Pada bulan Mei setidaknya terdapat 2 hari bersejarah yang diperingati secara nasional
oleh bangsa Indonesia, yakni 2 Mei Hari Pendidikan Nasional (Harpenas) dan 20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Memang, selain dua hari itu ada hari lain yang
juga diperingati pada bulan Mei, yakni Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei
Biasanya pada hari itu para buruh libur dan mengisi kegiatannya dengan pengungkapan
aspirasi buruh, bisa berupa diskusi dan seminar sampai pada penyampaian aspirasi di
tengah jalan (demonstrasi). Pada bulan Mei pula merupakan hari terakhir berkuasanya
Soeharto sebagai presiden RI selama kurun waktu 32 tahun,yakni ketika Soeharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.[1]
Harpenas yang diperingati tiap tanggal 2 Mei itu mempunyai sejarah yang dikaitkan
dengan sang pejuang pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Beliau dilahirkan pada
tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Untuk menghargai dan mengambil pangkal tolak dari
sang pejuang pencerdasan bangsa itulah, maka tanggal kelahiran sang pejuang di
tetapkan sebagai hari pendidikan nasional yang setiap tahun diperingati oleh bangsa
Indonesia.
Sedangkan Harkitnas yang jatuh pada tanggal 20 Mei itu mempunyai konsteks historis
yang tidak lepas dari berdirinya Boedi Oetomo sebagai salah satu organisasi pergerakan
yang memperjuangkan hak-hak pribumi untuk mendapatkan kesejahteraan umum.
Dalam konteks sejarah memang masih ada juga yang berbeda pendapat mengenai
penentuan tanggal jatuhnya peringatan Harkitnas itu, ada yang mengatakan bahwa
Harkitnas ditentukan pada tanggal 20 Mei itu melihat momentum berdirinya Boedi
Oetomo, juga bahwa pergerakan Boedi Oetomo bersifat nasionalis dengan pemahaman
bahwa organisasi itu didirikan tidak dilatar belakangi oleh agama dan keyakinan
tertentu. Ada pula yang berpendapat bahwa Harkitnas mestinya diperingati dengan
mengambil momentum lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober
1905, mereka yang berpendapat demikian dilatar belakangi pemahaman bahwa SDI
berdiri lebih dahulu dari pada Boedi Oetomo. Juga mereka mempunyai argumentasi
keberadaan SDI yang dianggotai oleh wakil-wakil dari daerah-daerah di luar Jawa.
Unsur perwakilan luar Jawa seperti itu memang tidak ada dalam Boedi Oetomo, karena
Boedi Oetomo terdiri dari mahasiswa asal Jawa dan kebanyakan diantara mereka
adalah kaum ningrat. Memang ada yang memperdebatkan ini dalam konteks, SDI yang
berideologikan Islam namun berskala nasional dan dari awal anti penjajahan.
Sedangkan pada sisi lain, walaupun Boedi Oetomo didirikan dengan skala Jawa Madura
dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan tetap berusaha kooperatif dengan
pemerintah kolonial, namun ia bersifat nasionalis.
Ya, kalau kita hanya terjebak pada tanggal mana dan argumentasinya seperti apa,
nampaknya akan menjadi panjang ceritanya. Yang lebih penting menurut penulis adalah
mengambil makna dari Harkitnas dan Hardiknas buat kepentingan jangka ke depannya.
Juga perlu untuk merefleksikan sejauhmana potret kemajuan kebangkitan bangsa dan
keterdidikan bangsa ini.
Tahun 2008 ini, peringatan Hardiknas memang dikaitkan dengan Harkitnas. Sehingga
menjadi relevan pula di sini untuk dapat mendiskusikan bersama-sama keberadaan
kedua peringatan itu dengan kondisi faktuil yang dialami bangsa Indonesia hari ini dan
harapan proyeksinya ke depan. Seyogyanya pula, semua hari-hari besar tidak hanya
dipahami kesendiriannya masing-masing, peringatan HUT RI sendiri, peringatan hari Ibu
sendiri, peringatan Isra’ Mi’raj sendiri, Tahun Baru sendiri, dan sebagainya. Alangkah
menariknya manakala masing-masing peringatan itu sekali waktu di kaitkan benang
merahnya, misalkan Hardiknas dan Harkitnas itu. Juga tidak jelek untuk mengkaitkan
peringatan hari besar agama dengan hari besar nasional. Penulis yakin, dengan
seringkali mengkaitkan pemaknaan hari besar yang ada akan semakin memperkuat
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja dengan demikian
diharapkan tumbuh dan menguatnya nasionalisme yang berakar kuat pada budaya dan
moralitas agama pada keluarga besar NKRI itu sendiri. Diharapkan juga ikatan antar
suku, agama dan ras menjadi semakin kuat, karena perbedaan yang merupakan kodrati
kehidupan tidak dilihat sebagai faktor pembeda, bahkan perlu dicari kesamaan-
kesamaan di antara sesama. Sehingga yang muncul adalah suasana persaudaraan dan
kekeluargaan (integralistik) di antara warga bangsa.
Lantas apa yang dapat diambil refleksi dari peringatan Hardiknas dan Harkitnas ini?,
Tentu melalui Hardiknas kita diingatkan kembali mengenai filosofi luhur pendidikan
nasional dan keberadaannya di dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang unggul, bermoral, berbudaya dan bermartabat. Kita juga senantiasa
diingatkan pada ajaran-ajaran para tokoh dan pembaharu pendidikan di Indonesia,
misalnya Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso sung tulodho, Ing madyo mangunkarso, Tut
wuri handayani.
Melalui Harkitnas, bangsa Indonesia juga diharapkan untuk senantiasa bangkit dan
bangkit untuk memperbaiki kesejahteraan warga bangsa. Kebangkitan nasional yang
dulu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakhiri kolonialisme, namun ketika
kolonialisme sudah enyah dari Bumi Pertiwi, tentu yang harus dilawan hari ini dan ke
depannya adalah untuk bangkit dari kebodohan, bangkit dari kemiskinan, bangkit dari
pengangguran, bangkit dari wabah penyakit,bangkit dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
serta tentu saja bangkit dari penjajahan ekonomi yang kapitalistik.
Semua bisa dimaknai sebagai keterjajahan bentuk baru, yakni berbeda dengan
penjajahan lama oleh pihak asing yang bersikap agresi dan pengkolonian suatu wilayah.
Penjajahan bentuk baru, dapat pula dimotori dan dilakukan oleh bangsa sendiri dan diri
sendiri. Bangsa sendiri dapat menjadi motor penjajahan sudah tidak asing lagi, yakni
mereka-mereka yang suka menjual aset dan kehormatan bangsa pada pihak asing,
menggantungkan masa depan negara pada pihak asing untuk kepentingan diri pribadi
dan kelompoknya, walau acapkali mereka menyatakan ini untuk kepentingan negara.
Namun pada kenyataannya semua bohong, walau semua upaya dilandaskan pada
hukumyang dibuat untuk mendukung itu, tapi semua hanyalah bermuara pada kerugian
negara, baik aset maupun kehormatan. Kita dapat belajar mengenai hal ini pada sejarah,
ingat proyek nasional mobil Timor, kebijakan BLBI, kontrak dengan IMF, perjanjian-
perjanjian dengan perusahaan asing yang tidak adil, penjualan aset penting negara baik
perusahaan maupun barang.
Beberapa fakta sejarah di atas, merupakan contoh semata bahwa di antara banyaknya
rakyat yang menderita, miskin, bodoh, dan sakit-sakitan kebijakan-kebijakan yang
cenderung merugikan rakyat itu diambil oleh sementara ”elit penguasa”. Sekali lagi
dengan dalih kepentingan rakyat, walaupun pada kenyataannya rakyat tetap melarat.
APBN pun menjadi berat, karena uang negara yang raib dikemplang tak kunjung kembali,
belum lagi pembayaran utang negara yang wajib dibayar,ditambah pula dengan
kenaikan harga minyak dunia yang memicu naiknya harga-harga. Keadaan menjadi
semakin sulit. Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya pemerintah SBY akan
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mendukung APBN. Sampai di sini
rakyat ikut menanggung akibatnya. Walaupun ada kebijakan Bantuan Langsung Tunai
(BLT), tapi ini justru akan membuat warga bangsa menjadi pemalas, memang cukup
membantu daya beli, tetapi tidak memacu produktifitas. Kenapa tidak melakukan padat
karya misalnya?
Namun itu semua pada akhirnya hanya menjadi sebutan belaka atau tidak menjadi
kenyataan. Karena tidak lama kemudian, ”pertahanan” dan ”kewibawaan” bangsa ini
sempat tersenggol oleh badai krisis moneter atau krisis ekonomi. Sehingga rupiah pada
waktu itu sampai hanya bernilai Rp. 16.000/US Dolar. Memang, banyak analis
menyatakan ini disebabkan ulah George Soros, seorang profesional valas yang dapat
membuat ekonomi Asia terguncang.Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa proses
recovery Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat lebih cepat dari Indonesia?.
Dalam bidang pendidikan pun, keberadaan Indonesia masih belum terlalu memuaskan.
Dari sudut penganggaran pendidikan, Indonesia masih kalah dengan negara maju
lainnya, anggaran pendidikan Indonesia saat ini teregulasikan dalam UUD 1945 sebesar
20% dari APBN namun realita UU APBN 2008 hanya sekitar 12% dari APBN. Pada saat
yang lebih dulu Malaysia 25%, Singapura 30%. Ini menunjukkan bahwa komitmen
konstutusional kita untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang baik masih dapat
dipertanyakan.
Dari sudut perguruan tinggi yang masuk top world university, Indonesia masih kalah
dengan negara-negara terdekat, seperti Singapura, Malaysia, Australia, apalagi Jepang.
Dari sudut kejuaraan dan penelitian, Indonesia juga masih kalah kompetitif dengan
negara-negara yang tersebut di atas.
[1] Selain tanggal-tanggal tersebut, ada juga beberapa hari bersejarah yang jatuh pada
bulan Mei. 1 Mei hari pembebasan Irian Barat, 4 Mei hari bangkit pelajar IslamIndonesia,
31 Mei hari anti tembakau.