Koran Pembebasan
ANALISA
Admin
April 6, 2016
0 Comment
Pengantar
Yang termasuk dalam lapisan borjuis kecil ini adalah para pemilik bisnis
dan perusahaan-perusahaan kecil (yang rata-rata mempekerjakan kurang
dari 20 buruh), para pemilik yang merangkap operator truk, serta juga
kaum profesional mandiri (misalnya para dokter, pengacara, dan lain-
lain). Beberapa ciri struktural ini menjadikan barisan borjuis kecil sebuah
kelompok yang sangat penting, dan sekaligus tidak stabil pada saat-saat
diadakannya mobilisasi politik.
Mari kita ambil contoh pengusaha toko kecil dan pedagang eceran atau
juga pemilik bengkel dan truk. Di seluruh Amerika Latin (termasuk Chili),
kelas menengah rendahan—
di luar kelas buruh dan petani— merupakan lapisan yang paling banyak
jumlahnya dalam masyarakat. Borjuis kecil, baik itu yang bergerak di
sektor perdagangan maupun sektor produktif, terlibat dalam sebuah dunia
yang penuh persaingan: secara berdampingan, ratusan pemilik toko dan
bisnis kecil harus bersaing, dan dengan sumber daya mereka yang langka,
mereka berusaha memasuki pasar yang sudah dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan besar. Yang membedakan borjuis kecil dengan borjuis besar
bukan cuma posisi kompetisi mereka yang tidak menguntungkan, namun
juga dikarenakan kekurangan modal dan—yang lebih penting lagi—tidak
mudahnya memperoleh kredit. Borjuis kecil sangat terpengaruh oleh
perubahan harga, fluktuasi dalam aliran barang dan jasa, dan bunga yang
berlebihan dari kredit berjangka pendek, hal ini menyebabkan mereka
sangat rapuh: sehari-hari mereka selalu dibayangi ancaman
kebangkrutan, dan dengan modal pas-pasan, mereka berjuang agar tidak
jatuh ke jurang kemiskinan. Kondisi mereka yang sangat rapuh
menyebabkan mereka tergantung pada para kapitalis monopoli dalam
transaksi sehari-hari. Para pemasok dan calo selalu menyediakan barang-
barang dengan segala macam persyaratan yang harus ditanggung oleh
borjuis kecil; sementara para pemilik truk mematok harga seenaknya
untuk setiap muatan yang mereka bawa—hal demikian menyebabkan para
pemilik toko kecil selalu merasa terjepit dari segala sisi, baik itu oleh para
pesaing yang besar maupun yang sama-sama kecil, ditekan oleh para
kreditor, perusahaan pengangkutan/ekspedisi, makelar dan sebagainya.
Dalam situasi yang sedemikian menekan itu, borjuis kecil justru semakin
tergantung pada patronnya untuk bisa terus menjalankan usahanya, dan
dalam banyak kasus, mereka pun tergantung secara politik terhadap si
patron tersebut. Borjuis kecil yang mengoperasikan bisnisnya di wilayah
borjuasi, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan orientasi politik
yang dominan di wilayah itu. Di samping itu, borjuis kecil condong ter
konsentrasi bermukim di wilayah-wilayah sekitar pusat kota. Dengan
demikian ia akan lebih dekat dengan pusat dunia bisnis, kaum profesional
dan para pegawai kerah putih yang bekerja di perusahaan-perusahaan
besar. Sehingga ia selalu ada dalam tekanan pengaruh nilai-nilai serta
orientasi politik kelompok masyarakat tadi. Tegasnya, borjuis kecil itu
dihisap dan sekaligus tergantung kepada borjuasi. Dalam pandangan
dunia usahawan kecil, problema sehari-hari hanya berkisar soal harga dan
laba: kebencian, dendam dan permusuhan politik mereka tercantum dari
angka-angka yang tertera dalam mesin penghitung uangnya. Borjuis kecil
memusuhi siapa saja, baik itu pemerintah—karena mereka mengontrol
harga-harga—maupun para calo, yang dengan mematok harga tinggi
menyebabkan borjuis kecil hanya meraih keuntungan sedikit. Borjuis kecil
ini merasa benci karena harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan
besar, sekaligus gemetar di hadapan ancaman nasio nalisasi perusahaan-
perusahaan mereka oleh pemerintah UP.
Borjuis kecil adalah salah satu lapisan sosial penting yang mendukung
penggulingan Allende. Meskipun alasan-alasan dukungan yang mereka
berikan dan keterlibatan mereka dalam perpolitikan sayap kanan sangat
beragam dan rumit, setidaknya terdapat 3 cara untuk menganalisanya:
secara struktural, organisasional dan secara ideologis. Pada setiap level
analisa tersebut, selalu ada “kemungkinan” bahwa sesungguhnya borjuis
kecil bisa dicegah untuk tidak dimobilisir menjadi sebuah kekuatan massal
oleh sayap kanan. Posisi struktural borjuis kecil sesungguhnya
kontradiktif, ideologinya bisa ke mana-mana dan mendua, lagi pula
organisasinya yang cukup otonom memungkinkan berkembangnya
beragam aliran politik alternatif, dan ini setidaknya bisa mencegah energi
politik borjuis kecil untuk tidak dijadikan ujung tombak perpolitikan sayap
kanan.
Di sini kita bisa melihat adanya 4 formasi politik sayap kanan. Yang
pertama adalah Partai Kristen Demokrat, mereka ini mewakili fraksi
borjuasi yang bergerak di bidang konstruksi, jasa, industri, borjuasi
dagang, modal asing, kelompok-kelompok tertentu borjuis kecil (seperti
pemilik toko, kaum profesional), dan sebagian besar pegawai kerah putih
serta sebagian kecil buruh industri yang masih terpengaruh oleh
Katolikisme. Dalam pandangan politiknya, partai ini cenderung
memperjuangkan tatanan sosial kapitalis yang masih memungkinkan
negara untuk campur tangan guna mempromosikan borjuasi nasional
dalam berhubungan dengan modal luar negeri. Dengan hanya sejumlah
kecil kaum liberal—yang menentang kudeta militer—dalam partai ini
(walaupun mereka ini cukup berperan dalam keberhasilan kudeta
tersebut), dan dengan terjadinya proses militerisasi pemerintahan
sesudah kudeta, serta setelah sejumlah pimpinan konservatif dalam partai
berhasil disingkirkan, Partai Kristen Demokrat kemudian mengambil sikap
kritis, namun tetap moderat, terhadap pemerintahan militer paska kudeta
ini. Kaum Kriten Demokrat merupakan wakil sayap kanan yang
menggunakan kudeta militer tersebut untuk memulihkan rejim
parlementar lain yang kapitalis, membersihkan sayap kiri dan membangun
tatanan sosial yang memungkinkan borjuis nasional, yang bekerja sama
dengan modal imperialis, untuk mengeksploitasi Chili.
Di posisi yang lebih kanan lagi di banding Partai Nasional, terdapat sebuah
organisasi paramiliter [iii] yang bergerak di luar parlemen, yakni
organisasi Patria y Libertad (Tanah Air dan Kebebasan). Organisasi ini
dipenuhi dengan banyak kepentingan dan orientasi personal yang saling
bertumpang tindih, namun pada hakekatnya ia merupakan organisasi
yang pro-kapitalis. Patria y Libertad didukung oleh golongan-golongan
borjuasi nasional dan asing yang alat-alat produksinya sudah diambil-alih
pemerintah Allende (yakni bekas tuan tanah, bekas bankir dan elemen-
elemen dendam dari kelas borjuis). Tindakan-tindakan politiknya yang
ekstrim telah mampu menyeret pemuda borjuis yang tergabung dalam
Partai Nasional; sumber keuangannya yang luas bisa dimanfaatkan untuk
merecruit kaum lumpenproletariat[iv] ke dalam organisasi ini. Dan
kekuatan yang terakhir, yang merupakan kekuatan politik paling agresif
dan berpengaruh di kalangan sayap kanan Chili, adalah Angkatan Darat
dan Kepolisian Federal (carabineros). Pimpinan militer, yang sebelum
terjadinya kudeta dilukiskan oleh Partai Komunis sebagai “kekuatan
nasional-patriotik dan konstitusionalis”, adalah kekuatan anti demokrasi
parlementer, pro kapitalis (khususnya pro modal asing) dan bertujuan
menerapkan bentuk kekuasaan korporatis serta militeristik. Meskipun
banyak perwiranya berasal dari kelas “borjuis kecil”, namun pilihan
penggalangan strateginya lebih dipengaruhi oleh aliansi-aliansi politik dan
sosial yang berkembang sebelum, selama dan sesudah kudeta, ketimbang
dipengaruhi asal-usul kelasnya. Kaum borjuasi dan pemerintah Amerika
Serikat, dengan modal internasional yang dialirkannya ke Chili, telah
menjadi penentu kebijakan sosial ekonomi. Berdirinya kekuasaan teror
militer di Chili merupakan upaya untuk mengamankan kebijakan
pembangunannya. Ia dirancang untuk menjaga kepentingan-kepentingan
basis sosial rejim militer dalam menghadapi meluasnya oposisi yang nyata
maupun yang masih potensial.
Mata rantai yang paling ujung dari rangkaian organisasi koalisi dan
aktivitas anti-Allende tersebut adalah persekongkolan perusahaan besar-
CIA-militer-pemerintah AS dan kelompok-kelompok militer-perusahaan
besar Brazil. Dengan dorongan dari pihak koalisi anti pemerintah, agen-
agen kredit dan bank-bank swasta AS menghentikan pemberian kredit
jangka pendek. Dan pengiriman barang yang sudah dipesan, juga
ditunda-tunda oleh perusahaan-perusahaan AS—hal ini mengakibatkan
kelangkaan barang kebutuhan sehari-hari. Kelangkaan barang-barang ini
sangat mempengaruhi konsumen kelas menengah rendahan, para pemilik
truk, pengusaha kecil dan professional—mereka ini adalah konsumen yang
sangat tergantung pada barang-barang buatan AS. Oleh karenanya tidak
mengherankan, jika massa borjuis kecil ini—yang diorganisir, dipasok
informasi, dan yang diarahkan oleh pimpinan-pimpinan sayap kanan
asosiasi—kemudian memusuhi pemerintah. Akan tetapi, karena
pemerintah Allende lebih memilih menjaga hubungan baik dengan
pemerintah AS, ia tidak sungguh-sungguh dalam memobilisir kekuatannya
dalam menentang biang keladi dari kekacauan penyediaan barang ini.
Walaupun memutuskan dengan pemerintah AS, pemerintah tidak
mendapatkan apa-apa secara ekonomis, bahkan keputusan tersebut lebih
banyak merugikan pihak pemerintah Allende secara politis. Namun
sementara itu, pihak koalisi oposisi telah memperbesar upayanya dalam
menarik dukungan dari luar negeri secara rahasia: pasokan dana dan
militer, dukungan taktis dan bantuan logistik terus mengalir dari AS dan
Brazil. Pihak koalisi, baik dengan menjanjikan datangnya “jaman
keemasan” maupun menggunakan ancaman serangan fisik, menawarkan
hadiah-hadiah bagi individu-individu maupun asosiasi yang mau
menghentikan aliran barang dan jasa kepada konsumen. Situasi demikian
—dalam suasana terkepung oleh kekuatan-kekuatan yang siap tempur,
yang memusuhi dan sekaligus membujuknya untuk bergabung—telah
menyebabkan elemen-elemen yang apolitis sekalipun seperti: para
pengusaha truk, pemilik toko, supir-supir bus atau para dokter terseret
oleh seruan bagi “kesatuan aksi” menentang pemerintah. Di tengah
lingkungan keseharian seperti itu, setiap individu borjuis kecil (walaupun
dia itu seorang demokrat atau bahkan sosialis sekali pun) berada dalam
keadaan terpojok; pihak oposisi tidak banyak memberikan pilihan, dan
pemerintah pun tidak mengambil tindakan tegas untuk menghadapi
tantangan tersebut.
Selama ini diskusi tentang kesadaran kelas pekerja bersifat statis dan
terlalu stereotype. Kaum Maois dan Troskyis berpendapat bahwa selama
periode antara 1970-1973, kelas pekerja Chili sesungguhnya sudah
menjadi kekuatan revolusioner, sudah berjuang untuk sosialisme, namun
mereka itu dipimpin oleh pimpinan reformis dan birokratis “yang
berkhianat”, sehingga mereka melenceng dari “apa yang seharusnya”. Di
lain pihak, kaum komunis dan sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum
buruh masih berkesadaran “ekono- mistis” dan hanya bisa meraih
kesadaran sosialis setelah melalui pendidikan sosialis dan mengalami
perubahan ekonomi secara bertahap di bawah kepemimpinan partai.
Namun kedua macam pandangan itu tidak bisa memahami bahwa
kesadaran sosialis sesungguhnya merupakan proses yang berkembang
dari perjuangan kelas, di mana kelas pekerja bisa mengembangkan
instrumen-instrumennya untuk mengontrol dan mengarahkan aktivitas
ekonomi [vii]. Pengalaman Chili sesungguhnya sudah mengungkapkan
tidak tepatnya analisa yang “statis” terhadap kesadaran kelas pekerja.
Pendapat “yang kekiri-kirian” tidak bisa menjelaskan alasan di balik
dukungan kelas pekerja terhadap politik parlementarian dan politik
kesejahteraan[viii] yang dicanangkan pada tahun pertama pemerintahan
Allende. Demikian juga dengan analisa “reformis”, mereka tidak bisa
menjelaskan semangat politik konfrontatif dan menjamurnya pusat-pusat
kekuasaan kelas pekerja yang otonom dari pemerintah, terutama selama
tahun terakhir kekuasaan Allende. Artinya, mereka semua gagal dalam
memahami situasi di mana kelas pekerja, yang semula mendukung
kepemimpinan politik yang reformis [ix] (termasuk mendukung strategi
dan programnya), kemudian berkembang menjadi kelas yang
revolusioner, walaupun tanpa kepemimpinan revolusioner. Tanpa
melewati periode politik reformis, kelas pekerja tak akan bisa
mengembangkan perspektif revolusionernya yang kemudian melintasi
kerangka “formal” yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka.
Dengan demikian, periode reformis merupakan kondisi yang dibutuhkan
bagi mobilisasi kelas dan merupakan penciptaan kondisi untuk
melancarkan perjuangan revolusioner. Namun ketidakmampuan dalam
menterjemahkan pandangan-pandangan politiknya yang mendasar dan
dalam menerapkan strategi baru oleh para pimpinan reformis di tengah-
tengah situasi politik yang terus berubah, telah menjadi penghalang serius
dalam memperjuangkan sosialisme.
Pada awalnya, yakni pada bulan September 1970, sebagian besar kelas
pekerja Chili mendukung politik parlementarian dan kebijakan ekonomi
negara kesejahteraan yang diterapkan pemerintah. Enam bulan
kemudian, politik parlementarian dan kesejahteraan itu didukung oleh
sekitar 75% kaum buruh, hal ini tercermin pada pemilihan tingkat kota
praja (April 1971). Namun setelah melalui masa dua setengah tahun, 75%
kaum buruh di Chili lebih mendukung cara-cara ekstra-parlementer
(dengan cara menduduki pabrik, mempersiapkan aksi-aksi frontal,
mengkritik kelemahan pemerintah dalam menghadapi kaum Kanan) untuk
menghadapi para teroris sayap kanan, melakukan sosialisasi dalam
perekonomian, meningkatkan produksi serta menginstitusikan kekuasaan-
kekuasaan baru kelas pekerja.
Sampai saat itu, para pejabat sayap kiri masih menganggap para buruh
Chili belum berkesadaran sosialis, artinya mereka masih dianggap
“ekonomistis”. Mereka telah berupaya sekuat tenaga untuk memperluas
kesadaran politik di kalangan pekerja. Upaya tersebut dilakukan dengan
mengkombinasikan program-program pendidikan dan distribusi. Akan
tetapi, walaupun sejumlah buruh sudah menyadari implikasi-implikasi
politik yang ditimbulkan dari penggunaan metode-metode ini, namun
pengalaman-pengalaman praktis yang dihadapi kelas pekerja dalam
menjalankan produksi di pabrik-pabrik telah mendorong maju kesadaran
sosialis di kalangan mereka. Upaya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
resmi sayap kiri untuk memisahkan sosialisme dengan pengalaman
praktis perjuangan kelas pekerja, (artinya memperkenalkan sosialisme
dengan hanya menggunakan metode pendidikan) telah menghambat
perkembangan kesadaran kelas pekerja secara kualitatif. Oleh karenanya
tidak lah mengherankan jika meluasnya radikalisasi di kalangan kelas
pekerja lebih didorong oleh faktor-faktor eksternal, yakni terdorong oleh
aktivitas-aktivitas oposisi terhadap pemerintah. Dalam hal ini, pihak
oposisi memancing munculnya masalah yang mendasar, yaitu konflik di
pusat-pusat produksi. Menurut kaum oposisi, yang menjadi masalah
bukanlah masalah produksi (sebagaimana yang ditekankan oleh pejabat-
pejabat resmi sayap kiri), melainkan: siapa kah yang mengontrol alat-alat
produksi? Dengan melakukan penutupan pabrik-pabrik dan melarang
buruhnya untuk bekerja, kaum majikan berarti menolak segala argumen-
argumen “produksionis” yang diajukan oleh pejabat resmi sayap kiri,
karena pokok masalahnya adalah: hegemoni kelas, yang sekarang sedang
diuji dan diperebutkan oleh kelas borjuasi dengan kelas pekerja. Dengan
demikian, bisa dikatakan, kesadaran kelas pekerja bersesuaian (namun
sekaligus saling berhadapan dengan) kesadaran kelas borjuasi. Dengan
mendudukkan problem produksi di bawah persoalan penguasaan alat-alat
produksi, maka kelas pekerja dihadapkan pada 2 pilihan, yakni: kelas
pekerja—dengan pimpinan kelas kapitalis—memilih mogok kerja, menutup
pabrik-pabrik dan menentang pemerintah, atau, merebut industri-industri
tersebut dari tangan kelas kapitalis dan menyerahkannya pada
pemerintah, yang notabene adalah pemerintahan kelas pekerja. Kelas
pekerja memilih yang terakhir; pejabat-pejabat sayap kiri dalam
pemerintahan tidak menjatuhkan pilihan.
Sementara itu, pada tingkat lokal, pimpinan buruh tetap konsisten. Kaum
pekerja mulai mengalihkan dukungannya ke sosialis radikal yang
tergabung dalam Gerakan Aksi Persatuan Rakyat (MAPU, yang dipimpin
oleh Oscar Garreton), Kristen Kiri (IC), dan Gerakan Kiri Revolusioner
(MIR); namun berragamnya organisasi-organisasi kiri yang ada, serta
masih bergabungnya sosialis-sosialis radikal dalam Partai Sosialis (PS)—
yang khawatir jika mereka meninggalkan partai tersebut akan
menyebabkan jatuhnya Allende dan “memecah belah kekuatan kelas”,
dan lagi pula mereka tetap berharap masih mungkin untuk mengerahkan
dukungan mayoritas kelas pekerja dalam perjuangan mereka merebut
kepemimpinan partai—telah menyebabkan an Kiri Revolusioner (MIR);
namun beragamnya organisasi-organisasi kiri yang ada, serta masih
bergabungnya sosialis-sosialis radikal dalam Partai Sosialis (PS)—yang
khawatir jika mereka meninggalkan partai tersebut akan menyebabkan
jatuhnya Allende dan “memecah belah kekuatan kelas”, dan lagi pula
mereka tetap berharap masih mungkin untuk mengerahkan dukungan
mayoritas kelas pekerja dalam perjuangan mereka merebut
kepemimpinan partai—telah menyebabkan masalah yang sangat
mendasar, yakni: tidak adanya alat-alat organisasional dan strategi yang
bisa menghimpun massa pengikutnya dalam mewujudkan program
tersebut. Dalam hal ini, sayap radikal PS dihadapkan pada dilema, karena
bagaimanapun juga, mereka secara organisasional terikat dengan UP.
Sebaliknya, UP selama ini terobsesi untuk membuat kesepakatan dengan
minoritas sayap kiri Kristen Demokrat, namun yang tetap terikat pada
pimpinan sayap kanan yang mendominasi partai tersebut yaitu Eduardo
Frei, (yang justru sedang melibatkan diri dalam persiapan kudeta).
Dengan demikian sayap radikal PS menjauhkan diri dari massa pekerja
radikal yang sebenarnya mampu membangun basis baru bagi kubu
kekuatan revolusioner. Di lain pihak, organisasi MIR tidak memiliki kader-
kader kelas pekerja dan jaringan di pusat-pusat industri kunci, sehinga ia
tidak mempunyai pengaruh yang penting di kalangan kekuatan paling
revolusioner dalam masyarakat Chili—yakni kelas pekerja. Karena banyak
bergerak di luar pabrik, MIR, walaupun memiliki strategi yang tepat dan
kedisiplinan organisasi, tidak bisa mengarahkan buruh dalam menghadapi
konfrontasi-konfrontasi yang akan terjadi kemudian. Ikatan-ikatan antara
kelas pekerja dengan partai-partai tradisional sayap kiri telah terjalin kuat
melalui perjuangan dan pengalaman bersama selama puluhan tahun,
sehingga ikatan-ikatan tersebut tidak mudah putus begitu saja. Adalah
lebih mudah bagi kaum buruh untuk mengalihkan dukungan mereka dari
satu fraksi ke fraksi lainnya, dari satu taktik ke taktik lainnya dalam
partai, ketimbang bergabung dengan organisasi lain yang tidak punya
basis di pabrik-pabrik.
[i] Golpe adalah kata dalam bahasa Spanyol, yang artinya adalah kudeta;
golpista artinya adalah para pelaku atau simpatisan kudeta.
[ii] Pola pembangunan yang tidak seimbang dalam sektor industri di Chili
sangatlah kentara, di mana 114 firma mengontrol produksi, sementara
ada sekitar 35.000 firma (yang mempekerjakan sebagian besar angkatan
kerja di Chili) yang tumbuh bagaikan jamur dalam sistem industrinya. Di
seluruh negeri, asosiasi pengusaha eceran mempunyai anggota sebanyak
160.000 orang, di mana sebagian besar- nya adalah para pemilik toko
kecil di luar pemilik supermarket.
ALENDEBURUHCHILIIMPERIALISKANANKAPITALISKIRIMILITERPARAMILIT
ERPINOCET
SHARE
GOOGLE+
ANALISA
PAPUA
POLITIK
TINGGALKAN BALASAN
Your email address will not be published. Required fields are marked *
PREVIOUS POST
NEXT POST
AGENDA
no event
KOMENTAR
RANDOM POSTS
September 4, 2009
April 9, 2013
ARSIP
Arsip