Anda di halaman 1dari 8

Refleksi hari kebangkitan nasional

20 Mei merupakan hari yang monumental bagi bangsa Indonesia,


karena menandai tonggak sejarah bangkitnya semangat nasionalisme,
persatuan, kesatuan dan kesadaran sebagai sebuah bangsa untuk
memajukan diri melalui gerakan yang terorganisir.

Lahirnya hari kebangkitan Nasional tidak bisa lepas dari berdirinya


organisasi Boedi Oetomo sebagai organisasi yang pertama kali
menggelorakan semangat nasionalisme.
Bersama entitas sosial lainnya, semangat nasionalisme juga muncul di
kalangan kaum agamawan khususnya kalangan pesantren. Pada saat
itu kalangan pesantren yang dimotori para kyai bersama santri
menggalang gerakan untuk menyebarkan semangat nasionalisme
dengan membentuk organisasi Nahdlatul Wathan (gerakan kebangsaan)
yang dipimpin oleh KH. Wahab Chasbullah.
Gerakan kebangsaan kaum pesantren ini terus bergerak hingga
tercapainya kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Gerakan ini tidak hanya dalam bentuk diskusi, fatwa agama,
tetapi juga pertempuran fisik di medan perang.
Terlibatnya para santri, ulama dan kyai dalam gerakan Nasional,
menunjukkan bahwa hubungan antara agama (Islam) dan faham
kebangsaan di Indonesia sudah selesai dan final. Bagi ummat Islam
Indonesia, nasionalisme adalah cerminan dari ajaran Islam dan menjadi
sarana untuk mengamalkan ajaran Islam.
Sedangkan agama merupakan sumber inspirasi dari nasionalisme (KH.
Saefuddin Zuhri; 1965). Spirit inilah yang dirumuskan Mbah Kyai Hasyim
Asy'ari dalam statement yang sangat terkenal: "hubbul wathan minal
iman" (cinta tanah air sebagian dari iman).
Sikap dan pemahaman seperti inilah yang membuat ummat Islam
Indonesia bisa menerima NKRI sebagai bentuk negara dan Pancasila
sebagai dasar negara setelah melalui perdebatan panjang yang
melibatkan pemikiran Islam dari berbagai disiplin ilmu, terutama fiqh.
Dengan demikian, mempertanyakan kembali hubungan agama dan
negara, apalagi menggugat bentuk dan dasar negara atas nama agama
sudah tidak relevan lagi, seperti memutar balik arah jarum jam.
Selain itu hal ini juga akan memancing perdebatan sia-sia yang bisa
memghambat kemajuan bahkan bisa mengancam integritas bangsa.
Ada kondisi memprihatinkan terkait dengan semangat nasionaliame
bangsa Indonesia saat ini. Maraknya gerakan internasionalisme dalam
bentuk liberalisme-kapitalisme di satu sisi dan fundamentalisme-
puritanisme agama di sisi lain telah menggerus kesadaran nasionalisme
warga bangsa Indonesia.
Akibat faham internasionalisme yang didukung oleh kemajuan teknologi
informasi, hari ini kita melihat terjadi gerakan transformasi kesadaran
dari citizenship menjadi nitizenship. Kewargaan yang dibatasi oleh
identitas kenegaraan menjadi kewargaan lintas negara dan lintas
geografis.
Kenyataan ini menunjukkan, sekarang telah terjadi anomali sosial di
kalangan bangsa Indonesia. Dulu tekanan bangsa lain mampu
menciptakan kesadaran kebersamaan dalam perbedaan sehingga
tumbuh harga diri sebagai bangsa.
Bangsa Nusantara yang beragam menggali dan menyatukan potensi
sosial dan kultural yang ada untuk menghadapi tekanan dari luar. Kini
tekanan dari bangsa lain justru mengancam kebersamaan dan
persatuan. Ikrar sebagai bangsa dicampakkan, martabat bangsa
diabaikan.
Dengan kata lain, orang-orang dulu memiliki kesadaran kreatif menggali
potensi diri untuk membangun kekuatan sendiri melawan kekuatan luar.
Orang sekarang justru hanyut dan larut dalam gerakan transnasional
dengan mencampakkan potensi diri sebagai bangsa.
Mereka bangga menjadi pemulung ide dan pengais sampah peradaban
bangsa lain sambil mencaci maki peradaban bangsa sendiri. Mereka
menggunakan pemikiran dan budaya luar untuk menghancurkan dan
melemahkan budaya dan khazanah pemikiran bangsa sendiri.
Sikap ini muncul karena minimnya pemahaman terhadap sejarah
bangsa sendiri dan miskinnya kesadaran terhadap tradisi dan budaya
sendiri.
Sejarah adalah referensi hidup bagi setiap bangsa. Suatu generasi yang
tidak memiliki pemahaman terhadap sejarahnya sendiri, seperti buih di
atas gelombang lautan. Mudah diombang-ambingkan keadaan dan
dibohongi bangsa lain.
Mereka menelan mentah-mentah setiap informasi dan pemikiran yang
diberikan, tanpa reserve dan sikap kritis karena mereka tidak memiliki
pemahaman sejarah yang bisa menjadi referensi hidup untuk mengkritisi
setiap informasi dan pemikiran yang diterima dari bangsa lain.
Tradisi adalah jangkar yang membuat suatu bangsa memiliki karakter
yang kokoh dan kuat sehingga tidak mudah hanyut dalam pusaran arus
gelombang budaya dan pemikiran bangsa lain.
Setiap bangsa yang tidak memiliki tradisi atau tidak faham terhadap
budaya masyarakatnya akan mudah hanyut dalam arus kebudayaan
bangsa lain. Jika sudah demikian maka bangsa tersebut akan keropos
karena tidak memiliki kekuatan kultural dan sumber inspirasi untuk
menghadapi gempuran budaya.
Inilah yang menyebabkan para pendiri bangsa tidak mudah hanyut dan
larut dalam pemikiran bangsa lain. Ki Hadjar Dewantoro, dr. Soetomo,
Moh. Hatta, A.A. Maramis, Sastro Kartono dan lain-lain semua belajar ke
Eropa. Tetapi mereka tidak hanyut dalam budaya Eropa.
Demikian juga para ulama Nusantara seperti Syech Nawawi Al-Bantani,
Syech Abdusshomad al-Palembangi, Syech Arsyad al-Banjari, Syech
Chatib al-Minangkabowi, Mbah Kyai Hasyim Asy'ari, Kyai Ahmad
Dahlan, semua belajar ke Arab. Tapi mereka semua tidak hanyut dalam
budaya Arab.
Sekalipun hidup dan berada di negara lain, para leluhur itu tetap bisa
memilah mana ajaran mana pemikiran dan budaya. Ini terjadi karena
mereka memiliki pemahaman sejarah dan akar tradisi yang kuat, yang
bisa dijadikan referensi dan pijakan dalam membangun pemikiran dan
menentukan sikap.
Hal yang sama juga terjadi pada bangsa-bangsa lain, terutama bangsa
Eropa, Amerika, Jepang, China yang tetap kokoh dan tegak spirit
kebangsaannya sekalipun berada dalam pusaran arus modernisme dan
globalisasi. Mereka tetap bangga dan menjaga martabat bangsanya
meski telah menjadi bagian dari warga bangsa dunia maya (nitizen). Ini
karena mereka memiliki pamahaman yang baik terhadap sejarahnya
sendiri dan tradisi yang mereka miliki.
Karena vitalnya peran dan posisi sejarah dan tradisi suatu bangsa inilah
maka strategi utama untuk bisa menguasai bangsa tersebut adalah
dengan menghancurkan tradisi dan sejarahnya agar bangsa tersebut
kehilangan jejak dan akar-akar sosialnya. Jika sudah demikian bangsa
tersebut akan mudah dikuasai atau dihancurkan. Inilah yang sedang
terjadi di negeri ini, hingga semangat kebangsaan bangsa ini rapuh dan
luluh.
Di tengah kepungan arus ideologi dunia dan pusaran arus budaya global
yang telah menggerogoti semangat kebangsaan sehingga melemahkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu adanya
penguatan pemahaman sejarah dan akar-akar tradisi bangsa Indonesia
yang beragam.
Hal ini bukan dimaksudkan untuk membanggakan diri yang bisa
membuat bangsa ini terjebak dalam sikap narsis. Pemahaman sejarah
dimaksudkan sebagai penggalian nilai yang dalam setiap penggalan
sejarah bangsa untuk dijadikan referensi hidup agar bisa bersikap kritis
terhadap keadaan dan pemikiran dari bangsa lain.
Sedangkan pemahaman tradisi dimasudkan sebagai jangkar untuk
membentuk karakter diri sekaligus sebagai sumber kreatifitas
membangun budaya alternatif di era global. Dengan cara ini rasa
bangga sebagai bangsa akan tumbuh sehingga martabat bangsa akan
dapat dikembalikan.

Pada bulan Mei setidaknya terdapat 2 hari bersejarah yang diperingati secara nasional
oleh bangsa Indonesia, yakni 2 Mei Hari Pendidikan Nasional (Harpenas) dan 20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Memang, selain dua hari itu ada hari lain yang
juga diperingati pada bulan Mei, yakni Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei
Biasanya pada hari itu para buruh libur dan mengisi kegiatannya dengan pengungkapan
aspirasi buruh, bisa berupa diskusi dan seminar sampai pada penyampaian aspirasi di
tengah jalan (demonstrasi). Pada bulan Mei pula merupakan hari terakhir berkuasanya
Soeharto sebagai presiden RI selama kurun waktu 32 tahun,yakni ketika Soeharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.[1]

Harpenas yang diperingati tiap tanggal 2 Mei itu mempunyai sejarah yang dikaitkan
dengan sang pejuang pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Beliau dilahirkan pada
tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Untuk menghargai dan mengambil pangkal tolak dari
sang pejuang pencerdasan bangsa itulah, maka tanggal kelahiran sang pejuang di
tetapkan sebagai hari pendidikan nasional yang setiap tahun diperingati oleh bangsa
Indonesia.
Sedangkan Harkitnas yang jatuh pada tanggal 20 Mei itu mempunyai konsteks historis
yang tidak lepas dari berdirinya Boedi Oetomo sebagai salah satu organisasi pergerakan
yang memperjuangkan hak-hak pribumi untuk mendapatkan kesejahteraan umum.

Dalam konteks sejarah memang masih ada juga yang berbeda pendapat mengenai
penentuan tanggal jatuhnya peringatan Harkitnas itu, ada yang mengatakan bahwa
Harkitnas ditentukan pada tanggal 20 Mei itu melihat momentum berdirinya Boedi
Oetomo, juga bahwa pergerakan Boedi Oetomo bersifat nasionalis dengan pemahaman
bahwa organisasi itu didirikan tidak dilatar belakangi oleh agama dan keyakinan
tertentu. Ada pula yang berpendapat bahwa Harkitnas mestinya diperingati dengan
mengambil momentum lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober
1905, mereka yang berpendapat demikian dilatar belakangi pemahaman bahwa SDI
berdiri lebih dahulu dari pada Boedi Oetomo. Juga mereka mempunyai argumentasi
keberadaan SDI yang dianggotai oleh wakil-wakil dari daerah-daerah di luar Jawa.

Unsur perwakilan luar Jawa seperti itu memang tidak ada dalam Boedi Oetomo, karena
Boedi Oetomo terdiri dari mahasiswa asal Jawa dan kebanyakan diantara mereka
adalah kaum ningrat. Memang ada yang memperdebatkan ini dalam konteks, SDI yang
berideologikan Islam namun berskala nasional dan dari awal anti penjajahan.
Sedangkan pada sisi lain, walaupun Boedi Oetomo didirikan dengan skala Jawa Madura
dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan tetap berusaha kooperatif dengan
pemerintah kolonial, namun ia bersifat nasionalis.

Ya, kalau kita hanya terjebak pada tanggal mana dan argumentasinya seperti apa,
nampaknya akan menjadi panjang ceritanya. Yang lebih penting menurut penulis adalah
mengambil makna dari Harkitnas dan Hardiknas buat kepentingan jangka ke depannya.
Juga perlu untuk merefleksikan sejauhmana potret kemajuan kebangkitan bangsa dan
keterdidikan bangsa ini.

Tahun 2008 ini, peringatan Hardiknas memang dikaitkan dengan Harkitnas. Sehingga
menjadi relevan pula di sini untuk dapat mendiskusikan bersama-sama keberadaan
kedua peringatan itu dengan kondisi faktuil yang dialami bangsa Indonesia hari ini dan
harapan proyeksinya ke depan. Seyogyanya pula, semua hari-hari besar tidak hanya
dipahami kesendiriannya masing-masing, peringatan HUT RI sendiri, peringatan hari Ibu
sendiri, peringatan Isra’ Mi’raj sendiri, Tahun Baru sendiri, dan sebagainya. Alangkah
menariknya manakala masing-masing peringatan itu sekali waktu di kaitkan benang
merahnya, misalkan Hardiknas dan Harkitnas itu. Juga tidak jelek untuk mengkaitkan
peringatan hari besar agama dengan hari besar nasional. Penulis yakin, dengan
seringkali mengkaitkan pemaknaan hari besar yang ada akan semakin memperkuat
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja dengan demikian
diharapkan tumbuh dan menguatnya nasionalisme yang berakar kuat pada budaya dan
moralitas agama pada keluarga besar NKRI itu sendiri. Diharapkan juga ikatan antar
suku, agama dan ras menjadi semakin kuat, karena perbedaan yang merupakan kodrati
kehidupan tidak dilihat sebagai faktor pembeda, bahkan perlu dicari kesamaan-
kesamaan di antara sesama. Sehingga yang muncul adalah suasana persaudaraan dan
kekeluargaan (integralistik) di antara warga bangsa.

Lantas apa yang dapat diambil refleksi dari peringatan Hardiknas dan Harkitnas ini?,
Tentu melalui Hardiknas kita diingatkan kembali mengenai filosofi luhur pendidikan
nasional dan keberadaannya di dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang unggul, bermoral, berbudaya dan bermartabat. Kita juga senantiasa
diingatkan pada ajaran-ajaran para tokoh dan pembaharu pendidikan di Indonesia,
misalnya Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso sung tulodho, Ing madyo mangunkarso, Tut
wuri handayani.

Melalui Harkitnas, bangsa Indonesia juga diharapkan untuk senantiasa bangkit dan
bangkit untuk memperbaiki kesejahteraan warga bangsa. Kebangkitan nasional yang
dulu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengakhiri kolonialisme, namun ketika
kolonialisme sudah enyah dari Bumi Pertiwi, tentu yang harus dilawan hari ini dan ke
depannya adalah untuk bangkit dari kebodohan, bangkit dari kemiskinan, bangkit dari
pengangguran, bangkit dari wabah penyakit,bangkit dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
serta tentu saja bangkit dari penjajahan ekonomi yang kapitalistik.

Semua bisa dimaknai sebagai keterjajahan bentuk baru, yakni berbeda dengan
penjajahan lama oleh pihak asing yang bersikap agresi dan pengkolonian suatu wilayah.
Penjajahan bentuk baru, dapat pula dimotori dan dilakukan oleh bangsa sendiri dan diri
sendiri. Bangsa sendiri dapat menjadi motor penjajahan sudah tidak asing lagi, yakni
mereka-mereka yang suka menjual aset dan kehormatan bangsa pada pihak asing,
menggantungkan masa depan negara pada pihak asing untuk kepentingan diri pribadi
dan kelompoknya, walau acapkali mereka menyatakan ini untuk kepentingan negara.
Namun pada kenyataannya semua bohong, walau semua upaya dilandaskan pada
hukumyang dibuat untuk mendukung itu, tapi semua hanyalah bermuara pada kerugian
negara, baik aset maupun kehormatan. Kita dapat belajar mengenai hal ini pada sejarah,
ingat proyek nasional mobil Timor, kebijakan BLBI, kontrak dengan IMF, perjanjian-
perjanjian dengan perusahaan asing yang tidak adil, penjualan aset penting negara baik
perusahaan maupun barang.

Beberapa fakta sejarah di atas, merupakan contoh semata bahwa di antara banyaknya
rakyat yang menderita, miskin, bodoh, dan sakit-sakitan kebijakan-kebijakan yang
cenderung merugikan rakyat itu diambil oleh sementara ”elit penguasa”. Sekali lagi
dengan dalih kepentingan rakyat, walaupun pada kenyataannya rakyat tetap melarat.

APBN pun menjadi berat, karena uang negara yang raib dikemplang tak kunjung kembali,
belum lagi pembayaran utang negara yang wajib dibayar,ditambah pula dengan
kenaikan harga minyak dunia yang memicu naiknya harga-harga. Keadaan menjadi
semakin sulit. Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya pemerintah SBY akan
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mendukung APBN. Sampai di sini
rakyat ikut menanggung akibatnya. Walaupun ada kebijakan Bantuan Langsung Tunai
(BLT), tapi ini justru akan membuat warga bangsa menjadi pemalas, memang cukup
membantu daya beli, tetapi tidak memacu produktifitas. Kenapa tidak melakukan padat
karya misalnya?

100 tahun kebangkitan nasional belum menunjukkan kebangkitan yang sesungguhnya.


Artinya sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai posisi tawar yang disegani
dalam percaturan dunia internasional. Karena banyak kebijakan dan policy negara masih
tergantung pada suatu kekuatan asing. Dulu, tahun 1990 an Indonesia pernah dijuluki
sebagai salah satu Macan Asia, ada juga sebutan lain New Emerging Force, yakni
Indonesia disebut sebagai negara yang tumbuh pesat perkapitanya sebagaimana
negara Korea Selatan.

Namun itu semua pada akhirnya hanya menjadi sebutan belaka atau tidak menjadi
kenyataan. Karena tidak lama kemudian, ”pertahanan” dan ”kewibawaan” bangsa ini
sempat tersenggol oleh badai krisis moneter atau krisis ekonomi. Sehingga rupiah pada
waktu itu sampai hanya bernilai Rp. 16.000/US Dolar. Memang, banyak analis
menyatakan ini disebabkan ulah George Soros, seorang profesional valas yang dapat
membuat ekonomi Asia terguncang.Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa proses
recovery Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat lebih cepat dari Indonesia?.

Dalam bidang pendidikan pun, keberadaan Indonesia masih belum terlalu memuaskan.
Dari sudut penganggaran pendidikan, Indonesia masih kalah dengan negara maju
lainnya, anggaran pendidikan Indonesia saat ini teregulasikan dalam UUD 1945 sebesar
20% dari APBN namun realita UU APBN 2008 hanya sekitar 12% dari APBN. Pada saat
yang lebih dulu Malaysia 25%, Singapura 30%. Ini menunjukkan bahwa komitmen
konstutusional kita untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang baik masih dapat
dipertanyakan.

Dari sudut perguruan tinggi yang masuk top world university, Indonesia masih kalah
dengan negara-negara terdekat, seperti Singapura, Malaysia, Australia, apalagi Jepang.
Dari sudut kejuaraan dan penelitian, Indonesia juga masih kalah kompetitif dengan
negara-negara yang tersebut di atas.

Belum lagi, upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional yang seyogyanya


direncanakan sebagai pintu utama perbaikan kualitas bangsa secara umum, sebagai
suatu negara yang adil, makmur dan sejahtera ternyata belum dibarengi pula oleh
kondisi SDM yang mendukung. SDM pendidikan di Indonesia, masih ”banyak” yang
dihasilkan oleh gelar sarjana yang tidak diperoleh secara tidak sah atau minimal penuh
dengan cara-cara kolutif. Misalnya seseorang yang kuliah kelas jauh, tidak ikut kuliah
tapi dapat ijasah, atau bahkan jual beli ijasah.Dalam momentum hardiknas sebagai
bagian dari harkitnas ini, sudah seyogyanya semua elemen dan komponen bangsa
menyatukan langkah untuk memperbaiki kesejahteraan bangsa di masa yang akan
datang.

[1] Selain tanggal-tanggal tersebut, ada juga beberapa hari bersejarah yang jatuh pada
bulan Mei. 1 Mei hari pembebasan Irian Barat, 4 Mei hari bangkit pelajar IslamIndonesia,
31 Mei hari anti tembakau.

Anda mungkin juga menyukai