Anda di halaman 1dari 46

BAB II

KONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM


DALAM MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK ERA MILENIAL

A. Nilai Pendidikan Islam

Nilai moral yang luhur atau nilai akhlak, nilai didaktik, dan nilai

religi tersebut dapat disatukan menjadi nilai religi. Sebab, religi atau agama

berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW adalah “budi luhur” atau “akhlak

yang mulia”.1 Selain itu Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini untuk

menyempurnakan akhlak manusia agar manusia itu berbudi luhur dalam

hubungannya dengan Allah SWT. atau menjalin hubungan baik kepada

sesama manusia.2

Selanjutnya Brubacher mengatakan bahwa nilai (value) bukanlah

terbatas pada ruang lingkupnya. Nilai itu sangat erat hubungannya dengan

definisi dan aktivitas manusia yang serba kompleks, sehingga sulit ditentukan

batasannya.3 Ketika seorang sosiolog menafsirkan nilai tersebut dari sudut

pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang

hingga pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog

memberikan pengertian bahwa nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku

yang bermuala dari gejala-gejala psikologis misalnya hasrat, motif, sikap,

kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual hingga sampai pada

wujud tingkah laku yang unik. Selain itu, seorang antropolog memberikan

pengertian bahwa nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya
1
M. Yunan Nasution, Kepemimpinan Rasulullah (Jakarta: CV. Publicita, 1970), 17-18.
2
Ibid.
3
Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 109.

48
49

masyarakat misalnya dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan

bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Beda halnya

dengan seorang ekonom yang memberikan pengertian bahwa nilai sebagai

harga suatu produk dan pelayanan yang bisa diandalkan untuk kesejahteraan

manusia. Di samping itu K. Bertens, memberikan pengertian bahwa nilai

merupakan sesuatu yang unik bagi manusia, sesuatu yang dicari, sesuatu yang

menyenangkan, sesuatu yang dinginkan dan disukai, singkatnya sesuatu yang

baik.4

Nilai atau value dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Latin

valere mengandung pengertian yaitu berguna, mampu akan, berdaya, berlaku

dan kuat, termasuk dalam kajian filsafat.5 Berkaitan dengan nilai dibahas dan

dipelajari dalam salah satu cabang filsafat nilai (Axiology, Theory of Value).6

Sedangkan pada konteks lain, nilai mengandung beberapa pengertian di

antaranya: (a) Harkat, yaitu kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat

disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan; (b)

Keistimewaan, yaitu apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai

suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah tidak bernilai atau nilai

negatif. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan

menjadi suatu nilai negatif atau tidak bernilai; (c) Ilmu ekonomi, yang

4
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 139.
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), 713.
6
Filsafat nilai (Axiology, Theory of Value) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Lihat Louis O Kattsoff, Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319.
50

bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali

menggunakan secara umum kata nilai.7

Berdasarkan ketiga sudut pandang itu bahwa nilai memang masih

general. Sehingga suatu nilai tidak bisa ditentukan apakah nilai itu

mengandung nilai kebaikan atau nilai keburukan. Sebab nilai bersifat ideal,

abstrak dan tidak dapat diraba pancaindra, sedangkan yang dapat ditangkap

oleh panca indra adalah barang atau tingkah laku yang mengandung nilai

tersebut. Nilai juga bukan merupakan fakta yang berbentuk kenyataan dan

konkret. Sebab, problem nilai tidaklah soal benar dan salah, namun soal

dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak, hingga bersifat subjektif.8 Jadi

nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya terletak pada diri yang menilai.

Selanjutnya, nilai berarti juga suatu perangkat keyakinan atau pun

perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak

khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun pola tingkah

laku. Sebab, dalam kultur suatu bangsa nilai merupakan landasan atau tujuan

dari aktivitas sehari-hari yang menentukan dan mengarahkan bentuk, corak,

intensitas, kelenturan, perilaku seseorang atau sekelompok orang kemudian

menghasilkan bentuk-bentuk produk materi atau nonmateri dan dinyatakan

dalam bentuk gerak maupun pendapat seseorang, seni maupun konsep

berpikir.9

Penjelasan lain juga dilihat dalam kamus “Dictionary of Sociology

and Related Sciences” diuraikan bahwa nilai merupakan kemampuan yang


7
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 713-714.
8
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 469.
9
RMA Hanafi, PAI Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), 88.
51

dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Nilai juga

berarti bahwa sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau

kelompok (the believed capacity of any object to statisfy a human desire).

Dengan demikian nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu

objek, bukan objek itu sendiri. Selain itu, sesuatu dikatakan mengandung

suatu nilai jika memiliki sifat atau kualitas yang melekat padanya. Jadi nilai

adalah suatu kenyataan tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.

Nilai ada karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.10

Selanjutnya, nilai bukanlah objek, sebab tidak memiliki sifat yang

objektif, nilai adalah suatu konsep, maksudnya bahwa pembentukan

mentalitas yang dirumuskan dari tingkah laku manusia, hingga menjadi

sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana

mestinya. Selain itu, nilai juga menyediakan prinsip umum dan yang menjadi

acuan serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan

dan tujuan tertentu bagi manusia. Sebenarnya makna nilai sedikit berbeda

dengan nilai-nilai dari sisi tekanannya masing-masing. Nilai (value) lebih

berorientasi pada aspek objektivitas ilmiah, sedangkan nilai-nilai atau

cultural values lebih berorientasi pada kepemilikan bersama anggota

masyarakat pada baik-buruknya tindakan sosial dalam melakukan hubungan

atau interaksi seseorang terhadap orang lain.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk

merelasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan selanjutnya mengambil

keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang bisa menyatakan


10
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2001), 174.
52

berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah

atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu

berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subjek

penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan

kepercayaan. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna atau

berharga (nilai kegunaan), benar (nilai kebenaran), baik (nilai moral dan

etika) dan relegius (nilai agama).

Bagi manusia, nilai menjadi landasan, alasan atau motivasi dalam

segala perbuatannya. Secara aplikatif nilai dijadikan bentuk, norma atau

ukuran, sehingga menjadi suatu perintah atau keharusan, anjuran atau

larangan, tidak diinginkan atau celaan. Sebab di dalam nilai terdapat cita-cita,

harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Sehingga jika seseorang

berbicara tentang nilai sebetulnya ia juga berbicara tentang hal yang ideal,

tentang cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan.11

Berdasarkan uraian di atas, bahwa nilai merupakan sesuatu yang

abstrak, ideal dan melekat kepada suatu bentuk tertentu, sehingga memiliki

penekanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya tergantung

dari sudut pandang mana nilai tersebut dilihat.

Adapun berkaitan dengan pengertian pendidikan Islam perlu

penulis jelaskan pengertiannya berikut ini. Bahwa pendidikan dalam bahasa

Inggris diterjemahkan dengan kata sense used here, is a process or an activity

which is directed at producingdesirable changes in the behavior of human

Lihat Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan
11

Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 15-18.
53

being”12 (pendidikan adalah proses yang berlangsung untuk menghasilkan

perubahan yang diperlukan dalam tingkah laku manusia).

Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks

Islam inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang

harus dipahami secara bersama-sama,  sekalipun ahli tafsir berbeda-beda

dalam menafsirkan ketiga istilah tersebut.13 Ketiga istilah ini mengandung

makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta

lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu

sama lain. Istilah-istilah tersebut juga menjelaskan ruang lingkup pendidikan

Islam: informal, formal dan non formal.

Kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba ,

yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama

Allah. Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah

yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, murabbi, rabbiyu>n, rabbani.

Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut

mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.14

Pertama,  Pendapat al-Qurtubi, bahwa; arti ar-rabb adalah pemilik,

tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan

yang maha menunaikan.15 Kedua, Pendapat Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti

tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.16

12
Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD,1989), 4-
5.
13
Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992), 5.
14
Lihat An Naquib Al-Attas,  Konsep Pendidikan Dalam Islam,  (Bandung, Mizan, 1988), 12.
15
Lihat Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi,  Tafsir al-Qurtubi, (Maktabah
Waqfiyah), 16.
16
Lihat Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah, (Maktabah Syamilah Kubra), 7.
54

Ketiga, Pendapat Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar

dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti

(pertumbuhan dan perkembangan).17 Keempat, Pendapat al-Jauhari yang

dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah dengan rabban

dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.18 Dari

pendapat para pakar tafsir tersebut, maka kata dasar ar-rabb mempunyai arti

yang luas meliputi; memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi

makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.

Selanjutnya, jika pendidikan Islam diidentikkan dengan  at-ta’lim,

para pakar memberikan pengertian di antaranya,  Abdul Fattah Jalal,

mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan,

pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga

penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri

manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-

hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak

diketahuinya. At-ta’lim meliputi aspek pengetahuan dan keterampilan yang

dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman perilaku yang baik. At-

ta’lim  adalah proses yang terus-menerus diusahakan sejak manusia

dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, namun dia

dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan

memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam

17
Lihat Fathur Razi, Tafsir Fathur Razi, (Maktabah Syamilah Kubra), 12.
18
Lihat Zuhairini, Metodik pendidikan Islam, (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950),
17.
55

kehidupan.19 Selanjutnya pendapat Rasyid Ridha,20 at-ta’lim merupakan

proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya

batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-

Baqarah: 31.

‫َؤاَل ِء إِ ْن‬
ُ ‫َس َم ِاء ه‬
ْ ‫َال أَنْبِئُ ونِي بِأ‬
ِ ‫ض هم َعلَى الْماَل ئِك‬
َ ‫َة َفق‬ َ ْ ُ َ ‫اء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
َ ‫َس َم‬ َ ‫َعلَّ َم آ‬
ْ ‫َد َم اأْل‬ َ
‫ين‬ ِ ِ ‫ُك ْنتُم‬
َ ‫صادق‬ َ ْ
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!”

Berdasarkan ayat di atas bahwa Rasyid Ridha memahami kata

‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses transmisi yang

dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis

asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari uraian tersebut bisa

disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya

daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini

karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa,

sedangkan  at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan

anak-anak.21

Selain itu, Sayed Muhammad an-Naquib al-Atas, mengartikan at-

ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara

mendasar, namun bila at-ta’lim  disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim 

19
Lihat Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, (Mesir: Darul Kutub Misriyah.
1977), 32.
20
Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar. (Mesir: Maktabah Waqfiyah), 42.
21
Ibid.
56

berarti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.22 Menurutnya

ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang

lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak

meliputi segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan

juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang

keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, namun

sumbernya bukan dari wahyu.

Lebih jauh penulis jelahkan bahwa pengunaan at-ta’dib,

berdasarkan pandangan Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam

pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib  berarti

pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada

manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan

penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan

pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan

keberadaanya. Selanjutnya term ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan

kata ‘ta’dib’ telah dinyatakan dalam hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku

dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.23

Pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian al-ta’li>m

berbeda dengan pendapat di atas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih

khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah, karena al-ta’li>m hanya merupakan

22
Lihat An-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung, Mizan. 1988), 17.
23
Ibid., 19.
57

upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja,

sedangkan at-tarbiyah meliputi keseluruhan aspek-aspek pendidikan.24

Hasan Langgulung juga merumuskan pendidikan Islam sebagai

suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan

pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia

untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Berdasarkan literatur

berbagai macam pengertian pendidikan Islam. Pendapat Athiyah Al-Abrasy,

pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan

sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi

pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal

dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Juga pendapat Ahmad D. Marimba,

pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-

hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut

ukuran-ukuran Islam. Sedangkan pendapat Syed Muhammad Naquib Al-

Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri

manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan

kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.

Selain itu, H. M Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha

orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan

kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan

formal maupun non formal.25 Sedangkan pendapat Ahmad D. Marimba,

24
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah, terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry,
(Jakarta, Bulan Bintang. 1998), 32.
25
Lihat HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,1976),
12.
58

bahwa pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama.26

Berdasarkan uraian di atas bahwa pendidikan pada hakikatnya

merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan

anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan

keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai

dengan fitrah  manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang

dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya

kepribadian yang utama. Sedang pendidikan Islam menurut Ahmad D

Marimba adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-

hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut

ukuran-ukuran Islam.27

Dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat

dipetik, pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada

tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia

berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan

kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada

Islam, hingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Jadi nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang

melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk

mencapai tujuan hidupnya yaitu mengabdi pada Allah SWT. Nilai-nilai

26
Lihat Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al Ma’arif, 1989), 19.
27
Ibid., 21.
59

tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu

adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.

B. Konstruksi Pendidikan Pesantren Berbasis LKSA


1. Pesantren Sebagai LKSA

Pesantren merupakan embrio munculnya sistem pendidikan

nasional di Indonesia. Sebab sejak dahulu hingga saat ini pesantren memiliki

kontribusi yang besar dalam mencetak kader muda bangsa. Di mana

pesantren tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi santri. Akan tetapi

pesantren juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar mengajar dalam mencari

ilmu agama bagi santri dan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu tidak semua

pesantren yang ada di Indonesia mampu memberikan pelayanan sosial secara

gratis kepada santri yang dalam penelitian ini disebut pesantren berbasis

LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak).

Pesantren merupakan sistem pendidikan agama Islam yang tertua

sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional Indonesia

yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Pada

mulanya merupakan sistem pendidikan Islam yang dimulai sejak munculnya

masyarakat Islam di Indonesia. Munculnya masyarakat Islam di Indonesia

berkaitan dengan proses Islamisasi, dimana proses Islamisasi terjadi melalui

pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada

sebelumnya, sehingga terjadi percampuran atau akulturasi. Saluran Islamisasi

terdiri dari berbagai cara antara lain melalui perdagangan, perkawinan,

pondok pesantren dan kebudayaan atau kesenian.


60

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah mengalami

perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, serta adanya dampak

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian pesantren tetap

merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan berkembang

dari masyarakat untuk masyarakat. Pertumbuhan dan perkembangannya

terkadang bertransformasi dengan lembaga kesejahteraan sosial anak atau

disebut pesantren panti asuhan.

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, bahwa anak berhak mendapatkan perawatan, asuhan dan

bimbingan berdasarkan kasih sayang, pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik

semasa masih dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, dan

perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau

menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar. Pemenuhan

kebutuhan dasar ini pada hakikatnya adalah tanggung jawab dan tugas

keluarga, namun karena berbagai persoalan sosial yang ada sehingga fungsi

orang tua atau keluarga tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka panti

asuhan sebagai pengganti orang tua. Sebagai lembaga yang konsen dalam

memberikan pelayanan kesejahteraan sosial, lembaga panti asuhan sudah

selayaknya menjadi lembaga yang kuat, baik dalam aspek pendanaan terlebih

juga aspek sumber daya pengelolaannya.


61

Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah lembaga-

lembaga kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh pemerintah, pemerintah

daerah, atau masyarakat yang melaksanakan pengasuhan anak.28 Dengan kata

lain, bahwa LKSA berperan sebagai bentuk bantuan pengasuhan kepada anak.

Selanjutnya, salah satu lembaga yang menyelenggarakan

kesejahteraan sosial adalah Panti Asuhan, yaitu suatu Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak yang bertanggung jawab memberikan pelayanan pengganti

dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga

memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan

kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan.29 Dalam beberapa keadaan

tertentu keluarga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik dalam

pemenuhan kebutuhan anak yang kemudian menyebabkan ketelantaran pada

anak. Beberapa penyebab ketelantaran anak, misalnya: (1) Keluarga

merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan

anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya yang terikat

perkawinan yang sah (Undang-undang Nomor 10 tahun 1992), di mana

keluarga ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat berperan

dalam pola dasar anak. kelalaian orang tua terhadap anak sehingga anak

merasa ditelantarkan. anakanak sebetulnyahanya membutuhkan perlindungan,

tetapi juga perlindungan orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara

wajar; (2) Pendidikan cenderung diterlantarkan karena krisis kepercayaan

28
Lihat Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia, “Standar
Nasional Pengasuhan”, 14.
29
Lihat Pedoman Departemen Sosial RI., Panti Asuhan Direktorat Kesejahteraan Anak dan
Keluarga” (Jakarta: Dirjen Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial , 1979), 6.
62

pendidikan dan juga ketidakadaan biaya untuk mendapatkan pendidikan; (3)

Sosial, politik dan ekonomi, dapat dilihat dari akibat situasi krisis ekonomi

yang tak kunjung usai, pemerintah mau tidak mau memang harus

menyisihkan anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki kinerja

perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk

fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial anak; (4) Kelahiran

diluar nikah, bila seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada

umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah.

Pada tingkat yang ekstrem perilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan

pembuangan anak untuk menutupi aib atau karena ketidak sanggupan orang

tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar. 30 Jadi dapat

dipahami bahwa keterlantaran anak berasal dari berbagai penyebab yang

memperihatinkan, dan tentunya akan membawa dampak psikis yang buruk

bagi anak apabila tidak ditanggulangi dengan pola pengasuhan yang layak

dari orangtua, masyarakat, maupun negara.

2. Fungsi dan Tujuan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Lembaga kesejahteran sosial yang mempunyai tanggung jawab

untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar,

memberikan pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam pemenuhan

kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh

kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan

Lihat Kurniawa Ramsen, “Peksos Room” dalam http://kurniawan-ramsen.blogspot.co.id/


30

2013/06/ definisi-anak-terlantar.html (6 Agustus 2019).


63

kepribadiannya. Panti sosial asuhan anak merupakan tempat tinggal atau

rumah bagi anak terlantar, yang berfungsi.31

(1) Pengembangan, pendekatan ini lebih menekankan pada pengembangan

potensi, kemampuan anak asuh dan bukan penyembuhan, dalam arti lebih

menekankan kepada pengembangan kemampuannya untuk

mengembangkan diri sendiri sesuai situasi dan kondisi lingkungannya.32

(2) Perlindungan, Fungi perlindungan ditujukan untuk menghindarkan anak

dari penelantaran, perlakuan salah dan eksploitasi oleh orang tua. Aspek

perlindungan juga diarahkan kepada keluarga dalam meningkatkan

kemampuan untuk mengasuh anak dan melindungi keluarga dari

kemungkinan perpecahan.

(3) Pemulihan dan Penyantunan, dalam fungsi ini, panti mengupayakan

untuk pemulihan dan penyantunan serta pengentasan yang bertujuan

untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak asuh.

(4) Pencegahan, pada fungsi pencegahan ini ditekankan pada intervensi

terhadap lingkungan sosial anak yang bertujuan untuk menghindarkan

anak dari perilaku yang sifatnya menyimpang, disisi lain mendorong

lingkungan sosial.

Adapun tujuan penyelenggaraan Lembaga Kesejahteraan Sosial

Anak (LKSA) dalam bentuk sistem Panti Asuhan meliputi. 33 (1) Tersedianya
31
Lihat Andayani Listyawati, “Penanganan Anak Terlantar Melalui Panti Asuhan Milik
Perorangan”, 23-24.
32
Ibid.
33
Lihat Departemen Sosial RI., Petunjuk Pelaksana dan Pengentasan Anak Terlantar, (Jakarta:
Dirjen Bina Kesajahteraan Sosial, 1989), 14.
64

pelayanan kepada anak dengan cara membantu membimbing anak agar

menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung

jawab, baik terhadap dirinya, keluarga maupun masyarakat; (2) Terpenuhinya

kebutuhan anak akan kelangsungan hidup, untuk tumbuh kembang dan

memperoleh perlindungan, antara lain dengan menghindarkan anak dari

kemungkinan ketelantaran pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani,

sosialnya, agar memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar;

(3) Terbantunya anak dalam mempersiapkan pengembangan potensi dan

kemampuannya secara memadai dalam rangka memberikan bekal untuk

kehidupan dan penghidupannya di masa depan.

Selanjutnya berdasarkan tujuan panti asuhan sebagai lembaga

kesejahteraan sosial, bahwa panti sosial tidak hanya bertujuan memberikan

pelayanan, pemenuhan kebutuhan fisik semata namun juga berfungsi sebagai

tempat kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak-anak terlantar yang

diharapkan nantinya mereka bisa hidup secara mandiri dan mampu bersaing

dengan anak-anak lain yang notabene masih mempunyai orang tua serta

berkecukupan.

C. Hakikat Menumbuhkan Kemandirian Anak Era Milenial

Pendidikan anak adalah pendidikan yang paling mendasar memiliki

posisi sangat strategis untuk pengembangan sumber daya manusia. Rentang

anak usia dini adalah dari lahir sampai delapan tahun merupakan rentang usia

kritis dan sekaligus strategis dalam proses pendidikan yang dapat

mempengaruhi proses serta hasil pendidikan pada tahap berikutnya. Kurun


65

waktu ini adalah periode kondusif untuk menumbuh-kembangkan serta

melatih dan mengajarkan bermacam potensi kemampuan dasar anak yang

salah satunya adalah melatih kemandirian anak.

Selanjutnya, kemandirian juga mencakup sikap yang diperoleh

secara kumulatif melalui proses yang dilewati oleh seseorang dalam

perkembangannya, di mana proses tersebut menuju kemandirian, individu

belajar untuk menghadapi berbagai situasi dalam lingkungan sosialnya,

sehingga ia mampu berpikir dan mengambil tindakan sesuai untuk

menghadapi setiap situasi. Aktivitas bersama membantu anak untuk

menanamkan cara berfikir dan bersikap di masyarakat dan menjadikannya

sebagai caranya sendiri. Orang dewasa (teman sebaya yang lebih tua)

seharusnya membantu mengarahkan dan mengorganisasi proses pembelajaran

anak, sehingga mereka mampu menguasai dan menginternalisasikan secara

mandiri.

Dalam pandangan teori psikososial Erikson, faktor sosial dan

budaya juga berpengaruh dalam perkembangan manusia, termasuk di

dalamnya perkembangan kemandirian anak. Erikson berpendapat bahwa

perkembangan manusia sebaiknya dipahami sebagai interaksi dari tiga sistem

yang berbeda yaitu: sistem somatik, sistem ego, dan sistem sosial. Sistem

somatik terdiri atas semua proses biologi yang diperlukan untuk berfungsinya

individu. Sistem ego mencakup pusat proses untuk berpikir dan penalaran;
66

sedangkan sistem sosial mencakup proses di mana seseorang menjadi bagian

dari masyarakatnya.34

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa istilah

milenial adalah berkaitan dengan milenium yakni orang atau generasi yang

lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an. Pada era tersebut, bahwa kehidupan

generasi tidak dapat terlepas dari teknologi informasi, terutama berkiatan

dengan internet.35 Istilah milenial ini pertama kali dicetuskan oleh William

Strauss dan Neil Howe. Mereka mencetuskan istilah ini pertama kali pada

tahun 1987, yakni pada saat anak-anak yang terlahir pada tahun 1982 masuk

prasekolah, dan waktu itu media menyebutnya sebagai kelompok yang

terhubung kepada milenium baru saat lulus SMA yaitu pada tahun 2000-an.

Saat ini manusia hidup pada era milenial. Era yang merupakan

kelanjutan dari era global ini telah menimbulkan tantangan-tantangan baru

yang harus diubah menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-

baiknya, sehingga tantangan tersebut membawa berkah bagi setiap orang

melakukannya. Karena era millennial selain memiliki persamaan juga

memiliki perbedaan, terutama dalam penggunaan digital teknologi yang

melampaui era komputer, maka kaeadaan ini telah mengundang sejumlah

pakar untuk angkat bicara dan sekaligus menawarkan sejumlah pemikiran dan

gagasan dalam menghadapinya.

34
Lihat Rika Sa’diyah, “Pentingnya Melatih Kemandirian Anak”, (Jurnal) Koordinat, Vol. XVI
No. 1 April, (Jakarta: FAI-Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2017), 32.
35
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi 2016. [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 17 Desember 2019].
67

Pada saat dilahirkan, manusia dalam keadaan tidak berdaya, namun

di balik ketidakberdayaannya tersebut menyimpan potensi yang besar untuk

dikembangkan. Kemudian bisa berkembang secara wajar, seseorang

memerlukan bantuan orang lain guna membimbing dan mengarahkan

perkembangan potensi itu. Bantuan orang lain tersebut dapat berasal dari

keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Pengetahuan,

keterampilan, nilai-nilai serta sikap yang dimiliki sebagain besar diperoleh

melalui proses interaksi dengan lingkungan.36 Dalam perkembangan

selanjutnya, manusia tidak boleh hanya mengandalkan bantuan orang lain.

Keberhasilan seseorang telah ditentukan oleh individu yang bersangkutan,

paling tidak ditentukan oleh kekuatan, keinginan dan kemauan. Di sinilah

setiap individu dituntut kemandiriannya dalam melakukan setiap perbuatan.

Selanjutnya dalam pengertian lain bahwa kemandirian berasal dari

kata mandiri, dalam bahasa Jawa berarti berdiri sendiri. Kemandirian dalam

arti psikologis dan mentalis mengandung pengertian keadaan seseorang

dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu

tanpa bantuan orang lain. Kemampuan demikian hanya mungkin dimiliki jika

seseorang berkemampuan memikirkan dengan seksama tentang sesuatu yang

dikerjakannya atau diputuskannya, baik dalam segi-segi manfaat atau

keuntungannya maupun segi-segi negatif dan kerugian yang akan

dialaminya.37 Selain itu, kemandirian bertolok ukur pada paradigma yang

menyebutkan bahwa setiap individu atau kelompok bertanggung jawab atas

Lihat Rika Sa’diyah, “Pentingnya Melatih Kemandirian Anak”, ... 33.


36

Lihat Hasan Basri, Remaja Berkualitas Problematika Remaja dan Solusinya, (Yogyakarta:
37

Pustaka Pelajar, 1996), 53.


68

kehidupannya sendiri. Stein dan Book berpedapat bahwa kemandirian

merupakan kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri

dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain

secara emosional.38 Jika ditinjau dari perspektif psikologis, Luther

berpendapat bahwa kemandirian pada dasarnya berawal dari adanya rasa

kemandirian diri (self-efficacy) atau persepsi seseorang tentang seberapa baik

individu dapat menangani suatu masalah yang muncul. 39 Selain itu,

kemandirian sebagai salah satu aspek yang ingin dicapai tidak akan muncul

secara tiba-tiba, namun perlu dilatih dan membutuhkan proses yang cukup

panjang. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah menciptakan suasana

kondusif yang memungkinkan anak mengembangkan kemandirian itu.

Kemandirian tidak hanya sekedar mandiri dalam arti sempit, tetapi juga

dalam arti luas yaitu bagaimana anak mengalami dan melakukan kegiatan

sosial. Bathi juga berpendapat bahwa kemandirian adalah perilaku yang

aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak banyak mengharapkan bantuan

dari orang lain, dan bahkan mencoba memecahkan problemnya sendiri.40

Selain itu, Witherington dalam Spencer juga berpendapat bahwa perilaku

kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil

inisiatif, kemampuan mengatasi masalah, serta keinginan untuk mengerjakan

sesuatu tanpa bantuan orang lain.41


38
Lihat Steven J. Stein and Howard E. Book, Ledakan EQ, Terjemahan Trinanda Rainy
Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2000), 105.
39
Lihat Red Luther, Organizational Behavior, (New York: Mc. Grow-Hill International Edition,
2005), 117.
40
Lihat Bathi H.K, Educational Psyichology, (New Delhi: The Macmillen Company or India
Limited, 2007), 30.
41
Lihat Spencer and Koss, Persperctive in Child Psychology, (New York: Mc.Grow Hill Book
Company, 2207), 19.
69

Sedangkan Lindzey dan Aronson juga berpendapat bahwa orang-

orang yang mandiri menunjukkan inisiatif, berusaha untuk mengejar prestasi,

menunjukkan rasa percaya diri yang besar, secara relatif jarang mencari

perlindungan dari orang lain serta mempunyai rasa ingin menonjol.42 Mandiri

merupakan sikap yang mampu mengurus kehidupannya sendiri dan tidak

menjadi beban orang lain. Sikap mandiri bukan sikap egois atau hidup

sendiri, tetapi sikap bersedia dan mampu membangun kehidupan sendiri

dalam rangka kebersamaan. Kemandirian adalah kemampuan penting dalam

hidup seseorang yang perlu dilatih sejak dini. Seseorang dikatakan mandiri

bila dalam menjalani kehidupannya tidak tergantung kepada orang lain

khususnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kemandirian juga

ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengambil keputusan serta

mengatasi masalah yang dihadapinya. Jadi setiap anak perlu dilatih untuk

mengembangkan kemandirian sesuai dengan kapasitas dan tahapan

perkembangannya.

Selanjutnya, secara praktis Dowling berpendapat bahwa

kemandirian adalah kemampuan anak dalam berpikir dan melakukan sesuatu

oleh diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga mereka

tidak lagi bergantung kepada orang lain tetapi bisa menjadi individu yang

dapat berdiri sendiri.43

42
Lihat Lindzey G and Aronson E, The Handbook of Social Psychological, (New Delhi: The
Macmillan Limited Publishing, 2008), 218.
43
Lihat Marion Dowling, Young Children’s Personal, Social and Emotional Development, Second
Edition, (London: Paul Chapman Publishing, 2005), 41.
70

Kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan

kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai

dengan tahap perkembangan dan kemampuannya. Kemandirian juga berarti

bahwa anak telah mampu tidak saja mengetahui mana yang benar dan mana

yang salah, namun juga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk. Pada periode kemandirian seperti ini anak telah mampu menerapkan

terhadap hal-hal yang menjadi larangan atau yang dilarang, serta sekaligus

memahami konsekwensi resiko jika melanggar aturan. 44 Definisi lain juga

dikemukakan oleh Einon, bahwa kemandirian anak adalah kemampuan anak

untuk melakukan perawatan terhadap diri sendiri, seperti makan, berpakaian,

ke toilet dan mandi.45 Kemandirian merupakan suatu sikap yang diperoleh

secara kumulatif melalui proses yang dialami seseorang dalam

perkembangannya. Di mana dalam proses menuju kemandirian, individu

belajar untuk menghadapi berbagai situasi dalam lingkungannya sampai ia

mampu berpikir dan mengambil tindakan yang baik dalam mengatasi setiap

situasi.

Selanjutnya Carol Seefeldt juga mengemukakan bahwa kebutuhan

akan otonomi ditandai dengan sikap mental mandiri dan tidak mandiri.

Kadang seorang anak ingin keluar dan mencoba melakukannya sendiri namun

kadang ia ingin ibunya berada di dekatnya.46 Sementara itu, Erikson (1968)

seperti juga Mahler percaya bahwa kemandirian adalah hal yang sangat

44
Lihat Abdul Majid, Pendidikan Karakter (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), 26.
45
Lihat Dorothy Einon, Learning Early, (Jakarta: Grasindo, 2006), 204.
46
Lihat Carol Seefeldt dan Nita Barbour, Early Childhood Education, (New Jersey: Prentice-Hill
Inc, 1998), 47,
71

penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Erikson

menggambarkan tahap perkembangan yang ke dua ini sebagai tahap otonomi

vs malu dan ragu-ragu. Otonomi anak dibangun melalui perkembangan

mental dan kemampuan motorik. Ketika pengasuh kurang sabar dan

melakukan apa yang sebenarnya anak mampu kerjakan sendiri, maka yang

berkembang adalah malu dan ragu-ragu. Erikson menjelaskan pula bahwa

pada tahap otonomi versus malu dan ragu-ragu mempunyai implikasi yang

sangat penting dalam perkembangan kemandirian dan identitas anak selama

masa remaja. Perkembangan otonomi selama tahun-tahun awal memberi

keberanian bagi remaja untuk menjadi pribadi yang mandiri yang dapat

membuat pilihan dan memimpin masa depannya sendiri. 47 Erikson juga

memandang tahap otonomi adalah masa anak belajar mandiri, bagi Mahler ini

adalah masa anak belajar berpisah dari orang tuanya dengan percaya diri.

Kedua teori ini setuju bahwa ketika pada tahun-tahun awal jika anak tidak

cukup percaya pada pengasuh dan kurang rasa individuasi, maka hal ini akan

menjadi benih yang akan nampak dalam penyesuaian dirinya kelak. Ketika

dewasa sulit mengembangkan kedekatan dengan seseorang, sangat mandiri

terhadap orang yang dicintainya atau sebaliknya terus-menerus ragu terhadap

kemampuan dirinya untuk menemui tantangan baru.48

Jadi berdasarkan paparan di atas bahwa kemandirian adalah

kemampuan seseorang untuk tidak tergantung atau tidak membutuhkan

bantuan orang lain dalam merawat dirinya secara fisik (makan sendiri tanpa
47
Lihat John W. Santrock, Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid 1 dan 2,
(Terj.) Achmad Chusairi, (Jakarta: Erlangga, 2002), 202.
48
Lihat Laura E. Berk, Infants, Children and Adolescents, (Boston: Allyn and Bacon,1999), 257.
72

disuapi, berpakaian sendiri tanpa dibantu, mandi dan buang air besar serta

kecil sendiri), dalam membuat sebuah keputusan secara emosi, dan dalam

berinteraksi dengan orang lain secara sosial. Kemandirian anak merupakan

bagian dari proses perkembangan yang diharapkan terjadi dalam rangka

menuju ke kedewasaan. Jadi kemandirian anak merupakan suatu kemampuan

untuk berfikir, merasakan, serta anak melakukan sesuatu atas dorongan diri

sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa

dibantu oleh orang lain.

Selanjutnya penulis tambahkan lebih lanjut bahwa ciri khas

kemandirian pada anak antara lain bahwa mereka memiliki kecenderungan

dan kemampuan dalam memecahkan masalah dari pada berkutat dalam

kekhawatiran jika ia terlibat masalah. Anak yang mandiri tidak takut dalam

mengambil resiko, sebab ia sudah mempertimbangkan hasil sebelum berbuat.

Anak yang mandiri percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-

sedikit bertanya atau meminta bantuan. Anak yang mandiri memiliki kontrol

yang lebih baik terhadap kehidupannya. Covey menambahkan bahwa

kemandirian memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: (1) secara fisik mampu

bekerja sendiri, (2) secara mental dapat berpikir sendiri, (3) secara kreatif

mampu mengekspresikan gagasannya dengan cara yang mudah dipahami, dan

(4) secara emosional kegiatan yang dilakukannya dipertanggung-jawabkan

sendiri.49 Sementara itu, Masrun dkk, membagi kemandirian ke dalam lima

komponen antara lain: (1) Bebas, maksudnya bertindak atas kehendaknya

49
Lihat Steven R. Covey, The Seven Habits of Highly Effective People, terjemahan Budijanto
(Jakarta: Binarupa Aksara, 1997), 38-39.
73

sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain. (2)

Progresif, maksudnya berusaha untuk mengejar prestasi, tekun dan terencana

dalam mewujudkan harapannya. (3) Inisiatif, maksudnya mampu berpikir dan

bertindak secara original, kreatif dan penuh inisiatif. (d) Terkendali dari

dalam, maksudnya mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu

mengendalikan tindakannya serta mampu mempengaruhi lingkungan atas

usahanya sendiri. (e) Kemantapan diri (harga diri dan percaya diri),

maksudnya mempunyai rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri,

menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

D. Hambatan Pendidikan di Era Milenial

Kondisi ironis pendidikan di Indonesia ini adalah mengenai goal

setting yang ingin dicapai melalui sistem pendidikan. Gambaran nyata ini bisa

dilihat dengan lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik

sudah diposisikan pada orientasi pasar, sehingga pendidikan tidak lagi

berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya

mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan.

Maksudnya, bahwa anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan

sekolah lembaga pendidikan yang favorit, pemakaian seragam baru,

pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku paket baru, dan segudang ritual

lainnya. Munculnya ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya

sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi

penjaga mitos pendidikan.50

Lihat Ahmad Baharuddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (LKiS, Yogyakarta, 2007),
50

7.
74

Jika dilihat pada situasi dan kondisi pendidikan Indonesia sekarang

ini memang terlihat jelas adanya gap yang terkait dengan problem-problem

pendidikan. Ditambah lagi tidak bebasnya guru dalam berekspresi melalui

proses pembelajaran yang dilakukan di dalam lembaga pendidikan tersebut.

Terkadang pula tindakan yang baik menurut guru yang ingin dilakukan

terhadap murid malah mengantarkan guru berurusan dengan hukum sebab

dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kekangan seperti ini

seakan-akan antara guru dan murid mempunyai garis pembatas yang tidak

boleh dilanggar dan harus dipatuhi dalam proses pembelajaran di sekolah.51

Lanjutnya, hambatan pendidikan di Indonesia secara umum

dikategorisasikan menjadi empat krisis utama, yaitu berkaitan dengan

masalah; kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Berbagai indikator

kuantitatif dikemukakan berkaitan dengan keempat masalah pokok tersebut,

meliputi analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara

negara di kawasan Asia. Keempat masalah tersebut merupakan masalah

besar, mendasar dan multidimensional, sehingga sulit dicarikan solusinnya.52

Hampir sama dengan pendidikan umum lainnya, pendidikan Islam

justru dinilai memiliki problematika yang lebih besar lagi. Di samping

kendala kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Pendidikan Islam justru

terkungkung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidakberdayaan, dan

kemiskinan, sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar negara dan

51
Lihat Deri Wanto, “Kendala dan Perbaikan Pendidikan Islam yang Ideal: Evaluasi dan Proposisi
Terhadap PTKI di Indonesia” (Jurnal) Conciencia, (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2018), 56.
52
H.A.R. Tilaar, “Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat
Industri Modern Berdasarkan Pancasila,” (Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V
Lihat Tilaar, 1991), 20.
75

masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Sebut saja,

pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tidak kunjung selesai yakni

persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman,

dan bahkan pendidikan apabila diberi label “embel-embel Islam”, dianggap

berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara

berangsur-angsur banyak di antara lembaga pendidikan Islam yang telah

menunjukkan kemajuan.53

Selanjutnya hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi

permasalahan yang komplek, dari permasalahan konseptual-teoritis, hingga

persoalan operasional-praktis. Tidak terselesainya persoalan ini menjadikan

pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik secara

kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan sebagai

pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi

Islam yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan non-Islam.

Dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa

pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem

pendidikan itu satu yakni memanusiakan manusia, namun pendidikan juga

memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang, mulai dari pendidikan

keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program

diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dan sebagainya, dan hakikat

pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia,

53
Lihat Soeroyo, “Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya”, (Jurnal) Volume I,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1991), 34.
76

memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah.54 Selain

itu, hambatan pendidikan Islam jika dibandingkan dengan lembaga

pendidikan lainnya dapat berupa: (1) Rumusan yang terlambat dalam

menanggapi kemajuan era sekarang dan akan datang; (2) Hanya beroperasi

pada bidang sosial dan humaniora; (3) Pembaharuan yang tidak bersifat

esensial; (4) Berorientasi pada masa silam ketimbang masa depan; (5) Belum

profesional dalam pengelolaan; (6) Kekurangan tenaga guru guru yang

berkompeten dalam bidangnya; (7) Kurangnya dukungan dari masyarakat

sekitar; (8) Kompetisi antar lembaga; dan sebagainya.55

E. Konsep Hidden Kurikulum

Hidden Kurikulum Salah satu komponen operasional pendidikan

Islam sebagai sistem adalah kurikulum. Jika dikatakan kurikulum, maka ia

mengandung pengertian bahwa materi yang diajarkan atau dijadikan telah

tersusun secara sistematik dengan tujuan yang hendak dicapai. tujuan dan

sasaran pendidikan yang tertuang pada kurikulum lembaga pendidikan

terseleksi secara baik dan tepat.

Termaterinya pendidikan berarti mengorganisir bidang ilmu

pengetahuan yang membentuk basis aktivitas lembaga pendidik, bidang-

bidang ilmu pengetahuan yang satu dengan lainnya dipisahkan, namun

merupakan suatu kesatuan yang utuh dan terpadu. Materi pendidikan harus
54
Lihat Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21
(Yogyakarta: Safiriyah Insaniya Press dan MSI, 2003), 84.
55
Lihat Soeroyo, “Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya”, (Jurnal) Volume I,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1991), 35.
77

mengacu pada tujuan, sebab pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas

dari kontrol tujuannya, antara materi dan tujuan pendidikan harus senantiasa

dilakukan dengan proses berpendidikan karena keduanya merupakan kerja

sistem yang saling terkait dan berkesinambungan.56

Menurut J Galen Saylor dan William M Alexander bahwa

pengertian kurikulum adalah segala usaha sekolah untuk mempengaruhi

peserta didik belajar, baik di ruangan kelas, di halaman sekolah atau di luar

sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi segala pengalaman yang

disajikan oleh sekolah agar anak didik mencapai tujuan yang diinginkan.

Suatu tujuan tidak tercapai dengan suatu pengalaman saja, akan tetapi melalui

berbagai pengalaman dalam bermacam-macam situasi di dalam maupun di

luar sekolah.57

Curriculum is a plan for learning, begitu pendapat Hilda Taba

bahwa kegiatan dan pengalaman anak di sekolah harus direncanakan supaya

menjadi kurikulum.58 Ada pula yang berpendirian bahwa kurikulum

sebenarnya meliputi pengalaman yang direncanakan tetapi juga yang tidak

terencanakan yang disebut, “hidden curriculum”. Peserta didik memiliki

aturan tersendiri sebagai reaksi terhadap kurikulum formal.

Kurikulum mungkin dilihat sebagai seluruh rencana belajar yang

sengaja diperuntukkan bagi peserta didik di bawah tanggung jawab dan

perlindungan sekolah atau pesantren. Meskipun demikian peserta didik

56
Lihat Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 239.
57
Ibid., 242.
58
S. Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), 10.
78

mendapatkan pelajaran yang banyak tidak direncanakan dan ini kemudian

diketahui sebagai hidden kurikulum.59

F. Penerapan Teori Humanistik Konservatif dalam Mengkonstruksi


Pendidikan Islam

Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana

human resources dan human investment. Maksudnya, bahwa pendidikan

selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga

telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses

pemberdayaan jati diri bangsa.60 Berangkat dari arti panting pendidikan ini,

terutama pendidikan agama Islam, maka wajar jika hakikat pendidikan

merupakan proses humanisasi, yang berimplikasi pada proses kependidikan

dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni

aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis.61

Selanjutnya humanisasi menurut Malik Fadjar berimplikasi pada

proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek

kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis.

Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan

kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam

pembangunan kehidupan yang berkeadaban.62 Sebagaimana pernyataan

Ahmad Tafsir bahwa pendidikan itu harus mampu mendidik manusia menjadi

59
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 35.
60
Lihat Karnadi Hasan, Konsep Pendidikan Jawa, dalam Jumal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3, Pusat Pengkajian Islam Strategis (Semarang: IAIN Walisongo, 2000), 29.
61
Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Read, 2001), 16.
62
Lihat Malik Fadjar Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), v.
79

manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah

memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Sebab itu tujuan mendidik adalah me-

manusia-kan manusia. Dalam bagian lain,63 Hakikat dari pendidikan adalah

pembebasan, yang merupakan pengukuhan manusia sebagai subjek yang

terarah kepada objek, menghasilkan pengetahuan, yang diekspresikan melalui

bahasa. Selain itu, pendidikan juga pembebasan yang memiliki kesadaran dan

berpotensi sebagai Man of Action untuk mengubah dunianya dan harus

dipecahkan.64

Selanjutnya penerapan nilai-nilai pendidikan Islam kepada peserta

didik sangat dekat dengan konsep dalam teori belajar humanistik yang lebih

mengedepankan cara memanusiakan manusia dengan segala potensinya,

sedangkan dalam proses pencapaian tersebut tentunya ditunjang dengan

aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang sedang belajar

secara maksimal.65

Bahasan Humanistik Konservatif Peter Berger menyebut dalam

sejarah umat manusia, objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang

merupakan tiga proses yang berjalan terus. Ketiganya merupakan perubahan

dialektis yang berjalan lambat ketimbang sebagai transisi-transisi

revolusioner yang berjalan cepat. Dunia sosial objektif yang membentuk

individu-individu; dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya.

Dalam proses pembentukan realitas itu objektivasi hanya merupakan salah


63
Lihat Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), 46.
64
Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan..., 43.
65
Lihat Chairul Anwar, Teori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta:
IRCISoD, 2017), 231.
80

satu “momen”. Dua momen lain dalam proses dialektis ini - internalisasi dan

eksternalisasi - merupakan usaha mensintesiskan kedua perspektif itu.

Berger menyebutkan bahwa internalisasi adalah penyerapan nilai

atau norma dalam diri manusia. Internalisasi berlangsung seumur hidup

dengan melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi

menghasilkan suatu hubungan sadar dari individu dan masyarakat. Tindakan

individu dipicu atas kesadaran yang dihasilkan dari interaksi bersama

masyarakat.66

Melalui proses internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi

anggota suatu masyarakat. Dalam tradisi psikologi sosial Berger menguraikan

sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu di masa

kecil, disaat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial objektif. Individu

berhadapan dengan orang-orang lain yang cukup berpengaruh (orang tua atau

pengganti orang tua), dan bertanggung jawab terhadap sosialisasi anak.

Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang cukup berpengaruh itu

dianggap oleh si anak sebagai realitas objektif.

Realitas objektif ini diinternalisir oleh peserta melalui proses

sosialisasi, dan di saat dewasa mereka pun tetap menginternalisir suasana

baru yang mereka temui dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi manusia

tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan kata lain, proses

sosialisasi bukan berarti menjadi tonggak keberhasilan. Manusia memiliki

66
Herman Arisandi, Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi dari Klasik sampai Modern,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 195.
81

peluang untuk menginternalisir atau secara kolektif membentuk dunia sosial

mereka.

Eksternalisasi merupakan proses di mana semua manusia yang

mengalami sosialisasi yang tidak sempurna itu secara bersamasama

membentuk suatu realitas baru. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya

perubahan aturan sosial yang kembali melanda pada pelaku sosialisasi dan

juga generasi-generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakat adalah

produk dari manusia yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat tapi juga sadar

atau tidak, mencoba untuk mengubah masyarakat tersebut.67 Lewat karya-

karyanya Berger menegaskan bahwa perubahan demikian berjalan lambat

tetapi pasti.

Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum

yang mencerminkan norma-norma sosial seperti dunia hukum perkawinan,

perlindungan harta kekayaan, membuat dan membatalkan kontrak dan

khususnya dunia pendidikan. Aspek lain dari realitas objektif bukan sebagai

realitas yang langsung dapat diketahui, namun dapat mempengaruhi

segalanya, mulai dari gaya berpakaian, cara berbicara dan makanan yang

sesuai dengan agama serta nilai-nilai sosial kita. Realitas sosial yang objektif

ini disampaikan dan dipraktikkan orang lain dan sangat berarti bagi sang

anak, meskipun dalam penerimaan antara satu dengan lainnya berbeda.

Hukum dasar yang mengendalikan dunia sosial objektif ialah

keteraturan. Berger menegaskan bahwa dalam sosiologi lebih melihat pada

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet. 6. Terj. Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta:
67

Rajagrafindo Persada, 2004), 316-317.


82

keteraturan dan merupakan prasyarat primer dalam kehidupan sosial.

masyarakat dalam esensinya harus mampu menerapkan ketertiban di tengah

kondisi yang kacau, sebagian masyarakat sendiri merasa tidak nyaman

dengan kevakuman yang terjadi dalam kehidupannya. Berger mengakui

bahwa keteraturan sosial ini sulit, tetapi dalam model kaum fungsionalis, dia

melihat lembaga-lembaga sosial condong ke arah keseimbangan.

Konseptualisasi peranan sebagai mata rantai antara organisme

manusia dan struktur sosial hampir sama dengan fungsionalis struktural.

Struktur sosial terdiri dari peranan perilaku yang terpola atau memiliki simbol

satu dengan lainnya. Meskipun individu tidak identik dengan peranan tetapi

dia tetap menjalankan kegiatan yang sesuai dengan ukuran pelaksanaan

peranannya tersebut. Tipologi peranan-peranan tersebut merupakan hubungan

yang diperlukan bagi institusionalisasi perilaku. Dengan demikian, peranan

dapat dikatakan sebagai unit dasar aturan terlembaga yang objektif.

Modernitas mengacu pada transformasi dunia yang sebabkan oleh

inovasi teknologi beberapa negara, dengan berbagai dimensi: ekonomi, sosial,

dan politik. Modernisasi juga membawa perubahan yang revolusioner pada

derajat kesadaran manusia, khususnya pada nilai-nilai, kepercayaan, dan

bahkan jaringan emosional kehidupan. Proses internalisasi di dunia sosial

yang lambat itu menjadi makin sulit dan kurang diinginkan karena realitas-

realitas baru yang saling berkaitan dengan perubahan-perubahan teknologi

modern yang mulai diinternalisasi atau dibentuk.


83

Mengikuti model Weberian, Berger menunjukkan bahwa dunia

institusional yang objektif ini membutuhkan legitimasi atau cara sebagai

pembenaran asal-usul pengertian pranata sosial dan proses pembentukannya.

Akan tetapi orang mengkaitkan makna-makna pada lembaga-lembaga atau

praktik-praktik institusional, atau penerimaan bersama ini menjadi bagian dari

proses legitimasi. Jadi faktor legitimasi tersebut dapat dikatakan berasal dari

interaksi antara individu. Berger sendiri menegaskan bahwa agama

merupakan benteng paling tangguh untuk melawan eksistensi tanpa-arti

(meaninglessness). Dengan kata lain, agama sudah menjadi sumber

pembenaran dunia sosial yang paling efektif. Sekuralisasi berarti penyusunan

kepercayaan terhadap usaha-usaha yang mengesahkan eksistensi tersebut.

Joyce Baraket dan Ailie Slegorn menyatakan bahwa konstruksi

pada tipe-tipe ideal yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai

kejadiaan dan perilaku serta tindakan yang saling mempengaruhi. Sumbangan

utama dari Max Weber lainnya adalah tentang analisisnya mengenai status

kelompok. Status kelompok ini adalah sebuah istilah yang digunakan untuk

menjelaskan orang-orang yang berpengaruh dan memberikan sumbangan

pada identitas sosial didasarkan pada persamaan nilai.68

Weber juga membagi perilaku sosial atau rasionalisasi dengan

klasifikasi: tipe pertama, kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada

tercapainya tujuan. Baik tujuan itu sendiri maupun segala tindak yang diambil

dalam tujuan tersebut, sering disebut juga dengan rasionalitas instrumental.69


68
Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 23.
69
Lihat Nicholas Abercrombie, dkk., Kamus Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 612.
84

Tipe kedua adalah perilaku yang berorientasi kepada suatu nilai.

Misalnya persaudaraan (nilai keagamaan), Keindahan (nilai estetis),

Kemerdekaan (nilai politik). Orang mengatur hidupnya sendiri demi nilai

yang sudah ada, tidak mempunyai motivasi maupun tujuan yang lain. Weber

memberikan contoh tentang hal ini adalah tingkah laku orang yang dengan

tidak menghitung pengorbanan bagi mereka sendiri, bertindak sesuai dengan

apa yang mereka yakin merupakan kewajiban, kehormatan, panggilan religius

atau panggilan kesenian. Tipe kelakuan dianggap mempunyai sifat rasional

karena perilaku itu sendiri bertanggung jawab terhadap segala resiko yang

berkaitan dengan keyakinannya.

Tipe ketiga adalah kelakuan yang menerima orientasinya dari

perasaan atau emosi seseorang atau rasionalitas afektif, misalnya seseorang

dimotivasi untuk melampiaskan nafsunya, balas dendam, bertindak di bawah

pengaruh ketegangan emosional. Keempat, kelakuan yang memperjuangkan

nilai yang bersumber dari tradisi kehidupan masyarakat atau sering disebut

dengan rasionalitas tradisional dan kadang kala disebut dengan tindakan yang

irrasional.70

G. Membaca Konstruksi Pendidikan Islam dalam Menumbuhkan


Kemandirian Anak Era Milenial pada LKSA di Pesantren Darul Fiqhi
dan Al-Mizan Melalui Teori Konstruksi Sosial Peter L Berger dan
Thomas Luckmann

Teori Konstruksi Sosial adalah teori sosiologi kontemporer yang

dicetuskan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Untuk menjelaskan

70
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 55.
85

paradigma konstruktivis, realitas sosial membentuk konstruksi sosial yang

diciptakan oleh individu. Individu merupakan manusia bebas untuk melakukan

hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Individu menjadi peran

penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berlandaskan kehendaknya.

Individu bukan merupakan korban fakta sosial, tetapi sebagai media produksi

sekaligus reproduksi yang kreatif untuk mengkonstruksi dunia sosialnya.

Melalui relasi manusia dan masyarakat secara dialektis, Berger

menyampaikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap bahwa

individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran

dalam pembentukan struktur sosial. Melalui pendapatnya tersebut, Berger ingin

menunjukkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial. Akan tetapi

manusia pun selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya. 71

Hubungan manusia dengan masyarakat adalah suatu proses dialektis yang terdiri

atas tiga momen; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah suatu bentuk manifestasi diri manusia secara terus

menerus ke dalam dunia baik aktivitas fisik atau mentalnya kedirian manusia

bagaimanapun tidak bisa tetap tinggal diam di dalam dirinya sendiri, dalam suatu

lingkup tertentu dan kemudian dia bergerak keluar untuk mengekspresikan diri

dalam dunia sekitarnya. Melalui eksternalisasi manusia mengekspresikan dirinya

dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat menjadi

kenyataan buatan manusia. Kenyataan tersebut menjadi realitas objektif, yaitu

suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.

Lihat M. Sastrapratedja, Pengantar dalam Peter L. Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna
71

Teologi dalam Masyarakat Modern (A Rumor of Angels: Modern Society and The Rediscovery of
The Supranatural), (Terjemahan) J. B. Sudarmanto, (Jakarta: LP3ES, 1991), XIV.
86

Masyarakat sebagai realitas objektif. Pada prinsipnya masyarakat

tercipta (sebagai realitas objektif) karena adanya berbagai individu yang

mengeksternalisasikan dirinya (atau, mengungkapkan subjektivitas) masing-

masing lewat aktivitasnya.72 Eksternalisasi dilaksanakan manusia secara terus-

menerus, bukan berarti bahwa aktivitas manusia terus mengalami perubahan.

Manusia cenderung mengulangi aktivitas yang sudah dilakukannya, terbiasa

dengan tindakan-tindakannya. Atau dalam terminologi yang dipakai Berger,

“habitualisasi”; pengulangan tindakan atau aktivitas oleh manusia, melakukan

suatu aktivitas di masa depan dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang

dilakukan pada masa sekarang dan masa lampau, yang menimbulkan kesan pada

kesadaran manusia bahwa itulah hukum yang tetap. Pada tahapan ini, tindakan-

tindakan yang dijalankan manusia tersebut mengalami objektifasi dalam

kesadaran mereka yang mempersepsikannya.73 Pada momentum inilah, sebuah

institusi berdiri sebagai realitas yang objektif di dalam kesadaran manusia dan

juga di luarnya.

Keuntungan yang diperoleh manusia dengan habitualisasi yaitu manusia

tidak selalu harus mendefinisikan dari awal situasi yang dihadapinya. Ada

kemungkinan (dan kemungkinan ini besar), cara seseorang memaknai suatu

situasi akan dijadikannya sebagai dasar bertindak untuk berbagai situasi yang

kurang lebih serupa.

72
Lihat Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik, 2012),
28.
73
Lihat Geger Riyanto, Peter L Berger Persektif Metateori Pemikiran, (Jakarta: LP3ES, 2009),
111.
87

Selanjutnya, aktivitas habitualisasi muncul tipifikasi atas aktivitas

tersebut. Namun sasaran tipifikasi tidak itu saja, aktornya sendiri juga menjadi

sasaran tipifikasi. Tentunya gampang dimengerti jika dikatakan bahwa

habitualisasi dan tipifikasi bukan hanya berlangsung pada satu atau dua orang

saja, lebih dari itu juga melibatkan semua manusia. Bahkan, tipifikasi yang satu

sering kali bertalian dengan tipikasi lainnya-tipifikasi mutual-yang

memungkinkan munculnya pranata (institusi) sosial.

Akan tetapi ada kriteria khusus yang dipakai tipifikasi timbal balik yang

bisa memunculkan pranata (Institusi) sosial; Pertama, jika ia ditransmisikan dari

generasi satu kegenerasi berikutnya hingga usianya melampaui usia aktor-aktor

yang memunculkan tipifikasi mutual pada masa awal. Kedua, jika ia mampu

menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu kolektivitas pada

umumnya.

Tipifikasi timbal balik juga bisa berubah menjadi institusi sosial jika ia

sudah umum (berlaku luas), eksternal (objektif), dan koersif (memaksa) terhadap

kesadaran masing-masing individu yang membentuknya. Pada momentum ini

sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang objektif di dalam kesadaran manusia

dan juga di luarnya.74 Begitulah institusionalisasi atau pembentukan tatanan

institusional masyarakat berlangsung.

Objektivasi menandai munculnya struktur sebagai sesuatu yang objektif

- sebagai standar untuk bertindak - sekaligus sebagai sesuatu yang subjektif pada

waktu yang sama.75 Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu

74
Lihat Ibid., 110.
75
Lihat Ibid.,115.
88

(baik fisik maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para

produsennya semula, melalui bentuk suatu kefaktaan yang eksternal terhadap, dan

lain dari, para produser itu sendiri,76 Maksudnya ia memanifestasikan diri dalam

produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya

maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi

merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses- proses

produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi itu dapat dipakai sampai

melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.77

Proses objektivasi adalah momen interaksi antar dua realitas terpisah

satu sama lain. Kedua entitas yang seolah terpisah tersebut kemudian membentuk

jaringan interaksi intersubjektif. Ini adalah hasil dari kenyataan eksternalisasi

yang selanjutnya mengejawantah sebagai suatu kenyataan objektif yang sui

generis, unik.

Untuk mempertahankannya, sebuah institusi harus didasari legitimasi,

legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan berlandaskan

pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab

pertanyan-pertanyaan yang berkaitan dengan institusi tersebut, saat institusi itu

mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang

timbul. Sebuah istitusi dipertahankan dengan memberikan pembuktian logis

bahwa institusi itu agar tetap relevan untuk mencegah manusia jatuh ke dalam

kondisi yang mengenaskan, yaitu kekacauan.

76
Lihat Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial. 5
77
Lihat Peter L. Berger & Thomas Luckman, The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri,
(terjemahan) Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta:
LP3ES, 1991), 48.
89

Relasi-relasi logis yang konsisten yang diserap dari pergerakan objek-

objek materiil di luar manusia, menimbulkan pemahaman terhadap adanya hukum

universal yag bekerja di balik yang terlihat. Ada hukum yang objektif dibalik

fenomena. Legitimasi adalah upaya manusia dalam merumuskannya, upaya yang

mengobjektivasi institusi dengan memberikannya status ontologis dan

epistemologis. Legitimasi merupakan proses objektivasi kedua sesudah

objektivasi pertama terjadi pada institusionalisasi. Legitimasi membuat sebuah

institusi tidak lagi sebuah order, namun juga meaningful order atau sebuah

nomos.78

Terdapat empat tingkatan legitimasi. Semakin tinggi tingkatannya

menunjukkan bahwa legitimasi tersebut semakin koheren dan teoretis sifatnya.

Tingkatan pertama dari legitimasi adalah bahasa. Bahasa merupakan representasi

dari pada realitas yang paling mendasar. Ketika teks-teks diucapkan atau ditulis,

teks langsung menimbulkan bayangan akan objek yang dirujuknya pada orang

yang membacanya-tanpa perlu ditanyakan lagi mengapa objek tersebut dinamakan

demikian. Bahasa merupakan sugesti langsung yang bisa mempertahankan

institusi.

Selanjutnya pada tingkatan kedua dari legitimasi adalah prosisi kasar,

misalnya adalah pepatah. Pepatah sebagai contoh “takut akan Tuhan adalah

permulaan hikmat” memberikan penjelasan tentang akibat yang dimungkinkan

dari tindakan konkret menyembah Tuhan atau menafikan Tuhan.

Berikutnya pada level legitimasi ketiga adalah teori yang dirumuskan

oleh anggota masyarakat fasih akan hal-hal terkait. Tingkatan keempat dan
78
Ibid., 49-50.
90

merupakan legitimasi yang paling teoretis adalah symbolic universes atau tatanan

simbolik yang koheren. Tatanan simbolik atau symbolic order dapat dimisalkan

dengan agama atau paradigma dalam ilmu pengetahuan. Agama atau paradigma

bisa memberikan penjelasan atau interpretasi yang menyeluruh dan mendasar

terhadap kenyataan, mulai dari asumsi ontologis, pembuktian-pembuktian

logisnya, teori-teori mengenai penyebab absolutnya, dan mungkin juga etika

bagaimana untuk hidup di dalamnya.

Selanjutnya Internalisasi yaitu pemahaman atau penafsiran yang

langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna; maksudnya

sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang demikian

bermakna subjektif bagi saya sendiri.79 Internalisasi juga bisa diartikan sebagai

proses manusia mencerap dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya. Akan tetapi,

internalisasi tidak berarti menghilangkan kedudukan objektif dunia tersebut

(maksudnya, institusionalisasi secara keseluruhan) dan menjadi persepsi individu

berkuasa atas realitas sosial tersebut.

Selain itu, Internalisasi hanya menyangkut penerjemah realitas objektif

menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu, atau

mendeskripsikan realitas objektif menjadi realitas subjektif. Internalisasi

berlangsung seumur hidup manusia baik ketika ia mengalami sosialisasi primer

maupun ketika ia mengalami sosialisasi sekunder.80

Sementara sosialisasi sekunder dapat dimaknai sebagai sosialisasi yang

dialami individu yang pernah mengalami sosialisasi primer. Yang sebenarnya

Lihat Ibid., 177.


79

Lihat Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik, 2012).
80

35.
91

berlangsung dalam internalisasi menurut Berger. Adalah proses penerimaan

definisi situasi institusional yang disampaikan orang lain, namun lebih dari itu,

bersama dengan orang-orang lain mampu menjalin pendefinisian yang mengarah

pada pembentukan definisi bersama. Kemudian jika ini terjadi, barulah individu

yang bersangkutan dianggap sebagai anggota masyarakat dalam makna yang

sesungguhnya, yakni berperan aktif dalam pembentukan dan pelestarian

masyarakatnya.81

Dari sudut pandang manusia bisa disebutkan bahwa masyarakat dicerap

kembali oleh manusia melalui proses internalisasi. Sehingga melalui eksternalisasi

masyarakat menjadi kenyataan yang dibentuk oleh manusia; melalui objektivasi

masyarakat menjadi kenyataan sendiri berhadapan dengan manusia; melalui

internalisasi manusia menjadi kenyataan yang diwujudkan oleh masyarakat. Jika

manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, ia menjadi

terasing atau teralienasi.

Untuk memudahkan pemahaman alur berpikir pada penelitian tentang

konstruksi pendidikan Islam dalam menumbuhkan kemandirian anak era milenial

pada lembaga kesejahteraan sosial anak di Pesantren Darul Fiqhi dan Pesantren

Lihat Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Sacred Canopy, (Langit Suci: Agama sebagai
81

Realitas Sosial) (ditejemahkan oleh Hartono), (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994). 8-11.
92

Al-Mizan Kabupaten Lamongan ini, penulis mencoba menyelaraskan antara teori

dalam bentuk bagan alur berfikir teori. Dapat dilihat pada bagan berikut.

Alur Berfikir Teori

Konstruksi Pendidikan Islam dalam Menumbuhkan Kemandirian


Anak Era Milenial pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak di
Pesantren Darul Fiqhi dan Pesantren Al-Mizan Kabupaten
Lamongan dalam Pandangan Teori Konstruksi Sosial
Peter L. Berger

Eksternalisasi Objektivasi Internalisasi

Pengetahuan Pengetahuan
Bentuk-Bentuk Tentang Tentang
Menumbuhkan Menumbuhkan Menumbuhkan
Kemandirian Kemandirian Kemandirian
Anak Anak Anak yang di
Sosialisasikan

Bagan 2.1 Konstruksi Pendidikan Islam dalam Menumbuhkan Kemandirian


Anak Era Milenial pada LKSA di Pesantren Darul Fiqhi dan Al-Mizan
dalam Pandangan Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger

Berdasarkan Bagan 2.1 tentang konstruksi pendidikan Islam dalam

menumbuhkan kemandirian anak era milenial pada lembaga kesejahteraan sosial

anak di Pesantren Darul Fiqhi dan Pesantren Al-Mizan Kabupaten Lamongan ini

dalam pandangan teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger menunjukkan bahwa

terdapat alur berpikir yang meliputi tiga proses, yaitu melalui eksternalisasi,
93

objektivasi, dan internalisasi. Dalam proses eksternalisasi menghasilkan bentuk-

bentuk dalam menumbuhkan kemandirian anak di kedua pesantren tersebut.

kemudian dalam proses objektivasi menghasilkan pengetahuan tentang

menumbuhkan kemandirian anak, sedangkan dalam proses internalisasi

pengetahuan tentang menumbuhkan kemandirian anak yang disosialisasikan.

Anda mungkin juga menyukai