Anda di halaman 1dari 15

Definisi dan batasan

Sosiologi = ilmu yg mempelajari masalah


hubungan antar manusia; bahwa perilaku
manusia umumnya dipengaruhi oleh kelompok
tempat ia terlibat sebagai anggota dan oleh
interaksi yang terjadi dalam kelompok itu.
Ilmu politik juga mempelajari hubungan antar
manusia, terutama menyangkut hubungan
kekuasaan.
Duverger melihat politik tidak lain tidak bukan
adalah kekuasaan.
Seiring dengan revolusi behavioral dalam teori
politik, maka unit analisis ilmu politik adalah pada
perilaku individu atau kelompok.

G
lo
ba
l
Li
ng
ku
ng
an

Negara

Masyarakat

Kekuasaan dalam
konteks Sosial

Individu

Makna dan Ruang Lingkup


SOSIOLOGI POLITIK

Pertemuan 1
DMK: Zamzami A Karim

Sifat kontradiktif dan ambivalen


1.

2.

Politik bisa dipandang sebagai arena pertarungan untuk


merebut, mengendalikan, dan mempertahankan
kekuasaan di dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai
biang konflik dan alat menindas.
Politik juga bisa dipandang sebagai upaya menegakkan
ketertiban dan keadilan melalui sarana kekuasaan
sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan
umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai
kelompok kepentingan. Kekuasaan sebagai alat
pengintegrasian.

as
d
n
i
n
e
P
t
a
l
A
dan
l ik
f
n
o
K
g
n
a
i
b

Alat P
elindu
ng
dan
Integra
si

Sosiologi politik :
Studi tentang fenomena kekuasaan (pemerintahan,
otoritas, komando) di dalam setiap pengelompokan
manusia (bangsa, kota, asosiasi, buruh, suku,
kampung, dsb), bukan hanya di dalam negara (nationstate) (Duverger 1989: 19)
Berupa penelitian mengenai hubungan antara
masalah-2 politik dan masyarakat, antara struktur
sosial dan struktur politik, dan antara tingkah laku
sosial dengan tingkah laku politik (Rush & Althoff
2003: 5).
Secara umum berkaitan dengan relations between
state and society (Nash 2000: 1). Tetapi Nash
berpegang pada lonjakan paradigma pengertian
dalam sosiologi politik dari state centered, class-based
models of participation kepada pemahaman tentang
politik sebagai potensi yang terdapat dalam semua
pengalaman sosial (an understanding of politics as
potential in all social experiences) (Nash 2000: 2-3).

Ruang Lingkup
Perluasan cakrawala analisis politik dengan
saling memanfaatkan kerangka analisis sosiologi
dan politik untuk memahami hubungan timbal
balik antara variabel politik dan variabel sosial.
Praktek kekuasaan dalam kehidupan sosial
sehari-hari, baik yang berhubungan dengan
negara maupun non-negara.
Kajiannya menyangkut, sosialisasi politik,
partisipasi politik, identitas dan kultur politik, dan
globalisasi kekuasaan.
Masalah pokok dalam sosiologi politik juga
meliputi: Masyarakat, Negara, Tertib Sosial dan
Perubahannya, Ketimpangan dan Pelapisan
Sosial, Politik, Partisipasi Politik, dan Kekuasaan.

Fokus perhatian Sosiologi Politik menurut Rafael


Raga Maran (2001: 1), a.l.:
a) Melihat dan memahami pengaruh masyarakat terhadap
kekuasaan politik atau pemerintah:
i. Secara umum, sosiologi politik mengkaji hubungan
antara MASYARAKAT dan NEGARA (sama halnya dengan
pandangan Nash).
ii. Secara khusus, sosiologi politik mengkaji kondisi-2 sosial
yang mempengaruhi pembuatan program-2 publik yang
ditetapkan pemerintah. Misalnya pengaruh kelompok-2
sosial tertentu terhadap penetapan kebijakan-2 publik
oleh pemerintah.
b) Mengkaji bagaimana pengaruh masyarakat terhadap norma2 rejim;
i. yaitu mengkaji kondisi-2 sosial yg memungkinkan
terwujudnya suatu demokrasi politik yang stabil, atau
ii. persyaratan-2 sosial apa yang harus dipenuhi agar
terwujud suatu tatanan politik atau kekuasaan yang
demokratis.

Political sociology; From Wikipedia, the free


encyclopedia
Sosiologi politik merupakan study tentang basis sosial dari politik.
Terdapat 4 bidang kajian utama dalam sosiologi politik kontemporer:
(1) the social formation of the modern state,
(2) "who rules"?--that is, how social inequality between groups (classes,
races, genders, etc.) affects politics,
(3) how social movements and trends outside of the formal institutions of
political power affect politics, and
(4) power in small groups (e.g. families, workplaces).
Bidang ini juga melihat bagaimana kecenderungan sosial utama
dapat mempengaruhi proses politik, dengan menggali
bagaimana berbagai kekuatan sosial secara bersama-sama
berhasil merubah kebijakan2 politik.
Beberapa model teoritis dalam sosiologi politik antara lain (a) the
power-elite model, (b) the pluralist model, dan (c) the Marxist politicaleconomic model.

Power-elite model
Model power-elite merupakan satu analisis sosiologis dari ilmu
politik yang didasarkan atas teori konflik sosial yang memandang
kekuasaan terkonsentrasi di sekitar orang-2 kaya.
Istilah "power elite", ditemukan pada 1956 oleh pakar teori socialconflict C.Wright Mills, untuk menggambarkan kelompok the upper
class, yang menurut Mills, menguasai atau mengendalikan
kekayaan, kekuasaan dan prestise dari golongan mayoritas
masyarakat.
Golongan ini secara teoritis memegang kendali terhadap 3 sektor
utama di dalam masyarakat AS: the economy, government, dan the
military.
Termasuk juga di antaranya adalah para pejabat tinggi dalam
pemerintahan pusat maupun daerah, orang2 super kaya (super rich),
dan pejabat tinggi militer AS.
Teori power-elite berpendapat bahwa Amerika bukan negara
demokrasi karena kekuasaan dan kekayaan terkonsetrasi di antara
golongan elit kekuasaan yang membungkam mayoritas warganegara
yang ditinggalkan tanpa hak suara.
Lebih dari itu, model ini menunjukkan bahwa golongan elit
kekuasaan kurang mendapat oposisi yang terorganisasi terhadap
dominasi mereka dan oleh karena itu mereka memiliki kontrol yang
utuh ke atas masyarakat.

Pluralist models
Dalam sistem politik yg demokratis, pluralism
merupakan satu panduan prinsipil yang mengakui
kehidupan bersama yang damai dalam perbedaan
kepentingan, keyakinan dan gaya hidup.
Tidak seperti totalitarianism or particularism, pluralism
mengakui diversity of interests dan menganggapnya
sah bagi anggota masyarakat untuk bekerja atas dasar
kesadaran mereka, mengemukakannya dalam proses
konflik dan dialog.
Dalam filsafat politik, orang yang menganut pluralism
sering dianggap sebagai kaum liberalist, sedangkan
orang yang membahasnya dengan sikap yang lebih
kritis terhadap the diversity of modern societies sering
disebut communitarians.
Dalam politik, pengakuan akan keragaman kepentingan
dan keyakinan di kalangan rakyat merupakan salah satu
ciri terpenting demokrasi modern.

Marxist political-economic models

Karl Marx telah membangun model ekonomi politik berdasarkan


kritiknya terhadap keadaan pada zamannya di Inggris awal abad 20, di
mana mereka membahas tentang hubungan-2 sosial dan hubungan-2
ekonomi yang saling terjalin. Marx mengusulkan suatu korelasi yang
sistematik antara nilai-2 - buruh (labour-values) dan nilai uang (money
prices).
Beliau mengklaim bahwa sumber keuntungan di bawah sistem
kapitalisme adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh para pekerja yang
tidak dibayarkan ke dalam komponen gaji mereka. Mekanisme ini
bekerja melalui pemisahan antara tenaga buruh yang dipertukarkan
secara bebas dengan gaji mereka, dan buruh sendiri sebagai aset
para kapitalis yang dengan itu mengontrol keuntungan.
Berdasarkan itulah, Marx, mengembangkan konsep "surplus value",
yang membedakan karyanya dengan para ekonom klasik seperti Adam
Smith dan David Ricardo.
Para pekerja menghasilkan cukup nilai (pendapatan) selama satu
periode masa kerja yang pendek utk mendapatkan gaji pada hari itu
(necessary labour); namun, mereka melanjutkan dengan lembur
beberapa jam untuk menghasilkan tambahan pendapatan (surplus
labour). Nilai pendapatan tersebut tidak mereka terima kembali,
melainkan diambil oleh para kapitalis.
Jadi, bukan para penguasa kelas kapitalis yang menciptakan kekayaan
(wealth), melainkan para pekerja, sedangkan para kapitalis
menggunakan keuntungan ini untuk diri mereka sendiri.

Analisis Kelas
Kaum Marxists percaya bahwa aslinya masyarakat kapitalis dibagi dalam
dua kelas sosial yang kokoh:
(a) the working class or proletariat (kelas proletar): Marx
mendefinisikannya sebagai "those individuals who sell their labor and
do not own the means of production" yang diyakininya
bertanggungjawab dalam menghasilkan kekayaan bagi suatu
masyarakat (bangunan, jembatan dan berbagai perabot, sebagai
contoh, yang secara fisik dikerjakan oleh anggota kelas ini). Ernest
Mandel, dalam An introduction to Capital, memperbarui definisi ini
sebagai orang yang bekerja demi menyambung hidupnya (baik
"white collar" or "blue collar") dan mereka tidak punya tabungan
yang berarti, di mana tabungan yang banyak merupakan ciri tipikal
investasi dalam bentuk abstrak dari alat produksi pada basis
pemegang saham.
(b) the bourgeoisie (kelas borjuis): yaitu orang yang own the means of
production" dan mengeksploitasi kaum proletariat. Kaum borjuis bisa
dibagi lagi kedalam the very wealthy bourgeoisie dan the petty
bourgeoisie (mempekerjakan buruh, tapi juga bekerja sendiri).
Mereka terdiri dari para pemilik usaha kecil, petani pemilik tanah,
atau pedagang. Marx memprediksi bahwa the petty bourgeoisie akan
dihancurkan oleh penemuan kembali alat-alat produksi dan hasilnya
akan menjadi pendorong gerakan dari mayoritas luas borjuis kecilkecilan ini kepada proletariat.

Karl Marx

From a Marxist perspective, the actually-existing basic


classes in today's advanced economies are the capitalist
class, the new middle classes who engage in both
labour and managerial responsibilities, self-employed
proprietors, the working class and a lower "lumpenised"
stratum.
At first the bourgeoisie, and now the proletariat, are
considered to be the universal class, the section of
society best equipped to take human progress forwards
a further step.
Marx developed these ideas to support his advocacy of
socialism and communism: "The philosophers have only
interpreted the world differently; the point is, to change
it." Communism would be a social form wherein this
system would have been ended and the working classes
would be the sole beneficiary of the "fruits of their
labour".

Some of these ideas were shared by anarchists, though


they differed in their beliefs on how to bring about an end
to the class society. Socialist thinkers suggested that the
working class should take over the existing capitalist state,
turning it into a workers revolutionary state, which would
put in place the democratic structures necessary, and then
"wither away". On the anarchist side people such as
Mikhail Bakunin and Peter Kropotkin argued that the state
per se was the problem, and that destroying it should be
the aim of any revolutionary activity.
Many governments, political parties, social movements,
and academic theorists have claimed to be founded on
Marxist principles. Social democratic movements in 20th
century Europe, the Soviet Union and other Eastern bloc
countries, Mao and other revolutionaries in agrarian
developing countries are particularly important examples.
These struggles have added new ideas to Marx and
otherwise transmuted Marxism so much that it is difficult to
specify its core.

Anda mungkin juga menyukai