Anda di halaman 1dari 11

I.

Latar Belakang
Berakhirnya era Perang Dingin, membawa kawasan Amerika Latin jatuh ke dalam
pelukan pengaruh Amerika Serikat, dan membuka jalan bagi era baru yang penuh dengan
keterikatan yang rumit dan kalibrasi ulang geopolitik. Dalam bidang hubungan internasional,
‘the Washington blueprint’ telah menjadi pilihan pertama bagi berbagai negara yang mencari
pembangunan ekonomi dan pengaruh global. Berakar pada prinsip-prinsip demokrasi,
kapitalisme pasar bebas, dan keterlibatan yang kuat di panggung internasional, model AS telah
meninggalkan pengaruh yang tak terhapuskan. Dengan begitu, ketika krisis ekonomi semakin
parah pada akhir tahun 1990an, para pemimpin kawasan mulai berbondong-bondong meminta
bantuan dan kepemimpinan dari Washington dengan harapan mendapatkan kembali persetujuan
terhadap neoliberalisme yang dicetuskannya (Chodor, 2015).
Walau terdengar solid, dominasi AS di kawasan Amerika Latin tidak bertahan lama,
nyatanya pada tahun 1998, kawasan ini mulai menyaksikan kebangkitan yang kemudian dikenal
sebagai “Pink Tide Movement”. Kemenangan Hugo Chávez di Venezuela pada tahun tersebut,
dilanjutkan dengan kemenangan Lula da Silva di Brazil pada tahun 2002, memulai tren kawasan
untuk melepaskan diri dari dominasi AS (Sabatini, 2015). Dalam hal tersebut, Chavez mulai
menasionalisasi industri-industri penting dan melakukan redistribusi kekayaan, sementara Lula
berfokus pada perluasan program sosial (Downie, 2013). Alih-alih berusaha untuk
mempertahankan dominasinya di kawasan Amerika Latin, AS lebih memilih untuk mengarahkan
fokus nya ke Timur Tengah. Berkurangnya sorotan AS di kawasan tersebut pun memberikan
celah para pemerintahan left wing untuk mengasingkan AS melalui integrasi regional. Pada tahun
2004, UNASUR pun lahir sebagai proyek yang bertujuan untuk menciptakan alternatif terhadap
OAS yang didominasi oleh paham Washington (Cordero, 2009). Kemunduran hegemoni AS
semakin ditandai pada tahun 2005 ketika pemerintah Amerika Latin bersatu untuk mengubur
FTA Amerika, yang menyoroti berkurangnya dukungan proyek neoliberal di wilayah tersebut.
Sayangnya bagi simpatisan pemerintahan left wing, gerakan Pink Tide pertama ini harus
menemukan akhir dari kejayaan mereka di tahun 2010-an yang diakibatkan karena turunnya
komoditas harga, kurangnya kebijakan yang berkelanjutan, dan kematian Chavez pada tahun
2013, yang meninggalkan pemerintahan left wing kawasan tanpa pemimpin yang jelas.
Walau begitu, beberapa tahun belakang ini, kawasan Latin Amerika kembali
menyaksikan kembangkitan pemerintahan left wing di kawasannya, yang dengan demikian
menandai munculnya Pink Tide 2.0. Fenomena ini berlangsung melihat kemenangan berbagai
pemimpin left wing kawasan Amerika Latin, terutama di negara Brazil, Argentina, Chile,
Colombia, dan Venezuela (Steiner & Goodfriend, 2023). Mereka kini mempunyai strategi baru
untuk menguatkan hubungan regional dan diplomatik dengan Tiongkok (Wu, 2023). Terlebihnya,
kembalinya Lula, seorang pemimpin dari gerakan Pink Tide yang pertama telah dianggap dapat
memimpin pemerintahan left wing lainnya untuk membangun jaringan transnasionalnya sendiri
dan memperjuangkan nilai-nilai politiknya, termasuk reformasi pertanahan serta gabungan
langkah-langkah populis dan kesejahteraan sosial. Meninjau fenomena tersebut, penelitian ini
dengan demikian akan lebih berfokus pada upaya Brazil dibawah kepemimpinan Lula dalam hal
memperkuat hubungannya dengan pemerintahan left wing lainnya untuk mengurangi dominasi
historis AS di Amerika Latin, dengan begitu membawakan nuansa yang berbeda terhadap
bagaimana pemerintahan left wing di kawasan Amerika Latin dapat benar-benar membendung
pengaruh AS di kawasan tersebut menggunakan pendekatannya yang bertentangan dengan ‘the
Washington blueprint.’

Rumusan Masalah:
a. Bagaimana kebangkitan Lula da Silva sebagai Presiden Brasil di tengah gelombang Pink
Tide 2.0 menavigasi dominasi Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin?

II. Tinjauan Pustaka


II.A. Ellner, Steve. “Latin America’s Pink Tide: Breakthrough and Shortcomings”
(2019)
Literatur pertama membahas fenomena Pink Tide 2.0 dengan membaginya dalam
tiga topik pembahasan. Pertama, tinjauan “Latin America Pink Tide: The Straightjacket
of Global Capitalism” oleh William I. Robinson mengeksplorasi terkait apakah negara
dapat melepaskan diri dari kapitalisme global dan menantang dominasinya terhadap
kebijakan, hubungan kelas, dan praktik kenegaraan. Analisis ini mengungkapkan bahwa
globalisasi kapitalis lebih memilih revolusi dunia dibandingkan sosialisme di satu
negara. Bagian ini mengkaji kekuatan struktural transnasional, menunjukkan
pengaruhnya terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pasar keuangan global.
Hal ini menyoroti bagaimana pemerintahan Pink Tide, meskipun memenangkan pemilu,
menghadapi kendala dalam menerapkan kebijakan berorientasi sosialis karena pengaruh
pasar global. Literatur menguraikan perjuangan di negara-negara Amerika Latin,
menekankan interaksi antara gerakan massa, pemerintahan left-wing, dan pengaruh modal
transnasional yang sangat kuat. Pada akhirnya, hal ini menyarankan revitalisasi
mendesak terhadap proyek revolusioner left wing dan restrukturisasi negara di tengah
meningkatnya kekuasaan right wing. Tinjauan tersebut mendesak adanya
keterhubungan kembali dengan prinsip-prinsip Gramscian dan menegaskan
seberapa krusialnya bagi kaum left wing untuk terlibat dan mendukung gerakan sosial
dari bawah dalam melawan dominasi transnasional.
Topik kedua ialah “The Limits of Pragmatism: Brazilian Case”, berfokus pada
strategi yang diterapkan Brazil pada fenomena Pink Tide 1.0. Penulis mengevaluasi
dinamika politik dan pengelolaan ekonomi Brasil, khususnya di bawah pemerintahan
Partai Pekerja (PT). Laporan ini menyoroti puncak krisis, termasuk stagnasi ekonomi,
kekacauan politik dan ketidakstabilan selama masa jabatan Presiden Dilma Rousseff.
Penulis mengkritik pendekatan PT, dengan argumen keterikatannya pada pragmatisme
yang menghambat kebijakan untuk menjadi lebih transformatif dan progresif. Hal
ini menggarisbawahi kegagalan mengatasi kesenjangan struktural, ketergantungan pada
kebijakan neoliberal, dan kurangnya reformasi menyeluruh pada sektor-sektor penting
yang menyebabkan terkikisnya kredibilitas dan dukungan. Pada masa itu, PT terlalu
berpegang pada jalur yang memiliki tingkat resistance paling kecil dalam bidang
ekonomi, sosial, dan politik. Tulisan ini melihat bahwa Brazil tidak berupaya
mereformasi konstitusi negara untuk mengubah struktur perekonomian negara atau pola
integrasi internasionalnya, bahkan dalam kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kelemahan inilah yang dinilai bisa menjadi penghambat Brazil dalam menggabungkan
agenda Pink Tide secara besar-besaran dalam level Kawasan Amerika Latin.
II.B. McKinley, P. Michael,“Inflection Point: The Challenges Facing Latin America
and U.S. Policy in the Region” (2019)
Penelitian kedua yang dikaji Mckinley dalam perspektif neorealisme menyoroti
realitas politik yang kompleks di Amerika Latin, perkembangan hubungan kawasan
dengan perekonomian global, dan kondisi hubungan AS di kawasan tersebut. Dijelaskan
bahwa lanskap politik di Amerika Latin ditandai oleh kompleksitas dan
ketidakpastian. Harapan bahwa pelantikan Biden dapat memperbaiki hubungan
Washington dengan kawasan, kenyataannya belum terwujud. Di sisi lain, kemunculan
pemerintahan left wing atau ‘Pink Tide’ dalam kawasan tampaknya tidak menghasilkan
transformasi yang diharapkan mengingat politik di kawasan ini menolak generalisasi
yang mudah. Keberagaman ideologi dan tipisnya selisih elektoral dalam pemilihan
beberapa pemimpin di kawasan juga menambah kompleksitas tersebut.
Terlepas dari berbagai tantangan dalam kondisi politik, jurnal ini memperlihatkan
kondisi perekonomian kawasan yang menunjukkan resistensi. Kawasan ini memiliki
peluang ekonomi, termasuk potensi menjadi pemain global di bidang energi, lingkungan,
dan pangan. Melalui teori Multi-Aligned Strategies yang dibahas, hubungan kawasan
dengan perekonomian global diperkuat melalui perjanjian perdagangan dan kemitraan
dengan berbagai negara, termasuk Tiongkok. Tiongkok memainkan peran penting
dalam lanskap ekonomi Amerika Latin, dengan banyak negara berpartisipasi dalam
Belt and Road Initiatives (BRI). Hubungan ekonomi Amerika Latin dengan Tiongkok
juga diperkirakan akan tumbuh, mencerminkan tren global.
Namun perlu diingat, pemerintah kawasan baik yang berhaluan kiri maupun
kanan, masih kesulitan menerapkan kebijakan reformasi ekonomi yang diperlukan.
Sehingga, pemanfaatan peluang global untuk mengatasi tantangan perekonomian
pun perlu diteruskan. Jurnal menyimpulkan bahwa Amerika Latin berada di
persimpangan jalan, dengan kebutuhan akan solusi inovatif terhadap tantangan
politik dan ekonomi.
II.C. Chodor, Tom..”Neoliberal Hegemony and The Pink Tide in Latin America”
(2014)
Literatur terakhir mengeksplorasi kapitalisme global melalui lensa yang sangat
dipengaruhi oleh Materialisme Historis Gramsci dan Marx. Bagian ini menyelidiki
evolusi kapitalisme, krisis-krisisnya, dan kekuatan hegemonik yang dimilikinya, baik
secara ekonomi maupun ideologis. Penulis memulai dengan melakukan framing terhadap
kapitalisme sebagai sistem yang transformatif dan eksploitatif, beradaptasi melalui krisis
dan ekspansi global. Fokus pada perspektif Gramsci menekankan pembentukan
ideologi hegemonik yang menjadi 'akal sehat', bahkan di antara mereka yang
dieksploitasi olehnya, menggambarkan cara kapitalisme mengamankan dominasi. Diskusi
meluas pada globalisasi neoliberal, menyoroti respon Amerika Latin melalui gerakan
Pink Tide, yang menunjukkan ketegangan dalam blok bersejarah neoliberal. Gerakan ini
dipandang sebagai 'war of position', yang menyajikan beragam hasil dari kekuatan
hegemonik, menguraikan kemungkinan-kemungkinan mulai dari revolusi pasif,
mempertahankan status quo, hingga respons lebih radikal yang bertujuan menantang dan
melampaui hegemoni yang ada.
Penulis juga menekankan bahwa fenomena Pink Tide (isu globalisasi neoliberal)
yang terjadi di Amerika Latin sepatutnya ditinjau berdasarkan perspektif “blok sejarah”.
Argumen diperkuat dengan gagasan bahwa bahkan blok sejarah terkuat di dunia akan
selalu berada pada kondisi yang tidak stabil, bertegangan tinggi, dan penuh dengan
kontestasi internal. Dengan kondisi yang rentan ini, peluang untuk terjadinya
‘counter-hegemony’ sangatlah besar. Peristiwa Pink Tide merupakan embodiment nyata
dari gagasan ini. Selanjutnya, literasi mengakui kompleksitas proyek integrasi Amerika
Latin, yang bertujuan untuk mencapai otonomi dalam tatanan dunia neoliberal. Tinjauan
literatur ini mensintesis ide-ide Gramsci, memberikan pemahaman yang berbeda tentang
hegemoni, tanggapan terhadap kapitalisme, dan sifat perubahan sosial dan politik yang
beragam, terutama dalam konteks Amerika Latin. Penekanan pada potensi dan
perkembangan perjuangan hegemoni menggarisbawahi pentingnya pemikiran
Gramscian dalam menganalisis dan menafsirkan dinamika ekonomi dan politik
global.

III. Kerangka Teori dan Konsep


Pada bagian ini penulis bermaksud menguraikan teori dan konsep yang akan
menjadi landasan untuk menjawab rumusan masalah. Melihat bahwa, penelitian akan
berfokus pada bagaimana Lula akan memanfaatkan kebangkitan pemerintahan left wing
di Amerika Latin untuk mengurangi dominasi AS, maka teori neorealisme merupakan
kerangka teori yang paling tepat untuk membedah permasalahan tersebut. Hal ini,
dikarenakan teori neorealisme berfokus pada pengertian bahwa pada dasarnya hubungan
internasional bersifat anarkis, maka konsep balance of power pun perlu dimainkan.
Dalam pandangan neorealisme terhadap dinamika politik di Amerika Latin, khususnya
dalam konteks Pink Tide 2.0, fokusnya terletak pada persaingan dan distribusi kekuatan
di tingkat regional. Negara-negara Amerika Latin, di bawah kepemimpinan pemerintahan
left wing terutama Brazil, menciptakan strategi diplomasi yang berupaya menghadapi
dominasi AS melalui pendekatan counterbalance, hedging, dan bandwagoning.
Pertama-tama, fokus diletakkan pada strategi counterbalance yang
diterapkan oleh Brazil guna mengimbangi dan menetralisir pengaruh serta
kekuasaan AS di Amerika Latin dengan memanfaatkan bangkitnya pemerintahan
left wing di kawasan. Meskipun Brazil menyadari keterbatasan sumber daya materi yang
dimilikinya untuk menandingi dominasi AS, negara ini menyadari bahwa dengan adanya
integrasi regional dengan visi yang sama, tujuan tersebut dapat dicapai. Dengan
demikian, kembalinya Lula ke kursi kekuasaan, bersama dengan para pemimpin left wing
lainnya, membuka pintu baru bagi usulan integrasi regional dan kerjasama dengan
pemerintah left wing di Amerika Latin. Lula telah berupaya menghidupkan kembali
UNASUR pada tahun 2023, yang secara eksplisit didirikan untuk menentang pengaruh
AS pada gelombang Pink Tide yang sebelumnya (Winter, 2023). Kini, Brazil dan
negara-negara Amerika Latin lainnya memiliki visi serupa, yaitu menekankan keadilan
sosial, perlindungan lingkungan, dan peningkatan hak-hak minoritas, dan isu-isu lainnya
di luar campur tangan AS .
Konsep "regionalisme berorientasi otonomi" oleh Spandler dan Söderbaum
(2019) mencerminkan upaya pemerintah left wing di Amerika Latin, termasuk Brazil,
dalam memanfaatkan organisasi regional seperti UNASUR untuk mendukung tujuan
pembangunan bersama, ideologi left wing, dan otonomi terhadap AS. Tanpa komitmen
bersama terhadap neoliberalisme di Amerika Latin, proyek-proyek hemispheric yang
dipromosikan oleh AS kemungkinan besar tidak akan berhasil, dan blok-blok subregional
yang tidak melibatkan AS mulai muncul sebagai penggantinya. Meskipun AS berupaya
membangun struktur regional berbasis hub-and-spoke secara agresif, pembentukan blok
subregional membutuhkan kepemimpinan dari kekuatan regional, dan saat ini peran
Brazil sebagai calon hegemon regional menjadi sangat penting (Kim & Caporaso, 2021).
Upaya Brazil untuk mengimbangi dominasi AS memuncak ketika Presiden Lula mulai
mengusulkan pembentukan mata uang perdagangan regional untuk menyaingi dolar AS,
yang dalam hal ini bertujuan untuk menantang hegemoni dolar AS dan mendorong
integrasi ekonomi di lingkup kawasan (Pozzebon, 2023). Inisiatif ini merupakan salah
satu dari banyak upaya yang lebih luas untuk mengurangi pengaruh dolar AS, yang
sejalan dengan ideologi politik Lula yang berhaluan kiri dan otonomi regional.
Kedua, selain fokus pada counterbalance, Brazil juga memimpin
pemerintahan left wing di Amerika Latin untuk melakukan hedging yang sering
dikontraskan dengan bandwagoning. Belajar dari kesalahan Pink Tide 1.0, Lula dan
pemerintahan left wing di era Pink Tide 2.0 mempunyai pendekatan yang berbeda dengan
sebelumnya. Dalam konteks “Pink Tide 2.0”, konsep hedging mengacu pada pendekatan
pragmatis yang diadopsi oleh beberapa negara Amerika Latin di tengah semakin ketatnya
persaingan antara AS dan Tiongkok. Ketika kawasan ini mengalami pergeseran ke kiri,
terdapat bukti aktifnya non-blok dan lindung nilai pragmatis antara kedua kekuatan
tersebut, khususnya dengan latar belakang melemahnya hegemoni AS di benua tersebut.
Alhasil, upaya bandwagoning tercium kepada dua negara super power dalam
segmen ekonomi, yakni AS dan Tiongkok. Dalam bidang diplomasi, ketimbang
mengasingkan total peran AS di kawasan, pemerintahan left wing saat ini justru
mengupayakan diplomasi yang pragmatis dan seimbang, yaitu untuk menentang
hegemoni AS namun tetap menjaga ikatan kerjasama dengannya (Guan & Hongying,
2023).Hal tersebut dimainkan dengan sungguh mulus oleh pionir pemerintahan left wing
terbesar di kawasan tersebut, Brazil dibawah pemerintahan Lula, tetap aktif berperan
dalam OAS sebuah organisasi regional berbasis AS dan memperkuat hubungan diplomasi
dengan AS melalui perjanjian bilateral mengenai hak pekerja. Inisiatif ini dibentuk untuk
mendorong kesetaraan dan keadilan rasial, melindungi lingkungan, dan memajukan
hak-hak pekerja, sesuatu yang akan sangat menguntungkan agenda pemerintahan kiri di
kawasan Amerika Latin (The White House, 2023).
Disaat yang bersamaan, para pemerintahan left wing Amerika Latin juga
memberikan jalan bagi kawasan tersebut untuk mempererat kerja sama dengan Tiongkok,
dibawah kepemimpinan Brazil. Para pemimpin Pink Tide 2.0 ini menormalisasi
hubungan dengan Tiongkok, demi mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh kelompok
right wing berhaluan barat di kawasan mereka (Wu, 2023). Dalam hal ini kawasan
Amerika Latin dan Tiongkok telah berupaya memperdalam hubungannya, khususnya di
bidang perdagangan dan investasi. Beberapa negara Amerika Latin, terutama di bawah
pemerintahan left wing, telah mendukung Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok yang
dipelopori oleh Brazil pada Mei 2023.
Tak hanya bentuk kerja sama bilateral dengan Tiongkok, dalam dimensi
multilateral, dengan upaya dedolarisasi. Lula menyerukan sebuah reformasi yang
dianggap lebih kontroversial lagi terhadap hubungan diplomasi nya dengan AS, dimana
Ia mulai menyerukan upaya untuk mengakhiri dominasi dolar AS dalam perdagangan
internasional. Lula telah menganjurkan penggunaan mata uang baru untuk perdagangan
lintas batas oleh negara-negara BRICS, yang berpotensi menggantikan dolar AS sebagai
mata uang cadangan anggota BRICS. Akan tetapi, secara pragmatis, implementasi saat
ini negara anggota BRICS beriringan dengan anggota tidak tetap, menggunakan mata
uang masing-masing negara dengan pantauan Bank Sentral mereka pula dalam
perdagangan di antara anggota (Greene, 2023). Meski demikian, Brazil bersamaan
dengan negara anggota tetap lainnya, tetap terus berusaha mengembangkan ide satu mata
uang yang hendak dipakai dalam struktur finansial dan perdagangan mereka.
Sebagai kesimpulan, dalam era Pink Tide 2.0, pemerintahan sayap kiri di Amerika
Latin, dipimpin oleh tokoh kunci seperti Lula, menyuguhkan pendekatan diplomasi yang
menarik dan strategis. Tentunya sikap yang dipilih Lula, merupakan bentuk respon dari
sistem internasional yang terbentuk, dilandasi teori neorealisme, yakni hegemoni AS di
kawasan Latin Amerika yang mampu bermuara pada interdependensi. Menyudutkan
kebijakan luar negeri Brazil untuk memilih jalur counter-hegemony dan multi-aligned
strategy, yang akhirnya menstimulasi paham sayap kiri dalam bentuk Pink Tide, dua kali.
Lula, sebagai figur sentral berhasil menerapkan counter-balance, bandwagoning dan
hedging. Meskipun, di lain sisi, AS menunjukkan perpecahan pandangan, Pink Tide 2.0
menciptakan tantangan substansial terhadap dominasi tradisional AS di Amerika Latin,
meresapi dinamika regional dengan ketidakpastian dan potensi pergeseran kuasa global.
IV. Daftar Pustaka

The difficult realities of the BRICS’ dedollarization efforts (2023). Available


at:https://carnegieendowment.org/2023/12/05/difficult-realities-of-brics-dedollarization-efforts-a
nd-renminbi-s-role-pub-91173 (Accessed: 5 December 2023).

Brian Winter. July 24, 2023 (2023) Is Lula Anti-American? , America's Quarterly. Available at:
https://www.americasquarterly.org/article/is-lula-anti-american/ (Accessed: 12 December 2023).

Chávez vs Lula: Two distinct approaches to poverty reduction in Latin America (2013) The
Christian Science Monitor. Available at:
https://www.csmonitor.com/World/Americas/2013/0307/Chavez-vs-Lula-Two-distinct-approache
s-to-poverty-reduction-in-Latin-America (Accessed: 12 December 2023).

Chodor, T. (2014). Neoliberal Hegemony and The Pink Tide in Latin America (T. Shaw, Ed.).

Palgrave Macmillan.

Fact sheet: The United States and Brazil launch first joint global initiative to advance rights of
working people around the world (2023) The White House. Available at:
https://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-releases/2023/09/20/fact-sheet-the-united
-states-and-brazil-launch-first-joint-global-initiative-to-advance-rights-of-working-people-aroun
d-the-world/ (Accessed: 5 December 2023).

Goodfriend, M.S. and H. (2023) Pink tide 2.0? Latin America’s new wave of leftist governments,
NACLA. Available at: https://nacla.org/new-pink-tide-podcast (Accessed: 12 December 2023).

McKinley, P. M. (2023). Inflection points: A global perspective on economic growth and


opportunity. Journal of Economic Perspectives, 27(3), 7-16.

Pozzebon, S. (2023) Brazil’s Lula proposes common South American currency, CNN.
https://edition.cnn.com/2023/05/30/americas/brazil-lula-south-american-currency-intl-latam/inde
x.html (Accessed: 12 December 2023).

Robinson, W. (2019). Latin America’s Pink Tide: Breakthrough and Shortcomings (S. Ellner,
Ed.). Rowman & Littlefield.

Sabatini, C. (2015) The sad death of the Latin American left, Foreign Policy. Available
at:https://foreignpolicy.com/2015/12/10/venezuela-brazil-chavez-maduro-rousseff-lula/(Accesse
d: 4 December 2023).

Wu, L. (2023) China-Latin America relations amid the Pink Tide 2.0, – The Diplomat.
Availableat:https://thediplomat.com/2023/05/china-latin-america-relations-amid-the-pink-tide-2-
0/ (Accessed: 9 December 2023).

Anda mungkin juga menyukai