Anda di halaman 1dari 27

MENU

Koran Pembebasan

ANALISA

Belajar dari Pengalaman Chili: Borjuis Kecil Dan Kelas Pekerja

Admin

April 6, 2016

0 Comment

Oleh: James Petras

Pengantar

Tindakan pemerintah Amerika Serikat dan pihak militer Chili tidaklah


terlepas dari kepentingan salah satu pihak yang terlibat dalam perjuangan
kelas, antara kelas pekerja dengan borjuasi di Chili. Pendapat yang
menyatakan bahwa kudeta 11 September 1973 semata-mata merupakan
kerja sama antara CIA dengan jendral-jendral boneka, tidak bisa
membantah fakta bahwa sebelum September 1973, kekuatan-kekuatan
tersebut ternyata tidak bisa melancarkan kudeta secara berhasil,
meskipun, selama periode bulan September 1970 hingga Juli 1973, telah
terjadi beberapa kali percobaan kudeta.

Usaha-usaha kudeta oleh pemerintah Amerika Serikat dan militer Chili


hanya akan berhasil jika polarisasi kekuatan-kekuatan kelas di Chili sudah
menciptakan kondisi-kondisi yang matang bagi sebuah kontra revolusi.
Sebenarnya, para golpista [i] AS dan Chili bergerak melalui struktur kelas
masyarakat Chili, yakni sebuah masyarakat yang didominasi kelas borjuis.
Sementara itu, kelas dominan ini pun memiliki kepentingan-kepentingan,
strategi dan organisasi politiknya sendiri. Memang benar bahwa
pemerintah AS dan kaum militer Chili memainkan peranan menentukan
dalam kudeta tersebut; namun seluruh manuver dan keberhasilan kudeta
itu bergantung pada kemampuan borjuasi Chili dalam mengorganisir dan
mengarahkan perlawanan politiknya terhadap pemerintahan Salvador
Allende.

Jika penggulingan pemerintahan Persatuan Rakyat (Unidad Popular/UP)


semata-mata ditentukan oleh Washington, maka tentu saja Allende tak
akan pernah berkesempatan menduduki jabatan kepresidenannya pada
tahun 1970; dan tentu saja mafia Pinochet sudah bisa menggulingkan
Allende di bulan April 1972, saat dia mulai merencanakan kudeta. Apa
yang luput dari kedua anggapan tadi adalah kondisi politik dan sosial yang
memungkinkan kudeta tersebut berhasil. Di antara kondisi-kondisi yang
dimaksud di sini adalah: borjuis kecil yang termobilisir, terorganisir dan
yang berhubungan dengan borjuasi. Secara bersama-sama, mereka akan
mampu mengganggu pemerintah, melumpuhkan perekonomian,
mempengaruhi dan merecruit kader-kader dari kalangan militer dan
kepolisian federal.

Ketidakmampuan pemerintah UP dalam menggunakan awal-awal


keberhasilannya untuk segera merebut kepemimpinan dari borjuasi,
sembari terus menerus memajukan kesadaran sosialis di kalangan kelas
pekerja, menyebabkan borjuasi mampu menarik borjuis kecil ke pihaknya.
Hal ini pula yang memungkinkan borjuasi bisa mengarahkan kekecewaan
borjuis kecil terhadap pemerintahan Allende. Lemahnya inisiatif
pemerintah tersebut. bukan disebabkan tidak lengkapnya “program”:
justru tindakan-tindakan pemerintah UP pada dua tahun terakhir
kekuasaannya diarahkan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan borjuis kecil
ini. Bahkan pemerintah mengajukan perangsang-perangsang, seperti:
pemberian pinjaman, kredit, perwakilan-perwakilan khusus borjuis kecil
dalam badan-badan pemerintah, dsb. Yang menjadi permasalahan di sini
bukanlah sejauh mana konsesi-konsesi tersebut telah diberikan
pemerintah Allende untuk “menarik” kaum borjuis kecil ke pihaknya—
permasalahannya adalah caranya konsesi-konsesi tersebut diberikan,
yakni jalur-jalur organisasional, konteks politik dan konsekuensi-
konsekuensi yang mereka hadapi ketika menyalurkan konsesi tersebut.
Hal ini semakin penting di tengah memuncaknya perjuangan kelas antara
buruh melawan borjuasi. Dalam menghadapi sikap mendua borjuis kecil
dan meningkatnya radikalisme kelas pekerja, pemerintah UP lengah
dalam memperhitungkan faktor-faktor yang membentuk dan mencairkan
kesadaran kelas serta faktor sentralitas organisasi politik. Faktor-faktor ini
tidak bisa dihitung hanya dengan merumuskan program, namun ia juga
memerlukan pengarahan terhadap hasil-hasil program tersebut.

Borjuis Kecil: Posisi Struktural dan Orientasi Politiknya

Borjuis kecil di Chili, sebagaimana juga di seluruh Amerika Latin (dan


mungkin juga di seluruh Dunia Ketiga), merupakan strata masyarakat
yang sangat beragam. Mereka terkonsentrasi di wilayah-wilayah
metropolis, dimana biasanya letak pusat pemerintahan dan kekuasaan
berada. Dan borjuis kecil, yang terorganisir serta termobilisir oleh
borjuasi, dapat menjadi penghalang besar bagi sebuah revolusi sosial.
Sebagai contoh, di wilayah Santiago Raya saja, hampir 60% angkatan
kerja terserap dalam sektor jasa, sementara aktivitas sektor produktif
(seperti pertanian, pertambangan, industri dan konstruksi) hanya
menyerap 32% nya. Selanjutnya, dari 26% angkatan kerja yang terserap
dalam sektor industri, setengahnya bekerja di bengkel-bengkel kecil
permesinan dan sentra-sentra kerajinan—dimana rata-rata si pemiliknya
sekaligus merangkap sebagai pekerja industri tersebut. Di Santiago,
buruh yang bekerja di industri berskala besar dan menengah hanya
berjumlah sekitar 150.000, sementara sekitar 178.000 orang[ii] bekerja
di sektor perdagangan.

Dalam sektor transportasi, para pemilik yang sekaligus merangkap


operator truk, berjumlah jauh lebih besar ketimbang mereka yang melulu
bekerja sebagai buruh upahan transportasi (sebagai supir atau kernet
truk. Pent.). Dari seluruh truk yang ada, hanya sepertiganya yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara dua pertiganya dipunyai
pemilik yang sekaligus merangkap operatornya. Karakter pembangunan
kapitalis yang “tidak tuntas” dan tidak seimbang di Chili ini, merupakan
produk dari sejumlah reformasi yang dilakukan oleh rejim-rejim borjuis
kecil sebelum berkuasanya Allende; dalam kondisi seperti ini, kapitalis
monopoli merasuk ke dalam konstelasi perusahaan-perusahaan kecil yang
masih dalam taraf pra-industri. Perusahaan-perusahaan kecil itu berperan
sebagai perusahaan jasa pelayanan, satelit-satelit bagi perawatan
maupun agen-agen distribusi yang tergantung kepada perusahaan-
perusahaan monopoli tadi. Sementara itu, sektor pertambangan dan
industri hanya bersifat enclave (kantong) ekonomi tersendiri di tengah-
tengah lautan borjuis kecil masyarakat Chili. Diantaranya ada yang
menjadi agen-agen perusahaan asing, sementara yang lain terkait dengan
segelintir rekanan bisnis Chili yang sudah menjadi client, dan jumlahnya
pun terbatas.

Kondisi seperti inilah yang menghalangi transformasi industri secara


menyeluruh, merintangi perkembangan hubungan-hubungan sosial
kapitalis secara penuh dan menghambat proletariatisasi pada sektor-
sektor penting masyarakat perkotaan. Urbanisasi dan keterbelakangan
industri di hampir seluruh negeri Dunia Ketiga adalah faktor yang
menyebabkan terus berkembangnya lapisan masyarakat pedagang dan
birokrat. Lapisan masyarakat inilah yang selama ini menjadi basis massa
bagi gerakan-gerakan nasionalis, populis dan juga bagi gerakan-gerakan
sayap kanan. Dari seluruh sektor ekonomi yang ada, sektor perdagangan
merupakan sektor yang paling kurang terorganisir dan kurang dirasuki
kapitalisme.

Dilihat dari sudut pandang historis, aktivitas perdagangan merupakan


mata rantai yang menghubungkan pusat-pusat metropolis kolonial dengan
pusat-pusat pertanian dan pertambangan di wilayah-wilayah pedalaman.
Kesemuanya dikontrol oleh perusahaan-perusahaan perdagangan besar,
milik asing maupun dalam negeri. Sebagai konsekuensinya, perusahaan-
perusahaan eceran yang melayani pasaran dalam negeri (dan juga
jabatan-jabatan administratif dalam birokrasi), menjamur sebagai sektor
yang tidak wajar: sektor ini dipenuhi individu-individu ambisius yang
terlibat dalam perdagangan berskala kecil, karena wilayah bisnis yang
lain–tempat dimana kapital diakumulasi, seperti pada sektor
pertambangan, pertanian, perbankan, dan, dalam skala yang lebih kecil,
sektor industri—telah dikuasai oleh oligarki. Borjuis kecil yang bergerak di
sela-sela masyarakat kapitalis yang monopolistik dan bersifat tergantung
ini, tidaklah mampu bertahan dengan sumber daya ekonominya yang
sedikit. Hal tersebut menyebabkan mereka berwawasan politik sempit,
dan secara bersama-sama mereka akan menjadi kekuatan politik yang
perlu diperhitungkan, karena mereka ini rentan terhadap hubungan
patronase politik. Lapisan borjuis kecil yang sangat besar dan
terkonsentrasi di kota-kota besar ini—dan secara relatif mereka lebih aktif
dan lebih terorganisir ketimbang kelas bawah—merupakan lahan yang
subur bagi kekuatan politik apa pun yang mampu mengorganisir dan
mengarahkan tuntutan-tuntutan mereka. Walaupun borjuis kecil ini
mungkin akan mendukung aspek “anti-monopoli”nya program pemerintah
UP, tetapi mereka pun tidak menyukai visi kolektivismenya. Selama
tahap-tahap awal pemerintahan UP, borjuis kecil tertarik dengan
kebijaksanaan kemudahan kredit dan pinjaman dari pemerintah,
meningkatnya pangsa pasar (karena selama pemerintahan UP, daya beli
kelas bawah terus meningkat dan semakin mengimbangi kelas atas), dan
masuknya barang-barang konsumsi impor dalam skala besar. Akan tetapi,
dalam tahap-tahap selanjutnya, borjuis kecil mulai memusuhi
pemerintahan UP karena kebijaksanaan pemerintah yang menekankan
pengendalian harga, dan juga kelangkaan barang-barang serta
meningkatnya militansi buruh. Pengusaha-pengusaha kecil—sebagai
kekuatan yang menghisap buruh dengan cara-cara yang paling brutal
(melalui pengupahan yang rendah, jam kerja yang panjang, kurangnya
jaminan sosial, “pengawasan kerja” secara personal terhadap buruh-
buruhnya)—sangat ketakutan kalau bisnis mereka, yang menjamin
keberlangsungan kehidupan mereka, akan diambil-alih oleh buruh-buruh
(yang dalam periode-periode selanjutnya selama berkuasanya UP, telah
terjadi pengambilalihan dengan frekuensi tinggi), walaupun UP sendiri
menolak pengambil-alihan tersebut. Isu-isu yang paling mengkhawatirkan
borjuis kecil (seperti kelangkaan barang-barang dan bahan-bahan
mentah, penggantian peranan mereka dalam bisnis, militansi buruh dan
sebagainya) diangkat oleh partai-partai politik borjuasi atau oleh asosiasi-
asosiasi pengusaha yang telah mengambil-alih kepemimpinan politik
terhadap gremios borjuis kecil ini.

Yang termasuk dalam lapisan borjuis kecil ini adalah para pemilik bisnis
dan perusahaan-perusahaan kecil (yang rata-rata mempekerjakan kurang
dari 20 buruh), para pemilik yang merangkap operator truk, serta juga
kaum profesional mandiri (misalnya para dokter, pengacara, dan lain-
lain). Beberapa ciri struktural ini menjadikan barisan borjuis kecil sebuah
kelompok yang sangat penting, dan sekaligus tidak stabil pada saat-saat
diadakannya mobilisasi politik.

Mari kita ambil contoh pengusaha toko kecil dan pedagang eceran atau
juga pemilik bengkel dan truk. Di seluruh Amerika Latin (termasuk Chili),
kelas menengah rendahan—

di luar kelas buruh dan petani— merupakan lapisan yang paling banyak
jumlahnya dalam masyarakat. Borjuis kecil, baik itu yang bergerak di
sektor perdagangan maupun sektor produktif, terlibat dalam sebuah dunia
yang penuh persaingan: secara berdampingan, ratusan pemilik toko dan
bisnis kecil harus bersaing, dan dengan sumber daya mereka yang langka,
mereka berusaha memasuki pasar yang sudah dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan besar. Yang membedakan borjuis kecil dengan borjuis besar
bukan cuma posisi kompetisi mereka yang tidak menguntungkan, namun
juga dikarenakan kekurangan modal dan—yang lebih penting lagi—tidak
mudahnya memperoleh kredit. Borjuis kecil sangat terpengaruh oleh
perubahan harga, fluktuasi dalam aliran barang dan jasa, dan bunga yang
berlebihan dari kredit berjangka pendek, hal ini menyebabkan mereka
sangat rapuh: sehari-hari mereka selalu dibayangi ancaman
kebangkrutan, dan dengan modal pas-pasan, mereka berjuang agar tidak
jatuh ke jurang kemiskinan. Kondisi mereka yang sangat rapuh
menyebabkan mereka tergantung pada para kapitalis monopoli dalam
transaksi sehari-hari. Para pemasok dan calo selalu menyediakan barang-
barang dengan segala macam persyaratan yang harus ditanggung oleh
borjuis kecil; sementara para pemilik truk mematok harga seenaknya
untuk setiap muatan yang mereka bawa—hal demikian menyebabkan para
pemilik toko kecil selalu merasa terjepit dari segala sisi, baik itu oleh para
pesaing yang besar maupun yang sama-sama kecil, ditekan oleh para
kreditor, perusahaan pengangkutan/ekspedisi, makelar dan sebagainya.
Dalam situasi yang sedemikian menekan itu, borjuis kecil justru semakin
tergantung pada patronnya untuk bisa terus menjalankan usahanya, dan
dalam banyak kasus, mereka pun tergantung secara politik terhadap si
patron tersebut. Borjuis kecil yang mengoperasikan bisnisnya di wilayah
borjuasi, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan orientasi politik
yang dominan di wilayah itu. Di samping itu, borjuis kecil condong ter
konsentrasi bermukim di wilayah-wilayah sekitar pusat kota. Dengan
demikian ia akan lebih dekat dengan pusat dunia bisnis, kaum profesional
dan para pegawai kerah putih yang bekerja di perusahaan-perusahaan
besar. Sehingga ia selalu ada dalam tekanan pengaruh nilai-nilai serta
orientasi politik kelompok masyarakat tadi. Tegasnya, borjuis kecil itu
dihisap dan sekaligus tergantung kepada borjuasi. Dalam pandangan
dunia usahawan kecil, problema sehari-hari hanya berkisar soal harga dan
laba: kebencian, dendam dan permusuhan politik mereka tercantum dari
angka-angka yang tertera dalam mesin penghitung uangnya. Borjuis kecil
memusuhi siapa saja, baik itu pemerintah—karena mereka mengontrol
harga-harga—maupun para calo, yang dengan mematok harga tinggi
menyebabkan borjuis kecil hanya meraih keuntungan sedikit. Borjuis kecil
ini merasa benci karena harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan
besar, sekaligus gemetar di hadapan ancaman nasio nalisasi perusahaan-
perusahaan mereka oleh pemerintah UP.

Retorika politik borjuis kecil merupakan perpaduan dari kebencian mereka


terhadap kolektivisme dan monopoli dengan proyeksi mereka yang ideal
tentang etos individualisme bisnis kecil, kerja keras dan ketertiban politik.
Karena jumlahnya yang besar, posisi kelasnya, sekaligus
ketidakmampuannya membangun dunia sesuai dengan cita-citanya—yakni
membesarkan produksi berskala kecilnya dengan akumulasi kapital secara
cepat—menjadikan borjuis kecil sebuah kekuatan politik yang kritis dalam
perpolitikan Chili. Terjepit di antara dua kekuatan utama yang saling
bertentangan dalam masyarakat—yakni kelas pekerja dan borjuasi,
menyebabkan lapisan yang sangat beragam dan berjumlah besar ini
bersikap bimbang selama tahun-tahun kekuasaan Allende—sampai
akhirnya mereka mengambil keputusan untuk melampiaskan dendam
mereka terhadap pemerintahan Sosialis.

Tidak lah cukup untuk menjelaskan orientasi politik borjuis kecil


berdasarkan posisi strukturalnya (yang bersifat mendua) maupun
hubungannya dengan kelas-kelas lainnya saja; namun ia juga harus
diterangkan dari (1) ikatan-ikatan politik dan organisasio- nal, yang
nantinya menentukan orientasi tindakan praktis bagi pe mecahan konflik
yang dihadapi borjuis kecil; dan (2) dinamika organisasional dan politik
dari dua kelas sosial fundamental yang saling bertentangan, serta saling
perimbangan kekuatan antara proletariat dengan borjuasi. Jika partai
proletariat menjadi dominan dalam arena politik, maka kaum borjuis kecil
akan berdiam diri; namun begitu borjuasi telah meraih cukup momentum
guna mencipta- kan kubu kekuasaan lain yang bisa mempengaruhi dan
mengarahkan perkembangan sosial, maka borjuis kecil akan berduyun-
duyun berdiri di belakangnya. Jika borjuasi tidak berinisiatif untuk
menentang dominasi proletariat, maka borjuis kecil tidak akan pernah
menjadi kekuatan kontra-revolusioner yang bisa dimobilisir. Akhirnya,
orientasi politik kelas ini ditentukan oleh situasi umum perekonomian:
selama periode kemajuan dan ekspansi ekonomi, borjuis kecil akan “setia
di pihak Kiri”; selama masa-masa sulit, mereka mulai menggerutu; dan
selama saat-saat genting, mereka mencari ketertiban dan berjalannya
otoritas politik, yang—jika tak mendapatkannya dari sayap kiri—mereka
akan mencarinya dari sayap kanan.

Borjuis kecil adalah salah satu lapisan sosial penting yang mendukung
penggulingan Allende. Meskipun alasan-alasan dukungan yang mereka
berikan dan keterlibatan mereka dalam perpolitikan sayap kanan sangat
beragam dan rumit, setidaknya terdapat 3 cara untuk menganalisanya:
secara struktural, organisasional dan secara ideologis. Pada setiap level
analisa tersebut, selalu ada “kemungkinan” bahwa sesungguhnya borjuis
kecil bisa dicegah untuk tidak dimobilisir menjadi sebuah kekuatan massal
oleh sayap kanan. Posisi struktural borjuis kecil sesungguhnya
kontradiktif, ideologinya bisa ke mana-mana dan mendua, lagi pula
organisasinya yang cukup otonom memungkinkan berkembangnya
beragam aliran politik alternatif, dan ini setidaknya bisa mencegah energi
politik borjuis kecil untuk tidak dijadikan ujung tombak perpolitikan sayap
kanan.

Strategi Sayap Kanan: Rencana Kudeta

Pada saat sayap kiri sedang mengkonsentrasikan diri dalam


pengorganisiran kaum buruh industri dan kaum tani tak bertanah, sayap
kanan mulai mendekati dan mempengaruhi organisasi-organisasi
pengusaha kecil, petani menengah dan golongan-golongan pemilik kecil
lainnya. Sayap kanan menggabungkan inisiatifnya itu dengan upayanya
untuk menyatukan perhimpunan-perhimpunan borjuis kecil dengan
perhimpunan borjuis besar ke dalam organisasi bersama atau konfederasi.
Dari sini lah, borjuis kecil mulai digiring untuk menerima kepemimpinan
dan arahan politik secara langsung dari borjuasi. Proses penundukkan
borjuis kecil di bawah borjuis besar ini diperkuat dengan ikatan ideologis
antar mereka sebagai “sesama” pemilik alat produksi—yang
mempersatukannya untuk menentang proletariat yang tak bermilik.
Dalam kerangka kesamaan organisasional dan ideologis ini, perbedaan-
perbedaan maupun konflik di antara para pengusaha besar dengan para
pengusaha kecil berhasil diredam, sebaliknya, kebencian serta
permusuhan kaum pengusaha kecil ini berhasil dilampiaskan ke pihak
pemerintah dan kelas pekerja.

Di sini kita bisa melihat adanya 4 formasi politik sayap kanan. Yang
pertama adalah Partai Kristen Demokrat, mereka ini mewakili fraksi
borjuasi yang bergerak di bidang konstruksi, jasa, industri, borjuasi
dagang, modal asing, kelompok-kelompok tertentu borjuis kecil (seperti
pemilik toko, kaum profesional), dan sebagian besar pegawai kerah putih
serta sebagian kecil buruh industri yang masih terpengaruh oleh
Katolikisme. Dalam pandangan politiknya, partai ini cenderung
memperjuangkan tatanan sosial kapitalis yang masih memungkinkan
negara untuk campur tangan guna mempromosikan borjuasi nasional
dalam berhubungan dengan modal luar negeri. Dengan hanya sejumlah
kecil kaum liberal—yang menentang kudeta militer—dalam partai ini
(walaupun mereka ini cukup berperan dalam keberhasilan kudeta
tersebut), dan dengan terjadinya proses militerisasi pemerintahan
sesudah kudeta, serta setelah sejumlah pimpinan konservatif dalam partai
berhasil disingkirkan, Partai Kristen Demokrat kemudian mengambil sikap
kritis, namun tetap moderat, terhadap pemerintahan militer paska kudeta
ini. Kaum Kriten Demokrat merupakan wakil sayap kanan yang
menggunakan kudeta militer tersebut untuk memulihkan rejim
parlementar lain yang kapitalis, membersihkan sayap kiri dan membangun
tatanan sosial yang memungkinkan borjuis nasional, yang bekerja sama
dengan modal imperialis, untuk mengeksploitasi Chili.

Sementara itu, di spektrum politik yang lebih kanan, terdapat Partai


Nasional. Partai ini mewakili sebagian besar tuan tanah borjuis, borjuasi
dagang, pemilik bank, borjuasi industri, modal asing, dan sekelompok
borjuis kecil (seperti pengacara, dokter, dan pengusaha kecil). Partai
Nasional, yang selalu memperoleh sedikit suara dalam pemilu, tidak
berkeinginan untuk kembali ke sistem pemilihan pemerintahan melalui
kotak suara—bahkan meskipun tanpa kehadiran sayap kiri. Dalam
kedekatan hubungannya dengan asosiasi-asosiasi pengusaha (gremios),
partai ini bermaksud menggunakan kudeta tersebut untuk melenyapkan
seluruh sistem politik demokratik-borjuis dan mendukung berkuasanya
rejim militer. Partai Nasional cenderung memilih sistem politik korporatis,
karena sistem inilah yang memungkinkan partai ini untuk mempengaruhi
jalannya sistem politik, yaitu dengan mendudukkan para anggotanya
(yang tidak mendapat dukungan luas dari rakyat) di posisi-posisi elit.

Di posisi yang lebih kanan lagi di banding Partai Nasional, terdapat sebuah
organisasi paramiliter [iii] yang bergerak di luar parlemen, yakni
organisasi Patria y Libertad (Tanah Air dan Kebebasan). Organisasi ini
dipenuhi dengan banyak kepentingan dan orientasi personal yang saling
bertumpang tindih, namun pada hakekatnya ia merupakan organisasi
yang pro-kapitalis. Patria y Libertad didukung oleh golongan-golongan
borjuasi nasional dan asing yang alat-alat produksinya sudah diambil-alih
pemerintah Allende (yakni bekas tuan tanah, bekas bankir dan elemen-
elemen dendam dari kelas borjuis). Tindakan-tindakan politiknya yang
ekstrim telah mampu menyeret pemuda borjuis yang tergabung dalam
Partai Nasional; sumber keuangannya yang luas bisa dimanfaatkan untuk
merecruit kaum lumpenproletariat[iv] ke dalam organisasi ini. Dan
kekuatan yang terakhir, yang merupakan kekuatan politik paling agresif
dan berpengaruh di kalangan sayap kanan Chili, adalah Angkatan Darat
dan Kepolisian Federal (carabineros). Pimpinan militer, yang sebelum
terjadinya kudeta dilukiskan oleh Partai Komunis sebagai “kekuatan
nasional-patriotik dan konstitusionalis”, adalah kekuatan anti demokrasi
parlementer, pro kapitalis (khususnya pro modal asing) dan bertujuan
menerapkan bentuk kekuasaan korporatis serta militeristik. Meskipun
banyak perwiranya berasal dari kelas “borjuis kecil”, namun pilihan
penggalangan strateginya lebih dipengaruhi oleh aliansi-aliansi politik dan
sosial yang berkembang sebelum, selama dan sesudah kudeta, ketimbang
dipengaruhi asal-usul kelasnya. Kaum borjuasi dan pemerintah Amerika
Serikat, dengan modal internasional yang dialirkannya ke Chili, telah
menjadi penentu kebijakan sosial ekonomi. Berdirinya kekuasaan teror
militer di Chili merupakan upaya untuk mengamankan kebijakan
pembangunannya. Ia dirancang untuk menjaga kepentingan-kepentingan
basis sosial rejim militer dalam menghadapi meluasnya oposisi yang nyata
maupun yang masih potensial.

Seiring dengan ikatan-ikatan vertikal antara borjuis besar dengan borjuis


kecil, hubungan juga terjalin antara para pimpinan asosiasi-asosiasi
borjuis besar dengan partai-partai politik sayap kanan. Secara individual,
para pimpinan asosiasi memiliki keanggotaan rangkap—pada saat yang
sama pimpinan-pimpinan asosiasi tersebut juga menjadi anggota salah
satu dari partai-partai atau kelompok-kelompok sayap kanan (Partai
Nasional, Kristen Demokrat, Patria y Libertad dan sebagainya). Ikatan-
ikatan ini cukup fleksibel, sehingga memungkinkan para pimpinan asosiasi
untuk mengorganisir aksi-aksi dengan inisiatif mereka sendiri. Dan pada
saat yang bersamaan, sekutu-sekutu politik mereka mulai menyeret
sejumlah besar pengusaha kecil dan asosiasi-asosiasi yang “apolitis”. Tapi,
perlu diketahui bahwa meskipun partai-partai sayap kanan itu mampu
menggunakan dan mempengaruhi asosiasi melalui keanggotaan rangkap,
asosiasi-asosiasi tersebut juga berisi elemen-elemen “non-partai” (dan
“anti-partai”) yang, walaupun menerima dukungan yang diberikan oleh
partai-partai tadi, tetap mempertahankan asosiasi untuk “independen
dalam bertindak”.[v]

Ikatan-ikatan dan hubungan yang terjalin di kalangan asosiasi serta


antara asosiasi-asosiasi tersebut dengan partai-partai politik dan
organisasi paramiliter sayap kanan, telah menjadi dasar untuk
menyatukan aktivitas mereka. Keanggotaan yang rangkap memudahkan
komunikasi dan memungkinkan koordinasi di antara berbagai sektor dan
kelompok-kelompok kecil di kalangan asosiasi-asosiasi bisnis dan
profesional. Selama tahun pertama kekuasaan Presiden Allende, protes-
protes secara terpisah, yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok
maupun asosiasi tersebut, tidak lah efektif dan tidak “kumulatif” (di mana
tidak berhasil menghimpun kekuatan-kekuatan baru). Namun selama
tahun ke dua, dampak dari kekuatan-kekuatan organisasional, yang
menyatukan sejumlah sektor kelas pemilik dan sektor profesional, mulai
mampu melumpuhkan aktivitas ekonomi dan hajat hidup rakyat. Dan
yang lebih penting adalah bahwa kekuatan yang mulai tumbuh—yang
berasal dari penyatuan kekuatan dan sumber daya asosiasi-asosiasi serta
sekutu-sekutu politik mereka—mulai berhasil menyeret sejumlah besar
pengusaha kecil dan kaum profesional. Walaupun sebelumnya mereka
tidak aktif dan tidak bersikap secara politik. Terbentuk nya kubu politik
“berbasiskan kepentingan kaum pemilik”, yang memiliki sumber daya
besar, organisasi yang efisien, kepemimpinan yang jelas dan kemampuan
untuk memenangkan aksi, akan dapat melipatgandakan dan
mengerahkan kekuatan-kekuatan sosial secara cepat. Individu-individu
maupun asosiasi-asosiasi borjuis kecil mulai menyumbangkan uang,
waktu dan energi mereka, begitu borjuis kecil semakin yakin bahwa
gelombang politik mulai menghantam pemerintah Allende, dan situasi
mulai berada di bawah kontrol kelompok-kelompok borjuis besar.

Pada tingkat taktis, dan atas desakan pimpinan-pimpinan “non-partai”,


asosiasi-asosiasi itu mengawali perjuangan mereka menentang
pemerintah dengan mengajukan tuntutan-tuntutan ekonomi: tampaknya
tuntutan-tuntutan itu sengaja diajukan dengan batas waktu yang
mendesak sehingga tak mungkin dikabulkan segera. Dengan demikian
selalu ada alasan bagi borjuis kecil untuk melakukan boikot, melarang
buruh-buruh mereka yang akan bekerja, dan melakukan protes. Dampak
yang paling cepat terasa adalah terganggunya aktivitas ekonomi dan
tekanan terhadap pemerintah agar mau mengerahkan waktu dan sumber
dayanya untuk bernegosiasi. Begitu diskusi-diskusi sudah berjalan dan
kesepakatan mulai akan tercapai, asosiasi-asosiasi itu mulai
menambahkan tuntutan-tuntutan baru. Ketika negosiasi gagal, para
pimpinan asosiasi mulai mengajukan platform politik kepada para
anggotanya, dengan demikian mereka mulai merancang tahapan baru
yakni: konfrontasi dengan pemerintah. Dalam kasus-kasus tertentu,
ketika kesepakatan sementara berhasil dicapai, para pimpinan asosiasi
mulai memperkuat otoritas mereka dan mulai memperketat disiplin
organisasi yakni dengan cara mengontrol distribusi hasil-hasil yang
didapat dari pemerintah. Perjuangan yang berhasil dalam menangani
masalah-masalah tersebut telah semakin menguatkan posisi para
pimpinan sayap kanan yang bercokol dalam asosiasi-asosiasi sehingga
berhasil menyeret kekuatan-kekuatan baru. Dengan demikian, ia pun
melemahkan setiap upaya yang dilakukan kekuatan-kekuatan pro
pemerintah, yang selama ini berusaha menarik jajaran pengusaha kecil
agar berpihak ke pemerintah.

Untuk mencegah agar tidak salah dalam bertindak, dan menghindari


setiap kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan di luar kendali
mereka, kaum borjuasi menghembus-hembuskan isu bahwa yang
menyebabkan kebangkitan kelas bawah adalah orang-orang asing dan
kaum Yahudi. Di kalangan kelas menengah rendahan dan orang-orang
kaya dihembus-hembuskan semangat xenophobia [vi] dan juga, dengan
kadar tertentu, anti-Semitisme. Hal itu dilakukan untuk mengaburkan
kembalinya ketergantungan perekonomian Chili terhadap perusahaan-
perusahaan dan kapital keuangan (banking capital) Amerika Serikat.

Tekanan yang dilakukan oleh asosiasi-asosiasi militan dan partai sayap


kanan diarahkan guna melapangkan jalan bagi kaum militer untuk
mengambil-alih kekuasaan. Pada permulaannya, tujuan dari aksi-aksi
tersebut adalah untuk mendudukan perwira-perwira militer di
pemerintahan—dengan demikian mereka tetap mempertahan “bentuk”
pemerintahan secara konstitusional, sambil melakukan perubahan isi dan
arah kebijaksanaan pemerintah secara radikal dari dalam. Untuk
sementara waktu, perpecahan yang terjadi di kalangan perwira militer
dapat mencegah terjadinya perubahan yang mendasar dalam
kebijaksanaan pemerintah. Akan tetapi, orang-orang kanan berhasil
meraih cukup pengaruh di kalangan eksekutif. Hal ini memungkinkan
mereka untuk merongrong ketahanan pemerintah dalam menghadapi
sabotase politik, administratif dan ekonomi yang dilancarkan asosiasi-
asosiasi dan partai sayap kanan. Koalisi militer-asosiasi partai tersebut
berhasil membangun basis politik untuk melancarkan kampanye teror,
yang diorganisir oleh organisasi-organisasi paramiliter sayap kanan di
pedesaan dan perkotaan. Pola yang dilakukan oleh koalisi anti-pemerintah
adalah sebagai berikut: selama teror tersebut berjalan, koalisi menuduh
pemerintahan Allende bersifat “tidak sah”, oleh karenanya mereka
membenarkan terjadinya aksi-aksi teror tersebut; koalisi menuduh orang-
orang pro sosialis telah melakukan kejahatan, yang sebenar nya
diorganisir oleh kaum teroris; mereka membesar-besarkan akibat-akibat
yang ditimbulkan dari aksi teror tadi dan meletakan kesalahannya pada
pemerintah; akhirnya, pihak koalisi membesar-besarkan kekacauan yang
ditimbulkannya, namun mereka tetap menentang kekuasaan pemerintah
dan aparatus-aparatusnya untuk menumpas kelompok-kelompok teroris
tadi. Sementara pihak koalisi anti-pemerintah berhasil “menyelubungi”
aksi-aksi terorisme, mereka juga mengorganisir para penjahat untuk
melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota organisasinya yang
tidak menyetujui aksi-aksi teror tersebut. Pembersihan itu dilakukan
dengan cara: serangan-serangan fisik, teror-teror mental, dan
pembunuhan-pembunuhan. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka
menyeragamkan sikap politik anggota, sehingga akan memudahkan
pelaksanaan keputusan-keputusan politik para pimpinan koalisi. Dengan
cara itu, begitu gerakan kanan berhasil meraih momentum, mereka
kemudian memadukan tindakan-tindakan legal dan illegal serta
meningkatkan aktivitas kelompok untuk menghancurkan otoritas
pemerintah. Akhirnya, kesemuanya itu diarahkan untuk menciptakan dalih
bagi pengambil-alihan kekuasaan oleh militer.

Mata rantai yang paling ujung dari rangkaian organisasi koalisi dan
aktivitas anti-Allende tersebut adalah persekongkolan perusahaan besar-
CIA-militer-pemerintah AS dan kelompok-kelompok militer-perusahaan
besar Brazil. Dengan dorongan dari pihak koalisi anti pemerintah, agen-
agen kredit dan bank-bank swasta AS menghentikan pemberian kredit
jangka pendek. Dan pengiriman barang yang sudah dipesan, juga
ditunda-tunda oleh perusahaan-perusahaan AS—hal ini mengakibatkan
kelangkaan barang kebutuhan sehari-hari. Kelangkaan barang-barang ini
sangat mempengaruhi konsumen kelas menengah rendahan, para pemilik
truk, pengusaha kecil dan professional—mereka ini adalah konsumen yang
sangat tergantung pada barang-barang buatan AS. Oleh karenanya tidak
mengherankan, jika massa borjuis kecil ini—yang diorganisir, dipasok
informasi, dan yang diarahkan oleh pimpinan-pimpinan sayap kanan
asosiasi—kemudian memusuhi pemerintah. Akan tetapi, karena
pemerintah Allende lebih memilih menjaga hubungan baik dengan
pemerintah AS, ia tidak sungguh-sungguh dalam memobilisir kekuatannya
dalam menentang biang keladi dari kekacauan penyediaan barang ini.
Walaupun memutuskan dengan pemerintah AS, pemerintah tidak
mendapatkan apa-apa secara ekonomis, bahkan keputusan tersebut lebih
banyak merugikan pihak pemerintah Allende secara politis. Namun
sementara itu, pihak koalisi oposisi telah memperbesar upayanya dalam
menarik dukungan dari luar negeri secara rahasia: pasokan dana dan
militer, dukungan taktis dan bantuan logistik terus mengalir dari AS dan
Brazil. Pihak koalisi, baik dengan menjanjikan datangnya “jaman
keemasan” maupun menggunakan ancaman serangan fisik, menawarkan
hadiah-hadiah bagi individu-individu maupun asosiasi yang mau
menghentikan aliran barang dan jasa kepada konsumen. Situasi demikian
—dalam suasana terkepung oleh kekuatan-kekuatan yang siap tempur,
yang memusuhi dan sekaligus membujuknya untuk bergabung—telah
menyebabkan elemen-elemen yang apolitis sekalipun seperti: para
pengusaha truk, pemilik toko, supir-supir bus atau para dokter terseret
oleh seruan bagi “kesatuan aksi” menentang pemerintah. Di tengah
lingkungan keseharian seperti itu, setiap individu borjuis kecil (walaupun
dia itu seorang demokrat atau bahkan sosialis sekali pun) berada dalam
keadaan terpojok; pihak oposisi tidak banyak memberikan pilihan, dan
pemerintah pun tidak mengambil tindakan tegas untuk menghadapi
tantangan tersebut.

Kelas menengah dan kelas menengah rendahan, yang dihadapkan pada


pilihan antara tatanan sosialis parlementarian dan rejim kediktatoran
militer, lebih memilih yang terakhir. Untuk itu, mereka mendukung
aktivitas-aktivitas yang mengganggu stabilitas politik, melanggar tatanan
hukum secara terang-terangan, mendorong terorisme, dan menciptakan
kekacauan; lebih jauh lagi, mereka pun menggunakan cara-cara legal dan
illegal untuk melancarkan aktivitas subversif terhadap konstitusi dan
mengabaikan nilai-nilai demokrasi dalam berpolitik. Nilai-nilai dan tingkah
laku mereka merupakan cerminan dari posisi struktural mereka di tengah-
tengah masyarakat yang sedang mengalami perubahan secara cepat;
akan tetapi, posisi kelas menengah rendahan yang mendua telah
menghambat posisi strukturalnya dalam mempengaruhi praktek-praktek
politiknya secara langsung: hanya karena campur tangan kaum
pengusaha besar secara organisasional dan duduknya politisi-politisi
sayap kanan di posisi strategis dalam struktur asosiasi-asosiasi
pengusaha, maka keresahan borjuis kecil dapat dipacu dan diarahkan.
Mungkin hasilnya akan lain jika saja orang-orang Kiri juga aktif melakukan
campur tangan dengan segala kekuatan dan tenaganya terhadap asosiasi-
asosiasi tersebut: bersaing dengan orang-orang kanan dalam merebut
kepememimpinan asosiasi, menggunakan kekuatan aparat negara untuk
menumpas aksi illegal dan menindak para teroris, menyalurkan konsesi-
konsesi ke pihak borjuis kecil dengan tetap mengontrol jalur-jalur
penyalurannya, memberi penghargaan terhadap pihak-pihak yang mau
bekerjasama dengan pemerintah dan menindak aksi-aksi
pembangkangan.

Sebenarnya, borjuis kecil bukan lah kekuatan yang bisa diandalkan


sepenuhnya untuk melancarkan oposisi terhadap pemerintahan UP. Hal ini
disebabkan posisinya yang kontradiktif, dan juga karena proses
penggabungannya dalam koalisi sayap kanan berjalan secara tersendat-
sendat. Borjuis kecil hanya akan bersungguh-sungguh terlibat dalam
aktivitas oposisi sayap kanan, ketika mereka sudah merasakan sejumlah
kemenangan dan memperoleh konsesi dari pemerintah. Komitmen borjuis
kecil terhadap pihak kanan semakin menguat, terutama ketika tatanan
politik legal mengalami keretakan, sementara pemerintah sudah tidak
mampu mengontrol peristiwa-peristiwa yang menimpanya dari hari ke
hari. Di lain pihak, persekutuan/aliansi borjuis kecil dengan kelas borjuasi
pun bersifat konjungtural dan tidak stabil: pada periode setelah kudeta,
borjuis kecil, yang telah berperan dalam keberhasilan kudeta tersebut,
tidak mendapatkan apa-apa. Menaiknya harga-harga, langkanya barang,
menurunnya daya beli dan sulitnya memperoleh kredit serta pinjaman,
telah banyak menurunkan standar hidup borjuis kecil. Ratusan pengusaha
kecil pemilik truk—yang menjadi ujung tombak dalam menjatuhkan
Allende—mengalami kebangkrutan, karena mereka dihadapkan dengan
kenaikan harga bahan bakar serta sedikitnya pesanan bagi pengangkutan
barang-barang. Sekarang, kediktatoran militer-borjuis, yang merebut
kekuasaan dengan ditopang pemberontakan borjuis kecil terhadap
proletariat, memukul sekutu lamanya ini. Oleh karenanya, tidak lah
mengherankan jika sayap borjuis kecil di kalangan Partai Kristen
Demokrat (di bawah pimpinan Bernar do Leighton) kemudian menyatakan
keinginannya untuk bergabung dengan Front Anti-Fasis yang
diproklamirkan oleh Partai Komunis. Jika orang-orang Kiri ini berhasil
menggulingkan kediktatoran militer-borjuis, masih muncul pertanyaan:
apakah teori revolusi bertahap—yang sekarang sedang menjalani aliansi
Anti-Fasis ini—akan kembali dimainkan? Kalau kita melihat kembali jejak
sejarahnya, maka seharusnya kelas buruh Chili bisa melakukan sesuatu
yang lebih baik ketimbang sekedar tragedi dan lelucon.

Bagi orang-orang Kiri, apa yang disebut dengan “mengerahkan segala


kekuatan dan tenaga” tak lain adalah: berjuang keras untuk menciptakan
basis kekuasaan politik-administratif alternatif, karena, bagaimanapun
juga, parlemen adalah kuburan bagi semua ini- siatif pemerintah dan
menteri-menteri sayap kiri. Oleh karenanya, agar pemerintah UP berhasil
dalam memenangkan atau menetralisir borjuis kecil, pertama-tama ia
harus mendasarkan aktivitas dan mengembangkan kebijakan-
kebijakannya pada perluasan serta penguatan organisasi-organisasi kelas
pekerja. Hanya pada tahap-tahap selanjutnya selama pemerintahan
Allende, di tengah-tengah tekanan kekerasan dan konfrontasi yang kian
memanas, militan-militan kelas pekerja mulai mengorganisir organisasi-
organisasi tempur pada tingkat lokal—tapi kesemuanya sudah terlambat
dan jadi sia-sia belaka.

Perkembangan Kesadaran Kelas Pekerja

Selama ini diskusi tentang kesadaran kelas pekerja bersifat statis dan
terlalu stereotype. Kaum Maois dan Troskyis berpendapat bahwa selama
periode antara 1970-1973, kelas pekerja Chili sesungguhnya sudah
menjadi kekuatan revolusioner, sudah berjuang untuk sosialisme, namun
mereka itu dipimpin oleh pimpinan reformis dan birokratis “yang
berkhianat”, sehingga mereka melenceng dari “apa yang seharusnya”. Di
lain pihak, kaum komunis dan sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum
buruh masih berkesadaran “ekono- mistis” dan hanya bisa meraih
kesadaran sosialis setelah melalui pendidikan sosialis dan mengalami
perubahan ekonomi secara bertahap di bawah kepemimpinan partai.
Namun kedua macam pandangan itu tidak bisa memahami bahwa
kesadaran sosialis sesungguhnya merupakan proses yang berkembang
dari perjuangan kelas, di mana kelas pekerja bisa mengembangkan
instrumen-instrumennya untuk mengontrol dan mengarahkan aktivitas
ekonomi [vii]. Pengalaman Chili sesungguhnya sudah mengungkapkan
tidak tepatnya analisa yang “statis” terhadap kesadaran kelas pekerja.
Pendapat “yang kekiri-kirian” tidak bisa menjelaskan alasan di balik
dukungan kelas pekerja terhadap politik parlementarian dan politik
kesejahteraan[viii] yang dicanangkan pada tahun pertama pemerintahan
Allende. Demikian juga dengan analisa “reformis”, mereka tidak bisa
menjelaskan semangat politik konfrontatif dan menjamurnya pusat-pusat
kekuasaan kelas pekerja yang otonom dari pemerintah, terutama selama
tahun terakhir kekuasaan Allende. Artinya, mereka semua gagal dalam
memahami situasi di mana kelas pekerja, yang semula mendukung
kepemimpinan politik yang reformis [ix] (termasuk mendukung strategi
dan programnya), kemudian berkembang menjadi kelas yang
revolusioner, walaupun tanpa kepemimpinan revolusioner. Tanpa
melewati periode politik reformis, kelas pekerja tak akan bisa
mengembangkan perspektif revolusionernya yang kemudian melintasi
kerangka “formal” yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.
Dengan demikian, periode reformis merupakan kondisi yang dibutuhkan
bagi mobilisasi kelas dan merupakan penciptaan kondisi untuk
melancarkan perjuangan revolusioner. Namun ketidakmampuan dalam
menterjemahkan pandangan-pandangan politiknya yang mendasar dan
dalam menerapkan strategi baru oleh para pimpinan reformis di tengah-
tengah situasi politik yang terus berubah, telah menjadi penghalang serius
dalam memperjuangkan sosialisme.

Pada awalnya, yakni pada bulan September 1970, sebagian besar kelas
pekerja Chili mendukung politik parlementarian dan kebijakan ekonomi
negara kesejahteraan yang diterapkan pemerintah. Enam bulan
kemudian, politik parlementarian dan kesejahteraan itu didukung oleh
sekitar 75% kaum buruh, hal ini tercermin pada pemilihan tingkat kota
praja (April 1971). Namun setelah melalui masa dua setengah tahun, 75%
kaum buruh di Chili lebih mendukung cara-cara ekstra-parlementer
(dengan cara menduduki pabrik, mempersiapkan aksi-aksi frontal,
mengkritik kelemahan pemerintah dalam menghadapi kaum Kanan) untuk
menghadapi para teroris sayap kanan, melakukan sosialisasi dalam
perekonomian, meningkatkan produksi serta menginstitusikan kekuasaan-
kekuasaan baru kelas pekerja.

Peningkatan jumlah mereka yang mendukung metode pemungutan suara


dalam enam bulan pertama itu disebabkan beberapa faktor, yaitu: (1)
untuk mencegah penggunaan cara-cara kekerasan baik oleh pemerintah
maupun para majikan, (2) untuk memberi kesempatan pada pemerintah
dalam menerapkan kebijakan kesejahteraan sosial, (3) menurunnya
efektifitas propaganda hitam yang dilancarkan oleh kaum kanan, dan
yang terakhir (4) mendukung kemenangan yang sudah diraih oleh UP
melalui politik pemilu.

Pemerintah, yang “memimpin” kelas pekerja untuk melakukan perubahan-


perubahan sosial dan politik, termasuk dalam melakukan reformasi
agraria dan nasionalisasi pertambangan tembaga milik AS, didesak oleh
kelas pekerja untuk memperluas penerapan politik nasionalisasi terhadap
industri-industri kapitalis dalam negeri; memperluas kontrol pemerintah
terhadap sektor transportasi, perdagangan dan konstruksi; serta untuk
mengakui kekuasaan legislatif dewan-dewan kelas pekerja—yang
kesemuanya itu ditolak oleh pemerintah. Pada tahap awal, kepemimpinan
UP berhasil meningkatkan dukungan buruh terhadap pemerintah dan
organisasi-organisasi sosialis melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
“populis” (seperti peningkatan upah, pengontrolan harga, fasilitas
kesehatan dan sebagainya), yang secara jelas membela kepentingan
kaum buruh. Dari hal tersebut, terciptalah kesamaan kepentingan antara
pemerintah dengan kelas pekerja. Serangan-serangan yang diarahkan ke
pemerintah oleh oposisi politik sayap kanan dan kelompok-kelompok
pengusaha, semakin memperkuat persatuan buruh, mempertajam
permusuhan kelas, meningkatkan solidaritas atau kesadaran kelas di
antara kaum buruh. Jumlah basis kelas pekerja yang mendukung
pemerintahan UP, relatif terus bertahan sejak pertengahan 1971 hingga
tergulingnya pemerintah pada bulan September 1973. Pemerintah dan
partai-partai pendukungnya semakin mendapatkan prestise politik dengan
meningkatnya dukungan terhadap kaum Kiri. Akan tetapi, perubahan-
perubahan mendasar sesungguhnya terjadi di kalangan kelas pekerja,
yakni perubahan dalam alasan mereka untuk memberikan dukungan
politik pada pemerintahan Allende, metode-metode politik, taktik, strategi
dan organisasinya. Kaum buruh tidak lagi sekedar menjadi pendukung
aktif bagi program kesejahteraan yang diinisiatifkan dan diatur oleh
pemerintah, namun ia sekarang telah menjadi partisipan aktif dalam
proses perubahan hu- bungan kepemilikan alat-alat produksi. Mereka
tidak lagi sekedar ikut-ikutan dalam rally-rally massa, yang tidak tertarik
dengan perdebatan-perdebatan di parlemen atau kongres-kongres serikat
buruh. Namun sekarang kaum buruh sudah mulai mengembangkan
partisipasinya secara terus menerus dalam organisasi. Selama tiga tahun
kekuasaan Allende, kaum buruh telah meningkat dari sekedar mengambil
posisi “ekonomistik” menjadi kekuatan yang berperspektif sosialis.
Perubahan kualitatif ini merupakan hasil dari perjuangan sosial yang
terjadi selama tahun terakhir pemerintahan Allende. Struktur, arahan,
intensitas dan keluasan perjuangan sosial ini semakin meningkatkan
kesadaran kelas mereka.

Sebenarnya, yang memprovokasi perjuangan sosial tersebut—yang


semakin meningkatkan kesadaran kelas di kalangan buruh—adalah kelas-
kelas pemilik alat produksi beserta sekutu-sekutunya di kalangan asosiasi
kaum profesonal. Memang pemerintahan Allende pun telah melakukan
perubahan-perubahan secara mendalam, namun apa yang dilakukan
pemerintah hanya sebatas pada program nasionalisasi terhadap industri-
industri, transportasi dan firma-firma perdagangan yang besar saja. Para
pemilik firma ini, yang terorganisir dalam asosiasi pengusaha swasta dan
yang menjalin hubungan dengan partai-partai sayap kanan, kalangan
perwira militer dan organisasi-organisasi paramiliter, berusaha keras
untuk meruntuhkan pemerintah melalui lockout (penghentian produksi);
yakni dengan menutup pabrik-pabrik, menghentikan kegiatan bisnis,
melumpuhkan transportasi dan jasa pelayanan kaum profesional.
Kesemuanya itu diarahkan untuk memperlancar kudeta militer. Aksi-aksi
yang dilancarkan secara serentak oleh kelompok-kelompok pengusaha
dalam mempertahankan kepentingan ekonominya itu, telah mendorong
kaum buruh untuk melakukan tindakan yang sama. Kaum buruh mulai
menduduki dan mengoperasikan pabrik-pabrik. Kegiatan produksi
dilakukan tanpa campur tangan majikan. Meskipun menghadapi krisis
ekonomi, pengalaman praktis yang mereka temukan bahwa industri pun
dapat berfungsi tanpa adanya kelas kapitalis, telah menjadi elemen kunci
dalam meradikalisir kelas pekerja. Berangkat dari kebutuhan untuk
mengorganisir produksi, transportasi dan distribusi, telah muncul jaringan
kerja yang menyatukan seluruh buruh dari berbagai sektor yang
sebelumnya saling berpencaran. Tindak kekerasan yang dilakukan secara
berulang-ulang oleh kaum majikan dan sekutu-sekutu politik mereka
untuk melumpuhkan perekonomian, telah mendorong kaum buruh untuk
membentuk kelompok-kelompok paramiliter yang bertugas menjaga
instalasi-instalasi produktif.

Perubahan kesadaran kelas pekerja terjadi melalui serangkaian aksi dalam


mempertahankan kebijaksanaan distribusi pemerintah, yang mendapat
ancaman dari kaum majikan. Perubahan-perubahan kualitatif yang terjadi,
merupakan hasil dari pengalaman buruh dalam menjalankan manajemen;
setelah kaum buruh mengambil-alih industri “untuk mempertahankan
negara kesejahteraan”, mereka mulai memegang kekuasaan manajemen
dan hak-hak istimewa. Konfrontasi yang terjadi antara pemerintah dengan
kaum majikan telah memancing mobilisasi kekuatan-kekuatan sosial
secara massal, meningkatkan solidaritas dan memunculkan organisasi-
organisasi di kalangan kelas pekerja dalam merebut kontrol dan
pengaturan alat-alat produksi. Namun, dalam tingkatan praktis terdapat
perbedaan antara kesadaran buruh dengan orientasi politik yang diambil
pemerintah. Bagi para pejabat, yang lebih menjadi permasalahan adalah
bagaimana menjaga keutuhan pemerintahan; mereka beranggapan bahwa
aktivitas kaum buruh merupakan sarana yang positif—walaupun hanya
untuk sementara—untuk memaksa kaum borjuasi agar menghargai
norma-norma politik parlementarian, serta agar mereka mau kembali
berproduksi secara “normal”. Sementara itu, kaum buruh (yang sampai
saat itu sudah mulai kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari ke bijakan
pemerintah, namun masih tetap memahami perspektif pemerintah dalam
menjalankan proses ekonomi-politik), dalam hal ini buruh industri,
sosialisasi industri secara menyeluruh (yakni pendudukan dan
pengoperasian pabrik-pabrik) haruslah menjadi tujuan dan orientasi
kebijakan pemerintah. Intensitas perjuangan kelas telah mendorong kaum
buruh melampaui “batas-batas” dan proses sosialisasi secara abstrak,
yang selama ini dicanangkan para pejabat pemerintah.

Sebenarnya, definisi “sosialisme abstrak” sangat beragam, namun yang


dimaksud di sini adalah: tidak terpadunya praktek-praktek institusional
oleh pemerintah dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh massa.
Sebagai contoh, UP selalu menyatakan dirinya sebagai pemerintahan
kelas pekerja, namun dalam kenyataannya ia selalu bergantung pada
parlemen yang dikontrol oleh borjuasi, dan di lain pihak justru
mengecilkan peranan dan aktivitas organisasi-organisasi pekerja (Dewan
Buruh, Dewan Kotapraja dan Dewan-Dewan Petani). Aktivitas sehari-hari
dan struktur organisasi sayap Kiri di daerah-daerah pertambangan yang
telah dinasionalisasi, tidak mengalami perubahan dibanding sebelumnya.
Selain itu, walaupun kaum Kiri secara terus menerus mendorong kaum
pekerja untuk berpartisipasi, berproduksi dan untuk bersikap sebagai
kaum sosialis—mereka tidaklah menciptakan saluran-saluran
organisasional yang memungkinkan berlakunya hal tersebut, dan bahkan,
dalam sejumlah kasus, mereka tidak memberikan contoh-contoh secara
personal dalam mengarahkan orientasi kelas. “Pendidikan sosialis”
dilancarkan melalui ceramah-ceramah dan pamflet, namun pengalaman
kerja sehari-hari dan struktur kehidupan masyarakat masih diatur dengan
norma-norma borjuis. Inilah yang dimaksud dengan “sosialisme abstrak”.
Pendekatan seperti ini pun terjadi dalam penyusunan strategi
pembangunan sosialis, yang diarahkan untuk memenangkan suara di
parlemen dan mendudukkan orang-orang Kiri di pemerintahan. Mereka
melakukan negosiasi dengan partai utama kaum borjuasi, yaitu Partai
Kristen Demokrat, dan secara diam-diam menjalin hubungan dengan
“perwira-perwira Angkatan Darat yang patriotik dan profesional”. Hanya
dalam keadaan-keadaan tertentu, massa dilibatkan sebagai kekuatan
tawar menawar dan untuk mendesak oposisi agar mau memberikan
konsesi kepada pemerintah. Di mata pemerintah, perubahan-perubahan
mendasar hanya mungkin terjadi setelah melewati rentang waktu yang
panjang—yakni setelah “revolusi demokratik-nasional” diselesaikan (yakni
setelah hubungan-hubungan sosial kapitalis dan kapasitas perekonomian
nasional bisa ditingkatkan dengan membebaskannya dari kontrol
imperialisme dan koloni-koloni perkebunan feodal). Beranjak dari
pendapat tersebut, Partai Komunis kemudian lebih mempertahankan
bentuk-bentuk organisasi kolektivistis yang mirip pengorganisasian
produksi kapitalis, dengan menginstitusikan: dewan-dewan direktur dan
manajer-manajer yang otonom dalam menangani perusahaan, serta
diberlakukannya prinsip-prinsip yang terlalu birokratis. Untuk
mengamankan jalannya “revolusi demokratik-nasional” ini, kaum Komunis
lebih memfokuskan diri dalam “menormalkan” pembangunan masyarakat,
memberikan perangsang-perangsang material, subsidi, kredit dan
pinjaman bagi struktur permodalan Chili (hal ini sama saja dengan
“menanam modal” bagi sebuah kontra-revolusi), menyetujui undang-
undang yang mengontrol pemilikan senjata (yang artinya melucuti kaum
pekerja dan memberi peluang bagi kaum Kanan untuk mempersenjatai
diri melalui Angkatan Bersenjata) dan, terutama sekali, mereka
memfokuskan diri pada “peningkatan produksi”. Slogan “perluasan
produksi” ini (sebuah slogan yang absurd dan bodoh di tengah-tengah
periode pra-perang saudara/menjelang kudeta) merupa kan konsekuensi
logis dari visi mereka tentang sosialisme bertahap. Dalam hal ini, kaum
Komunis hanya menjalankan peran yang sebelumnya tidak mau dilakukan
oleh borjuasi. Dengan menjalankan peran tersebut, program-program
mereka menjadi abstrak dan semakin tercerabut dari pengalaman,
kejadian-kejadian dan kondisi sehari-hari kaum pekerja di Chili.

Sampai saat itu, para pejabat sayap kiri masih menganggap para buruh
Chili belum berkesadaran sosialis, artinya mereka masih dianggap
“ekonomistis”. Mereka telah berupaya sekuat tenaga untuk memperluas
kesadaran politik di kalangan pekerja. Upaya tersebut dilakukan dengan
mengkombinasikan program-program pendidikan dan distribusi. Akan
tetapi, walaupun sejumlah buruh sudah menyadari implikasi-implikasi
politik yang ditimbulkan dari penggunaan metode-metode ini, namun
pengalaman-pengalaman praktis yang dihadapi kelas pekerja dalam
menjalankan produksi di pabrik-pabrik telah mendorong maju kesadaran
sosialis di kalangan mereka. Upaya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
resmi sayap kiri untuk memisahkan sosialisme dengan pengalaman
praktis perjuangan kelas pekerja, (artinya memperkenalkan sosialisme
dengan hanya menggunakan metode pendidikan) telah menghambat
perkembangan kesadaran kelas pekerja secara kualitatif. Oleh karenanya
tidak lah mengherankan jika meluasnya radikalisasi di kalangan kelas
pekerja lebih didorong oleh faktor-faktor eksternal, yakni terdorong oleh
aktivitas-aktivitas oposisi terhadap pemerintah. Dalam hal ini, pihak
oposisi memancing munculnya masalah yang mendasar, yaitu konflik di
pusat-pusat produksi. Menurut kaum oposisi, yang menjadi masalah
bukanlah masalah produksi (sebagaimana yang ditekankan oleh pejabat-
pejabat resmi sayap kiri), melainkan: siapa kah yang mengontrol alat-alat
produksi? Dengan melakukan penutupan pabrik-pabrik dan melarang
buruhnya untuk bekerja, kaum majikan berarti menolak segala argumen-
argumen “produksionis” yang diajukan oleh pejabat resmi sayap kiri,
karena pokok masalahnya adalah: hegemoni kelas, yang sekarang sedang
diuji dan diperebutkan oleh kelas borjuasi dengan kelas pekerja. Dengan
demikian, bisa dikatakan, kesadaran kelas pekerja bersesuaian (namun
sekaligus saling berhadapan dengan) kesadaran kelas borjuasi. Dengan
mendudukkan problem produksi di bawah persoalan penguasaan alat-alat
produksi, maka kelas pekerja dihadapkan pada 2 pilihan, yakni: kelas
pekerja—dengan pimpinan kelas kapitalis—memilih mogok kerja, menutup
pabrik-pabrik dan menentang pemerintah, atau, merebut industri-industri
tersebut dari tangan kelas kapitalis dan menyerahkannya pada
pemerintah, yang notabene adalah pemerintahan kelas pekerja. Kelas
pekerja memilih yang terakhir; pejabat-pejabat sayap kiri dalam
pemerintahan tidak menjatuhkan pilihan.

Akan tetapi, perkembangan yang terjadi dalam hubungan segitiga (antara


kelas pekerja, pejabat resmi sayap kiri dan kaum majikan) tidak sampai
menimbulkan perpecahan organisasional di antara pejabat resmi sayap
kiri dengan kelas pekerja. Perpecahan tersebut tidak terjadi karena
memang tidak adanya pilihan organisasi yang lain bagi kelas pekerja
radikal.

Bisa dikatakan kekuatan sayap kiri sedang mengalami pergulatan: di


tengah memuncaknya perjuangan kelas, pemerintah menerima terjadinya
perubahan kesadaran kelas pekerja yang ditimbulkan oleh aksi-aksi dan
tekanan mereka (seperti aksi perebutan pabrik, tanah dan sebagainya),
dan pemerintah pun bisa menerima inisiatif-inisiatif terorganisir oleh kelas
pekerja. Namun kemudian pemerintah mengubahnya sebagai alat untuk
meraih tujuan politiknya. Sebagai contoh bisa ditunjukkan di sini:
berdirinya Dewan-Dewan Buruh tidak ditentang oleh pemerintah, justru
kemudian pemerintah mengunakan dewan-dewan tersebut untuk
menekan kaum borjuasi agar mau mematuhi aturan-aturan politik
demokrasi borjuis. Demikian juga dengan jaringan-jaringan pekerja,
kesemuanya tidak dilarang, tetapi digabungkan ke dalam Konfederasi
Persatuan Buruh (CUT), yang dipimpin oleh kaum reformis, atau, jika
tidak, jaringan tersebut dibiarkan saling berpencaran, tanpa ada arahan
dan tugas-tugas setelah terjadi konfrontasi dengan kaum majikan.

Sementara itu, pada tingkat lokal, pimpinan buruh tetap konsisten. Kaum
pekerja mulai mengalihkan dukungannya ke sosialis radikal yang
tergabung dalam Gerakan Aksi Persatuan Rakyat (MAPU, yang dipimpin
oleh Oscar Garreton), Kristen Kiri (IC), dan Gerakan Kiri Revolusioner
(MIR); namun berragamnya organisasi-organisasi kiri yang ada, serta
masih bergabungnya sosialis-sosialis radikal dalam Partai Sosialis (PS)—
yang khawatir jika mereka meninggalkan partai tersebut akan
menyebabkan jatuhnya Allende dan “memecah belah kekuatan kelas”,
dan lagi pula mereka tetap berharap masih mungkin untuk mengerahkan
dukungan mayoritas kelas pekerja dalam perjuangan mereka merebut
kepemimpinan partai—telah menyebabkan an Kiri Revolusioner (MIR);
namun beragamnya organisasi-organisasi kiri yang ada, serta masih
bergabungnya sosialis-sosialis radikal dalam Partai Sosialis (PS)—yang
khawatir jika mereka meninggalkan partai tersebut akan menyebabkan
jatuhnya Allende dan “memecah belah kekuatan kelas”, dan lagi pula
mereka tetap berharap masih mungkin untuk mengerahkan dukungan
mayoritas kelas pekerja dalam perjuangan mereka merebut
kepemimpinan partai—telah menyebabkan masalah yang sangat
mendasar, yakni: tidak adanya alat-alat organisasional dan strategi yang
bisa menghimpun massa pengikutnya dalam mewujudkan program
tersebut. Dalam hal ini, sayap radikal PS dihadapkan pada dilema, karena
bagaimanapun juga, mereka secara organisasional terikat dengan UP.
Sebaliknya, UP selama ini terobsesi untuk membuat kesepakatan dengan
minoritas sayap kiri Kristen Demokrat, namun yang tetap terikat pada
pimpinan sayap kanan yang mendominasi partai tersebut yaitu Eduardo
Frei, (yang justru sedang melibatkan diri dalam persiapan kudeta).
Dengan demikian sayap radikal PS menjauhkan diri dari massa pekerja
radikal yang sebenarnya mampu membangun basis baru bagi kubu
kekuatan revolusioner. Di lain pihak, organisasi MIR tidak memiliki kader-
kader kelas pekerja dan jaringan di pusat-pusat industri kunci, sehinga ia
tidak mempunyai pengaruh yang penting di kalangan kekuatan paling
revolusioner dalam masyarakat Chili—yakni kelas pekerja. Karena banyak
bergerak di luar pabrik, MIR, walaupun memiliki strategi yang tepat dan
kedisiplinan organisasi, tidak bisa mengarahkan buruh dalam menghadapi
konfrontasi-konfrontasi yang akan terjadi kemudian. Ikatan-ikatan antara
kelas pekerja dengan partai-partai tradisional sayap kiri telah terjalin kuat
melalui perjuangan dan pengalaman bersama selama puluhan tahun,
sehingga ikatan-ikatan tersebut tidak mudah putus begitu saja. Adalah
lebih mudah bagi kaum buruh untuk mengalihkan dukungan mereka dari
satu fraksi ke fraksi lainnya, dari satu taktik ke taktik lainnya dalam
partai, ketimbang bergabung dengan organisasi lain yang tidak punya
basis di pabrik-pabrik.

Juga ada beberapa alasan lain yang menyebabkan tidak lahirnya


organisasi alternatif, walaupun di kalangan massa pekerja sudah
berkembang kesadaran sosialis. Di antara alasan tersebut adalah
perpecahan yang terjadi di kalangan sayap kiri revolusioner: MIR, MAPU
(pimpinan Oscar Garreton), IC (Kristen Kiri) dan kelompok-kelompok
lainnya sering bersaing di basis-basis sosial yang sama, sehingga banyak
menguras tenaga dan membingungkan kaum buruh. Perpecahan ini juga
semakin diperparah oleh kepemimpinan “yang sangat personalistik” di
organisasi-organisasi ini.

Kampanye pemilu yang terakhir untuk memilih anggota konggres Chili


(pada bulan Maret 1973), telah menjadi saksi bagaimana kelas pekerja
secara besar-besaran tetap memilih sayap kiri, namun pilihan mereka
bukan lagi berdasarkan “alasan-alasan ekonomistik” (karena, sebelum
kampanye dimulai, telah terjadi kelangkaan barang akibat sabotase kaum
majikan dan terhentinya pasokan dari stock pemerintah). Pada pemilu
tersebut, basis kelas pekerja untuk memilih sayap kiri adalah pengalaman
positif mereka dalam perjuangan kelas, solidaritas kelas dan distribusi
kekuasaan politik. Momentum historis bagi perjuangan revolusioner sudah
di depan mata, tetapi pimpinan sayap kiri gagal memanfaatkannya.

Organisasi-organisasi otonom kelas pekerja (yakni Dewan-Dewan Buruh,


Dewan-Dewan Kotapraja) didirikan sebagai alat untuk merebut kekuasaan
negara dan untuk mempertahankan hasil-hasil sosial ekonomi dan
keberlangsungan pemerintahan Allende. Konfrontasi yang terjadi pada
bulan Oktober 1972 dan kudeta militer yang gagal pada Juni 1973
merupakan prakondisi bagi mobilisasi buruh dan kaum tani secara besar-
besaran sehingga menciptakan situasi revolusioner, seperti: perebutan
pabrik secara besar-besaran, pendudukan kota-kota, pembentukan unit-
unit milisia, kesadaran di kalangan pekerja bahwa musuh utama mereka
adalah borjuasi, perpecahan di kalangan Angkatan Bersenjata, semuanya
itu adalah faktor-faktor obyektif yang mendorong perjuangan revolusioner
—dengan syarat ada partai revolusioner yang siap mengorganisir
pemberontakan. Walaupun tanpa kepemimpinan partai, organisasi-
organisasi pekerja tetap menyokong pemerintahan Allende dan meluaskan
sektor sosial ekonomi dalam sistem politik yang ada. Konsekuensinya,
organisasi-organisasi buruh itu hanya menjadi ekspresi sindikalisme
revolusioner[x], karena partai-partai sayap kiri tetap bersikukuh di posisi
reformis. Namun sindikalisme revolusioner yang dimaksud di sini bukanlah
hasil dari kesadaran kaum buruh dan juga ia bukan aliran ideologis
tertentu, namun merupakan akibat pembatasan yang dilakukan sayap kiri
parlementer terhadap organisasi kelas pekerja, sehingga organisasi
tersebut berikap defensif terhadap organisasi politik dan kekuasaan
pemerintah—organisasi-organisasi tersebut hanya mempertahankan
pabrik-pabrik yang telah mereka rebut dan tidak meningkatkannya pada
perjuangan perebutan kekuasaan negara. Akibatnya, ketika kudeta militer
11 September 1973 terjadi, pabrik-pabrik yang selama ini dipertahankan
oleh kaum buruh malah menjadi jebakan dan ladang kematian mereka.

Pejabat-pejabat resmi sayap kiri, setelah duduk dalam pemerintahan


Allende, gagal untuk menggabungkan pengalaman, organisasi dan
perkembangan kesadaran sosialis kelas pekerja ke dalam strategi besar
bagi perjuangan revolusioner untuk mengambil-alih negara dari kelas
borjuasi. Mereka terjebak dalam Marxisme abstrak menurut versi mereka
sendiri: sosialisme hanya menjadi proyek teoritis yang tercerabut dari
realitas politik sehari-hari—meskipun realitas politik ini sudah
menjembatani jurang antara perjuangan politik sehari-hari dengan
permasalahan yang mendasar, yakni: hegemoni politik.

James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas


Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak
mengupas soal politik dan pengalaman praktek gerakan revolusioner di
Amerika Latin.

[i] Golpe adalah kata dalam bahasa Spanyol, yang artinya adalah kudeta;
golpista artinya adalah para pelaku atau simpatisan kudeta.

[ii] Pola pembangunan yang tidak seimbang dalam sektor industri di Chili
sangatlah kentara, di mana 114 firma mengontrol produksi, sementara
ada sekitar 35.000 firma (yang mempekerjakan sebagian besar angkatan
kerja di Chili) yang tumbuh bagaikan jamur dalam sistem industrinya. Di
seluruh negeri, asosiasi pengusaha eceran mempunyai anggota sebanyak
160.000 orang, di mana sebagian besar- nya adalah para pemilik toko
kecil di luar pemilik supermarket.

[iii] Paramiliter: kekuatan-kekuatan sipil yang dipersenjatai dengan baik


dan terlatih secara militer. Pent.

[iv] Lumpenproletariat: elemen-elemen yang tidak produktif dalam ma


syarakat, seperti: para penjahat, preman dsb. Pent.

[v] Para pimpinan asosiasi yang anti-partai ini merupakan pendukung-


pendukung yang kuat bagi berdirinya negara polisi militer di Chili. Dalam
beberapa kasus, elemen-elemen anti-partai tersebut bahkan memperoleh
kedudukan yang berpengaruh dalam pemerintahan militer Pinochet.

[vi] Xenophobia: Anti-orang asing. Pent.

[vii] Tugas partai adalah untuk mengorganisir dan memperdalam proses


“yang spontan” ini, yakni mempersiapkan jalan (secara militer mau pun
politik) bagi perjuangan merebut kekuasaan. Partai tidak lah sama dengan
kelas, sekaligus juga tidak berada “di luar” kelas; justru melalui kader-
kader kelas pekerjanya, partai menyatukan di ri dalam perjuangan kelas.

[viii] Baca: reformisme dalam bidang politik dan ekonomi. Pent.

[ix] Karakteristik dari kecenderungan politik reformis adalah seba- gai


berikut: (1) penerapan teori transformasi sosialis secara bertahap, yaitu
hanya berfokus pada perubahan-perubahan struktural tanpa
mengkaitkannya dengan perkembangan kapitalis-nasional; (2) tidak
adanya upaya untuk mengkaitkan perubahan-perubahan demokratik-
nasionalis dengan perjuangan bagi sosialisme: yakni, tidak dikaitkan
dengan pengorganisiran kekuatan militer dan politik bagi perebutan
kekuasaan; (3) diterapkannya metode sebagai berikut: “menyusup” ke
institusi-institusi yang ada, mempe-

ngaruhi sektor Angkatan Bersenjata borjuis, menerima keabsahan tatanan


institusional borjuis — bahkan ketika pihak borjuasi sendiri tidak lagi
mengakui tatanan tersebut; (4) menganggap perjuangan melalui kotak
suara sebagai fokus sentral bagi aktivitas politik, mengerahkan seluruh
aktivitas dan organisasi ke dalam arena tersebut, di mana perjuangan-
perjuangan sosial di- arahkan untuk memenangkan pemilu.

[x] Sindikalisme Revolusioner yang dimaksud di sini adalah: pola tindakan


politik kelas pekerja yang membatasi diri hanya dengan penguasaan alat-
alat produksi milik borjuis (seperti pabrik-pa- brik, perkebunan dsb) ,
tanpa mengkaitkannya dengan perjuangan se cara terprogram guna
merebut negara dari kelas borjuis. Pent.

ALENDEBURUHCHILIIMPERIALISKANANKAPITALISKIRIMILITERPARAMILIT
ERPINOCET

SHARE

TWITTER

FACEBOOK

GOOGLE+

LINKEDIN

PINTEREST

YOU MIGHT ALSO LIKE


Individualisme dan Kapitalisme

ANALISA

Individualisme dan Kapitalisme

Pernyataan Sikap Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua


(FRI-West Papua)

PAPUA

Pernyataan Sikap Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua


(FRI-West Papua)

Birokratisme dan Buruh yang Makin ke Kanan (sebuah kasus)

POLITIK

Birokratisme dan Buruh yang Makin ke Kanan (sebuah kasus)

TINGGALKAN BALASAN

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Beritahu saya akan tindak lanjut komentar melalui surel.

Beritahu saya akan tulisan baru melalui surel.

PREVIOUS POST

NEXT POST

AGENDA

no event

KOMENTAR

Kaum Muda Harus Mendukung Pembebasan Bangsa Papua pada Seruan


Konsolidasi Rakyat Indonesia bagi Bangsa Papua

Pace pada Proposal Persatuan Solidaritas untuk mendukung Hak


Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua Barat
Inas Nabilah pada Elite, Selalu Menggagalkan Upaya Pemberantasan
Korupsi

Toko Bunga Online pada Partai Pembebasan Rakyat

Toko Bunga Online pada Partai Pembebasan Rakyat

RANDOM POSTS

Indonesia: Mengingat Pembunuhan Massal*

September 29, 2011

11 Alasan Mengapa Kita Harus Menolak RUU ORMAS

Juni 24, 2013

Kampanye Internasional demi Mempertahankan Kedaulatan Nasional Iran

September 4, 2009

Pernyatan sikap GERAKAN RAKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH DAN


KEKERASAN

April 9, 2013

BBM Naik, Ayo Mahasiswa Serbu Terminal dan Pasar-Pasar!

Maret 17, 2012

ARSIP

Arsip

© 2015 KORAN PEMBEBASAN ·

Anda mungkin juga menyukai