Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang
sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan
tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagaiya.
Pandangan seseorang tentang semua itu, tidak bisa diraba, kita hanya mungkin
dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai
pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau criteria seseorang
tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, dan lain sebagainya. Sehigga
standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang.
Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai
kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku
sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan
norma-norma yang berlaku.

1
Oleh sebab inilah penulis mencoba mengangkat judul makalah tentang
bagaimana desain pembelajaran PAI yang berorientasi pada pendidikan nilai
(afektif) di sekolah/madrasah.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian pendidikan nilai?
b. Bagaimana pendekatan dan metode pendidikan nilai?
c. Bagaimana desain model pengembangan pembelajaran PAI yang berorientasi
pada nilai (Afektif)?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pendidikan nilai.
b. Untuk mengetahui pendekatan dan metode pendidikan nilai.
c. Untuk mengetahui desain model pengembangan pembelajaran PAI yang
berorientasi pada nilai (Afektif).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Nilai


a. Nilai
Nilai berasal dari bahasa Latin vale'ré yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik,
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok
orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai,
diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat.
Nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan dan keluhuran
budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi serta dikejar
oleh seseorang sehingga ia merasakan adanya suatu kepuasan, dan ia merasa
menjadi manusia yang sebenarnya.
Selanjutnya, seorang ahli pendidikan nilai dari Australia, Hill (1991)
berpendapat bahwa nilai sebagai acuan tingkah laku hidup, mempunyai tiga
tahapan, yaitu:1
1. Values Thinking, yaitu nilai-nilai pada tahapan dipikirkan atau values
cognitive.
2. Values Afective, yaitu nilai-nilai yang menjadi keyakinan atau niat pada
diri orang untuk melakukan sesuatu, pada tahap ini dapat dirinci lagi
menjadi a) 'dispotition' ; dan b) 'commitments'.
3. Tahap terakhir adalah Values Actions, yaitu tahap di mana nilai yang
telah menjadi keyakinan dan menjadi niat (komitmen kuat) diwujudkan
menjadi suatu tindakan nyata atau perbuatan konkret.

b. Pendidikan Nilai

1
Sutardjo Adisusilo,”Pembelajaran Nilai- Karakter”,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada:2012), 59

3
Hill (1991) mengatakan hakikat pendidikan nilai adalah mengantar
peserta didik mengenali, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai, moral
dan keyakinan agama, untuk memasuki kehidupan budaya zamannya. Secara
lebih rinci dalam pandangan Lickona (1992) pendidikan nilai/moral yang
menghasilkan karakter, ada tiga komponen karakter yang baik (components of
good character), yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral
feeling atau perasaan tentang mental, dan moral action atau perbuatan moral.
Ketiga komponen itu menunjuk pada tahapan pemahaman sampai pelaksanaan
nilai/moral dalam kehidupan sehari-hari. Ketiganya tidak serta merta terjadi
dalam diri seseorang, tetapi bersifat prosesual, artinya tahapan ketiga hanya
mungkin terjadi setelah tercapai tahapan kedua, dan tahapan kedua hanya
tercapai setelah tahapan pertama.
Dalam banyak kasus ketiga tahapan tidak terjadi secara utuh. Mungkin
sekali ada orang hanya sampai moral knowing dan berhenti sebatas
memahami. Orang lain sampai pada tahap moral feeling, dan yang lain
mengalami perkembangan dari moral knowing sampai moral action. Moral
knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu:
moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-
nilai moral), perspective taking, moral reasoning, decision making dan self
knowledge.
Tetapi pendidikan nilai/ moral atau karakter hanya sampai pada moral
knowing tidaklah cukup, sebab sebatas pada tahu atau memahami nilai-nilai
atau moral tanpa melaksanakannya, hanya menghasilkan orang cerdas, tetapi
tidak bermoral. Amat penting pendidikan dilanjutkan sampai pada moral
feeling. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada
peserta didik yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral.
Langkah teramat penting adalah adanya pendidikan nilai/ moral atau
karakter sampai pada moral action. Moral action adalah bagaimana membuat
pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan

4
tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu
kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Bahwa ada
keterkaitan erat antara pemahaman moral atau nilai seseorang dengan
perbuatan atau tindakan yang akan dilakukan tidaklah diragukan.
Ahli pendidikan nilai Darmiyati Zuchdi (2008: 39) memaknai watak
(karakter) sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-
tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Lebih lanjut
dikatakan bahwa tujuan pendidikan watak adalah mengajarkan nilai-nilai
tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan
perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa hormat, tanggung jawab, rasa kasihan, disiplin, loyalitas,
keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja dan kecintaan pada Tuhan dalam
diri seseorang. Dilihat dari tujuan pendidikan watak, yaitu penanaman
seperangkat nilai-nilai maka pendidikan watak dan pendidikan nilai pada
dasarnya sama. Jadi, pendidikan watak pada dasarnya adalah pendidikan nilai,
yaitu penanaman nilai-nilai agar menjadi sifat pada diri seseorang dan
karenanya mewarnai kepribadian atau watak seseorang.
Daniel Goleman yang terkenal dengan bukunya Multiple Intelligences,
dan Emosional Intelligence (1999), menyebutkan bahwa pendidikan karakter
merupakan pendidikan nilai, yang mencakup sembilan nilai dasar yang saling
terkait, yaitu:
1. Responsibility (tanggung jawab)
2. Respect (rasa hormat)
3. Fairness (keadilan)
4. Courage (keberanian)
5. Honesty (kejujuran)
6. Citizenship (rasa kebangsaan)
7. Self-discipline (disiplin diri)

5
8 Caring (peduli), dan
9. Perseverance (ketekunan)
Jika pendidikan nilai berhasil menginternalisasikan kesembilan nilai
dasar tersebut dalam diri peserta didik, maka dalam pandangan Daniel
Coleman akan terbentuk seorang pribadi yang berkarakter, pribadi yang
berwatak. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pendidikan nilai harus dimulai
di rumah, dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah dan diterapkan
secara nyata dalam masyarakat.

c. Pendidikan Nilai di Sekolah


Saat ini pendidikan nilai dikenal dengan pendidikan karakter. Karakter
adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (nilai) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Hal
ini mengandung pengertian bahwa karakter merupakan kebajikan yang
ditanamkan pendidik melalui internalisasi atau memasukkan materi dan nilai
yang mempunyai relevansi dalam membangun sistem berpikir dan berperilaku
siswa. Karakter diajarkan dengan mengenalkan, memahamkan hingga
mengajak siswa sehingga pada akhirnya mereka mampu mempraktikkan dan
memaknainya sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi tindakan perenungan
serta mengembangkannya menjadi pusat keunggulan insani.
Sisi paling dominan yang ditekankan dalam pendidikan karakter adalah
persoalan afektif (sikap) seorang siswa. Dalam taksonomi Bloom, koridor
afektif merupakan salah satu domain yang ikut berperan penting dalam
tumbuh kembang seorang siswa di samping faktor kognitif (pemikiran) dan
psikomotorik (gerak fisik).
Dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter, menurut Krathwoh
(1961) sebagaimana dilansir oleh Kemdikbud, menyatakan bahwa proses
pembelajaran afektif yang terkandung di dalamnya pendidikan karakter,

6
setidaknya melalui lima proses tahapan, yaitu receiving (attending),
responding valuing, organizational, dan characterization.” 2
Pertama, receiving/attending adalah kepekaan dalam menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk
masalah situasi gejala dan sebagainya. Yang termasuk dalam hal ini adalah
kesadaran untuk menerima stimulus, keinginan untuk melakukan kontrol, dan
seleksi terhadap rangsangan dari luar. Pada tahapan receiving, kemampuan
guru untuk membuat siswa “on” menjadi penting. Sebab, bila dalam kegiatan
awal belajar mengajar sudah tidak dapat menarik perhatian siswa untuk
menyimak, guru akan kewalahan dalam mengondisikan siswa terhadap proses
berikutnya. Untuk itu, bila ditemui situasi kelas belum begitu siap untuk
menerima materi pembelajaran, guru perlu meningkatkan aktivitas di kelas.
Misalnya, dengan mengetengahkan cerita atau permainan-permainan edukatif
(ice breaking). Agar tercipta suasana seperti itu, guru hendaknya memfasilitasi
potensi dan karakteristik siswa masing-masing. Penggunaan metode dan
media yang variatif akan menumbuhkan keingintahuan siswa dalam
menguasai materi pelajaran.
Kedua, responding atau jawaban, yaitu reaksi yang diberikan oleh
seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup
ketetapan reaksi kedalaman perasaan, kepuasan merespons tanggung lawab
dalam memberikan respons terhadap stimulus dari luar yang datang pada
dirinya. Ketika memasuki tingkat responding, siswa dilibatkan untuk lebih
aktif dalam mengikuti pembelajaran pendidikan karakter. Pada tingkat ini,
siswa tidak saja memerhatikan fenomena khusus, tetapi ia juga bereaksi. Hasil
pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons,
berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons.
Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang
menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus.

2
Asmaun Sahlan, dkk,” Desain Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter”,(Yogjakarta: Ar-Ruzz
Media,2012), 115

7
Misalnya, senang membaca buku, senang melakukan kegiatan peduli
lingkungan seperti merawat tanaman di sekolah, membuang sampah pada
tempatnya, senang membantu dan berbagi bekal makanan dengan teman, dan
sebagainya. Jika siswa sulit untuk memahami apa yang disajikan guru pada
tahap responding ini, ketertarikan siswa terhadap pembelajaran juga akan
semakin sulit didapat. Hal tersebut akan memengaruhi hasil dari pembelajaran
yang berpotensi tidak akan maksimal. Pola interaksi yang menyenangkan
dengan pemakaian bahasa yang jelas, diselingi humor, maupun lantang akan
menaikkan. intensitas respons siswa. Hal ini juga akan mengurangi perasaan
tidak nyaman atau perasaan negatif siswa terhadap guru. Perasaan negatif itu
bisa berupa anggapan bahwa guru bersangkutan dianggap killer (tidak
bersahabat dengan siswa), terlalu banyak tugas, hingga berbagai sikap yang
tidak disenangi siswa seperti tidak bisa senyum sedikit pun, terlalu banyak
ceramah, cenderung menganakemaskan siswa tertentu dan sebagainya.
Ketiga, adalah valuing yang merupakan proses penentuan nilai,
keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen.
Valuing berkenaan dengan nilai atau kepercayaan terhadap gejala atau
stimulus yang diterimanya. Dalam hal ini, termasuk kesediaan menerima nilai
latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan
terhadap nilai tersebut. Indikator dari tahap ini adalah apakah guru sudah
melihat adanya pola perubahan dari siswa ketika ia telah diberikan materi.
Pola perubahan yang dimaksud bisa berupa peningkatan frekuensi belajar
yang selama ini tidak sama sekali, kemudian siswa bersangkutan mulai
berkomitmen untuk belajar selama satu kali dalam seminggu. Contoh lain
yang terkait dengan saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung adalah
ketika selesai diberikan materi siswa tertarik untuk mendalami materi tersebut
dengan cara membaca buku seketika atau dengan browsing internet yang
terkait dengan topik pembelajaran.
Keempat adalah organizational. Organisasional adalah pengembangan
dari nilai ke dalam satu sistem organisasi termasuk hubungan satu nilai

8
dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai Lyang telah dimilikinya.
Dalam tahapan ini, siswa mulai memetakan beberapa nilai pendidikan
karakter yang memungkinkan dirinya untuk mengimplementasikannya. Siswa
juga mulai memperkaya bahan kajian dan sekaligus mendiskusikan terhadap
materi dan nilai-nilai pendidikan karakter yang menarik perhatiannya. Hal itu
dilakukannya antarteman, guru, konselor maupun orangtua siswa.
Kelima adalah characterization/internalisasi nilai, yaitu keterpaduan
semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang memengaruhi pola
kepribadian dan tingkah lakunya. Tahapan internalisasi nilai terhadap
pembelajaran diperlihatkan dengan sikap fisik dari siswa yang terlihat antusias
mengikuti setiap kegiatan. Mereka mengetahui manfaat dari materi
pembelajaran yang diberikan. Hal lain yang menunjukkan internalisasi
pembelajaran adalah mereka berusaha untuk memiliki buku-buku yang terkait
dengan materi yang diajarkan. Ketika siswa dalam sehari tidak membaca buku
yang terkait dengan pembelajaran, ia merasa ada yang hilang dan merasa tidak
nyaman untuk membacanya.

B. Berbagai Pendekatan Dan Metode Pendidikan Nilai


Banyak pakar mengembangkan metode maupun pendekatan pembelajaran
nilai. Dari masing-masing tersebut tentunya memiliki kelebihan maupun
kelemahan, tergantung kepada tujuan pendidikan nilai yang telah dirumuskan
oleh peserta didik. Oleh sebab itu pendidik harus mampu memilah mdan memilih
metode serta pendekatan yang mana yang paling tepat untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran agar bermakna.
Menurut Simon,dkk. (1972) menggolongkan pendekatan nilai sebagai
berikut:
1. Memoralisasi (moralizing)
Adalah model pendidikan nilai-moral secara langsung yaitu
mengajarkan nilai yang menjadi pedoman hidup peserta didik. Pendidik
mengajarkan apa saja yang dianggap baik dan nantinya mampu dipraktikkan

9
oleh peserta didik. Caranya seperti: pemberian nasihat/wejangan dan larangan,
khotbah atau pidato dan ceramah.
2. Bersikap membiarkan (laissez-fair attitude)
Model ini membiarkan peserta didik mengeksplorasi dan menentukan
apa yang diinginkan, membiarkan mereka tumbuh dan berkembang serta jatuh
bangun dari pengalamannya sendiri.
3. Menjadi model (modeling)
Pendidik pada cara ini menjadikan dirinya sebagai contoh ataupun
model menurut nilai-nilai tertentu. Pendidik harus mampu memberikan
penghayatan dan pengalaman nilai hidup kepada peserta didiknya, sehingga
mereka akan terkesan dan berusaha untuk menirunya.
Agar proses pendekatan nilai didalam kelas dapat berlangsung efektif
maka terdapat beberapa metode yang digunakan oleh pendidik antara lain
(Cheppy, 1988;cf.Lickona.1991):
1. Metode Dialog
Pendidik memberikan nilai tertentu untuk dibicarakan, kemudian
dibahas dialogis oleh peserta didik. Dalam dialog ini point-pointnya adalah:
a. Pendidik memberikan nilai tertentu dalam suatu dilema moral,
kemudian peserta didik mendalami dengan metode inkuiri.
b. Peserta didik diberikan kebebasan untuk menanggapi, bertanya,
menjelaskan satu sama lain yang berlangsung didalam suatu
kelompok.
c. Peserta didik bebas dalam memilih, mengambil keputusan dan
kesimpulan yang terkait dengan nilai.
d. Pilihan nilai diberi alasan kemudian dipresentasikan.
e. Teman sejawat maupun guru memberikan kritikan terhadap nilai
tersebut.
f. Peserta didik menyampaikan niat untuk melaksanakan nilai tersebut.

2. Diskusi kelompok (Cooperating learning)


Dalam metode kelompok diskusi ini pendidik mebentuk menjadi
beberapa kelompok, kemudian menyampaikan sejumlah daftar nilai beserta
pertanyaan kritis terkait nilai yang berbeda. Kemudian masing-masing siswa
secara bebas berdiskusi menanggapi pertanyaan kritis terhadap nilai yang
ditawarkan dan membari argumentasinya. Kemudian setiap kelompok

10
mencoba merangkum pendapat bersama dan mengutarakan alasannya,
termasuk niat untuk melaksanakan nilai yang dipilih.

3. Studi kasus dengan problem solving moral


Pendidik membuat cerita berkasus yang mengandung unsur problem
solving moral atau pemecahan kasus yang mengandung dilema moral atau
nilai tertentu, disertai sejumlah pertanyaan untuk ditanggapi peserta didik
baik secara individual maupun kelompok dalam diskusi kemudian
dipresentasikan. Pendidik berperan sebagai fasilitator dalam diskusi, yang
hanya memberi pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap argumen peserta didik,
tanpa memaksakan pendpatnya.
Kohlberg (Sjarkawi, 2006) setelah mengadakan penelitian terhadap
metode ini, beliau menyimpulkan bahwa metode pemecahan masalah atau
diskusi kasus tentang problem solving moral merupakan metode pendidikan
nilai ynag paling efektif karena mampu meningkatkan tingkat kesadaran
moral maupun sikap peserta didik.

C. Desain Model Pengembangan Pembelajaran Yang Berorientasi Pendidikan


Nilai (Afektif)
Setiap pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada
situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematik. Melalui situasi
ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang
dianggapnya baik. Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran
pembentukan sikap.3
1. Model Konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration modal) dikembangkan oleh Mc.
Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak
sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral
siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan
3
Wina Sanjaya, “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”, 279

11
intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi
pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar
siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kebutuhan yang fundamental adalah bergaul secara harmonis dengan orang
lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian, pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak
agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara
harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderensi guru dapat mengikuti tahapan
pembelajaran seperti di bawah ini.
a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik,
yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat
bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan
tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan
yang dihadapinya.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat
kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala
kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut
pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat
menimbang sikap tertentu dengan nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus
dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya
sendiri.

12
2. Model Teknik Klarifikasi Nilai (value clarification technique approach) yang
dikenal dengan istilah VCT
Karakteristik VCT sebagai suatu model pembelajaran sikap adalah
proses penanaman nilai melalui suatu proses analisis nilai yang sudah dimiliki
oleh siswa kemudian menghubungkan dengan nilai-nilai baru yang akan
ditanamkan.
Jadi VCT ini menekankan kepada upaya siswa dalam mengkaji perasaan
dan perilakunya sendiri untuk meningkatkan kesadarannya tentang nilai-nilai.
Tujuannya:
a. Membantu peserta didik untuk menghayati dan menyadari nilai dalam diri
mereka serta dalam diri orang lain.
b. Membantu peserta didik agar memiliki kecakapan dalam berkomunikasi
dengan orang lain mengenai keyakinan nilai-nilai yang dimiliki.
c. Membantu peserta didik agar mampu menggunakan akal budi dan
emosional mereka untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan tingkah
lakunya.

John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT


dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkatan.Setiap tahapan dijelaskan di
bawah ini.
a. Kebebasan memilih, Pada tingkatan ini terdiri dari 3 tahap, yaitu:
1. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentuan pilihan
yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi
miliknya secara penuh.
2. Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan
dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.
3. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang
timbul sebagai akibat pilihannya.

b. Menghargai Terdiri atas 2 tahapan pembelajaran sebagai lanjutan dari


tingkat yang sebelumnya, yaitu:

13
1. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi
pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari
dirinya.
2. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di
depan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan,
maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya
di depan orang lain.

c. Berbuat, Terdiri atas dua tahapan, yaitu:


1. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
2. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai
yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-
hari. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam
mengimplementasikan VCT melalui proses dialog adalah:
 Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat
yaitu memberikan pesan-pesan yang dianggap guru baik.
 Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila
memang siswa tidak menghendakinya.
 Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga
siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa
adanya.
 Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok
kelas.
 Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok.
 Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
 Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

Teknik evaluasi pembelajaran afektif


Teknik evaluasi yang telah digunakan dalam pendidikan untuk mengukur ranah
afektif adalah: teknik observasi, teknik kuesioner, teknik wawancara, dan teknik

14
skala. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing teknik yang sering digunakan
dalam menilai ranah afektif:
1. Teknik Observasi
Observasi adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkah laku
individu, dengan cara mengamati tentang apa yang benar-benar dilakukan
oleh individu, dan membuat pencatatan-pencatatan secara objektif mengenai
apa yang diamati.
Obeservasi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Observasi yang direncanakan
Adalah observasi yang dilakukan dengan membuat sebuah blangko-
blangko atau daftar isian mengenai apa saja yang perlu diamati.
b. Observasi yang tidak direncanakan
Adalah observasi yang dilakukan tanpa perencanaan sehingga tidak
ada pencatatan mengenai aspek-aspeknya. Misalnya: pengamatan terhadap
siswa ketika mengerjakan tugas dikelas, atau ketika mereka bermain
diwaktu istirahat.
2. Kuesioner
Adalah sebuah alat yang dapat membantu evaluator untuk mengumpulkan
data yang diperlukan. Kuisioner ini diberikan langsung kepada peserta didik,
dapat juga kepada para orang tua mereka. Pada tujuan penggunaan kuesioner
dalam proses pembelajaran adalah untuk memperoleh data mengenai latar
belakang peserta didik sebagai salah satu bahan dalam menganalisis tingah
laku dan proses belajar mereka. Kuisioner ini dapat berbentuk pilihan ganda
dan berbentuk skala sikap. Skala yang mengukur sikap, sangat terkenal dan
sering digunakan untuk mengungkap sikap peserta didik adalah skala likert.
Contoh kuesioner berbentuk pilihan ganda:
Dalam rangka mengungkap hasil belajar pendidikan agama Islam ranah
afektif.
Contoh: Kuesioner bentuk pilihan ganda

15
Terhadap temen-teman sekelas saya yang rajin dan khusyu’ dalam
menjalankan ibadah sholat, saya:
a. Merasa tidak harus meniru mereka
b. Merasa belum pernah memikirkan untuk shalat dengan rajin dan khusyu’
c. Merasa ingin seperti mereka, tetapai saya masih sulit
d. Sedang berusaha agar saya rajin dan khusyu’
e. Merasa iri hati dan ingin seperti mereka

3. Wawancara
Wawancara adalah interaksi pribadi antara pewawancara (guru) dengan yang
diwawancarai (siswa) di mana pertanyaan verbal diajukan kepada mereka.4
Ada dua jenis wawancara yang dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi,
yaitu:
a. Wawancara terpimpin Dalam wawancara terpimpin.
Evaluator melakukan tanya jawab lisan dengan pihak-pihak yang
diperlukan, misalnya: wawancara dengan peserta didik, wawancara
dengan orang tua atau wali murid dan lain-lain, dalam rangka
menghimpun bahan-bahan keterangan untuk penilaian terhadap peserta
didiknya.
b. Dalam wawancara bebas
Pewawancara selaku evaluator mengajukan pertanyaan kepada peserta
didik atau orang tuanya tanpa dikendalikan oleh pedoman tertentu.
Mereka dengan bebas mengemukakan jawabanya.

4. Skala
Merupakan tenik yang mendeskripsikan tingkatan-tingkatan level, atau
mendeskripsikan variasi derajat kerakteristik individu. Di antara jenis skala
yang sering digunakan untuk menilai ranah afektif adalah: teknik skala likert.5
4
Sukardi, “Evaluasi Pendidikan Prinsip Dan Operasionalnya”,(Jakarta: Bumi Aksara, 2008),189

5
Eko Putro Widoyoko, “Evaluasi Program Pembelajaran (Panduan Praktis Bagi Pendidik Dan Calon
Pendidik)”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 115

16
a. Skala likert
Adalah yang paling sering digunakan di antara skala-skala yang lainnya.
Skala ini disusun dalam bentuk suatu ernyataaan dan diikuti oleh pilihan
respons yang menunjukkan tingkatan. Contoh:
Pilihan respon:
SS: sangat setuju

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Pendidikan nilai adalah mengantar peserta didik mengenali, mengembangkan
dan menerapkan nilai-nilai, moral dan keyakinan agama, untuk memasuki
kehidupan budaya zamannya.
Kemdikbud, menyatakan bahwa proses pembelajaran afektif yang
terkandung di dalamnya pendidikan karakter, setidaknya melalui lima proses
tahapan, yaitu receiving (attending), responding valuing, organizational, dan
characterization.”
b. Menurut Simon,dkk. (1972) menggolongkan pendekatan nilai sebagai berikut:
Memoralisasi (moralizing), Bersikap membiarkan (laissez-fair attitude) dan
Menjadi model (modeling).
Sedangkan metodenya antara lain: dialog, diskusi kelompok dan
problem solving.
c. Desain pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada pngajaran nilai
antara lain: model Konsiderasi dan model Teknik Klarifikasi Nilai.

B. Saran

17
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar seorang pendidik mampu
membuat pembelajaran PAI tidak hanya sekedar transfer of knowladge akan tetapi
pada hakikatnya juga transfer Attitude yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, desain pengembangan ini juga digunakan agar proses
pembelajaran bisa dikemas searah dengan tujuan yang diharapkan sehingga
pembelajaran dikelas berjalan seefektif dan seefisien mungkin dalam menciptakan
suasana pembelajaran yang tidak hanya konvensional saja.

18

Anda mungkin juga menyukai