Nilai moral yang luhur atau nilai akhlak, nilai didaktik, dan nilai
religi tersebut dapat disatukan menjadi nilai religi. Sebab, religi atau agama
berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW adalah “budi luhur” atau “akhlak
yang mulia”.1 Selain itu Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini untuk
sesama manusia.2
terbatas pada ruang lingkupnya. Nilai itu sangat erat hubungannya dengan
definisi dan aktivitas manusia yang serba kompleks, sehingga sulit ditentukan
kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual hingga sampai pada
wujud tingkah laku yang unik. Selain itu, seorang antropolog memberikan
pengertian bahwa nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya
1
M. Yunan Nasution, Kepemimpinan Rasulullah (Jakarta: CV. Publicita, 1970), 17-18.
2
Ibid.
3
Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 109.
48
49
harga suatu produk dan pelayanan yang bisa diandalkan untuk kesejahteraan
merupakan sesuatu yang unik bagi manusia, sesuatu yang dicari, sesuatu yang
baik.4
Nilai atau value dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Latin
dan kuat, termasuk dalam kajian filsafat.5 Berkaitan dengan nilai dibahas dan
dipelajari dalam salah satu cabang filsafat nilai (Axiology, Theory of Value).6
antaranya: (a) Harkat, yaitu kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
Keistimewaan, yaitu apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai
suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah tidak bernilai atau nilai
negatif. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan
menjadi suatu nilai negatif atau tidak bernilai; (c) Ilmu ekonomi, yang
4
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 139.
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), 713.
6
Filsafat nilai (Axiology, Theory of Value) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Lihat Louis O Kattsoff, Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 319.
50
bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali
general. Sehingga suatu nilai tidak bisa ditentukan apakah nilai itu
mengandung nilai kebaikan atau nilai keburukan. Sebab nilai bersifat ideal,
abstrak dan tidak dapat diraba pancaindra, sedangkan yang dapat ditangkap
oleh panca indra adalah barang atau tingkah laku yang mengandung nilai
tersebut. Nilai juga bukan merupakan fakta yang berbentuk kenyataan dan
konkret. Sebab, problem nilai tidaklah soal benar dan salah, namun soal
dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak, hingga bersifat subjektif.8 Jadi
nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya terletak pada diri yang menilai.
laku. Sebab, dalam kultur suatu bangsa nilai merupakan landasan atau tujuan
berpikir.9
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Nilai juga
berarti bahwa sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau
Dengan demikian nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek, bukan objek itu sendiri. Selain itu, sesuatu dikatakan mengandung
suatu nilai jika memiliki sifat atau kualitas yang melekat padanya. Jadi nilai
mestinya. Selain itu, nilai juga menyediakan prinsip umum dan yang menjadi
acuan serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan
dan tujuan tertentu bagi manusia. Sebenarnya makna nilai sedikit berbeda
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah
atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu
berharga (nilai kegunaan), benar (nilai kebenaran), baik (nilai moral dan
larangan, tidak diinginkan atau celaan. Sebab di dalam nilai terdapat cita-cita,
berbicara tentang nilai sebetulnya ia juga berbicara tentang hal yang ideal,
abstrak, ideal dan melekat kepada suatu bentuk tertentu, sehingga memiliki
Lihat Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan
11
Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 15-18.
53
yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama
Allah. Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah
tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan
12
Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD,1989), 4-
5.
13
Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992), 5.
14
Lihat An Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung, Mizan, 1988), 12.
15
Lihat Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, (Maktabah
Waqfiyah), 16.
16
Lihat Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah, (Maktabah Syamilah Kubra), 7.
54
pendapat para pakar tafsir tersebut, maka kata dasar ar-rabb mempunyai arti
penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri
hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak
17
Lihat Fathur Razi, Tafsir Fathur Razi, (Maktabah Syamilah Kubra), 12.
18
Lihat Zuhairini, Metodik pendidikan Islam, (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950),
17.
55
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-
Baqarah: 31.
َؤاَل ِء إِ ْن
ُ َس َم ِاء ه
ْ َال أَنْبِئُ ونِي بِأ
ِ ض هم َعلَى الْماَل ئِك
َ َة َفق َ ْ ُ َ اء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر
َ َس َم َ َعلَّ َم آ
ْ َد َم اأْل َ
ين ِ ِ ُك ْنتُم
َ صادق َ ْ
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!”
disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya
karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa,
anak-anak.21
19
Lihat Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, (Mesir: Darul Kutub Misriyah.
1977), 32.
20
Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar. (Mesir: Maktabah Waqfiyah), 42.
21
Ibid.
56
ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang
meliputi segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan
manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan
22
Lihat An-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung, Mizan. 1988), 17.
23
Ibid., 19.
57
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi
dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Juga pendapat Ahmad D. Marimba,
manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan
kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan
24
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah, terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry,
(Jakarta, Bulan Bintang. 1998), 32.
25
Lihat HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,1976),
12.
58
ukuran-ukuran Islam.27
dipetik, pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada
kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada
melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk
26
Lihat Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al Ma’arif, 1989), 19.
27
Ibid., 21.
59
tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu
adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.
nasional di Indonesia. Sebab sejak dahulu hingga saat ini pesantren memiliki
pesantren tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi santri. Akan tetapi
pesantren juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar mengajar dalam mencari
ilmu agama bagi santri dan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu tidak semua
gratis kepada santri yang dalam penelitian ini disebut pesantren berbasis
yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Pada
kebutuhan dasar ini pada hakikatnya adalah tanggung jawab dan tugas
keluarga, namun karena berbagai persoalan sosial yang ada sehingga fungsi
orang tua atau keluarga tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka panti
asuhan sebagai pengganti orang tua. Sebagai lembaga yang konsen dalam
selayaknya menjadi lembaga yang kuat, baik dalam aspek pendanaan terlebih
lain, bahwa LKSA berperan sebagai bentuk bantuan pengasuhan kepada anak.
dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya yang terikat
keluarga ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat berperan
dalam pola dasar anak. kelalaian orang tua terhadap anak sehingga anak
28
Lihat Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia, “Standar
Nasional Pengasuhan”, 14.
29
Lihat Pedoman Departemen Sosial RI., Panti Asuhan Direktorat Kesejahteraan Anak dan
Keluarga” (Jakarta: Dirjen Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial , 1979), 6.
62
Sosial, politik dan ekonomi, dapat dilihat dari akibat situasi krisis ekonomi
yang tak kunjung usai, pemerintah mau tidak mau memang harus
diluar nikah, bila seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada
Pada tingkat yang ekstrem perilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan
pembuangan anak untuk menutupi aib atau karena ketidak sanggupan orang
tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar. 30 Jadi dapat
bagi anak apabila tidak ditanggulangi dengan pola pengasuhan yang layak
kebutuhan fisik, mental dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh
potensi, kemampuan anak asuh dan bukan penyembuhan, dalam arti lebih
dari penelantaran, perlakuan salah dan eksploitasi oleh orang tua. Aspek
kemungkinan perpecahan.
lingkungan sosial.
Anak (LKSA) dalam bentuk sistem Panti Asuhan meliputi. 33 (1) Tersedianya
31
Lihat Andayani Listyawati, “Penanganan Anak Terlantar Melalui Panti Asuhan Milik
Perorangan”, 23-24.
32
Ibid.
33
Lihat Departemen Sosial RI., Petunjuk Pelaksana dan Pengentasan Anak Terlantar, (Jakarta:
Dirjen Bina Kesajahteraan Sosial, 1989), 14.
64
menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung
diharapkan nantinya mereka bisa hidup secara mandiri dan mampu bersaing
dengan anak-anak lain yang notabene masih mempunyai orang tua serta
berkecukupan.
anak usia dini adalah dari lahir sampai delapan tahun merupakan rentang usia
sebagai caranya sendiri. Orang dewasa (teman sebaya yang lebih tua)
mandiri.
yang berbeda yaitu: sistem somatik, sistem ego, dan sistem sosial. Sistem
somatik terdiri atas semua proses biologi yang diperlukan untuk berfungsinya
individu. Sistem ego mencakup pusat proses untuk berpikir dan penalaran;
66
dari masyarakatnya.34
milenial adalah berkaitan dengan milenium yakni orang atau generasi yang
lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an. Pada era tersebut, bahwa kehidupan
dengan internet.35 Istilah milenial ini pertama kali dicetuskan oleh William
tahun 1987, yakni pada saat anak-anak yang terlahir pada tahun 1982 masuk
terhubung kepada milenium baru saat lulus SMA yaitu pada tahun 2000-an.
Saat ini manusia hidup pada era milenial. Era yang merupakan
yang harus diubah menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
pakar untuk angkat bicara dan sekaligus menawarkan sejumlah pemikiran dan
34
Lihat Rika Sa’diyah, “Pentingnya Melatih Kemandirian Anak”, (Jurnal) Koordinat, Vol. XVI
No. 1 April, (Jakarta: FAI-Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2017), 32.
35
KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi 2016. [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 17 Desember 2019].
67
perkembangan potensi itu. Bantuan orang lain tersebut dapat berasal dari
kata mandiri, dalam bahasa Jawa berarti berdiri sendiri. Kemandirian dalam
tanpa bantuan orang lain. Kemampuan demikian hanya mungkin dimiliki jika
Lihat Hasan Basri, Remaja Berkualitas Problematika Remaja dan Solusinya, (Yogyakarta:
37
dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain
kemandirian sebagai salah satu aspek yang ingin dicapai tidak akan muncul
secara tiba-tiba, namun perlu dilatih dan membutuhkan proses yang cukup
Kemandirian tidak hanya sekedar mandiri dalam arti sempit, tetapi juga
dalam arti luas yaitu bagaimana anak mengalami dan melakukan kegiatan
menunjukkan rasa percaya diri yang besar, secara relatif jarang mencari
perlindungan dari orang lain serta mempunyai rasa ingin menonjol.42 Mandiri
menjadi beban orang lain. Sikap mandiri bukan sikap egois atau hidup
hidup seseorang yang perlu dilatih sejak dini. Seseorang dikatakan mandiri
mengatasi masalah yang dihadapinya. Jadi setiap anak perlu dilatih untuk
perkembangannya.
tidak lagi bergantung kepada orang lain tetapi bisa menjadi individu yang
42
Lihat Lindzey G and Aronson E, The Handbook of Social Psychological, (New Delhi: The
Macmillan Limited Publishing, 2008), 218.
43
Lihat Marion Dowling, Young Children’s Personal, Social and Emotional Development, Second
Edition, (London: Paul Chapman Publishing, 2005), 41.
70
kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai
bahwa anak telah mampu tidak saja mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah, namun juga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Pada periode kemandirian seperti ini anak telah mampu menerapkan
terhadap hal-hal yang menjadi larangan atau yang dilarang, serta sekaligus
mampu berpikir dan mengambil tindakan yang baik dalam mengatasi setiap
situasi.
akan otonomi ditandai dengan sikap mental mandiri dan tidak mandiri.
Kadang seorang anak ingin keluar dan mencoba melakukannya sendiri namun
seperti juga Mahler percaya bahwa kemandirian adalah hal yang sangat
44
Lihat Abdul Majid, Pendidikan Karakter (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), 26.
45
Lihat Dorothy Einon, Learning Early, (Jakarta: Grasindo, 2006), 204.
46
Lihat Carol Seefeldt dan Nita Barbour, Early Childhood Education, (New Jersey: Prentice-Hill
Inc, 1998), 47,
71
melakukan apa yang sebenarnya anak mampu kerjakan sendiri, maka yang
pada tahap otonomi versus malu dan ragu-ragu mempunyai implikasi yang
keberanian bagi remaja untuk menjadi pribadi yang mandiri yang dapat
memandang tahap otonomi adalah masa anak belajar mandiri, bagi Mahler ini
adalah masa anak belajar berpisah dari orang tuanya dengan percaya diri.
Kedua teori ini setuju bahwa ketika pada tahun-tahun awal jika anak tidak
cukup percaya pada pengasuh dan kurang rasa individuasi, maka hal ini akan
menjadi benih yang akan nampak dalam penyesuaian dirinya kelak. Ketika
bantuan orang lain dalam merawat dirinya secara fisik (makan sendiri tanpa
47
Lihat John W. Santrock, Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid 1 dan 2,
(Terj.) Achmad Chusairi, (Jakarta: Erlangga, 2002), 202.
48
Lihat Laura E. Berk, Infants, Children and Adolescents, (Boston: Allyn and Bacon,1999), 257.
72
disuapi, berpakaian sendiri tanpa dibantu, mandi dan buang air besar serta
kecil sendiri), dalam membuat sebuah keputusan secara emosi, dan dalam
untuk berfikir, merasakan, serta anak melakukan sesuatu atas dorongan diri
kekhawatiran jika ia terlibat masalah. Anak yang mandiri tidak takut dalam
Anak yang mandiri percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-
sedikit bertanya atau meminta bantuan. Anak yang mandiri memiliki kontrol
bekerja sendiri, (2) secara mental dapat berpikir sendiri, (3) secara kreatif
49
Lihat Steven R. Covey, The Seven Habits of Highly Effective People, terjemahan Budijanto
(Jakarta: Binarupa Aksara, 1997), 38-39.
73
sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain. (2)
bertindak secara original, kreatif dan penuh inisiatif. (d) Terkendali dari
usahanya sendiri. (e) Kemantapan diri (harga diri dan percaya diri),
setting yang ingin dicapai melalui sistem pendidikan. Gambaran nyata ini bisa
dilihat dengan lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik
berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya
Lihat Ahmad Baharuddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (LKiS, Yogyakarta, 2007),
50
7.
74
ini memang terlihat jelas adanya gap yang terkait dengan problem-problem
Terkadang pula tindakan yang baik menurut guru yang ingin dilakukan
dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kekangan seperti ini
seakan-akan antara guru dan murid mempunyai garis pembatas yang tidak
51
Lihat Deri Wanto, “Kendala dan Perbaikan Pendidikan Islam yang Ideal: Evaluasi dan Proposisi
Terhadap PTKI di Indonesia” (Jurnal) Conciencia, (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2018), 56.
52
H.A.R. Tilaar, “Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat
Industri Modern Berdasarkan Pancasila,” (Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V
Lihat Tilaar, 1991), 20.
75
masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Sebut saja,
pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tidak kunjung selesai yakni
menunjukkan kemajuan.53
pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi
memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang, mulai dari pendidikan
53
Lihat Soeroyo, “Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya”, (Jurnal) Volume I,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1991), 34.
76
menanggapi kemajuan era sekarang dan akan datang; (2) Hanya beroperasi
pada bidang sosial dan humaniora; (3) Pembaharuan yang tidak bersifat
esensial; (4) Berorientasi pada masa silam ketimbang masa depan; (5) Belum
tersusun secara sistematik dengan tujuan yang hendak dicapai. tujuan dan
merupakan suatu kesatuan yang utuh dan terpadu. Materi pendidikan harus
54
Lihat Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21
(Yogyakarta: Safiriyah Insaniya Press dan MSI, 2003), 84.
55
Lihat Soeroyo, “Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya”, (Jurnal) Volume I,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1991), 35.
77
mengacu pada tujuan, sebab pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas
dari kontrol tujuannya, antara materi dan tujuan pendidikan harus senantiasa
peserta didik belajar, baik di ruangan kelas, di halaman sekolah atau di luar
disajikan oleh sekolah agar anak didik mencapai tujuan yang diinginkan.
Suatu tujuan tidak tercapai dengan suatu pengalaman saja, akan tetapi melalui
luar sekolah.57
56
Lihat Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 239.
57
Ibid., 242.
58
S. Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), 10.
78
telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses
pemberdayaan jati diri bangsa.60 Berangkat dari arti panting pendidikan ini,
Ahmad Tafsir bahwa pendidikan itu harus mampu mendidik manusia menjadi
59
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 35.
60
Lihat Karnadi Hasan, Konsep Pendidikan Jawa, dalam Jumal Dinamika Islam dan Budaya
Jawa, No 3, Pusat Pengkajian Islam Strategis (Semarang: IAIN Walisongo, 2000), 29.
61
Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Read, 2001), 16.
62
Lihat Malik Fadjar Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), v.
79
memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Sebab itu tujuan mendidik adalah me-
bahasa. Selain itu, pendidikan juga pembebasan yang memiliki kesadaran dan
dipecahkan.64
didik sangat dekat dengan konsep dalam teori belajar humanistik yang lebih
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang sedang belajar
secara maksimal.65
satu “momen”. Dua momen lain dalam proses dialektis ini - internalisasi dan
masyarakat.66
kecil, disaat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial objektif. Individu
berhadapan dengan orang-orang lain yang cukup berpengaruh (orang tua atau
Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang cukup berpengaruh itu
baru yang mereka temui dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi manusia
66
Herman Arisandi, Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi dari Klasik sampai Modern,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 195.
81
mereka.
perubahan aturan sosial yang kembali melanda pada pelaku sosialisasi dan
produk dari manusia yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat tapi juga sadar
tetapi pasti.
khususnya dunia pendidikan. Aspek lain dari realitas objektif bukan sebagai
segalanya, mulai dari gaya berpakaian, cara berbicara dan makanan yang
sesuai dengan agama serta nilai-nilai sosial kita. Realitas sosial yang objektif
ini disampaikan dan dipraktikkan orang lain dan sangat berarti bagi sang
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet. 6. Terj. Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta:
67
bahwa keteraturan sosial ini sulit, tetapi dalam model kaum fungsionalis, dia
Struktur sosial terdiri dari peranan perilaku yang terpola atau memiliki simbol
satu dengan lainnya. Meskipun individu tidak identik dengan peranan tetapi
yang lambat itu menjadi makin sulit dan kurang diinginkan karena realitas-
proses legitimasi. Jadi faktor legitimasi tersebut dapat dikatakan berasal dari
pada tipe-tipe ideal yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai
utama dari Max Weber lainnya adalah tentang analisisnya mengenai status
kelompok. Status kelompok ini adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
tercapainya tujuan. Baik tujuan itu sendiri maupun segala tindak yang diambil
yang sudah ada, tidak mempunyai motivasi maupun tujuan yang lain. Weber
memberikan contoh tentang hal ini adalah tingkah laku orang yang dengan
karena perilaku itu sendiri bertanggung jawab terhadap segala resiko yang
nilai yang bersumber dari tradisi kehidupan masyarakat atau sering disebut
dengan rasionalitas tradisional dan kadang kala disebut dengan tindakan yang
irrasional.70
70
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 55.
85
hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Individu menjadi peran
Individu bukan merupakan korban fakta sosial, tetapi sebagai media produksi
individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran
Hubungan manusia dengan masyarakat adalah suatu proses dialektis yang terdiri
menerus ke dalam dunia baik aktivitas fisik atau mentalnya kedirian manusia
bagaimanapun tidak bisa tetap tinggal diam di dalam dirinya sendiri, dalam suatu
lingkup tertentu dan kemudian dia bergerak keluar untuk mengekspresikan diri
suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.
Lihat M. Sastrapratedja, Pengantar dalam Peter L. Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna
71
Teologi dalam Masyarakat Modern (A Rumor of Angels: Modern Society and The Rediscovery of
The Supranatural), (Terjemahan) J. B. Sudarmanto, (Jakarta: LP3ES, 1991), XIV.
86
suatu aktivitas di masa depan dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang
dilakukan pada masa sekarang dan masa lampau, yang menimbulkan kesan pada
kesadaran manusia bahwa itulah hukum yang tetap. Pada tahapan ini, tindakan-
institusi berdiri sebagai realitas yang objektif di dalam kesadaran manusia dan
juga di luarnya.
tidak selalu harus mendefinisikan dari awal situasi yang dihadapinya. Ada
situasi akan dijadikannya sebagai dasar bertindak untuk berbagai situasi yang
72
Lihat Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik, 2012),
28.
73
Lihat Geger Riyanto, Peter L Berger Persektif Metateori Pemikiran, (Jakarta: LP3ES, 2009),
111.
87
tersebut. Namun sasaran tipifikasi tidak itu saja, aktornya sendiri juga menjadi
habitualisasi dan tipifikasi bukan hanya berlangsung pada satu atau dua orang
saja, lebih dari itu juga melibatkan semua manusia. Bahkan, tipifikasi yang satu
Akan tetapi ada kriteria khusus yang dipakai tipifikasi timbal balik yang
yang memunculkan tipifikasi mutual pada masa awal. Kedua, jika ia mampu
umumnya.
Tipifikasi timbal balik juga bisa berubah menjadi institusi sosial jika ia
sudah umum (berlaku luas), eksternal (objektif), dan koersif (memaksa) terhadap
sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang objektif di dalam kesadaran manusia
- sebagai standar untuk bertindak - sekaligus sebagai sesuatu yang subjektif pada
74
Lihat Ibid., 110.
75
Lihat Ibid.,115.
88
(baik fisik maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para
produsennya semula, melalui bentuk suatu kefaktaan yang eksternal terhadap, dan
lain dari, para produser itu sendiri,76 Maksudnya ia memanifestasikan diri dalam
maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi
merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses- proses
melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.77
satu sama lain. Kedua entitas yang seolah terpisah tersebut kemudian membentuk
generis, unik.
mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang
bahwa institusi itu agar tetap relevan untuk mencegah manusia jatuh ke dalam
76
Lihat Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial. 5
77
Lihat Peter L. Berger & Thomas Luckman, The Social Construction of Reality oleh Hasan Basri,
(terjemahan) Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta:
LP3ES, 1991), 48.
89
universal yag bekerja di balik yang terlihat. Ada hukum yang objektif dibalik
institusi tidak lagi sebuah order, namun juga meaningful order atau sebuah
nomos.78
dari pada realitas yang paling mendasar. Ketika teks-teks diucapkan atau ditulis,
teks langsung menimbulkan bayangan akan objek yang dirujuknya pada orang
institusi.
misalnya adalah pepatah. Pepatah sebagai contoh “takut akan Tuhan adalah
oleh anggota masyarakat fasih akan hal-hal terkait. Tingkatan keempat dan
78
Ibid., 49-50.
90
merupakan legitimasi yang paling teoretis adalah symbolic universes atau tatanan
simbolik yang koheren. Tatanan simbolik atau symbolic order dapat dimisalkan
dengan agama atau paradigma dalam ilmu pengetahuan. Agama atau paradigma
sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang demikian
bermakna subjektif bagi saya sendiri.79 Internalisasi juga bisa diartikan sebagai
proses manusia mencerap dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya. Akan tetapi,
menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu, atau
Lihat Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik, 2012).
80
35.
91
definisi situasi institusional yang disampaikan orang lain, namun lebih dari itu,
pada pembentukan definisi bersama. Kemudian jika ini terjadi, barulah individu
masyarakatnya.81
pada lembaga kesejahteraan sosial anak di Pesantren Darul Fiqhi dan Pesantren
Lihat Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Sacred Canopy, (Langit Suci: Agama sebagai
81
Realitas Sosial) (ditejemahkan oleh Hartono), (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994). 8-11.
92
dalam bentuk bagan alur berfikir teori. Dapat dilihat pada bagan berikut.
Pengetahuan Pengetahuan
Bentuk-Bentuk Tentang Tentang
Menumbuhkan Menumbuhkan Menumbuhkan
Kemandirian Kemandirian Kemandirian
Anak Anak Anak yang di
Sosialisasikan
anak di Pesantren Darul Fiqhi dan Pesantren Al-Mizan Kabupaten Lamongan ini
terdapat alur berpikir yang meliputi tiga proses, yaitu melalui eksternalisasi,
93