Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan nilai pada dasarnya dirumuskan dari dua istilah pendidikan dan
nilai, yang jika digabungkan menjadi sebuah istilah pendidikan nilai. Pendidikan
maupun nilai pastinya mempunya definisi tersendiri sebagai landasan dalam
memahami sebuah istilah definisi tentang pendidikan nilai itu sendiri. UU No. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-Undang Republik Indonesia. No. 20
Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Berdasarkan definisi di atas, terdapat 3
(tiga) pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar
dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan nilai menurut pengertian yang dipaparkan diatas bahwa nilai erat
hubungannya dengan etika, moral, perilaku, dan budi pekerti yang melekat pada
diri manusia. Jadi, pendidikan nilai merupakan usaha sadar yang terencana dalam
proses pembelajaran yang membentuk etika, moral, dan budi pekerti peserta didik
sebagai makhluk tuhan yang mempunyai keterampilan untuk diaplikasikan dalam
dunia masyarakat, bangsa dan negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas bahwsanya ada beberapa cakupan


masalah sebagai berikut:

1
1. Apakah pengertian nilai
2. Bagaimana tahapan-tahapan internalisasi nilai
3. Bagaimana teori experiental learning menurut dewey
4. Bagaimana teori experiental learning menurut kurt lewin
5. Bagaimana pengertian pendidikan karakter

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui dan memahami apakah pengertian nilai


2. Untuk mengetahui dan mengerti bagaimana tahapan-tahapan
internalisasi nilai
3. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana teori experiental
learning menurut dewey
4. Untuk memahami dan mengerti bagaimana teori experiental learning
menurut kurt lewin

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nilai

Setiap manusia tentu melakukan suatu aktivitas dan tindakan untuk


mencapai tujuan yang ia harapkan. Pada kenyataannya tidak sedikit orang yang
melakukan segala tindakan untuk mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan
baik maupun tindakan buruk. Yang terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia
harapkan. Dalam hal ini, perlu adanya suatu patokan atau tolak ukur untuk
mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan nilai itu saling berkaitan, yang
mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman
untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang. Namun, sebelum membahas terlalu jauh mengenai nilai-nilai yang ada
di masyarakat, organisasi maupun pendidikan terlebih dahulu harus memhami apa
itu nilai. Dengan begitu kedepannya kita dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk
dari nilai.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai.


Misalkan kita mengatakan bahwa orang itu baik atau lukisan itu indah. Berarti kita
melakukan penilaian terhadap suatu objek. Baik dan indah adalah contoh nilai.
Manusia memberikan nilai pada sesuatu. Sesuatu itu dikatakan adil, baik, cantik,
anggun, dan sebagainya.

Istilah nilai (value) menurut kamus poerwodarminto diartikan sebagai berikut.

a.     Harga dalam arti taksiran, misalnya nilai emas.

b. Harga sesuatu, misalnya orang.

c.      Angka, skor.

d.     Kadar, mutu.

e.     Sifat-sifat atau hal penting bagi kemanusiaan.

3
Beberapa pendapat tentang pengertian nilai dapat diuraikan sebagai berikut.

a.     Menurut bambang daroeso, nilai adalah suatu kualitas atau pengahargaan


terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang.

b.     Menurut darji darmodiharjo adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat


bagi manusia baik lahir ataupun batin.

Sehingga nilai merupakan suatu bentuk penghargaan serta keadaan yang


bermanfaat bagi manusia sebagai penentu dan acuan dalam melakukan suatu
tindakan. Yang mana dengan adanya nilai maka seseorang dapat menentukan
bagaimana ia harus bertingkah laku agar tingkah lakunya tersebut tidak
menyimpang dari norma yang berlaku, karena di dalam nilai terdapat norma –
norma yang dijadikan suatu batasan tingkah laku seseorang.

Seuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memilki sifat sebagai berikut.

a.    Menyenangkan (peasent)

b.    Berguna (useful)

c.    Memuaskan (satisfying)

d.    Menguntungkan (profutable)

e.    Menarik (ineteresting)

f.     Keyakinan (belief)[1]

Ada dua pendapat mengenai nilai. Pertama mengatakan bahwa nilai


objektif. Sedangkan pendapat kedua mengatakan nilai itu subjektif. Menurut
aliran idealisme, nilai itu objekti, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada yang
diciptakan di dunia tanpa ada suatu nilai yang melekat di dalamnya. Dengan
demikian, segala sesuatu ada nilainya dan bernilai bagi manusia. Hanya saja
manusia tidak atau belum tahu nilai apa dari objek tersebut. Aliran ini
disebut  juga aliran objektivisme.

4
Pendapat lain menyatakan bahwa nilai suatu objek terletak pada objek
yang menilainya. Misalnya, air menjadi sangat bernilai daripada emas bagi orang
yang kehausan di tengah padang pasir, tanah memiliki nilai bagi seorang petani,
gunung bernilai bagi orang seorang pelukis, dan sebagainya. Jadi, nilai itu
subjektif. Aliran ini disebut aliran subjektif.

Di luar kedua pendapat itu, ada pendapat lain yang menyatakan adanya
nilai ditentukan oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Sebelum ada
subjek yang menilai maka barang atau objek itu tidak bernilai. Inilah ajaran yang
berusaha menggabungkan antara aliran subjektivisme dan objektivisme.

Contoh nilai adalah keindahan, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan,


kerifan. Keanggunan, kerapian, keselamatan, dan sebagainya.

B. Tahapan-Tahapan Internalisasi Nilai

Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah


bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi
dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara
mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.

Jadi teknik pembinaan agama yang dilakukan melalui internalisasi adalah


pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai relegius (agama) yang
dipadukan dengan nilai-niali pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu
dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter atau watak
peserta didik.

Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan


atau penyatuan sikap, standart tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam
kepribadian. Freud yakin bahwa superego, atau aspek moral kepribadian berasal
dari internalisasi sikap-sikap parental (orang tua).

5
Dalam proes internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik
atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya
internalisasi :

a. Tahap Transformasi Nilai : Tahap ini merupakan suatu proses yang


dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan
kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan
peserta didik atau anak asuh

b. Tahap Transaksi Nilai : Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan


melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan
pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik.

c. Tahap Transinternalisasi : Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap


transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi
juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian
yang berperan secara aktif.

Jadi dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus


berjalan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan. Internalisasi merupakan sentral
proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau
perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau
implikasi respon terhadap makna.

C. Teori Experiental Learning Menurut Dewey

Ada berbagai macam teori psikologi yang berusaha menjelaskan tentang


perilaku belajar manusia. Salah satunya disebut sebagai Experiential Learning
Theory (ELT), yang dicetuskan oleh David A. Kolb pada tahun 1984. ELT
meletakkan landasan konseptualnya pada tiga model pembelajaran yang
dicetuskan oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Jean Piaget. Ketiga model
pembelajaran tersebut menggambarkan bahwa proses belajar dimulai dengan

6
pengalaman langsung yang konkrit dengan subjek belajarnya. Berdasarkan
pengalaman tersebut, melalui hasil pengamatan dan evaluasi, kita
mengembangkan kerangka berpikir tertentu mengenai subjek belajar. Kemudian,
kerangka berpikir tersebut kita gunakan sebagai landasan untuk memperbaiki atau
mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan subjek belajar supaya dapat
diaplikasikan dengan lebih efektif dan efisien. Misalnya, kita sedang ingin belajar
tentang kepemimpinan, maka kita perlu untuk mengalami secara langsung
pengalaman menjadi seorang pemimpin dalam sebuah tim. Dari pengalaman
memimpin anggota tim tersebut, kita mengamati dan mengevaluasi gaya dan
kinerja kepemimpinan kita. Hasil pengamatan dan evaluasi tersebut memunculkan
kesimpulan-kesimpulan (kerangka berpikir) mengenai kemampuan dan
keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dirinya memimpin
anggota timnya, seperti communication skills, team management, integritas, dan
lain sebagainya. Kemudian, simpulan-simpulan tersebut kita terapkan kembali
(ujicoba) dalam tim untuk dinilai efektivitas dan efisiensinya

John Dewey pada dasarnya adalah seorang filosof yang berpandangan


bahwa realitas ini dibangun melalui tindakan akal budi berdasarkan ingatan kita
akan pengalaman masa lalu. Akal budi menggunakan ingatan ini sebagai cara atau
alat untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik lagi. Nilai sesuatu yang baru itu
bisa ditemukan melalui sebuah tindakan eksperimental atas apa yang kita lakukan
dan perbuat. Akal budi yang dilihat sebagai cara atau alat inilah yang menjadikan
Dewey sebagai seorang filsuf intrumentalis. Melalui cara berpikir yang demikian,
Dewey berusaha mengaplikasikannya dalam bidang pendidikan. Sumbangan
Dewey pada pendidikan terkenal dengan nama pendidikan yang berpusat kepada
anak. Meskipun demikian, pemikiran Dewey dalam pendidikan ternyata memiliki
beberapa kekurangan.

Pertama, penekanan Dewey terhadap akal budi sebagai alat dan sarana
untuk mencapai kehidupan personal dan masyarakat yang lebih baik didasarkan
pada pengalaman sebagai pengetahuan masa lalu. Ini mengakibatkan makna dan
tujuan hidup seseorang bahkan masyarakat kehilangan pendasarannya. Mengapa?

7
Karena usaha menentukan tujuan yang tertata dengan baik kehilangan dasar
rasional. Pemahaman ini menghantar pada kekurangan kedua, yakni bagaimana
peran pendidik dipikirkan di sini sebagai orang dewasa di mana nilai, tujuan,
makna berinkarnasi di dalam mereka. Kesulitan ini terjadi karena masyarakat
terus berevolusi (progresif) ke arah bentuk yang lebih baik. Bentuk itu disebut
Dewey sebagai masyarakat demokratis. Cuma dasar bagi masyarakat ini ternyata
kabur jika mengandalkan pada pengalaman semata. Ketiga, ketika Dewey
menggambarkan masyarakat industri di Amerika melumpuhkan fungsi intelek
dalam sekolah, ia melupakan fakta bahwa sekolah juga melumpuhkan fungsi
intelektual dengan membiarkan pembelajaran menjadi tanggung jawab si anak.

Dari apa yang dibahas di atas, kita tahu bahwa gagasan pendidikan John
Dewey sebenarnya menekankan pendidikan yang berbasis pada pengalaman
(experiential education) di mana anak mempertanyakan segala sesuatu yang
dialaminya, memikirkannya dan mencari solusi untuk masalah yang dihadapi.
Dalam konteks Indonesia, penerapan gagasan ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan monumen atau candi yang ada untuk pelajaran sejarah. Kunjungan
ke kebun binatang atau cagar alam untuk memahami alam lingkungan ini beserta
isinya. Pembelajaran kinestetik, penggunaan laboratorium, dan sebagainya.

Sejauh ini pendidikan kita memang masih menggunakan Kurikulum


Berbasis Kompetensi. Sebagai pendidikan yang berbasis kompetensi, itu berarti
skill, kemahiran, kebiasaan diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan itu.
Harapan ini memang berdasar pada kebutuhan masyarakat kita sendiri. Tapi,
proses yang berlangsung seringkali dilumpuhkan oleh sistem pendidikan yang
mekanis. Nilai dan ijazah menjadi dua hal penting dibandingkan dengan skill,
bakat, minat dan keterampilan. Harus diakui masyarakat kita memang sedang
menuju masyarakat industri walaupun sebagian besar masih berkarakter
agrikultural dan malahan sangat multikultural. Inilah tantangan kita bersama
dalam menetapkan arah pendidikan yang sesuai dengan masyarakat kita.

D. Teori Experiental Learning Menurut Kurt Lewin

8
Lewin menggambarkan manusia sebagai pribadi berada dalam lingkungan
psikologis, dengan pola hubungan dasar tertentu. Pendekatan matematis yang
dipakai Lewin untuk menggambarkan ruang hidup disebut topologifokusnya
adalah saling berhubungan antara segala sesuatu didalam jiwa manusia, hubungan
antara bagian dengan bagian dan antara bagian dengan keseluruhan, lebih dari
sekedar ukuran dan bentuk. Jadi dalam mempelajari diagram-diagram Lewin
harus memperhatikan hubungan dan komunikasi antar daerah dan alih-alih bentuk
dan ukuran yang dipakai untuk menggambarkan daerah-daerah itu.

Teori Lewin ini dapat dimengerti dalam rangka struktur, dinamika dan
perkembangan kepribadian.

a. Struktur Kepribadian

Lewin menggambarkan manusia sebagai pribadi berada dalam lingkungan


psikologis, dengan pola hubungan dasar tertentu. Pendekatan matematis yang
dipakai Lewin untuk menggambarkan ruang hidup disebut topologi. Fokusnya
adalah saling hubungan antara segala sesuatu di dalam jiwa manusia, hubungan
antara bagian dengan bagian dan antara bagian dengan diagram-diagram Lewin,
harus diperhatikan saling hubungan dan komunikasi antar daerah alih-alih bentuk
dan ukuran yang dipakai untuk menggambarkan daerah-daerah itu.

Kenyataan psikologi yang selalu dipegang Lewin yaitu bahwa pribadi itu
selalu ada dalam lingkungannya, pribadi tidak dapat terlepas dari lingkungannya.

1. Daerah Pribadi (Person Area)

2. Daerah Lingkungan Psikologis

3. Ruang Hidup

b. Dinamika Kepribadian

9
Dalam pembahasan ini, Lewin mengemukakan konsepsi yang istilah-
istilahnyadiambil dari ilmu pengetahuan alam. Pengertian-pengertian tersebut,
diantaranya:

1. Energy (energi)

2. Tension (tegangan)

3. Need (kebutuhan)

c. Perkembangan Kepribadian

Hakikat perkembangan menurut Lewin adalah perubahan-perubahan


tingkah laku

1. Perkembangan berarti perubahan didalam variasi tingkah laku.

Semakin bertambah umur seseorang, maka variasi kegiatan, keinginan,


perasaan, kebutuhan, hubungan sosialnya pun akan terus bertambah.

2. Perkembangan berarti perubahan dalam organisasi dan struktur tingkah laku.

Semakin bertambah umur seseorang juga akan menimbulkan perubahan


organisasi dan struktur tingkah laku menjadi lebih kompleks.

(a) Struktur relasi bertambah.

Apabila umur anak bertambah maka pada suatu saat ia akan dapat
sekaligus berhubungan dengan beberapa orang anak. Misalnya dalam hal bermain.

(b) Hirarki bertambah kompleks

Apabila umur anak bertambah maka ia dapat mempunyai tujuan diluar


perbuatan yang dilakukan. Semakin dewasa mereka memakai permainan sebagai
instrument untuk memacu diri berguna mencapai tujuan.

(c) Struktur tingkah laku menjadi lebih kompleks

10
Anak kecil pada suatu saat hanya dapat mengerjakan sesuatu perbuatan
tertentu. Apabila ia mengalami interupsi pada umumnya tidak akan kembali
kepada apa yang dikerjakan semula. Anak yang lebih dewasadapat sekaligus
mengerjakan beberapa hal, mengalami interupsi dan kembali kepada yang
dikerjakan semula/

3. Perkembangan berarti bertambah luasnya arena aktivitas.

Semakin bertambah dewasa seseorang maka arena aktivitasnya semakin


luas. Anak kecil masih terikat pada masa kini, namun anak yang sudah lebih
dewasa dapat memikirkan masa lampau dan merencanakan masa depan sambil
memikirkan hal yang dihadapi pada masa kini.

Memakai asumsi Gestalt, Lewin mendasarkan pengembangan teorinya


berdasarkan tiga asumsi, sebagai berikut:

1. Dasar pemahaman psikologi bukan elemen (gambaran rincian jiwa) tetapi


saling hubungan, pola atau konfigurasi. Elemen digambarkan untuk memahami
saling hubungannya, bukan wujud dan ukurannya.

2. Beberapa saling hubungan menjadi dasar dari saling hubungan yang lain,
sehingga dapat dideskripsikan kecenderungan kepribadian bergerak menuju
kesatuan gestalt.

3. Psikologi seharusnya dipahami dalam bentuk teori medan(field theory),


dimana “field” adalah system pengaturan diri yang ditentukan oleh saling
hubungan antar bagian-bagian dari unsur yang mendukung system itu.

Walaupun Lewin sangat tertarik dengan aspek matematis dari teorinya,


sebagian ide-ide pokok teorinya dapat dikomunikasikan dalam diagram yang lebih
sederhana. Kalau diagram-diagram itu digambarkan dalam bentuk formula
matematik, maka tidak dapat dihindari bentuk formula matematik yang rumit
karena sifat jiwa yang sangat kompleks.

11
Bagi Lewin, teori medan bukan suatu sistem psikologi baru yang terbatas
pada suatu isi yang khas: teori medan merupakan sekumpulan konsep dengan
dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis. Konsep konsep
ini harus cukup luas untuk dapat diterapkan dalam semua bentuk tingkah laku,
dan sekaligus juga cukup spesifik untuk menggambarkan orang tertentu dalam
suatu situasi konkret. Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu
metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun
konstruk-konstruk ilmiah”

Ciri ciri utama dari teori Lewin, yaitu :

1. Tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah
laku itu terjadi.

2. Analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian bagian
komponennya dipisahkan.

3. Orang yang kongkret dalam situasi yang kongkret dapat digambarkan secara
matematis.

Konsep konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala
psikologis dan sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa
adolsen , keterbelakangan mental, masalah masalah kelompok minoritas,
perbedaan perbedan karakter nasional dan dinamika kelompok.

E. Pengertian Pendidikan Karakter

Adapun pengertian pendidikan karakter menurut para ahli

1.  Pendidikan Karakter Menurut Lickona

Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha


yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk
mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan
karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan

12
bahwa pengertian pendidikan karakteradalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai-nilai etika yang inti.

2.  Pendidikan Karakter Menurut Suyanto

Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku


yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara.

3.  Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya

Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas
tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut,
serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak,
bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.

4.  Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi

Menurut  kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak


etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan adalah proses pembudayaan, proses kultural, atau proses


kultivasi untuk mengembangkan semua bakat dan potensi manusia guna
mengangkat diri sendiri dan dunia sekitarnya pada taraf human (Kartono, 1992:
22). Taraf human yang terkandung dalam pengertian tersebut adalah bagaimana
pendidikan bisa mengangkat derajat manusia kearah yang bermoral, bermartabat,
berkarakter baik, mempunyai nilai (values) serta sikap yang mencerminkan bahwa
manusia adalah insan kamil yang seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan
tidak hanya menciptakan insan berakal, insan yang kompeten dan berguna, insan
agent of change, insan yang bertakwa, melainkan insan kamil yang seutuhnya.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya


mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan, pilihan
kata, sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang dipahami.

14
Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, di karenakan kami
masih dalam tahap pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai