpinan Presiden
Brazil relatif berjalan dengan tertib tanpa gejolak yang berarti. Adapun, catatan
khusus baru terjadi ketika masa pemerintahan Dilma Rousseff pada tahun 2016
yang dimakzulkan oleh parlemen karena ada tuduhan penyelewengan anggaran.
Tantangan transisi dan konsolidasi demokrasi Brazil sebenarnya terletak pada
kapabilitas pemerintah mengatasi masalah-masalah terkait krisis ekonomi, salah
satunya hiperinflasi. Hiperinflasi terjadi di Brazil dari tahun 1980 sampai 1994
yang ikut dipicu oleh krisis energi tahun 1970-an selama kediktatoran militer. 29
Jika dianalisis, fenomena tersebut sebenarnya cukup menarik. Di satu sisi, krisis
ekonomi menjadi isu yang menyatukan suara masyarakat untuk menggulingkan
pemerintahan diktator militer. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintahan demokratis
baru ternyata juga belum mampu menangani persoalan krisis ekonomi itu.
Berdasarkan uraian di atas, poin kunci dari konsolidasi demokrasi Brazil
adalah penerapan Konstitusi Baru Brazil pada tahun 1988. Konstitusi tersebut
menjadi konstitusi Brazil kedelapan sejak kemerdekaan Brazil di tahun 1822. Di
dalam tinjauan Thomas C. Bruneau, konstitusi baru dianggap oleh sabagian besar
pengamat politik Brazil sebagai pintu masuk untuk konsolidasi demokrasi. 30 Hal
itu didasarkan pada pemerintahan yang terbuka dan demokratis serta jaminan
luas atas hak-hak dan demokratisasi berkat konstitusi baru. 31 Jadi, syarat-syarat
konsolidasi demokrasi seperti Pemilu dan tata pemerintahan yang demokratis
dapat terpenuhi dengan konstitusi baru sebagai landasan yuridis. Contohnya saja
pelaksanaan Pemilu tahun 1989 yang sungguh-sungguh sesuai kehendak rakyat
karena dipilih secara langsung, bukan melalui “electoral college”. Di samping itu,
dari aspek struktur dan kelembagaan politik, tidak lagi dominasi eksekutif dalam
pemerintahan (executive heavy).
Selanjutnya, persoalan di bidang ekonomi juga perlu mendapatkan atensi
serius dari pemerintahan demokratis Brazil dalam mengupayakan konsolidasi
29
Claudio Monteiro Considera, The Brazilian Economy 1980/1997: From Hyper-Inflation to Stabilization,
Institute of Applied Economics Research, Ministry of Planning and Budget, March 1998, pp. 4.
30
Thomas C. Bruneau, Constitutions and Democratic Consolidation: Brazil in Comparative Perspective,
Macmillan International Political Economy Series, Palgrave Macmillan, London, 1990, pp. 173.
31
Loc.cit.

9
demokrasi. Seperti telah disinggung pada bagian atas, bahwa di era transisi dan
konsolidasi demokrasi, Brazil mengalami tren hiperinflasi (1980-1994). Padahal,
pada masa kediktatoran junta militer atau saat presiden Medici menjabat (1969-
1974), Brazil berada di “periode emas” dengan pertumbuhan ekonomi tahunan
(PDB) rata-rata mendekati angka 10%. 32 Jika stabilitas dan pertumbuhan bidang
ekonomi tidak dapat dijaga, maka tentu sikap skeptis dan pesimistis masyarakat
akan muncul, baik itu terhadap pemerintah maupun kepada sistem demokratis
itu sendiri. Akibatnya, bukan tidak mungkin, proses konsolidasi demokrasi bisa
gagal. Di sini, hipotesis Lipset menjadi logis, bahwa pembangunan ekonomi akan
melanggengkan demokrasi. Terakhir, pemberantasan korupsi saat ini juga masih
menjadi permasalahan urgen yang belum tuntas terselesaikan di Brazil. Tercatat,
tiga presiden terakhir Brazil sebelum Bolsonaro (2019), semua tersangkut kasus
korupsi.33 Dampaknya, sebagaian masyarakat bersikap “apatis” terhadap politik,
bahkan juga kecewa terhadap sistem demokrasi. 34 Hal tersebut tentu akan ikut
mengancam konsolidasi demokrasi di Brazil.

BAB III
PENUTUP

32
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/brazil-economic-
miracle-1968-1974, diakses pada tanggal 23 Juni 2019.
33
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-40589180, diakses pada tanggal 23 Juni 2019.
34
Andressa Liegi Viera Costa, Political Culture and Democracy in Latin America: Perspective on Brazil and
Columbia, Encuentro Latinoamericano, Vol. 5, No. 1, July 2018, pp. 60-61.

10
A. Simpulan
Berdasarkan elaborasi pembahasan di atas, ada beberapa simpulan yang
dapat ditarik dalam makalah ini:
1. Transisi demokrasi Brazil dimulai sejak era tahun 1974. Hal itu dipengaruhi
oleh kebijakan reformis Vatikan II tentang pemenuhan hak-hak individu dan
oposisi. Faktor lain yang mempengaruhi transisi demokrasi di Brazil adalah
merosotnya legitimasi rezim otoriter akibat depresi ekonomi (inflasi, hutang
luar negeri, dan pengangguran). Selanjutnya, transisi demokrasi Brazil dapat
dilihat dari pendekatan transisional, yakni dikarenakan perubahan perilaku
elite politik. Di samping itu, faktor lain yang juga tidak boleh dialpakan adalah
peran kepartaian yang semakin kuat dengan penerapan sistem multipartai,
termasuk faktor jeratan institusi Bretton Woods yang melemahkan kapasitas
ekonomi Brazil dan mematik gelombang besar demonstrasi.
2. Konsolidasi demokrasi Brazil baru benar-benar dimulai saat konstitusi baru
diterapkan pada tahun 1988. Penerapan konstitusi tersebut menjadi “pintu
masuk” bagi konsolidasi demokrasi, sebab menciptakan pemerintaahan yang
terbuka dan demokratis serta jaminan luas atas hak-hak dan demokratisasi.
Jadi, syarat-syarat konsolidasi demokrasi seperti Pemilu dan pemerintahan
yang demokratis dapat terpenuhi dengan konstitusi baru sebagai landasan
yuridis. Tantangan pemerintah untuk menjaga konsolidasi demokrasi Brazil
adalah membuktikan kepada seluruh masyarakatnya, bahwa pembangunan
ekonomi selaras dengan demokrasi, di samping itu juga berusaha melakukan
penguatan integritas dan pemberantasan korupsi.

B. Saran
Dikarenakan keterbatasan ruang, ada beberapa “bahasan” menarik yang
perlu mendapatkan analisis lebih lanjut. Hal tersebut misalnya terkait pengaruh
apatisme politik dan kasus korupsi di pemerintahan Brazil terhadap konsolidasi
demokrasi serta fenomena left turn yang dipicu oleh terpilihnya Jair Bolsonaro –
pengagum kediktatoran lama dan bagian dari tren populisme global.

DAFTAR PUSTAKA

11
Alkatiri, Zeffry. 2017. Perdebatan Teori Transisi Demokrasi. Jurnal Wacana. Universitas
Indonesia. Volume 9, No. 1, April.
Anderson, Richard D., JR., et al. 2001. Postcommunism and The Theory of Democracy.
New Jersey: Princeton University Press.
Baloyra, Enrique A. 2019. Comparing New Democracies: Transition And Consolidation In
Mediterranean Europe And The Southern Cone. London: Routledge.
Branford, Sue & Jan Rocha. Joao Figueiredo (Hapless Soldier Caught in Brazil’s Search for
Reform, Sumber: https://www.theguardian.com/news/1999/dec/29/guardian
obituaries2, diakses pada tanggal 22 Juni 2019.
Bruneau, Thomas C. 1990. Constitutions and Democratic Consolidation: Brazil in
Comparative Perspective. Macmillan International Political Economy Series.
London: Palgrave Macmillan.
Considera, Claudio Monteiro. 1998. The Brazilian Economy 1980/1997: From Hyper-
Inflation to Stabilization. Institute of Applied Economics Research. Ministry of
Planning and Budget. March.
Costa, Andressa Liegi Viera. 2018. Political Culture and Democracy in Latin America:
Perspective on Brazil and Columbia. Encuentro Latinoamericano. Vol. 5, No. 1, July.
Duran, Rebeca. History of Brazil Republic. Sumber: https://thebrazilbusiness.com/
article/history-of-brazil-republic, diakses pada tanggal 20 Juni 2019.
Gonzales, Eduardo. Brazil Shatters Its Wall of Silence on the Past. Sumber: https://www.
ictj.org/news/brazil-shatters-its-wall-silence-past, diakses pada tanggal 21 Juni
2019.
Huntington, Samuel. 1991. The Thrid Wave (Democratization in the Late Twentieth
Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.
Lavitsky, Stevel & Daniel Ziblatt. 2018. How Democraties Die. New York: Crown
Publishing.
Linz, Juan J. & Alfred C. Stepan. 1996. Toward Consolidated Democracies. Journal of
Democracy. Johns Hopkins University Press. Volume 7, No. 2, 1996, pp. 14.
Mahajan, Rahul. 2005. Melawan Negara Teroris: Dominasi Amerika Serikat terhadap Irak
& Kedaulatan Dunia. Jakarta: Mizan Pustaka.
Mainwaring, Scott. 1986. The Transition to Democracy in Brazil. Journal of Interamerican
Studies and World Affairs. Vol. 28, No. 1.
Muller, Tom. 2012. Political Handbook of the World. California: SAGE.
Nugroho, Kris. 2001. Konsolidasi Demokrasi. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik.
Th XIV, No. 2, April.
Witianti, Siti. 2016. Demokrasi dan Pembangunan. Jurnal Wacana Politik. Universitas
Padjadjaran, Vol. 1, No. 1, Maret.
Wrihantnolo, Rendy R. dan Riant Nugroho. Demokrasi bagi Negara-negara Berkembang,
Sumber: https:/www.bappenas.go.id/files/3213/5028/6740/02mustopadidjaja
__20091014125643__2248__0.pdf, diakses pada tanggal 20 Juni 2019.

12
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/08/160831_dunia_brasil_dilma, diakses
pada tanggal 20 Juni 2019.
https://infographics.economist.com/2019/DemocracyIndex/, diakses pada tanggal 20
Juni 2019.
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-
maps/distensao, diakses pada tanggal 22 Juni 2019.
http://www.archontology.org/nations/braz/braz_rep3/figueiredo.php, diakses pada
tanggal 22 Juni 2019.
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-
maps/brazil-economic-miracle-1968-1974, diakses pada tanggal 23 Juni 2019.
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-40589180, diakses pada tanggal 23 Juni 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai