Anda di halaman 1dari 5

Struktural kelembagaan dan krisis ekologi

1998 setelah agenda penumbangan pemerintah otoritarian, reformasi di


harap dapat menjadi titik tolak pengejewantahan demokrasi juga
keadilan sosial secara utuh, tapi soal baru kembali di hadapi rakyat
sebagai pemeran utama dalam episode demokrasi, bentuk dan arah
struktur kelembagaan setelah reformasi harusnya sejalan dengan amanat-
amanat yang tertuang dalam UUD 1945 juga pancasila sebagai pondasi
negara.

Struktur kelembagaan Indonesia sejak di mulainya agenda reformasi


hingga saat ini perlu di perjelas keberpihakannya, kepada siapa, dari
siapa, dan untuk siapa?. Setidaknya ada dua pilihan struktur
kelembagaan yang dapat di terapkan dengan catatan menjadikan fondasi
negara sebagai pertimbangan penetapan, pertama liberal-kapitalistik dan
kedua sosial-demokratik, keduanya sama-sama menghendaki kebebasan
dan demokrasi dalam politik, sosial, dan ekonomi – terutama pasar, tapi
secara struktural perbedaan keduanya cukup besar.

Liberal-kapitalistik, menjunjung tinggi pemenuhan kebebasan individu


terutama dalam pasar, modal( kapital ) menjadi kunci utama dalam
pasar, semakin besar modal semakin besar pengaruh individu dalam
pasar, kapital juga dapat mempengaruhi kebijakan yang akan di
keluarkan negara, siapa yang dapat di berikan izin membuka usaha juga
penguasaan lahan di lihat dari seberapa besar modal individu tersebut,
karena modal juga menentukan seberapa mampu usaha tersebut
bertahan. Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki tenaga
sebagai modal?, sederhana saja mereka akan menjadi buruh dari
industri-industri besar tersebut dengan upah bulanan yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan layak selama satu bulan, mereka tidak bisa
ikut menentukan kebijakan baik dalam perusahaan maupun dalam
kenegaraan, demokrasi dalam struktur kelembagaan ini condong semu
dan berpihak pada mereka yang memiliki modal, dan ini merupakan
cacat bawaan sistem pasar kapitalistik.

Sosial-demokratik, struktur kelembagaan ini juga sama-sama mengakui


pasar. Namun sangat jauh berbeda dengan pasar yang sifatnya
kapitalistik yang condong menguntungkan segelinnntir orang saja,
dalam struktur kelembagaan yang sifatnya sosial-demokratik partisipasi
masyarakat universal menjadi satu hal yang penting, penguasaan sumber
daya alam di limpahkan kepada negara yang hasilnya diperuntukan
untuk kepentingan-kepentingan publik, bukan hanya dalam pasar
partisipasi masyarakat dalam bidanga politik juga di butuhkan sebagai
kontrol rakyat terahadap kebijakan-kebijakan negara, akibatnya jargon-
jargon dalam pemenuhan hak-hak azasi, politik, sosial dan ekonomi di
galakkan untuk sampai pada partisipasi masyarakat, sebab untuk dapat
ikut berpartisipasi( terutama dalam bidang politik ) masyarakat juga
membutuhkan jaminan hukum yang jelas. Partisipasi masyarakat
menjadi sangat penting dalam bidang politik karena ada cacat bawaan
dalam perpolitikan Indonesia, bukan sering lagi tapi agakknya sudah
menjadi kultur pejabat publik kita, dalam mencampuradukan
kepentingan pribadi dan kepentingan negara akibatnya kebijakan-
kebijakan yang di keluarkan tidak jarang lebih memihak orang-orang
tertentu, untuk dapat ikut serta dalam penentuan kebijakan masyarakat
juga perlu paham tentang hak-hak politik, sosial juga ekonominya,
artinya pemberdayaan masyarakat dalam bidang-bidang tersebut sangat
perlu, dalam bidang politik sendiri, subjektif saya berpendapat
seharusnya penyadaran hak-hak politik masyarakat, selain oleh
akademisi juga menjadi tugas utama partai politik, memang partai
politik sudah menjalankan hal itu, sialnya penyadaran masyarakat dalam
bidang politik di lihat hanya ketika masyarakat memberikan hak pilih
dalam pemilihan-pemilihan umum.

Perlukah kembali menafsirkan partisipasi masyarakat dalam bidang


politik?, Jelas perlu sebab semakin kesini masyarakat semakin pragmatis
melihat kebijakan-kebijakan yang ada, dalam kasus reklamasi pantai
misalnya tak banyak masyarakat yang mencoba setidaknya
mempertanyakan mengapa pantai di reklamasi, masyarakat yang
bermukim di sekitaran pesisir terutama nelayan memiliki hubungan erat
dengan pantai tapi mengapa ketika pantai di reklamasi kesadaran mereka
bahwa pantai juga merupakan hak sekaligus sumber penghidupan
mereka tidak ada?, dalam kasus reklamasi pantai majene misalnya
sebagian besar masyarakat di sekitaran pesisir ketika di mintai pendapat
soal kebijakan tersebut, mengembalikanya kepada pemerintah karena
menurut warga di sekitaran pantai, mereka tidak bersangkut-paut dengan
kebijakan karena mereka bukan pejabat publik, ini harusnya menjadi hal
yang musti di rubah, sebab jika kesadaran masyarakat atas hak-haknya
tidak cukup negara hanya akan menjadi alat pemenuhan kepentingan-
kepentingan pribadi pejabat publik.

Setelah reformasi sudah kah struktur kelembagaan yang nantinya akan


menentukan bagaimana struktur kebijakan baik itu dalam politik, sosial,
budaya dan ekonomi, memihak pada rakyat?. Naasnya tidak, sampai hari
ini corak struktur kelembagaan kita masih liberal-kapitalistik,
kepentingan-kepentingan pribadi pejabat publik masih banyak tertuang
dalam kebijakan-kebijakan negara, tentang perizinan pembukaan
industri dan hak guna lahan untuk industri monokultur misalnya,
bukankah monokultur memiliki dampak besar terhadap berubahnya
ekologi?, Pembukaan lahan otomastis deforestasi terjadi, semakin
banyak flora dan fauna mati juga semakin banyak virus dan bakteri yang
beradaptasi, menarik apa yang di tuangkan Bosman Batubara dalam
bukunya “ teman rebahan; kapitalisme dan covid-19”, di sana ia
menjelaskan bagaimana virus dan bakteri yang tadinya memiliki inang
hewan karena deforestasi yang mengakibatkan inang-inang virus dan
bakteri tersebut mati, mereka berevolusi dan sampai menemukan inang
baru yakni manusia, jadi bisa saja kita menerka virus yang melanda
dunia hari ini tak lain dan tak bukan adalah bom waktu dari ulah
manusia sendiri, dalam menentukan kebijakan dan hal lainnya.

Ha lain yang mendukung pernyataan bahwa corak struktur kelembagaan


kita masih liberal-kapitalistik adalah ketika aaset-aset negara seperti
BUMN misalnya di privatisasi oleh beberapa konglomerat yang juga
menjabat sebagai pejabat publik, lalu UU Minerba yang banyak
memihak pada perusahaan-perusahaan tambang yang juga sebagian
besar asetnya di miliki oleh pejabat publik negara kita. Juga soal
represifitas aparat-aparat kepolisian ketika buruh, mahasiswa, akademisi
juga masyarakat universal berbondong-bondong menolak omnibus law
misalnya, jika kita menerjemahkan demokrasi sama dengan dari rakyat,
kepada rakyat, dan untuk rakyat, lalu mengapa aspirasi di hadang
tameng-tameeng besi?, di sini semakinkelihatan demokrasi yang di
jalankan oleh negara kita wataknya semu, banyak sesuatu di anggap
benar ketika pemerintah juga membenarkan, sesuatu juga di anggap saah
ketika pemerintah menilainya salah.

Menurut data yang di publis oleh JATAM, 23 hari pertama tahun 2021
sudah sebanyak 197 kali bencana alam terjadi, bukankah ini krisis
ekologi?, benarkah ini bukan dampak deforestasi untuk tambang juga
industri monokultur?, benarkah ini kehendak entitas yang sering kita
sebut sebagai Tuhan?.

Anda mungkin juga menyukai