immaterial. Maka, pada prinsipnya, nilaipun berjenjang, dari tahap yang paling
sederhana hingga hal yang paling kompleks.
Beberapa persoalan mendasar yang menyangkut mengenai nilai;
Pertama, sudut pandang pertama ini melihat sebuah nilai itu mempunyai hakikat
subyektif. Nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku (subjek). Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme,
analisis linguistik dalam etika), menganggap nilai sebagai sebuah fenomen
kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis,
sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Hal ini berarti unsur-unsur
subjektivitas manusia mempengaruh cara seseorang melihat sebuah realitas.
Kedua, nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui
akal. Pandangan yang menekankan pada penalaran akal budi ini melihat nilai
ada dalam analisis logos semata, tanpa tergantung ruang dan waktu, hingga
kesejarahan yang meliputinya; Ketiga, nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan; dalam bahasa Husserl, biarlah obyek yang berbicara
kepada subyek, ini dimaksudkan nilai sesungguhnya terkandung dalam obyek
itu sendiri yang ditampakkan kepada subyek sehingga subyek dapat
menampilkannya di permukaan. Subyek diam, pasif, sementara obyeklah yang
bersifat (Lorens Bagus, 2005: 34).
Dari beberapa definisi dan persoalan pokok tentang aksiologi atau nilai
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah ilmu untuk
mempelajari hakikat nilai, struktur nilai hingga karakteristiknya. Dengan
demikian, dalam memahami hakikat nilai itu sangat terkait dengan ontologi dan
epistemology.
Dalam pandangan Max Scheler, terdapat empat jenis value pada
kehidupan manusia. Pertama, nilai sensual, nilai ada nampak dalam tampilan
seperti menyenangkan, bersifat pencitraan. Kedua, nilai hidup, seperti
keagungan, kemuliaan dan kesahajaan. Ketiga, nilai kejiwaan atau kerokhanian,
seperti nilai estetis (keindahan), nilai benar-salah (moral), dan nilai intrinsik
dalam ilmu pengetahuan. Keempat, nilai religius, seperti yang suci, sakral, nilai
yang terkait dengan keilahian atau pengalaman keagamaan.
Dalam konteks pembedaan atas nilai yang bersifat subjektif dan objektif,
penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a; Nilai Subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin
dapat bersifat subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan
keindahan. Nilai subyektif terdiri dari:
1). Nilai Moral
Secara prinsipil, istilah moral dan etika mengandung perbedaan makna
mendasar. Moral mempunyai makna suatu perbuatan baik atau buruk yang
dilakukan seseorang, sementara etika memberikan pendasaran filosofis atas
tindakan moral tersebut. Moral mendorong untuk berbuat baik dan memberikan
penilaian, sementara etika tidak berpretensi menilai perbuatan itu benar atau salah,
etika hanya memberi landasan filosofis mengapa perbuatan itu dilakukan. Dalam
perspektif moral, sebuah tindakan moral dapat bersumber dari agama, kearifan
masyarakat setempat, ataupun dari nenek moyang masyarakat kita.
Ajaran Moral, atau ajaran, wejangan, khotbah, kumpulan peraturan dan
ketetapan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia baik. Sumber langsung dari ajaran moral adalah: kedudukan/kewenangan,
misal orang tua, guru, pemuka masyarakat/agamawan dan tulisan bijak. Sementara,
sumber dasar dari ajaran tersebut adalah agama, tradisi, adat-istiadat, ideologi
tertentu.
Berikut ini ciri-ciri kekhususan moral: 1). Norma moral langsung berkaitan
dengan inti karakter manusia. Karakter menyangkut inti, kekhasan manusia yang
muncul dari dalam. Maka pembahasan mengenai moral sangat terkait dengan
karakter pada diri seseorang. 2). Norma moral menjadi norma yang menegaskan
kewajiban dasar manusia dalam bentuk perintah atau larangan. Jadi ia berfungsi
sebagai imperatif kategoris. 3). Norma moral berlaku umum. Artinya, berlaku bagi
siapa saja, kapan saja dan di mana saja dan dalam situasi apapun. Dasar dari
universalitas itu adalah objektivitas dan pertanggungjawaban rasional. 4). Norma
moral berkaitan dengan hati nurani, hati nurani adalah institusi tertinggi dari
manusia dalam menetapkan sebuah perilaku yang baik (K. Bertens, 2007).
2). Nilai Sosial
yang lain, yaitu (3) pengalaman yang bertalian dengan seni, masalah
penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni
(Kattsoff, 2004: 378).
Pengalaman estetis merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Ia lahir
berdasarkan pengamatan inderawi yang membawa seluruh diri manusia dalam
pengamatannya. Misalnya dalam mengamati keindahan alam dan keindahan karya
seni (Muji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1995: 14). Keindahan estetis murni yang
menyangkut pengalaman estetis seseorang dengan segala sesuatu yang diserapnya,
baik secara visual, audial, maupun intelektual. Pencerapan tidak semata-mata
terjadi dengan melihat atau membaca kata-kata dan mendengar irama yang selaras
dari sajak itu, melainkan terutama memahami dengan kecerdasan makna yang
terkandung di dalamnya (The Liang Gie, 1997: 18).
Sementara tentang keindahan, para pemikir Barat juga berbeda pendapat.
Setidaknya terdapat dua pandangan yang cukup representatif untuk dikemukakan
dalam pembahasan ini. Pertama, keindahan diartikan sebagai rasa nikmat yang
diobjektivasikan. Menurut Santayana, keindahan tergantung pada pencerapan
manusia terhadap obyek, meskipun belum tentu obyek itu indah. Perasaan indah itu
ditandai dengan adanya perasaan nikmat. Kedua, keindahan sebagai obyek
tangkapan akali. Gagasan ini diwakili oleh Thomas Aquinas dan Jacques Maritain.
Menurutnya, keindahan adalah suatu obyek yang dapat menimbulkan kesenangan
pada akal. Obyek itu sendiri indah karena ia memiliki unsur-unsur seimbang, tertib
dan sempurna (Kattsoff, 2004: 389-392).
4). Nilai Spiritual
Sebagai makhluk Tuhan, secara fitrah manusia terus menerus
berusaha untuk menemukan jalan spritualnya. Dalam proses
pengembaraan menuju Tuhan, manusia mengalami berbagai pengalaman
religiusitas. Nabi Ibrahim menunjukkan betapa dalam menemukan Tuhan
menemukan jalan berliku dan berat. Perenungan dan sikap kritis yang
ditunjukkan Nabi Ibrahim dalam mengarungi keberadaan Tuhan berangkat
dari alam sekitar yang akhirnya menemukan Tuhan. Begitu pula dengan
berbagai pengalaman spiritualitas yang dialami para pemuka agamaagama dunia, sebut saja Nabi Musa, Nabi Isa (Jesus), Nabi Muhammad,
Sidharta Gautama, dan seterusnya.
Jalan lain yang akan ditelusuri dari beberapa petunjuk dalam pembuktian
ontologis merefleksikan apakah mungkin manusia mengerti istilah seperti sesuatu
yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya kalau ia tidak
mempunyai semacam pengalaman, semacam kesadaran akan sesuatu itu. Jalan ini
tidak objektif dalam arti sebuah deduksi, jadi sesuatu yang belum dipastikan ada
(Tuhan) mau dideduksikan dari sesuatu yang ada (kenyataan di dunia), melainkan
jalan ini bersifat transendental. Jalan ini sebenarnya mau menguraikan sesuatu yang
sebenarnya termuat dalam kesadaran manusia, tetapi biasanya tidak diperhatikan.
Dengan kata lain, sebenarnya kita akan mengatakan bahwa sebenarnya manusia
mempunyai suatu pengalaman tentang Tuhan. Tuhan, bukanlah sama sekali sesuatu
yang asing, pengalaman itu bukan objektif karena Tuhan tidak muncul sebagai
suatu objek. Melainkan pengalaman itu transcendental, bahwa di dalam segala
kegiatan kita selalu sudah bersentuhan dengan Tuhan. Tuhan itu muncul sebagai
syarat kemungkinan bahwa manusia dapat mengetahui, menghendaki, menghayati
makna dan menyadari hati nurani (Magnis Suseno, 2005: 151).
Akan tetapi penunjukan yang transendental ini bukan sebuah pembuktian,
pengalaman seacam ini tidak pernah dapat dibuktikan, dideduksikan. Pengalaman
ini bukan tentang suatu obyek yang bisa ditunjuk. Pengalaman transendental ini
secara hakiki terlibat dalam pengalaman sebuah objek (terbatas). Di dalam
pengalaman tentang yang terbatas selalu sudah ada pengalaman tentang yang tak
terbatas. Maka, orang tidak dapat seakan-akan dipaksa untuk mengakuinya. Apabila
ada orang menyangkal bahwa kesadaran akan Yang-Tak-Terhingga itu tersangkut
dalam pengalamannya, tak ada cara untuk memaksanya. Paling-paling kita dapat
mengajaknya untuk memperhatikan kesadarannya dengan lebih tajam. Barangkali
ini lebih dekat dengan fenomenologi, ia menunjuk, bukan membuktikan. Apabila
orang tidak melihat apa yang ia tunjuk, tak ada cara membuktikan apa yang mau
ditunjukkan. Sebab kesadaran akan Tuhan bersifat implisit, terlibat dalam apa yang
secara eksplisit, secara obyektif, disadari. Pada umumnya, manusia hanya tersedot
perhatiannya pada obyek kasadaran sehingga apa yang terlibat dalam proses
penyadaran luput dari perhatian (Magnis Suseno, 2005: 152).
b; Nilai Objektif
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus dinyatakan diri dalam bentuk
yang lebih nyata dan riil. Bentuk nyata inilah yang sering disebut dengan kebudayaan
objektif. Di dalam proses pertukaran tersebut terjadi dialog antara manusia dengan
lingkunan sosial dan alam. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin merupakan
landasan terhadap perkembangan batin lebih lanjut, terus-menerus dalam sarana yang
semakin kompleks.
1). Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi merupakan bentuk perwujudan nilai yang menyangkut materi
atau bentuk fisik yang bisa memberi manfaat pada subjek yang mengamati suatu
objek. Misalnya, kesehatan, kenyaman, dan perlindungan fisik (Rescher, 1969: 16).
Bakker (2005: 17) mengutip pendapat S. Thomas bahwa dalam segala
kegiatan manusia mengarah ke karya budi sebagai tujuan. Agar akal budi berfungsi
sempurna, maka dibutuhkan keutuhan dan kesehatan badan yang diusahakan oleh
teknik-teknik yang menyediakan keperluan-keperluan kehidupan. Jadi jelaslah
bahwa dalam perspektif ini bagaimana segala tugas dan kewajiban manusia
digerakkan untuk memungkinkan perkembangan daya budi.
Evaluasi nilai dilihat dari sifat keuntungan dalam segi ekonomi yang
didapatkan dari objek adalah ciri utama dari kategori nilai ekonomi. Nilai ekonomi
ada karena penilaian terhadap objek yang bisa memberi keuntungan dalam hal
ekonomi bagi subjeknya (Rescher, 1969: 16).
2). Nilai Hiburan
Nilai penting lain yang dimaksudkan dalam hal ini adalah nilai hiburan.
Fungsi hiburan merupakan sistem sosial-budaya hadir ditengah-tengah kehidupan
sebagai suatu hal yang mempunyai arti dan maksud tertentu. Salah satu maksud dan
tujuannya sebagai aktualisasi pikiran dan jiwa manusia. Selain dapat digunakan
untuk memuaskan kebutuhan batin manusia akan hiburan, keberadaan suatu bentuk
kesenian tidak terlepas dari dukungan masyarakat sebagai makhluk sosial yang
menggunakan kesenian sebagai sarana kegiatan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
3). Nilai Lingkungan
Nilai lingkungan memuat hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta.
Dalam nilai lingkungan, manusia diajarkan untuk menjaga lingkungan sekitarnya
tidak hanya dalam cakupan khusus seperti lingkungan individu atau rumah tangga,
namun juga memuat hubungan manusia dengan seluruh alam yang menyokongnya.
Habitat atau alam fisik sekitar mempunyai pengaruh besar pada proses
kebudayaan. Manusia tidak dapat mempertahankan diri di hadapan alam sekitarnya
selain dengan menjawab tantangannya. Hal tersebut terutama berlaku untuk alam
sekitar yang dahsyat. Di sana habitat merupakan faktor yang menentukan, tetapi
kurang atau lebih habitat ikut serta membina kebudayaan. Habitat menandakan
keadaan alami dari eksistensi manusia, ciri-ciri fisik dari lingkungan yang didiami
oleh sekelompok manusia; sumber-sumber alam, keadaan, ketinggian, dan ciri-ciri
geografi lainnya bagi mereka untuk bisa menyesuaikan dirinya (Bakker, 2005: 64).
2; Nilai-nilai Ketuhanan
a; Pengalaman Kebertuhanan
Kepercayaan kepada "yang adikodrati", Tuhan dan pengalaman
religiusitas merupakan gambaran khas semua agama, aliran kepercayaan,
bahkan aliran kebatinan. Kendati demikian, kepercayaan kepada Tuhan
berada dalam banyak perwujudan yang berbeda-beda. Perbedaan
manifestasi ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah
faktor pengetahuan, kondisi sosial-budaya atau bahkan ekonomi. Tetapi lebih
dari itu, yang perlu digaris bawahi disini bahwa persoalan kepercayaan
merupakan persoalan yang sangat terkait dengan pengalaman
intersubyektivitas. Kepercayaan kepada yang ghaib tersebut melahirkan
suatu tata nilai yang berguna untuk menopang keberlangsungan kehidupan
manusia sendiri. Tata nilai tersebut selanjutnya melembaga dalam suatu
tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun lalu mengikat anggota
pada hukum moral yang telah ditetapkan di jagad raya ini. Bagaimanapun,
manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka
babak terakhir kehidupannya ditutup.
4; Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hukumhukum moral yang berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat bahwa
ada kehidupan sesudah mati. Seseorang yang berbuat baik akan mendapat
pahala dan yang berbuat jahat akan mendapat hukuman.
Salah satu aspek positif dari paham deisme adalah akal mendapat porsi yang
lebih besar dalam memahami realitas kehidupan ini, begitu juga realitas ketuhanan
(agama). Peranan akal yang sangat dominan ini dapat memberikan sumbangsih pada
upaya melakukan telaah kritis atas pemahaman-pemahaman keagaman yang
cenderung bersifat dogmatis. Implikasi yang besar pada paham ini adalah
menempatkan tata aturan alam ini berjalan harmonis di atas hukum alam yang telah
ditetapkan Tuhan. Meskipun begitu, pengakuan akan adanya Tuhan sebagai pengatur
yang maha sempurna jelas tergambar dalam konsep ketuhanan dalam paham ini.
Selain itu terdapat juga paham panteisme. Paham ini terdiri atas tiga kata,
yaitu pan, yang berarti seluruh, theo, berarti Tuhan, dan ism (isme), yang berarti
paham. Jadi, panteisme adalah paham yang meyakini bahwa seluruh alam ini adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam (Amsal Bahtiar, 1997: 89-93). Seluruh alam
kosmos ini adalah Tuhan, semua yang ada dalam keseluruhannya adalah Tuhan dan
Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat
ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari Tuhan.
Karena Tuhan adalah kosmos dalam keseluruhannya dan karena benda-benda
adalah bagian dari Tuhan, maka Tuhan dalam panteisme adalah immanen, yaitu
berada dalam alam ini, bukan di luar seperti yang diyakini oleh paham deisme.
Karena seluruh kosmos ini adalah satu, maka Tuhan dalam aliran panteisme juga
satu, hanya saja Tuhan menurut panteisme memiliki bagian-bagian. Dalam
panteisme, Yang Maha Besar itu hanya satu, dan tidak berubah. Hanya alam panca
indera saja yang berubah yang merupakan bagian dari Tuhan dan semua itu adalah
ilusi belaka (Harun Nasution, 1991: 37). Mengenai persoalan mukjizat, kalangan
panteisme menyebut sebagai hal yang mustahil terjadi karena semua mahluk adalah
Tuhan dan Tuhan adalah semua. Jika mukjizat diartikan sebagai peristiwa yang
menyalahi hukum alam, maka hal tersebut tidak berlaku dalam panteisme sebab
Tuhan sangat identik dengan alam. Karena itu tidak ada suatu kekuatan apapun yang
berasal dari luar yang dapat mengganggu tatanan yang sudah ada.
Paham lain yang berpandangan bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi
sepaham dengan panteisme adalah teisme. Menurut teisme, Tuhan memang berada di
luar alam akan tetapi juga dekat dengan alam. Berbeda dengan deisme, teisme
menyatakan bahwa alam setelah diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berhajat kepadaNya, tetapi tetap berhajat kepada-Nya. Tuhan merupakan Sebab bagi yang ada di
alam ini. Segalanya bersandar pada Sebab ini. Tuhan adalah dasar dari semua yang
ada, dan yang terjadi dalam alam ini. Kosmos ini tidak bisa berwujud dan berdiri
sendiri tanpa Tuhan. Tuhanlah yang terus menerus secara langsung mengatur alam
ini. Dalam teisme alam ini tidak bergerak dan beredar menurut hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang tidak berubah, akan tetapi bergerak dan beredar berdasar
kehendak mutlak Tuhan.
Pengalaman akan keber-Tuhan-an di Indonesia digambarkan oleh Magnis
Suseno bersifat ekstrovet, yakni sikap terhadap dunia luar yang alami dengan
kesatuan numinus (pengalaman spiritual) antara alam, masyarakat dan alam adi
kodrati. Pengalaman ini terejawantah dalam berbagai ritus, tanpa refleksi eksplisit
terhadap dimensi batin sendiri. Kesatuan masyarakat, alam dan alam adi kodrati
sebetulnya terungkap dari kepercayaan bahwa setiap kejadian yang bersifat empiris
selalu berkaitan dengan hal yang adi kodrati atau metaempiris. Kesatuan masyarakat,
alam dan adikodrati ini diwujudkan dengan sikap hormat pada nenek moyang,
melakukan ritual sesaji, slametan dan berbagai ritus lainnya. Karena setiap kejadian
di alam empiris ini selalu terkait dengan alam adi kodrati, maka sesorang dalam
perilakunya harus memperhatikan dan melakukan ritus-ritus tersebut sebagai upaya
untuk menyelamatkan dirinya dari berbagai kejadian yang tidak diinginkan (Magnis
Suseno, 1985: 82-83).
Keyakinan religiusitas berikutnya, bahwa hidup manusia telah ditentukan
oleh Tuhan sangat mewarnai perilaku masyarakat Indonesia. Masyarakat kita tidak
bisa mengelak dari ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya. Kelahiran,
kematian, jodoh, nasib, adalah bentuk-bentuk takdir yang tidak bisa di lawan.
Masyarakat harus menjalankan kehidupannya sesuai dengan tingkat dan
kedudukannya karena ia tak akan mampu mengubah takdirnya secara definitif. Oleh
karena itu orang harus bisa mengerti dan memahaminya agar dapat menjalani
kehidupan ini dengan selaras dan seimbang (Magnis Suseno, 1985: 82-83)
Pengalaman keagamaan yang cukup ekstrim bagi sebagian masyarakat
Indonesia adalah pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan
numinus. Meskipun tujuan akhir dari lelaku spiritual ini adalah penyatuan hamba
dengan Tuhan, namun penekannya tidak terletak pada pengalaman transendensi itu
sendiri. Penekananya justru terletak pada unsur-unsur itu sendiri, yakni teori dan
keyakinan. Sebab unsur ini menjadi sarana yang ampuh untuk membulatkan
kekuasaan eksistensinya sendiri (Magnis Suseno, 1985: 82-83).
Sebagai etika politik (teodemokrasi) dan landasan moral penyelenggaraan
negara; Kekuasaan dipahami bukan yang bersifat empiris semata, tetapi merupakan
pemberian nur ilahi (Tuhan). Seseorang yang akan menerima kekuasaan akan
terlebih dahulu menerima pulung, atau ketiban wahyu. Kekuasaan juga dipahami
sebagai bentuk pengejewantahan kekuatan kosmos. Pemusatan kekuatan kosmos
dalam diri penguasa dicari melalui jalan tapa brata, lelana, tanpa pamrih dan
seterusnya. Kekuasan akan dikatakan berhasil apabila sang raja mampu memberi
ketentraman dan ketenangan pada rakyatnya. Sebaliknya, jika kekacauan telah terjadi
hal ini berarti bahwa sang raja sudah tak lagi menjalankan laku spiritual, atau sang
raja telah melakukan pamrih dan mengumbar nafsu-nafusnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Jawa sangat terkait dengan moralitas,
moralitas ini bertumpu dari pengendalian nafsu. Jika tidak mampu mengendalikan
maka secara alamiah yang akan melunturkan kekuataan kosmis atau pemberian
wahyu (pulung) yang telah dipercayakan kepadanya selama ini (Magnis Suseno,
1991: 82-83).
b; Dialog antar agama dalam kebhinekaan keyakinan
Nilai pragmatisme dalam penyatuan hamba dengan Tuhan, sebagai gambaran
pengalaman religiusitas tersebut berakibat pada pandangan bahwa agama apapun
yang dianut tidaklah begitu penting, akan tetapi justru yang terpenting adalah apakah
pengalaman itu cocok dan dan bermakna dalam kehidupannya. Sebuah pengalaman
spiritual yang menentramkan jalan hidupnya yang menjadi esensi mendasar dari pola
keberagamaan masyarakat Indonesia (Jawa khususnya). Sikap yang lebih
mementingkan nilai pragmatisme ini juga sebetulnya mempunyai nilai positif bagi
upaya membangun masyarakat yang harmonis, tanpa tersekat oleh bentuk-bentuk
formal agama (Magnis Suseno, 1985: 82-83).
Konsep dasar inilah yang membuat Bung Karno menekankan akan pentingnya
Ketuhanan yang Berkebudayaan (Soekarno), menekankan nilai toleran; hormat,
kerjasama dan seterusnya. Beragai ragam agama di Indonesia menjadikan kita harus
legawa untuk menerima perbedaan itu. Jika tidak, masihkah keimanan kita terpasung
oleh dikotomi nalar kafir dan muslim, darul harb dan darul salam? Jika Tuhan saja
tidak memaksa manusia untuk menjadi satu komunitas, kenapa pengakuan
keragaman begitu sulit kita hadirkan dalam pengalaman keagamaan kita. Saatnya,
kita melakukan kesalehan kultural untuk mengatasi keragaman ini. Kesalehan
multikultural ini sebagai cara pandang yang dapat diterima jika kesalehan dan
keimanan diletakkan sebagai praktis dari etika dan kemanusiaan (Munir Mulkhan,
2007: 69). Dengan demikian, dialog antar iman pun akan bisa lepas dari belenggu
keimanan sempit yang bersifat eksklusif.
Dalam konteks keberagaman yang plural, maka prinsip-prinsip kebebasan
beragama harus ditekankan. Dalam keyakinan keagamaan, keyakinan kepada Tuhan
itu sendiri merupakan rahmat bagi manusia dari Tuhan, karenanya Tuhan mengakui
hak manusia sendiri dalam menentukan jalan hidupnya. Meski demikian, setiap
pilihan keyakinan dan praksisnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia.
Dengan pengertian semacam ini dapat digarisbawahi bahwa pluralisme agama harus
dipahami sebagai suatu pertemuaan sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan
keadaban (bond of civility).
Dalam pemahan yang memang plural di bidang agama, maka yang penting
sekali untuk ditekankan adalah dialog atau musyawarah itu sendiri. Sayangnya,
dialog yang beberapa tahun terakhir ini banyak dilakukan oleh masyarakat agama
masih terbentur pada apa yang oleh Paul Knitter disebut "toleransi yang malas" (lazy
tolerance). Artinya, dalam toleransi semacam ini, setiap agama mengajak agama lain
untuk mengakui kabsahan masing-masing mengambil jalan yang memuaskan mereka
sendiri. Untuk menciptakan atmosfir yang memungkinkan kedua komunitas agama
untuk menahan diri dari saling menuduh yang lain sebagai tidak toleran, keduanya
berharap dengan tantangan konsep toleransi agama yang sesungguhnya. Tanpa harus
mengorbankan prinsip-prinsip agama yang mendasar, kedua komunitas harus
memiliki niat baik untuk saling mendengar satu sama lain. Jika keduanya tidak siap
dan bersedia untuk bertemu dengan agama lain dengan sikap pengertian dan hormat,
maka "toleransi yang malas" itu tidak akan berubah, kecuali justru menjadi semakin
parah (Paul Knitter, 1995: 26-27).
Dalam konteks ini, diperlukan sebuah paradigma baru yang tidak eksklusif
dalam dialog. Paradigma dialog yang inklusif ini dirumuskan oleh Wilfred Cantwell
Smith sebagai pergeseran orientasi dialog kearah saling menghormati, memahami
dan membantu satu sama lain dan bersama-sama bertujuan menciptakan
menciptakan dunia yang dapat diterima. Dengan demikian, misi dialog adalah untuk
bekerja sama dengan seluruh umat manusia, bukan mengisolasi diri (Wifred
Cantwell Smith, 1979: 57-68). Menurut Hans Kung, dialog adalah bukan sekedar koeksistensi, yaitu dalam pengertian dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap
bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi, tetapi pada pro-eksistensi, yaitu
mengakui sekaligus mengafirmasi dan mendukung eksistensi agama selama ia
bertujuan untuk kepentingan manusia secara umum (Hans Kung dan Karl-Josep,
1999: 32).
Lebih jauh, Raimundo Panikkar menyebutkan bahwa dialog harus melangkah
lebih jauh pada tingkatan intrarelegius, yaitu dialog yang tidak hanya menuntut suatu
sikap inklusif dan paralelisme. Yaitu suatu sikap yang mengakui bahwa agama
merupakan jalan-jalan yang sejajar. Maka secara etis, dialog tidak dimaksudkan
untuk mencampuri urusan dan ajaran agama lain, juga tidak mau dinobatkan orang
lain dari keyakinannya yang dianut, melainkan untuk memperdalam tradisi agama
sendiri secara lebih kritis.
c;
mereduksi agama yang mempunyai jiwa pembebas. Ingat, semua agama yang
diturunkan di mukan bumi mempunyai fungsi pembebasan, pembebas dari
ketidakadilan structural oleh rezim atau penguasa di masa itu, ataupun sebagai
pembebasan manusia dari suatu bentuk penghambaan pada materi semata. Di sisi
lain, agama juga sangat mungkin diperankan sebagai etos untuk pembangunan itu
sendiri. Etos, spirit atau ruh untuk membangun secara berkeadilan, baik
pembangunan manusia secara utuh, maupun pembangunan dalam bentuk yang lain.
Inilah sebuah gerakan agama non-ideologis yang kultural, disebut demikian karena
gerakan agama ini menekankan pada idea moral agama itu sendiri, bukan agama
dalam bentuk formal, apalagi ritual yang ditampakkan.
unsur materi, manusia mempunyai sifat dan ciri-ciri makhluk materi yang terikat dengan
hukum-hukum alamiah, seperti kemampuan untuk tumbuh, berkembang, bergerak,
mempunyai nafsu, instink dan seterusnya. Badan manusia bertumbuh mulai dari kecil
menjadi besar, dan ia hanya bisa berkembang sebagai manusia jika badannya
memungkinkan. Menjadi manusia karena memang terbangun dari badan, ia merupakan
suatu struktur hidup, berproses menurut hukum-hukum biologis. Struktur badan tersebut
terdiri dari beberapa sub-struktur yang tak terhingga jumlahnya, yang nampak sebagai
bangunan dari sel-sel, dan mempunyai diferensiasi yang berbentuk organ-organ yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda pula.
Setelah ditiupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka terjadilah persatuan antara
materi dan ruh ini yang membuat perubahan yang mendasar bagi diri manusia. Menurut
al-Razi, manusia lalu menjadi sosok makhluk yang bersifat materi dan makhluk ruhani
(spiritual) sekaligus. Persatuan antara materi dan ruh ini tidak terpisah satu sama lain,
kecuali telah dipisahkan oleh kematian. Dengan demikian, dari sisi pertumbuhan
materi/fisik, manusia tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya makhluk lain.
Perbedaannya justru terletak pada aspek ruh yang telah ditiupkannya ke dalam materi
tersebut. Inilah hakekat manusia yang sebetulnya, ia terbentuk dari dua aspek sekaligus,
yakni aspek materi dan ruhani/jiwa.
Dalam jiwa manusia terkandung akal-budi yang berfungsi menciptakan atau
melahirkan ilmu dan pengetahuan, serta teknologi, sementara rasa mengantarkan manusia
mampu meciptakan karya-karya estetika, keindahan dan keutamaan. Potensi kehendak
pada diri manusia mengantarkannya untuk mampu bertindak dan berperilaku secara
baik/bermoral. Atas dasar kemampuan inilah, manusia mempunyai berbagai potensi
sekaligus kemampuan yang bisa difungsikan dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah
dan khalifah-Nya. Karenanya, hanya dengan jalan menggunakan potensi kemanusiaan
secara integral, manusia akan mampu membangun hubungan sosial (lingkungan sekitar,
baik dengan alam dan manusia) dengan baik, juga akan mampu membangun hubungan
dengan yang transendan, yakni Tuhan, secara terus menerus. Menurut Notonagoro,
kedudukan kodrat manusia terdiri atas dua unsur, yakni makhluk berdiri sendiri dan
makhluk Tuhan yang merupakan satu kesatuan (monodualis). Keseluruhan unsur-unsur
tersebut merupakan suatu kesatuan hakikat manusia yang bersifat monopluralis.
bahwa Tuhan adalah pemberi hak asasi tersebut. Prinsip mendasar tentang manusia
(filsafat manusia) yang menyangkut keyakinan Tuhan sebagai pemberi hak bagi manusia
inilah yang membedakannya dengan HAM di dunia Barat.
Hak asasi yang melekat pada manusia tidak boleh dicabut oleh siapapun dan
dengan cara apapun, ketika negara belum ada-pun hak asasi lebih dahulu ada. Maka
seharusnya, realisasi kemanusiaan yang beradab semestinya memperhatikan hak-hak
asasi manusia yang telah lama ada. Singkatnya, negara harus melindungi HAM dan
kemanusiaan sebab pada prinsipnya hak asasi telah ada lebih dahulu, Negara tidak boleh
mendiskriminasi hak-hak telah dimiliki oleh warga Negara.
Prinsip anti diskrimatif yang ditekankan pada sila kedua ini melahirkan sikap
egaliter, memandang sederajat, sama sebagai manusia seutuhnya tanpa membedakan
manusia lain berdasarkan agama, suku, ras, bahasa, etnis dan lain sebagainya. Inilah
prinsip mendasar kemanusiaan yang adil dan beradab yang kemudian oleh negara
dibentuk perangkat peraturan untuk mengaturnya.
4; Persatuan dalam Kebhinekaan
Beragam etis, suku, budaya dan agama pada masyarakat Indonesia sesunggunya
bisa menjadi modal sosial (capital social) yang mendasar dalam membangun sebuah
peradaban, namun beragam budaya tersebut malah terkadang bersifat kontraproduktif,
yang menimbulkan konflik berkepanjangan antar suku, etnis, budaya dan bahkan agama.
Dalam pengertian sederhana, kebhinekaan dapat dipahami sebagai keragaman
budaya dalam suatu komunitas. Di dalam keragaman terdapat hubungan timbal-balik atau
interaksi, konflik, saling menghormati dan menghargai, toleran, integrasi, dan bahkan
disintegrasi. Masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas ragam etnis dan
kebudayaan yang beranekaragam. Kehidupan mereka tidak diatur oleh sistem budaya
tunggal dan tertutup, atau dalam terminologi postmodern grand narrative, narasi tunggal,
melainkan terdiri atas sistem budaya yang beragam dan nilai yang relatif (J. F. Lyotard,
1991).
Masyarakat multikultur dibedakan dengan masyarakat monokultur, sebuah
masyarakat asli (archais) atau etnis yang semua anggotanya masyarakatnya berkarakter
sama atau homogen, dan bahkan pada masyarakat yang terikat secara paksa atau tak sadar
berdasarkan nilai-nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Meskipun
konsep masyarakat multikultur masih problematik, secara umum masyarakat multikultur
dinyatakan sebagai sebuah kumpulan beraneka ragam masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang eksis satu sama lain di atas suatu wilayah (Chairul Mahfud, 2006: 86).
Keragaman budaya sesungguhnya mempunyai karakter yang bersifat ganda, di
satu sisi keragaman merupakan potensi besar untuk membangun peradaban besar, tetapi
di sisi lain juga menjadi ancaman tersendiri, yakni beruapa konflik tidak mampu
dikelolah dengan arif dan bijak, maka primordialisme tidak mampu dibendung yang
mengakibatkan perang antar budaya atau meminjam istilah Samuel Huntington terjadi
benturan peradaban (Samuel Huntington, 2002). Jika konflik horizontal dalam
masyarakat multikultural tidak terjadi berarti telah terbangun toleransi yang tinggi yang
dianut oleh masyarakat. Dalam konteks lokal, ada asumsi yang berkembang, hal itu
disebabkan adanya ikatan adat yang begitu kuat, sehingga konflik horisontal bisa
diantisipasi sedini mungkin
Di Indonesia, fenomena divergen-disintegratif semakin jelas setelah runtuhnya
rezim Orde Baru, bersamaan dengan makin masifnya praktik-praktik kapitalisme
neoliberal, salah satu ciri terkuat dari globalisasi. Fenomena divergen-disintegratif di
Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Alih-alih untuk mempersatukan mempersamakan (conformity) semua elemen
negeri ini (slogan Orde Baru), atau mensejahterakan masyarakat dengan kebijakan
disentralisasi dan otonomi daerah (Orde Reformasi), akan tetapi justru penghargaan dan
pengakuan atas kehadiran yang lain (the other) terabaikan. Politik sentralisme
kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan paradigma "monokulturalisme"
dengan mengatastanamkan persatuan dan kesatuan. Politik sentralistik atau paradigma
monokultral ini telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pela
gandong di Ambon, republik nagari di Sumatera Barat.
Akibatnya, paradigma tunggal ini mengalami anomali dan muncullah reaksireaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan
Ketidakadilan yang paling mendesak dan kasar adalah kemiskinan dan ketergantungan
struktural. Bahwa dalam sebuah masyarakat masih banyak kelompok yang mendapat
ketidakadilan, bukan karena mereka malas atau tidak bekerja, atau kita harus dituntut
untuk solider dalam melihat mereka, tetapi justru pembagian dan keadilan distribusi
kekayaan alam Indonesia ini belum dilaksanakan (Magnis Suseno, 2000: 75-76).
Maka orientasi pembangunan harus diarahkan pada upaya penghapusan
kemiskinan dan ketergantungan struktural. Kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk
masyarakat yang memang tertindas oleh sistem yang membuat mereka tidak berdaya.
Dalam konteks ini, keadilan negara harus berpihak, keperpihakan pada kelompokkelompok termarginalkan, dan tergerus oleh sistem kapitalis. Peran negara sangatlah
penting dalam melaksanakan keadilan distributif. Negara melakukan pengaturan secara
merata dalam porsi dan kebutuhan masing-masing, artinya bukan berarti negara pilih
kasih hanya kepada masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi telah menjadi tugas dan
kewajiabannya sebagai amanat konstitusi.
Evaluasi:
1; Kejelasan dalam menyampaikan hasil diskusi tentang nilai-nilai dasar Pancasila
2; Kejelasan dalam mengevaluasi keterkaitan nilai-nilai Pancasila dalam mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan, serta melihat secara kritis praktik yang terjadi
selama ini jika terjadi keterputusan nilai-nilai dasar bagi pendidikan
kewarganegaraan.
Bahan Bacaan:
1; Azra, Azyumardi. Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantang
Global diakses, pada tanggal 28 November 2014 di
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2255
2; Bagus, Lorens, 2005. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
3; Bakhtiar, Amsal, 1997. Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
4; Bakker, Anton, 1992. Ontologi: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan
Yogyakarta: Kanisius.
5; Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, 1999. Etik Global, terj. Ahmad Murtadji
Yogyakartaa: Sisiphus bekerja sama dengan Pustakan Pelajar.
6; Kaelan, 2009. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa, Yogyakarta:
Gramedia.
7; Kartohadiprodjo, Soediman, 1986. Pancasila dan/Undang-Undang Dasar 1945.
Kattsoff, Louis, 2004. Pengantar Filsafat, ter. Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
8; Knitter, Paul, 1995. One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global
Resposibility Maryknoll-New York: Orbis Books.
9; Listiyono Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012, Makalah Konggres Pancasila,
Surabaya: Unair.
10; Lyotard, J. F. 1991. The Postmodern Condition: Report on Knowledge, Geoff
Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press.
11; Magnis-Suseno, Franz, 2005, Etika, Jakarta: Gramedia.
12; _____________________, 1985. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.
13; _____________________, 2000, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.
14; Mahfud, Chairul, 2006. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
15; Montgomery Watt, William, 1996. MuslimChristian Encounters:Perception and
Misperception, terj. Zaimudin. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996.
16; Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1995. Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta: Kanisius.
17; Mulkhan, Munir, 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius.
18; Nasution, Harun. 1991. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
19; Notonagoro, 1975, Pancasila: Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
Nurudin (ed.)., 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger, Yogyakarta: Lkis, 2003.
20; Raimundo Panikkar, 1994. Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo, dkk.
Yogyakarta: Kanisius.
21; The Liang Gie, 1997. Filsafat Keindahan, Yogyakarta: PUBIB. 1997