Anda di halaman 1dari 7

“Civil Society dalam Proses Demokrasi” Peran CSo dalam proses demokrasi dan

dinamika Cso di Indonesia

Pada umumnya, demokrasi dimaknai sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people) serta
bertujuan untuk “kebaikan bersama” (the commond good), sehingga demokrasi senantiasa
menjadi sebuah sistem yang sering didengungkan kurang begitu baik, namun lebih baik
dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan demikian, seiring dengan proses
demokratisasi yang terus meluas, maka asas yang dimaknai dalam demokrasi tidak hanya
mencakup hal-hal yang bersifat substansial, melainkan lebih kepada hal-hal yang bersifat
prosedural. Kehidupan manusia yang terus mengalami modernisasi, tentunya berpengaruh pada
pola pikir dan pola tindak, sehingga pola kehidupan pun terus dinamis dan semakin kompleks.
Begitu pun dengan demokrasi, seiring dengan perkembangannya yang begitu signifikan, serta
pandangan umum terhadap implementasi demokrasi dalam tatanan global, sehingga dibutuhkan
integrasi dari berbagi instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam menegakkan demokrasi
ini.
Demokrasi prosedural kian tumbuh di berbagai negara yang tentunya mengklaim
demokrasi sebagai sistem politiknya. Seiring dengan concern atau fokus suatu negara terhadap
proses demokrasi dinegaranya, seringkali tidak diiringi keseimbangan antara prosedur-prosedur
yang ada dalam demokrasi, dengan nilai-nilai atau hal-hal yang bersifat substansial di dalamnya.
Maka dari itu, terjadilah ketimpangan dan permasalahan sosial, karena tentunya terdapat
permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan instrumen sistem dalam sebuah sistem
politik, terlebih dalam proses atau sistem demokrasi yang senantiasa rentan terjadi konflik, baik
itu konflik horizontal maupun vertikal. Dengan demikian, sistem demokrasi yang menghendaki
kebaikan bersama menjadikannya memiliki tanggungjawab utuh terhadap seluruh masyarakat
atau warga negaranya. Sehingga, motor penggerak utama adalah pemerintah yang berwenang
terhadap kelancaran proses demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kecenderungan akan keberpihakan
pemerintah pada sebagian kalangan bukan menjadi hal asing diberbagai negara. Oleh karena itu,
dibutuhkan instrumen lain yang memiliki pengaruh strategis dalam demokrasi, yaitu civil
society.
Civil society menjadi sebuah konsep yang tidak asing lagi diperbincangkan, sejak abad
ke-18 seiring dengan kemunculan negara bangsa modern, hal ini menjadikan civil society terus
berkembang, bahkan hingga menjadi objek studi, khususnya sebagai konstruksi teoritik dalam
mengkaji sebuah fenomena. Parekh berpendapat bahwa civil society telah ada sejak zaman
Romawi, yang merujuk pada “the rational and law-governed society of humans” dan tentunya
bertentangan dengan konsep “the ‘natural society’ of animals”. 1[1] Melalui konsep tersebut,
secara nalar manusia menyadari bahwa rasionalitas dan kesepakatan hukum senantiasa mengatur
perkumpulan manusia, bukan hanya atas dasar naluriah manusia membentuk sebuah
perkumpulan. Dengan demikian, maka terdapat asas dan tujuan mendasar, mengapa terdapat
sekumpulan manusia. Sehingga, Kaldor menegaskan bahwa tiada perbedaan antara civil society
dan negara. Negara senantiasa dicirikan dengan kontrak sosial, begitu pun civil society yang
merupakan kumpulan masyarakat yang dikelola berdasarkan hukum, dengan prinsip kesetaraan
dimata hukum.2[2]
Selain itu, civil society cenderung merujuk pada kegiatan assosiasional yang bebas,
seperti halnya, keluarga, universitas, media, asosiasi pedagang, lembaga adat, dan sebagainya.
Sehingga terdapat prinsip“Coercive elements of the state would wither away by degrees” . setiap
indivi yang terbebas dari pembatasan akan ketidaksetaraan, akan merasakan kebebasan yang
seutuhnya. Dengan demikian, individu-individu yang bebas dan setara, akan memiliki kesadaran
sosial, sehingga berprinsip untuk menegakkan hukum atau aturan yang diberikan kepada mereka
sendiri, seperti halnya peraturan disiplin dari institusi eksternal akan didorong oleh tekanan
internal, dikarnakan pentingnya nilai dan moral. Demikian lah Gramsci menggambarkan
masyarakat yang disebut ‘ethical state’ atau civil society.
Keberadaan civil society sebagai instrumen yang aktif dan kuat, menjadikannya penawar
terhadap berbagai permasalahan yang ada dalam negara demokrasi saat itu, seperti halnya
ketidakpedulian, kekcewaan, ketidak percayaan warga negara terhadap pemerintah. Lele dan
Quadir berpendapat, bahwa dalam persektif negara dan masyarakat, keberadaan civil society
diperlukan untuk mengurangi kecenderungan negara untuk hanya mementingkan kepentingannya
sendiri, serta mengontrol kemampuannya untuk mendapatkan keinginan atau kepentingannya

1[1] Parekh, B. (2004). Putting Civil Society in Its Place. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring
Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London and New York: Routledge.

 [2] Kaldor, M. (2004). Globalization and Civil Society. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring
Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 168-174). London and New York: Routledge.

2
tersebut melalui penyalahgunaan atau monopoly kekuasaan oleh aparat pemerintahan. Dengan
demikian, terdapat beberapa peran dan fungsi civil society, yaitu sebagai berikut :
1.      A Representative Role; balancing the power between state and society in support of the latter
(menyeimbangkan kekuasaan antara negara dan masyarakat dengan fokus utamanya pada
masyarakat).
2.      A Disciplinary Role; exerting greater pressure on politicians and state officials to be more
accountable for their actions (melaksanakan penekanan lebih kepada politisi dan birokrat, agar
lebih akuntabel terhadap tindakan-tindakan mereka).
3.      An Intermediary Role; connecting the state and society by way of articulating people’s interests
and facilitating political communication, and acting as complementary representative to periodic
elections (menghubungkan negara dengan masyarakat melalui artikulasi kepentingan masyarakat
dan memfasilitasi komunikasi politik, serta bertindak sebagai perwakilan pelengkap, pada saat
pemilihan umum diselenggarakan secara periodik).
4.      Constitutive Role. perpetuating democratic norms as the rules of the political game
(mengabadikan norma-norma demokrasi sebagai aturan dari proses politik).3[3]
Era demokratisasi ini, menjadikan civil society sebagai salah satu pilar dalam
menegakkan demokrasi global. Melalui peran fundamentalnya, antara lain adalah sebagai berikut
:
1.      mendorong suatu rezim demokrasi, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan kelembagaan
demokrasi dalam suatu pemerintahan. Dalam aspek ini, civil society bertanggungjawab akan
keberlangsungan atau keberlanjutan demokrasi dalam pemerintahan. Sehingga hal-hal yang
bersifat prosedural dan substansial dalam demokrasi dapat senantiasa dijaga, melalui keutuhan
lembaga demokrasi dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh setiap warga negaranya.
2.      Civil society berperan dalam menanggulangi kemiskinan, krisi ekonomi, serta senantiasa
mendukung dan mempromosikan hak asasi manusia. Sebagai perkumpulan masyarakat, yang
tentunya didasari dengan kepentingan dan dasar hukum yang jelas, civil society membawa suatu
misi yang dapat disinkronkan dengan hasil dari capain kinerja pemerintah, khususnya dalam hal
kesejahteraan umum, baik itu dibidang ekonomi, hak asasi, pendidikan, kesehatan, dan

3[3] White, G. 1996, 'Civil Society, Democratization and Development', in Democratization in the South:
The Jagged Wave, eds R. Luckham & G. White, Manchester University Press, New York, pp. 178-219.
sebagainya. Dengan demikian, civil society akan senantiasa mengawal kinerja pemerintah,
melalui misi atau fokus tujuan terbentuknya suatu kumpulan masyarakat tersebut.
3.      Medukung harmoni dan solidaritas sosial. civil society yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai
demokrasi didalamnya, jelas akan sangat memperjuangkan harmoni dan solidaritas sosial,
sehingga dapat meminimalisir konflik harizontal yang terjadi antara masyarakat satu dan yang
lainnya.
4.      Menguatkan budaya demokrasi. melalui penguatan demokrasi, civil society akan tetap memiliki
eksistensi atau peran dalam pembangunan negara. Karena jika rezim otoriter yang menguasai
pemerintahan, maka civil society yang terbentuk atas dasar kebebasan akan memiliki tekanan
tinggi, sehingga segala perannya pun dapat dibatasi.
Pada umumnya, civil society diartikan sebagai masyarakat yang beradab (civility),
sehingga idealnya civil society terdiri dari orang-orang yang tidak melanggar hukum dan
memiliki kesadaran hukum, selain itu, orientasinya pun berlandaskan pada aturan-aturan yang
tentunya bertujuan pada pembangunan masyarakat yang lebih baik. Menurut Ernest Gellner civil
society adalah “ruang ketiga” diantara masyarakat dan negara, yang senantiasa mencoba untuk
memberikan pengaruh politik tanpa harus terlibat dalam proses pemilihan umum (Hall, 1995).
Perannya sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjadikan civil society memiliki
tempat tersendiri dalam tatanan sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengaruh politik
dihasilkan melalui advokasi kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah, hal ini bertujuan
untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, sehingga pemerintah dapat
menyesuaikan kebijakan yang tentunya berpengaruh pada kehidupan mayarakat yang lebih baik
lagi.
Sebagai elemen yang dapat mendesak pertanggungjawaban pemerintah, civil society
dapat membangun budaya demokrasi, sehingga keberlangsungan dan eksistensi civil society
akan memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan demokrasi. Selain itu, demokrasi
memerlukan partisipasi aktif yang berkesinambungan dari warga negara yang tentunya
terorganisasi dalam permasalahan-permasalahan yang terkait dengan urusan publik, bukan hanya
sebatas masyarakat yang memeberikan suara secara periodik dan tentunya tidak teroganisasi.
Dalam prosesnya, civil society akan mendapatkan power lebih, jika memiliki ciri
demokrasi, antara lain sebagai berikut :
1.      Memiliki tujuan organisasi yang demokratis dan cara yang demokratis untuk mencapainya.
2.      Terbentuknya organisasi secara terstruktur dan stabil, agar dapat memfasilitasi jejaring
kooperatif dan memiliki daya tawar yang kuat ketika berhadapan dengan negara.
3.      Memiliki proses pengambilan keputusan yang internal dan proses pemilihan pimpinan yang
demokratis.
4.      Mendukung pluralisme.
5.      Asosiasi yang beragam di berbagai level masyarakat untuk mengakomodasi keberagaman
kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Karakteristik demokratis dalam civil society menjadi sebah keharusan, dikarenakan dapat
mempengaruhi perilaku warga negara serta kinerja pemerintah, termasuk dalam meningkatkan
kualitas berdemokrasi. Maka dari itu, kuantitas dari civil society tidak dapat menjamin
efektivitas dalam menunjang demokrasi, sehingga implementasi nilai-nilai demokratis tersebut
haruslah senantiasa terbudaya dalam ruang lingkup civil society itu sendiri. Karena perannya
yang begitu penting dalam demokrasi, sehingga civil society memiliki pengaruh besar dalam
pembangunan suatu negara. Beberapa menyikapi civil society hanya untuk berperan aktif dalam
memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sementara lainnya memberikan political pressure
kepada pemerintah. Sehingga, peran atau sikap dari civil society merupakan peran politik yang
berorientasi pada kepentingan umum dan meningkatkan kualitas berdemokrasi.
Idealnya, civil society menjadi mediator yang netral, dalam arti, terlepas dari kepentingan
elit, sehingga benar-benar menyampaikan apa yang masyarakat butuhkan dan mengkritisi
kebijakan pemerintah agar lebih pro terhadap kesejahteraan rakyat. Namun, dalam prakteknya
civil society tidak bisa bersih dari kepentingan elit politik, khususnya pemerintah. Meskipun
dampak yang dihasilkan bersifat positif maupun negatif bagi keberlangsungan pemerintahan dan
kehidupan bermasyarakat. Kepentingan yang bermain dalam ranah civil society menyebabkan
peran ideal civil society menjadi terganggu. Sehingga, peran utama civil society sebagai
penyokong demokrasi, dapat menjadi kebalikannya, civil society dalam tatanan praktis dapat
dikatakan menegakkan demokrasi atau bahkan meruntuhkan demkrasi itu sendiri.
Terkait dengan gencarnya demokratisasi dalam tatanan global, maka dari itu, civil society
berkembang dan memiliki peran tersendiri di Indonesia. Secara historis, nilai-nilai terbentuknya
civil society sudah ada dalam kebiasaan masyarakat Indonesia pada kesehariannya, sepertihalnya
budaya gotong royong. Seiring dengan prosesnya, muncullah voluntary organization seperti NU,
Muahammadiyah, SI, dsb. Kelompok-kelompok tersebut mulai mempromosikan hal-hal yang
terkait dengan orientasinya. Setelah itu, lahirlah organisasi-organisasi non-government yang
memiliki fokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, seperti halnya women’s
groups, health care organizations, worker associations, dsb. Kemudian timbullah gerakan-
gerakan yang pro terhadap demokrasi, seperti halnya kelompok-kelompok mahasiswa pada tahun
1998 untuk memperjuangkan reformasi (Uften, 2009).
Pada prosesnya perkembangan civil society di Indonesia, memiliki beberapa hambatan,
yang ditandai munculnya konflik dan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai
demokratis, seperti halnya pada masa orde baru yang menimbulkan kerusuhan anti-kristen di
Pasuruan, kemudian di era reformasi terdapat konflik agama di Maluku, dan munculnya
organisasi-organisasi ekstremis, hal ini dikarenakan eforia kebebasan pasca reformasi yang tidak
dapat diorganisir dengan baik oleh pemerintah, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan teror.
Masa desentralisasi, membawa pengaruh positif pada perkembangan civil society di
Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Situasi politik yang ada pada masa itu masih didominasi
oleh keputusan-keputusan elit yang tertutup dalam penentuan kebijakan, baik ditingkat daerah
maupun lokal. Sehingga masyarakat tidak memiliki akses yang baik dalam memperoleh
informasi terkait transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas kinerja pemerintah. Seiring
kebebasan politik dan berpendapat bagi seluruh masyarakat Indonesia, civil society mengambil
peran yang cukup signifikan. Sehingga, tak jarang ditemukan kandidat legislatif maupun
eksekutif yang sebelumnya merupakan aktivis civil society. Hal ini dikarenakan kerjasama antar
partai dan civil society demi meraih suara masyarakat pada pemilu.
Melalui fenomena civil society yang ada di Indonesia pada saat ini, dapat kita simpulkan
bahwa civil society merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang terfokus pada suatu bidang
atau beberapa bidang permasalahan dalam masyarakat, sehingga melalui perkumpulan tersebut
dapat menghasilkan program-program atau solusi bagi permasalahan yang ada. Oleh karena itu,
civil society melakukan advokasi dan bekerjasama dengan pemerintah. Kini, civil society
mengalami pergeseran makna, peran-perannya yang ditujukan untuk menunjang demokrasi
senantiasa disertai oleh muatan-muatan politis yang mencedrai nilai-nilai mendasar dalam
terbentuknya civil society. Dengan demikian, pemaknaan civil society akan senantiasa dinamis
dalam prosesnya.

Daftar Pustaka :
Hall, j. A. (1995). Civil Society : Theory, History, Comparison. Cambridge: Polity Press.
Uften, M. B. (2009). Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.
Parekh, B. (2004). Putting Civil Society in Its Place. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin,
Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London and New York:
Routledge.

Kaldor, M. (2004). Globalization and Civil Society. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin,
Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 168-174). London and New York:
Routledge.
White, G. 1996, 'Civil Society, Democratization and Development', in Democratization in the
South: The Jagged Wave, eds R. Luckham & G. White, Manchester University Press, New York,
pp. 178-219.
Lele, J., & Quadir, F. (2004). Introduction: Democracy and Development in Asia in the 21st
Century: In Search of Popular Democratic Alternatives. In J. Lele, & F. Quadir, Democracy and
Civil Society in Asia (Vol. 2, pp. 1-31). Hampshire and New York: Palgrave Macmillan.

Anda mungkin juga menyukai