Anda di halaman 1dari 8

*STRATEGI PERJUANGAN GMNI

Pada masa lalu, para penulis tentang petani sangat menekankan sifat mereka yang "lokal," parokial,"
atau memiliki kepentingan "sektoral" yang kuat, sebagai lawan dari yang berwatak nasional,
universalistik dan memiliki kepentingan kelas. Versi terakhir dari persepsi ini ditemukan dalam banyak
penulis, pemimpin-pemimpin organisasi non pemerintah (NGO dan wartawan) yang memfokuskan
perhatiannya pada "kepentingan mikro," partisipasi lokal dan proyek-proyek komunitas petani dan
"identitas politik" mereka. Berlawanan dengan aliran pemikiran lainnya yang menekankan pada potensi
revolusioner petani, sebuah persepsi umum yang banyak ditemukan saat-saat ini.

Namun hingga sejauh itu, tidak ada "pemikiran" yang sanggup menangkap kompleksitas, perubahan,
dan dialektika perjuangan yang melibatkan gerakan tani. Padahal, hampir seluruh gerakan tani besar di
Amerika Latin, terlibat dalam perjuangan dan kampanye yang bersifat lokal, nasional bahkan
internasional. Pertama, dalam banyak kasus, perjuangan lokal yang disebabkan oleh kekerasan terhadap
hak asasi manusia menjadi dasar bagi mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional. Kedua,
sebagian besar gerakan membangun basis "lokal" bagi hegemoni politiknya sebagai batu loncatan
(pringboard) menuju kekuasaan nasional dan menantang kekuasaan negara. Sebagai contoh adalah
kasus CONAINE (National Confederation of Indigenous Nationalities) di Ekuador dan Cocaleros (Petani
koka) di Bolivia. Ketiga, ketika kelompok-kelompok Etnis, atau Indian/African American
mempertahankan hak-hak asasi dan pusat otonominya, banyak gerakan tani memiliki hubungan yang
kuat dengan kepentingan kelas dan aliansi horisontal dengan kelas-kelas terhisap lainnya.

Baik konsepsi mikro dan makro perjuangan petani berwatak mekanis, satu sisi, dan memiliki persepsi
yang tercerai-berai dengan aktivitas dialektik gerakan tani yang mengombinasikan perjuangan lokal dan
nasional, tuntutan sosial dan politik, kelas dan kesadaran etnis. Yang satu tidak bisa menjabarkan pola
aktivitas petani dari waktu dan tempat yang khusus. Sebagai contoh, dalam beberapa penindasan politik
atau kekecewaan politik, gerakan tani mungkin mengganti agenda-agenda tuntutan mereka menjadi
bersifat lokal, khusus dan aktivitasnya lebih pada pembelaan diri. Sebaliknya, pada masa-masa perluasan
keanggotaan dan kemenangan perjuangan, gerakan tani cenderung menaikkan isu-isu berskala nasional
dan menantang otoritas kekuasaan politik pusat. Sebagian besar gerakan tani secara langsung terlibat
dalam satu atau lain bentuk tindakan politik.

Dengan satu pengecualian khusus, seluruh pemimpin-pemimpin utama petani berpikir dan bertindak
untuk mengakumulasi kekuasaan politik dan berharap untuk mengubah, membagi atau mengambilalih
kekuasaan negara. Gerakan tani mengubah perilaku mereka ke arah tindakan langsung dan strategi
elektoral. Dalam beberapa kasus, gerakan bisa mengubah strategi perjuangan, tergantung pada kondisi
eksternal dan perubahan internal. Secara umum, gerakan tani kebanyakan sangat percaya pada strategi
"tindakan langsung," menduduki lahan-lahan besar, menutup jalan raya, atau mengambilalih kantor
kotamadya, dst. Aktivitas elektoral merupakan sebagian bentuk dari penciptaan organisasi politik baru,
atau menjadi pendukung keberadaan gerakan "kiri" perkotaan atau mendukng partai "populis."

Sebuah analisis yang berhati-hati terhadap pengalaman gerakan tani selama 25 tahun terakhir dengan
perbedaan strategi politik, telah mendorong saya pada kesimpulan, bahwa metode tindakan langsung
jauh lebih efektif dan positif ketimbang strategi elektoral dalam mengamankan tujuan-tujuan petani
dalam jangka pendek dan menengah, tanpa mengabaikan pernyataan identitas "formal" partai peserta
pemilu. Sebagai contoh, di Ekuador, CONAINE melalui tindakan langsung sanggup menggulingkan dua
presiden neoliberal yang korup, mengamankan reform-reform sosial yang positif, dan memperkuat
dukungan massa mereka di kalangan masyarakat sipil. Ketika CONAINE berbalik ke arah politik elektoral,
dipengaruhi oleh sikap kekeluargaan dalam partai dan mendukung Presiden Gutierrez, yang terjadi
adalah seluruhnya negatif: turunnya belanja sosial, penindasan politik besar-besaran, perpecahan dan
kekecewaan di kalangan gerakan. Contoh yang sama terjadi di Bolivia, Brazil dan tempat lainnya, dimana
gerakan tani menyandarkan diri pada strategi tindakan langsung terbukti sanggup mengambilalih lahan-
lahan luas melalui pendudukan dan blokade jalan (Brazil) dan menggulingkan presiden neoliberal yang
korup (Bolivia).

Banyak kaum kiri menulis bahwa minimnya peran strategis petani dan dampak politik dari gerakan tani,
disebabkan oleh sumbangan mereka yang kecil terhadap prosentase GNP. Begitu banyak laporan-
laporan yang menulis soal "terpinggirnya" atau "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, meskipun
fakta menunjukkan, sebagian besar pemain kunci dalam sektor agro-ekspor membutuhkan mata uang
yang kuat untuk kepentingan impor dan pembayaran utang. Dan itu semua tak lepas dari sumbangsih
kaum tani. Faktanya, gerakan tani dan produser tetap menyediakan sumber-sumber langsung bagi
pertukaran internasional melalui koka dan komoditi ekspor lainnya, dan pentingnya suplai bagi konsumsi
makanan lokal.

Lebih dari itu, bukti substansial menunjukkan, taktik tindakan langsung yang menyebabkan "terpinggir"
dan "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, memberi dampak strategis pada realisasi
keuntungan yang bisa diakumulasi oleh sebagian besar sektor kunci dari kelas berkuasa.

Teori Marxis berpendapat, sentralisasi proletariat industri dalam perjuangan revolusioner menjadi basis
bagi posisi strategis mereka dalam sektor produksi dan dalam "organisasi sosial" dalam sistem pabrik.
Petani, sebagaimana kita ketahui, "tersisih" dari pusat operasi kapital dan pemilikan pribadi. Sebagai
individu, mereka bersifat atomistik. Sebagai subyek, perilaku petani bersifat "individualistik.

Data dari gerakan-gerakan kontemporer, menantang asumsi-asumsi ini. Di banyak negara, petani
mendemonstrasikan kemampuannya yang luar biasa untuk bertindak secara kolektif dan bersolidaritas,
ketimbang buruh perkotaan. Secara tetap, fokus dari aksi-aksi mereka semakin meluas ke tingkat
nasional. Atau isu-isunya bukan semata tuntutan upah yang sempit sebagaimana yang dilakukan oleh
serikat buruh industrial. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan
langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya (municipal),
long-march besar-besaran, pemogokan dan boikot oleh produser, serta barikade dan blokade jalan.
Dalam banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan, dari tindakan
langsung ke negosiasi dan politik elektoral. "Kohesi" petani datang dari struktur komunitas habitat
pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas, dan ancaman bencana yang ditiupkan oleh
kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat
tinggalnya.

Persamaan yang signifikan, bentuk-bentuk khusus dari kerugian struktural akibat aksi petani sangat
berdampak dalam model kapitalis neoliberal. Lebih khusus lagi, jika aksi-aksi itu bertujuan mencegah
sirkulasi ekspor komoditi oleh pengusaha-pengusaha pertanian-tambang dan manufaktur dan
pencapaian keuntungan. Dengan kata lain, petani mungkin tidak memainkan peran yang esensial dalam
produksi kapital tetapi, mereka memainkan peran esensial dalam sirkulasi komoditi dan dalam proses
pertukaran. Peran strategis petani dalam mengguncang sirkulasi sama pentingnya dengan buruh pabrik
yang mematikan alat-alat kerjanya dan menghentikan produksi: mereka tidak saja merusak keuntungan
kaum kapitalis tetapi, juga memimpin perjuangan ketika terjadi disakumulasi dan krisis. Intervensi politik
pada lokasi-lokasi strategis dalam sirkuit reproduksi kapitalis, menyebabkan gerakan tani secara dinamis
memainkan peran strategis dalam proses transformasi sosial.

PEMETAAN GERAKAN MAHASISWA DIKAMPUS

Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak,
mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari
orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan
pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas".
Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai
kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi
yang sesungguhnya, yaitu dalam proses produksi.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, awalnya sekolah-sekolah hanya diperuntukan bagi anak-anak penjajah
dan priyayi. Anak kaum Marhaen tidak mungkin bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah.
Sebagai tanda perlawanan maka munculah sekolah-sekolah liar, seperti Sekolah Rakyat yang dibentuk
oleh Tan Malaka di Semarang, Taman Siswa, dan lain sebagainya. Setelah Indonesia merdeka sebelum
Orde Baru berkuasa, anak-anak kaum Marhaen merupakan kader bangsa berjuang untuk mewujudkan
cita-cita Revolusi Indonesia. Setelah Orde Baru berkuasa, maka anak-anak kaum Marhaen telah masuk
ke dalam lingkaran institusi borjuasi dalam membangun masyarakat kapitalisme.

Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan pelajar/mahasiswa kian ramai. Di satu pihak,
masuknya anak-anak kaum Marhaen ke sekolah/universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk
menanamkan ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah satu ilusi yang
paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas", yaitu memperoleh kesejahteraan sebagai
pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kaum Mahaen akan mau mengkhianati
kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan
ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri.
Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara
borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kaum Marhaen. Mereka
menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.

Di pihak lain, kaum Marhaenis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kaum
Marhaen dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada
perjuangan kaum Marhaen, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk perluasan
pendidikan di kalangan kaum Marhaen sendiri, meningkatkan kemampuan kritis mereka, kemampuan
analisa mereka terhadap dunia sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda
pemerintahan ketika kelak kaum Marhaen merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis. Perebutan
keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat Marhaen ini juga adalah sesuatu yang
sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka
sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan Marhaen
yang revolusioner. Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kaum
Marhaen ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kaum Marhaen merebut kekuasaan, mereka
akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan
reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan
minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Investigasi Kampus/Universitas

Dalam pembangunan basis dan menyebarluaskan Marhaenisme di kampus/universitas diperlukan


pemetaan gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari investigasi kampus/universitas. Kegunaan
investigasi kampus adalah membantu GMNI untuk mengenal beragam persoalan, serta dapat
menghitung apa yang menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan lawan. Hal ini dapat membantu GMNI
dalam mengorganisasi mahasiswa dalam perjuangan politik, ekonomi dan ideologi. Perjuangan politik
adalah mengalang kekuatan (machtsvorming) untuk merebut kekuasaan dalam struktural gerakan
mahasiswa di kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, Pers
Mahasiswa, UKM. Perjuangan ekonomi adalah penggunaan kekuatan (machtsanwending) yang
berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan
lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat Marhaen. Perjuangan ideologi
adalah penyebarluasan ideologi di lingkungan basis kampus.

Strategi machtsvorming digunakan ketika GMNI mengorganisasikan dan menyusun kekuatan gerakan
mahasiswa. Awalnya Bung karno menggunakan istilah machtsvorming untuk menggambarkan massa
aksi kaum Marhaen yang radikal, yang mencabut sampai keakar-akarnya imperialisme dan kapitalisme.
Radikalisme inilah yang harus menjadi nyawanya machtsvorming. Bagi Bung Karno, machtsvorming
adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita dengan jalan aksi massa. Selain
pembentukan kekuatan machtsvorming juga berarti penyusunan tenaa semangat, tenaga kemauan,
tenaga roh, dan tenaga nyawa. Sekarang machtsvorming akan diadopsi sebagai straegi kita
mengkonsolidasikan kekuaan mahasiswa.

Strategi machtsanwending dipakai ketika GMNI menggunakan kekuatan mahasiswa, baik sebagai
kekuatan penekan ekstra parlementer, yang berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan
uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan
rakyat Marhaen. Namun kita juga harus memperhatikan kapan, di mana, dan bagaimana kekuatan ini
digunakan.

Hasil investigasi kampus/universitas dan didalamnya terdapat pemetaan gerakan mahasiswa akan
dijadikan dasar analisa untuk berikutnya menentukan strategi yang tepat. Didalam pemetaan akan
dikenali hubungan-hubungan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Apakah memiliki
keterkaitan historis dan ideologis atau tidak berhubungan sama sekali.

Beberapa poin utama yang harus diperhatikan oleh kader GMNI dalam melakukan investigasi kampus,
yakni:

1. Ciri Umum Mahasiswa

Informasi paling penting yang harus betul-betul dipahami oleh kader GMNI dalam membangun basis di
kampus adalah asal-usul kelas dan latar belakang ekonomi para mahasiswa. Analisis demikian kurang
lebih bakal memungkinkan kita, memeriksa secara umum kepentingan-kepentingan dan sikap-sikap
sosial mereka. Misalnya, para mahasiswa yang berasal dari kelas atas pada umumnya lebih sulit untuk
menyerap issu-issu sosial dibanding mereka yang berasal dari kalangan klas menengah dan klas bawah
yang secara mudah bisa dan biasa merasakan kesulitan ekonomi. Ada beberapa tipe mahasiswa yang
harus kita ketahui, yakni :

a. Mahasiswa Hedonis

Kelompok mahasiswa yang paling mayoritas dan terbesar di kampus/universitas. Hasil dari tindakan
refresif dan deposit Orde Kapitalis dibawah rejim Soeharto adalah rakyat yang apolitis dan
mengambang, begitu juga mahasiswa. Mereka ini biasanya hanya berangkat kulah dan pulang kembali
(Mahasiswa PP) tanpa melakukan aktivitas apapun di kampus/universitas dan bersifat hedon dan
pragmatis.

b. Mahasiswa Diskusi

Kelompok mahasiswa yang senang memperdalam teori dengan melakukan kajian-kajian dalam diskusi-
diskusi. Mereka enggan melakukan aksi-aksi dan terjun ke masyarakat sebelum melakukan kajian
matang mengenai aksi yang dilakukan. Mereka cenderung eksklusif dan selalu curiga menerima tawaran
aliansi dari kelompok lain. Hasil dan ukuran keberhasilan aktivitas mereka adalah dengan rutinitas
penerbitan buletin, penulisan paper, penerbitan buku, kegiatan seminar.

c. Mahasiswa Aktivis
Kelompok mahasiswa yang senang aksi dan mudah bereaksi dengan demonstrasi jika ada hal-hal yang
mengusik keadilan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan yang merugikan rakyat,
dll. Keberhasilan keja-kerja mereka diukur dengan rutinitas aksi-aksi dan barometer keberhasilan
pengorganisasian adalah jumlah massa yang ikut terlibat demonstrasi.

d. Mahasiswa Intra Kampus

Aktivis mahasiswa intra kampus adalah mereka yang menjadi pengurus lembaga internal kampus seperti
Senat, BEM, Unit Kegiatan Kampus (UKM), Unit Aktifitas Kampus (UKA), dll, yang biasanya birokratis,
tidak luwes dalam pergerakan, ketergantungan tinggi dengan sarana kampus, militansi sempit dengan
nama kampus.

e. Mahasiswa Ekstra Kampus

Aktivis mahasiswa ekstra kampus adalah mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi ekstra
mahasiswa, seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI (kelompok Cipayung), KAMMI, Gemsos, dll.
Kelompok ini lebih tertata secara organisasional, kental identitas organisasinya, ada kecenderungan
patron pada senior yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan. Ada juga dalam kelompok
aktivis mahasiswa ekstra kampus berupa gerakan yang mengkritisi gerakan pemerintah dan para
pelaku/aktor pembuatan keputusan, baik yang di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang menolak
kooptasi kampus dan Negara. Mereka sangat luwes dalam gerak, mudah mencair dengan kelompok-
kelompok lain untuk kepentingan taktis dan strategis, mampu membangun jaringan bawah tanah
(underground) secara nasional. Walaupun sebenarnya mereka ini dibentuk juga oleh aktivis mahasiswa
ekstra kampus kelompok Cipayung dan alumni Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an dan ada
kecenderungan patron pada alumni kelompok Cipayung dan pada senior kelompok Cipayung dan alumni
Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan Tipe-tipe gerakan
ini misalnya, Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia (FAM-UI), Front Aksi
Mahasiswa untuk Demokrasi (Famred), Kesatuan Aksi Mahasiswa trisakti (KAMTRI), Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Analisis berikutnya, yang harus diselidiki oleh kader GMNI adalah tingkat melek-politik para mahasiswa.
Tingkat kesadaran politik dari mereka yang berada biasanya lebih rendah atau kurang, terlibat dalam
persoalan-persoalan sosial yang tidak secara langsung mereka merasakannya dan tidak secara langsung
menerima dampaknya. Di pihak lain, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin pada umumnya lebih
gampang menyerap persoalan-persoalan rakyat. Sekalipun demikian, hal ini tentu saja tidak berarti
harus kaku, bahwa mahasiswa-mahasiswa kaya tidak akan pernah terlibat dalam aksi-aksi politik, atau
sebaliknya, mahasiswa-mahasiswa miskin dapat juga bersikap apatis atau bahkan memusuhi aksi-aksi
politik.

Selain menganalisis tingkat melek politik para mahasiswa, perlu juga diselidiki dan melakukan pemetaan
terhadap mahasiswa yang lemah dan yang kuat, kompromis dan radikal. Kader GMNI akan melihat
keduanya sebgai peluang dan tantangan sekaligus. Bagaimana memperkuat yang lemah dan menjaga
stamina serta mengarahkan kelompok yang kuat sesuai ideologi GMNI.
2. Organisasi Mahasiswa

Kita juga harus sadar dan awas terhadap bermacam-macam organisasi yang sudah ada.
Keanggotaannya, pengaruhnya, fungsinya dan orientasinya. Hal ini akan memberikan jalan bagi kita,
bagaimana kita akan berhubungan dan bergaul dengan mereka. Hal ini penting karena hanya dengan
mengetahui kekuatan organisasi tersebut kita akan dapat menentukan garis politik kita terhadap
mereka. Pengetahuan terhadap organisasi mahasiswa yang sudah ada di kampus tersebut akan
membantu kita juga dalam hal aliansi taktis dan strategis dalam menggalang isu di kampus dan
perjuangan politik dalam merebut kekuasaan struktural organisasi kemahasiswaan.

Nilai lebih organisasi dalam organisasi mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi,
mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.

2. Pemihakan pada rakyat.

3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:

1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.

2. Metodologi gerakan mahasiswa.

3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan

4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.

Kader GMNI harus mampu melakukan pemetaan ideologis terhadap organisasi-organisasi mahasiswa.
Harus dikenali mana organisasi yang sepaham dan yang berbeda secara ideologi, dan mana yang
ideologinya tidak jelas. Kader GMNI juga harus mampu melakukan pemetaan kekuatan dari organisasi-
organisasi tersebut. Mana yang solid dan kuat, mana yang berafiliasi ke partai politik, mana yang masih
bisa ditumbuhkembangkan, dan mana yang basis massanya besar, dll.

Dibawah ini pemetaan ideologis oganisasi mahasiswa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Nasionalis Sukarnois/Marhaenisme)

2. Himpunan Mahasiswa Indonesia (Islam Politik)

3. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Islam Politik/NU)

4. Perhimpunan Mahasiswa Katholik Indonesia (Katholik)

5. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (Kristen)

6. Liga Mahasiswa Nasional Demokrat (Demokrasi Kerakyatan)


7. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Islam Politik)

8. Gerakan Mahasiswa Sosialis (Sosialisme Kanan)

3. Pejabat-Pejabat Universitas dan Fakultas

Soal lain yang penting yang harus dipertimbangkan oleh kita adalah pejabat Universitas atau Fakultas.
Kader GMNI harus bisa menilainya dalam kerangka mencapai tujuan, keinginan dan orientasi yang
dicita-citakan oleh organisasi kita. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan di antara
mereka (para pejabat tersebut), tokoh-tokoh kunci yang paling berpengaruh dalam pengambilan
keputusan universitas atau Fakultas. Status ekonominya harus didapatkan sehingga kita akan
memperoleh ide dan penilaian mengenai pandangan maupun sikap politik mereka.

Persepsi dan analisis kita terhadap para pejabat akan kita masukan kedalam klasifikasi yang sudah kita
buat sesuai dengan tujuan dan orientasi organisasi kita, yakni : (a) terbuka, (b) Represif atau menindas
(c) Simpati, (d) Terang-terangan mendukung. Apabila mungkin kita perlu juga harus mengamati
pengalaman-pengalaman organisasi lain yang berhadapan dengan para pejabat ini.

Dan seorang kader GMNI dituntut untuk menguasai beberapa hal yang wajib dimilikinya yaitu:
leadership, ability to speak English, public speaking and ability to organize.

4. Mengenai Issu

Pemahaman yang tajam dan jelas terhadap persoalan-persoalan yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan
mahasiswa merupakan faktor kunci untuk keberhasilan mengorganisir. Dalam konteks kampus atau
Universitas, persoalan-persoalan yang ada dapat digolongkan kedalam dua bentuk pokok, yaitu issu
lokal dan issu nasional. Issu lokal adalah issu-issu yang berdampak langsung pada mahasiswa. Sedangkan
issu nasional adalah issu-issu jangka panjang dan belum menjadi perhatian yang mendesak bagi para
mahasiswa.

Walaupun demikian, tidak ada pemisahan yang tegas antara dua jenis issu tersebut. Tambahan lagi,
tidaklah mutlak issu-issu lokal atau kampus memperoleh perhatian penuh dari kalangan mahasiswa.
Tergantung pada kondisi, issu-issu nasional bisa dipilih sebagai persoalan yang dipropagandakan.

Hal yang amat pokok dan penting bagi kita adalah menemukan atau menunjukan issu-issu yang memang
secara signifikan penting buat mahasiswa. Secara akurat tepat harus dirumuskan apa yang menjadi hari
ini dan yang kemudian akan menjadi jalan dalam usaha mengorganisir. Dengan mengetahui dan
menguasai jalan keluar persoalan tersebut (issu-issu tersebut), maka kader GMNI akan mudah
memenangkan simpati dan dukungan dari mahasiswa-mahasiswa yang antusias

Anda mungkin juga menyukai