Anda di halaman 1dari 30

NILAI-NILAI PANCASILA

SEBAGAI ORIENTASI (CORE VALUE)


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAAN
A; PENDAHULUAN
Segala sesuatu pasti mengandung nilai, klaim non-positivisme ini
meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang tidak bebas nilai, begitupun dalam
Pancasila yang syarat dengan nilai. Nilai adalah kualitas yang melekat pada
sesuatu, menurut Notonagoro nilai dapat berupa material dan immaterial. Nilai
material dimaksudkan berupa bentuk konkrit atau nyata, bersifat empiris (yang
dibuktikan berdasar pengalaman inderawi). Sementara nilai immaterial berupa
kualitas yang bersifat abstrak, namun dapat dirasakan. Pancasila sendiri lebih
kuat atau lebih cenderung mengandung nilai yang bersifat immaterial, misalnya
nilai keimanan, nilai kemanusiaan, nilai gotong royong, nilai kekeluargaan, nilai
keadilan dan seterusnya.
Nilai-nilai tersebut harus menjadi orientasi fundamental (rujukan
mendasar) bagi Pendidikan Kewarganegaraan, sebab civic education di negaranegara selain Indonesia, berbeda dengan Pendidikan Kewarganegaraan, atau
pengalaman kebangsaan dengan masyarakat Indonesia. Hal pokok (asl almasalah) yang membedakan dalam pengalaman bernegara dan kebangsaan
adalah Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, Pancasila harus (wajib) menjadi
rujukan nilai bagi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Pancasila harus
menjiwai atau menyinari praktik-praktik berbangsa, praktik berpolitik, menjadi
manusia ekonomi, manusia bersosial dan manusia yang terkait dengan dunia
sekitar

B; ISI POKOK BAHASAN:


1; Pengertian Nilai

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang


umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak
cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi.
Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran. Etika bersangkutan
dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), sementara estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan, seni (Kattsoff, 2004: 319).
Secara etimologis, aksiologi berasal dari kata axiology (Inggris) yang
berakar dari bahasa Yunani axios, artinya layak atau pantas, sementara logos
adalah ilmu, atau studi mengenai sesuatu. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang
kepantasan atau kelayakan (Lorens Bagus, 2005: 33).
Berikut ini beberapa pengertian tentang nilai atau aksiologi:
1; Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah
memberi pengertian tentang nilai, menelaaah ciri atau karakteristik
pada nilai, menelusuri asal-muasal, tipe serta menelaah kreteria
sebuah nilai. Analisis model demikian tidak bisa dilepaskan dari
pendekatan epistemologis.
2; Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai
atau sebuah studi yang menyangkut segala yang bernilai.
3; Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat (ontologis) nilai-nilai
Secara sederhana, nilai adalah kualitas yang melekat pada objek.
Sesuatu atau objek tersebut dapat saja bernilai jika dilihat dari sudut
kegunaannya secara material, ataupun bernilai dari perspektif motivasi atau
kepentingan. Pertanyaannya, adakah suatu objek yang dapat dihargai, dinilai
lebih tinggi dari sebuah kebaikan?. Apakah nilai kemanusiaan dapat dinilai atau
bernilai sesuatu yang tinggi dari materinya itu sendiri. Misalnya, seorang
dermawan menyantuni anak yatim-piatu, apakah yang bernilai itu materi (uang)
yang diberikan, ataukah nilai kebaikan itu sendiri? Untuk menjawab hal ini
dibutuhkan sudut pandang untuk melihatnya, yakni sudut pandang teori tentang
nilai itu sendiri. Manakah nilai yang lebih tinggi, antara nilai material atau

immaterial. Maka, pada prinsipnya, nilaipun berjenjang, dari tahap yang paling
sederhana hingga hal yang paling kompleks.
Beberapa persoalan mendasar yang menyangkut mengenai nilai;
Pertama, sudut pandang pertama ini melihat sebuah nilai itu mempunyai hakikat
subyektif. Nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku (subjek). Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme,
analisis linguistik dalam etika), menganggap nilai sebagai sebuah fenomen
kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis,
sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Hal ini berarti unsur-unsur
subjektivitas manusia mempengaruh cara seseorang melihat sebuah realitas.
Kedua, nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui
akal. Pandangan yang menekankan pada penalaran akal budi ini melihat nilai
ada dalam analisis logos semata, tanpa tergantung ruang dan waktu, hingga
kesejarahan yang meliputinya; Ketiga, nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan; dalam bahasa Husserl, biarlah obyek yang berbicara
kepada subyek, ini dimaksudkan nilai sesungguhnya terkandung dalam obyek
itu sendiri yang ditampakkan kepada subyek sehingga subyek dapat
menampilkannya di permukaan. Subyek diam, pasif, sementara obyeklah yang
bersifat (Lorens Bagus, 2005: 34).
Dari beberapa definisi dan persoalan pokok tentang aksiologi atau nilai
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah ilmu untuk
mempelajari hakikat nilai, struktur nilai hingga karakteristiknya. Dengan
demikian, dalam memahami hakikat nilai itu sangat terkait dengan ontologi dan
epistemology.
Dalam pandangan Max Scheler, terdapat empat jenis value pada
kehidupan manusia. Pertama, nilai sensual, nilai ada nampak dalam tampilan
seperti menyenangkan, bersifat pencitraan. Kedua, nilai hidup, seperti
keagungan, kemuliaan dan kesahajaan. Ketiga, nilai kejiwaan atau kerokhanian,
seperti nilai estetis (keindahan), nilai benar-salah (moral), dan nilai intrinsik
dalam ilmu pengetahuan. Keempat, nilai religius, seperti yang suci, sakral, nilai
yang terkait dengan keilahian atau pengalaman keagamaan.
Dalam konteks pembedaan atas nilai yang bersifat subjektif dan objektif,
penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a; Nilai Subjektif

Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin
dapat bersifat subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan
keindahan. Nilai subyektif terdiri dari:
1). Nilai Moral
Secara prinsipil, istilah moral dan etika mengandung perbedaan makna
mendasar. Moral mempunyai makna suatu perbuatan baik atau buruk yang
dilakukan seseorang, sementara etika memberikan pendasaran filosofis atas
tindakan moral tersebut. Moral mendorong untuk berbuat baik dan memberikan
penilaian, sementara etika tidak berpretensi menilai perbuatan itu benar atau salah,
etika hanya memberi landasan filosofis mengapa perbuatan itu dilakukan. Dalam
perspektif moral, sebuah tindakan moral dapat bersumber dari agama, kearifan
masyarakat setempat, ataupun dari nenek moyang masyarakat kita.
Ajaran Moral, atau ajaran, wejangan, khotbah, kumpulan peraturan dan
ketetapan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia baik. Sumber langsung dari ajaran moral adalah: kedudukan/kewenangan,
misal orang tua, guru, pemuka masyarakat/agamawan dan tulisan bijak. Sementara,
sumber dasar dari ajaran tersebut adalah agama, tradisi, adat-istiadat, ideologi
tertentu.
Berikut ini ciri-ciri kekhususan moral: 1). Norma moral langsung berkaitan
dengan inti karakter manusia. Karakter menyangkut inti, kekhasan manusia yang
muncul dari dalam. Maka pembahasan mengenai moral sangat terkait dengan
karakter pada diri seseorang. 2). Norma moral menjadi norma yang menegaskan
kewajiban dasar manusia dalam bentuk perintah atau larangan. Jadi ia berfungsi
sebagai imperatif kategoris. 3). Norma moral berlaku umum. Artinya, berlaku bagi
siapa saja, kapan saja dan di mana saja dan dalam situasi apapun. Dasar dari
universalitas itu adalah objektivitas dan pertanggungjawaban rasional. 4). Norma
moral berkaitan dengan hati nurani, hati nurani adalah institusi tertinggi dari
manusia dalam menetapkan sebuah perilaku yang baik (K. Bertens, 2007).
2). Nilai Sosial

Dalam kehidupan sosial, hubungan-hubungan yang menyangkut antar


manusia tidak hanya bernilai material semata, misalnya menyangkut hubungan
dalam konteks bisnis, hubungan dalam konteks profesional dan lain-lain, akan
tetapi juga mengandung nilai sosial yang mengandung nilai kemanusiaan. Dalam
konteks Indonesia, nilai-nilai yang mampu mempererat dalam masyarakat
tercermin dalam nilai kekeluargaan, nilai fundamental ini mampu merekatkan
hubungan yang memahami bahwa dalam konteks masyarakat yang lebih luas bisa
disebut kekeluargaan. Ruh progresif untuk terus saling membantu serta adanya
perasaan simpati dan empati jika terdapat musibah yang menimpa anggota
masyarakat lain memperkuat kerekatan sosial.
Nilai-nilai sosial-budaya dalam masyarakat, khususnya Indonesia sebetulnya
amat banyak, misalnya nilai gotong royong, nilai yang terkandung dalam ale rasa
beta rasa, dan seterusnya. Nilai-nilai tersebut mendapat tantangan yang besar di era
global dan modernitas. Sangatlah mungkin nilai tersebut tidak banyak bertahan
akibat pengaruh kemodernan yang menggiring pada pola hidup yang bertentangan
dengan nilai-nilai sosial tersebut.
Dalam kondisi tarik-menarik antara nilai sosial yang berangkat dari kearifan
lokal dan nilai yang lahir dari peradaban modern, dibutuhkan tangan-tangan kreatif
untuk mengintegrasikannya. Mempertahankan nilai sosial yang lama, bukan berarti
harus bersikap konservatif, sementara mengambil nilai sosial yang baru untuk
diintegrasikan dengan nilai sosial yang lama bukan tanpa harus bersikap imitatif.
Integrasi kedua nilai sosial-budaya tersebut mampu memunculkan nilai sosial baru.
3). Nilai Estetika
Nilai estetika menggambarkan keindahan dari suatu bentu kesenian atau
karya seni. Istilah 'seni' menunjukkan hal-hal yang mengungkapkan
keindahan yang mengemukakan suatu teori estetika. Kaum seniman
berpendapat bahwa seni merupakan bahasan perasaan. Dapat dipahami di
sini bahwa estetika merupakan suatu teori yang meliputi: (1) penyelidikan
mengenai yang-indah, dan (2) penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang
mendasari seni. Maka kiranya dalam hal ini disimak satu segi teori estetika

yang lain, yaitu (3) pengalaman yang bertalian dengan seni, masalah
penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni
(Kattsoff, 2004: 378).
Pengalaman estetis merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Ia lahir
berdasarkan pengamatan inderawi yang membawa seluruh diri manusia dalam
pengamatannya. Misalnya dalam mengamati keindahan alam dan keindahan karya
seni (Muji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1995: 14). Keindahan estetis murni yang
menyangkut pengalaman estetis seseorang dengan segala sesuatu yang diserapnya,
baik secara visual, audial, maupun intelektual. Pencerapan tidak semata-mata
terjadi dengan melihat atau membaca kata-kata dan mendengar irama yang selaras
dari sajak itu, melainkan terutama memahami dengan kecerdasan makna yang
terkandung di dalamnya (The Liang Gie, 1997: 18).
Sementara tentang keindahan, para pemikir Barat juga berbeda pendapat.
Setidaknya terdapat dua pandangan yang cukup representatif untuk dikemukakan
dalam pembahasan ini. Pertama, keindahan diartikan sebagai rasa nikmat yang
diobjektivasikan. Menurut Santayana, keindahan tergantung pada pencerapan
manusia terhadap obyek, meskipun belum tentu obyek itu indah. Perasaan indah itu
ditandai dengan adanya perasaan nikmat. Kedua, keindahan sebagai obyek
tangkapan akali. Gagasan ini diwakili oleh Thomas Aquinas dan Jacques Maritain.
Menurutnya, keindahan adalah suatu obyek yang dapat menimbulkan kesenangan
pada akal. Obyek itu sendiri indah karena ia memiliki unsur-unsur seimbang, tertib
dan sempurna (Kattsoff, 2004: 389-392).
4). Nilai Spiritual
Sebagai makhluk Tuhan, secara fitrah manusia terus menerus
berusaha untuk menemukan jalan spritualnya. Dalam proses
pengembaraan menuju Tuhan, manusia mengalami berbagai pengalaman
religiusitas. Nabi Ibrahim menunjukkan betapa dalam menemukan Tuhan
menemukan jalan berliku dan berat. Perenungan dan sikap kritis yang
ditunjukkan Nabi Ibrahim dalam mengarungi keberadaan Tuhan berangkat
dari alam sekitar yang akhirnya menemukan Tuhan. Begitu pula dengan

berbagai pengalaman spiritualitas yang dialami para pemuka agamaagama dunia, sebut saja Nabi Musa, Nabi Isa (Jesus), Nabi Muhammad,
Sidharta Gautama, dan seterusnya.
Jalan lain yang akan ditelusuri dari beberapa petunjuk dalam pembuktian
ontologis merefleksikan apakah mungkin manusia mengerti istilah seperti sesuatu
yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya kalau ia tidak
mempunyai semacam pengalaman, semacam kesadaran akan sesuatu itu. Jalan ini
tidak objektif dalam arti sebuah deduksi, jadi sesuatu yang belum dipastikan ada
(Tuhan) mau dideduksikan dari sesuatu yang ada (kenyataan di dunia), melainkan
jalan ini bersifat transendental. Jalan ini sebenarnya mau menguraikan sesuatu yang
sebenarnya termuat dalam kesadaran manusia, tetapi biasanya tidak diperhatikan.
Dengan kata lain, sebenarnya kita akan mengatakan bahwa sebenarnya manusia
mempunyai suatu pengalaman tentang Tuhan. Tuhan, bukanlah sama sekali sesuatu
yang asing, pengalaman itu bukan objektif karena Tuhan tidak muncul sebagai
suatu objek. Melainkan pengalaman itu transcendental, bahwa di dalam segala
kegiatan kita selalu sudah bersentuhan dengan Tuhan. Tuhan itu muncul sebagai
syarat kemungkinan bahwa manusia dapat mengetahui, menghendaki, menghayati
makna dan menyadari hati nurani (Magnis Suseno, 2005: 151).
Akan tetapi penunjukan yang transendental ini bukan sebuah pembuktian,
pengalaman seacam ini tidak pernah dapat dibuktikan, dideduksikan. Pengalaman
ini bukan tentang suatu obyek yang bisa ditunjuk. Pengalaman transendental ini
secara hakiki terlibat dalam pengalaman sebuah objek (terbatas). Di dalam
pengalaman tentang yang terbatas selalu sudah ada pengalaman tentang yang tak
terbatas. Maka, orang tidak dapat seakan-akan dipaksa untuk mengakuinya. Apabila
ada orang menyangkal bahwa kesadaran akan Yang-Tak-Terhingga itu tersangkut
dalam pengalamannya, tak ada cara untuk memaksanya. Paling-paling kita dapat
mengajaknya untuk memperhatikan kesadarannya dengan lebih tajam. Barangkali
ini lebih dekat dengan fenomenologi, ia menunjuk, bukan membuktikan. Apabila
orang tidak melihat apa yang ia tunjuk, tak ada cara membuktikan apa yang mau
ditunjukkan. Sebab kesadaran akan Tuhan bersifat implisit, terlibat dalam apa yang
secara eksplisit, secara obyektif, disadari. Pada umumnya, manusia hanya tersedot

perhatiannya pada obyek kasadaran sehingga apa yang terlibat dalam proses
penyadaran luput dari perhatian (Magnis Suseno, 2005: 152).
b; Nilai Objektif
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus dinyatakan diri dalam bentuk
yang lebih nyata dan riil. Bentuk nyata inilah yang sering disebut dengan kebudayaan
objektif. Di dalam proses pertukaran tersebut terjadi dialog antara manusia dengan
lingkunan sosial dan alam. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin merupakan
landasan terhadap perkembangan batin lebih lanjut, terus-menerus dalam sarana yang
semakin kompleks.
1). Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi merupakan bentuk perwujudan nilai yang menyangkut materi
atau bentuk fisik yang bisa memberi manfaat pada subjek yang mengamati suatu
objek. Misalnya, kesehatan, kenyaman, dan perlindungan fisik (Rescher, 1969: 16).
Bakker (2005: 17) mengutip pendapat S. Thomas bahwa dalam segala
kegiatan manusia mengarah ke karya budi sebagai tujuan. Agar akal budi berfungsi
sempurna, maka dibutuhkan keutuhan dan kesehatan badan yang diusahakan oleh
teknik-teknik yang menyediakan keperluan-keperluan kehidupan. Jadi jelaslah
bahwa dalam perspektif ini bagaimana segala tugas dan kewajiban manusia
digerakkan untuk memungkinkan perkembangan daya budi.
Evaluasi nilai dilihat dari sifat keuntungan dalam segi ekonomi yang
didapatkan dari objek adalah ciri utama dari kategori nilai ekonomi. Nilai ekonomi
ada karena penilaian terhadap objek yang bisa memberi keuntungan dalam hal
ekonomi bagi subjeknya (Rescher, 1969: 16).
2). Nilai Hiburan
Nilai penting lain yang dimaksudkan dalam hal ini adalah nilai hiburan.
Fungsi hiburan merupakan sistem sosial-budaya hadir ditengah-tengah kehidupan
sebagai suatu hal yang mempunyai arti dan maksud tertentu. Salah satu maksud dan
tujuannya sebagai aktualisasi pikiran dan jiwa manusia. Selain dapat digunakan

untuk memuaskan kebutuhan batin manusia akan hiburan, keberadaan suatu bentuk
kesenian tidak terlepas dari dukungan masyarakat sebagai makhluk sosial yang
menggunakan kesenian sebagai sarana kegiatan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
3). Nilai Lingkungan
Nilai lingkungan memuat hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta.
Dalam nilai lingkungan, manusia diajarkan untuk menjaga lingkungan sekitarnya
tidak hanya dalam cakupan khusus seperti lingkungan individu atau rumah tangga,
namun juga memuat hubungan manusia dengan seluruh alam yang menyokongnya.
Habitat atau alam fisik sekitar mempunyai pengaruh besar pada proses
kebudayaan. Manusia tidak dapat mempertahankan diri di hadapan alam sekitarnya
selain dengan menjawab tantangannya. Hal tersebut terutama berlaku untuk alam
sekitar yang dahsyat. Di sana habitat merupakan faktor yang menentukan, tetapi
kurang atau lebih habitat ikut serta membina kebudayaan. Habitat menandakan
keadaan alami dari eksistensi manusia, ciri-ciri fisik dari lingkungan yang didiami
oleh sekelompok manusia; sumber-sumber alam, keadaan, ketinggian, dan ciri-ciri
geografi lainnya bagi mereka untuk bisa menyesuaikan dirinya (Bakker, 2005: 64).
2; Nilai-nilai Ketuhanan
a; Pengalaman Kebertuhanan
Kepercayaan kepada "yang adikodrati", Tuhan dan pengalaman
religiusitas merupakan gambaran khas semua agama, aliran kepercayaan,
bahkan aliran kebatinan. Kendati demikian, kepercayaan kepada Tuhan
berada dalam banyak perwujudan yang berbeda-beda. Perbedaan
manifestasi ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah
faktor pengetahuan, kondisi sosial-budaya atau bahkan ekonomi. Tetapi lebih
dari itu, yang perlu digaris bawahi disini bahwa persoalan kepercayaan
merupakan persoalan yang sangat terkait dengan pengalaman
intersubyektivitas. Kepercayaan kepada yang ghaib tersebut melahirkan
suatu tata nilai yang berguna untuk menopang keberlangsungan kehidupan
manusia sendiri. Tata nilai tersebut selanjutnya melembaga dalam suatu
tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun lalu mengikat anggota

masyarakat yang mendukungnya. Dengan demikian, terdapat hubungan


yang cukup erat antara kepercayaan, nilai dan tradisi.
Perkembangan pemikiran manusia berjalan ke arah pada kemajuan
(progress). Tanpa bermaksud untuk mengeneralisir secara keseluruhan di era modern
ini, bahwa tentu masih saja ada sekelompok orang yang masih mempercayai adanya
kekuatan dalam benda, ruh hingga dewa. Keyakinan tentang Tuhan yang dulu
berkutat pada wilayah benda, ruh hingga menjadi dewa bergeser ke arah paradigma
tentang Tuhan yang lebih rasional. Konsep-konsep ketuhanan yang selama ini
dipercaya terbukti tidak bisa diterima akal dan tidak bisa dibuktikan secara metafisik.
Akhirnya, kepercayaan manusia bergeser ke arah pada satu Tuhan (monoteisme).
Monoteisme sendiri dapat berbentuk deisme atau teisme. Deisme berasal dari
kata latin dues yang berarti Tuhan. Menurut paham deisme Tuhan berada jauh diluar
alam (transenden), dengan kata lain Ia tidak berada dalam alam (immanen). Setelah
Tuhan menciptakan alam, Ia tidak memperhatikannya lagi. Alam berjalan di atas
hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya sendiri dan tidak berubah-ubah.
Konsekwensinya, paham ini tidak lagi percaya terhadap mukjizat, sebab
bertentangan dengan hukum alam. Demikian halnya dengan wahyu dan doa, dalam
paham deisme keduanya tidak lagi diperlukan, sebab Tuhan telah memberi manusia
akal. Melalui akal, manusia sudah bisa membedakan yang benar dan salah serta tidak
bertentangan dengan wahyu, karenanya akal menjadi potensi yang cukup memadahi
untuk memenuhi kehendak Allah (Harun Nasution, 1991:36).
Penganut paham deisme sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi
melalui kekuatan supranatural. Secara garis besar, paham ini terbagi menjadi empat:
1; Tuhan tidak terlibat dalam proses pengaturan alam. Dia menciptakan alam
dan memprogram perjalanannya, akan tetapi Dia tidak menghiraukan apa
yang akan terjadi ataupun apa yang telah terjadi.
2; Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di alam,
akan tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki
kebebasan untuk berbuat baik atau buruk, semuanya bukan menjadi urusan
Tuhan.
3; Tuhan mengatur alam sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia.
Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus tunduk

pada hukum moral yang telah ditetapkan di jagad raya ini. Bagaimanapun,
manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka
babak terakhir kehidupannya ditutup.
4; Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hukumhukum moral yang berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat bahwa
ada kehidupan sesudah mati. Seseorang yang berbuat baik akan mendapat
pahala dan yang berbuat jahat akan mendapat hukuman.
Salah satu aspek positif dari paham deisme adalah akal mendapat porsi yang
lebih besar dalam memahami realitas kehidupan ini, begitu juga realitas ketuhanan
(agama). Peranan akal yang sangat dominan ini dapat memberikan sumbangsih pada
upaya melakukan telaah kritis atas pemahaman-pemahaman keagaman yang
cenderung bersifat dogmatis. Implikasi yang besar pada paham ini adalah
menempatkan tata aturan alam ini berjalan harmonis di atas hukum alam yang telah
ditetapkan Tuhan. Meskipun begitu, pengakuan akan adanya Tuhan sebagai pengatur
yang maha sempurna jelas tergambar dalam konsep ketuhanan dalam paham ini.
Selain itu terdapat juga paham panteisme. Paham ini terdiri atas tiga kata,
yaitu pan, yang berarti seluruh, theo, berarti Tuhan, dan ism (isme), yang berarti
paham. Jadi, panteisme adalah paham yang meyakini bahwa seluruh alam ini adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam (Amsal Bahtiar, 1997: 89-93). Seluruh alam
kosmos ini adalah Tuhan, semua yang ada dalam keseluruhannya adalah Tuhan dan
Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat
ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari Tuhan.
Karena Tuhan adalah kosmos dalam keseluruhannya dan karena benda-benda
adalah bagian dari Tuhan, maka Tuhan dalam panteisme adalah immanen, yaitu
berada dalam alam ini, bukan di luar seperti yang diyakini oleh paham deisme.
Karena seluruh kosmos ini adalah satu, maka Tuhan dalam aliran panteisme juga
satu, hanya saja Tuhan menurut panteisme memiliki bagian-bagian. Dalam
panteisme, Yang Maha Besar itu hanya satu, dan tidak berubah. Hanya alam panca
indera saja yang berubah yang merupakan bagian dari Tuhan dan semua itu adalah
ilusi belaka (Harun Nasution, 1991: 37). Mengenai persoalan mukjizat, kalangan
panteisme menyebut sebagai hal yang mustahil terjadi karena semua mahluk adalah

Tuhan dan Tuhan adalah semua. Jika mukjizat diartikan sebagai peristiwa yang
menyalahi hukum alam, maka hal tersebut tidak berlaku dalam panteisme sebab
Tuhan sangat identik dengan alam. Karena itu tidak ada suatu kekuatan apapun yang
berasal dari luar yang dapat mengganggu tatanan yang sudah ada.
Paham lain yang berpandangan bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi
sepaham dengan panteisme adalah teisme. Menurut teisme, Tuhan memang berada di
luar alam akan tetapi juga dekat dengan alam. Berbeda dengan deisme, teisme
menyatakan bahwa alam setelah diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berhajat kepadaNya, tetapi tetap berhajat kepada-Nya. Tuhan merupakan Sebab bagi yang ada di
alam ini. Segalanya bersandar pada Sebab ini. Tuhan adalah dasar dari semua yang
ada, dan yang terjadi dalam alam ini. Kosmos ini tidak bisa berwujud dan berdiri
sendiri tanpa Tuhan. Tuhanlah yang terus menerus secara langsung mengatur alam
ini. Dalam teisme alam ini tidak bergerak dan beredar menurut hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang tidak berubah, akan tetapi bergerak dan beredar berdasar
kehendak mutlak Tuhan.
Pengalaman akan keber-Tuhan-an di Indonesia digambarkan oleh Magnis
Suseno bersifat ekstrovet, yakni sikap terhadap dunia luar yang alami dengan
kesatuan numinus (pengalaman spiritual) antara alam, masyarakat dan alam adi
kodrati. Pengalaman ini terejawantah dalam berbagai ritus, tanpa refleksi eksplisit
terhadap dimensi batin sendiri. Kesatuan masyarakat, alam dan alam adi kodrati
sebetulnya terungkap dari kepercayaan bahwa setiap kejadian yang bersifat empiris
selalu berkaitan dengan hal yang adi kodrati atau metaempiris. Kesatuan masyarakat,
alam dan adikodrati ini diwujudkan dengan sikap hormat pada nenek moyang,
melakukan ritual sesaji, slametan dan berbagai ritus lainnya. Karena setiap kejadian
di alam empiris ini selalu terkait dengan alam adi kodrati, maka sesorang dalam
perilakunya harus memperhatikan dan melakukan ritus-ritus tersebut sebagai upaya
untuk menyelamatkan dirinya dari berbagai kejadian yang tidak diinginkan (Magnis
Suseno, 1985: 82-83).
Keyakinan religiusitas berikutnya, bahwa hidup manusia telah ditentukan
oleh Tuhan sangat mewarnai perilaku masyarakat Indonesia. Masyarakat kita tidak
bisa mengelak dari ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya. Kelahiran,

kematian, jodoh, nasib, adalah bentuk-bentuk takdir yang tidak bisa di lawan.
Masyarakat harus menjalankan kehidupannya sesuai dengan tingkat dan
kedudukannya karena ia tak akan mampu mengubah takdirnya secara definitif. Oleh
karena itu orang harus bisa mengerti dan memahaminya agar dapat menjalani
kehidupan ini dengan selaras dan seimbang (Magnis Suseno, 1985: 82-83)
Pengalaman keagamaan yang cukup ekstrim bagi sebagian masyarakat
Indonesia adalah pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan
numinus. Meskipun tujuan akhir dari lelaku spiritual ini adalah penyatuan hamba
dengan Tuhan, namun penekannya tidak terletak pada pengalaman transendensi itu
sendiri. Penekananya justru terletak pada unsur-unsur itu sendiri, yakni teori dan
keyakinan. Sebab unsur ini menjadi sarana yang ampuh untuk membulatkan
kekuasaan eksistensinya sendiri (Magnis Suseno, 1985: 82-83).
Sebagai etika politik (teodemokrasi) dan landasan moral penyelenggaraan
negara; Kekuasaan dipahami bukan yang bersifat empiris semata, tetapi merupakan
pemberian nur ilahi (Tuhan). Seseorang yang akan menerima kekuasaan akan
terlebih dahulu menerima pulung, atau ketiban wahyu. Kekuasaan juga dipahami
sebagai bentuk pengejewantahan kekuatan kosmos. Pemusatan kekuatan kosmos
dalam diri penguasa dicari melalui jalan tapa brata, lelana, tanpa pamrih dan
seterusnya. Kekuasan akan dikatakan berhasil apabila sang raja mampu memberi
ketentraman dan ketenangan pada rakyatnya. Sebaliknya, jika kekacauan telah terjadi
hal ini berarti bahwa sang raja sudah tak lagi menjalankan laku spiritual, atau sang
raja telah melakukan pamrih dan mengumbar nafsu-nafusnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Jawa sangat terkait dengan moralitas,
moralitas ini bertumpu dari pengendalian nafsu. Jika tidak mampu mengendalikan
maka secara alamiah yang akan melunturkan kekuataan kosmis atau pemberian
wahyu (pulung) yang telah dipercayakan kepadanya selama ini (Magnis Suseno,
1991: 82-83).
b; Dialog antar agama dalam kebhinekaan keyakinan
Nilai pragmatisme dalam penyatuan hamba dengan Tuhan, sebagai gambaran
pengalaman religiusitas tersebut berakibat pada pandangan bahwa agama apapun

yang dianut tidaklah begitu penting, akan tetapi justru yang terpenting adalah apakah
pengalaman itu cocok dan dan bermakna dalam kehidupannya. Sebuah pengalaman
spiritual yang menentramkan jalan hidupnya yang menjadi esensi mendasar dari pola
keberagamaan masyarakat Indonesia (Jawa khususnya). Sikap yang lebih
mementingkan nilai pragmatisme ini juga sebetulnya mempunyai nilai positif bagi
upaya membangun masyarakat yang harmonis, tanpa tersekat oleh bentuk-bentuk
formal agama (Magnis Suseno, 1985: 82-83).
Konsep dasar inilah yang membuat Bung Karno menekankan akan pentingnya
Ketuhanan yang Berkebudayaan (Soekarno), menekankan nilai toleran; hormat,
kerjasama dan seterusnya. Beragai ragam agama di Indonesia menjadikan kita harus
legawa untuk menerima perbedaan itu. Jika tidak, masihkah keimanan kita terpasung
oleh dikotomi nalar kafir dan muslim, darul harb dan darul salam? Jika Tuhan saja
tidak memaksa manusia untuk menjadi satu komunitas, kenapa pengakuan
keragaman begitu sulit kita hadirkan dalam pengalaman keagamaan kita. Saatnya,
kita melakukan kesalehan kultural untuk mengatasi keragaman ini. Kesalehan
multikultural ini sebagai cara pandang yang dapat diterima jika kesalehan dan
keimanan diletakkan sebagai praktis dari etika dan kemanusiaan (Munir Mulkhan,
2007: 69). Dengan demikian, dialog antar iman pun akan bisa lepas dari belenggu
keimanan sempit yang bersifat eksklusif.
Dalam konteks keberagaman yang plural, maka prinsip-prinsip kebebasan
beragama harus ditekankan. Dalam keyakinan keagamaan, keyakinan kepada Tuhan
itu sendiri merupakan rahmat bagi manusia dari Tuhan, karenanya Tuhan mengakui
hak manusia sendiri dalam menentukan jalan hidupnya. Meski demikian, setiap
pilihan keyakinan dan praksisnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia.
Dengan pengertian semacam ini dapat digarisbawahi bahwa pluralisme agama harus
dipahami sebagai suatu pertemuaan sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan
keadaban (bond of civility).
Dalam pemahan yang memang plural di bidang agama, maka yang penting
sekali untuk ditekankan adalah dialog atau musyawarah itu sendiri. Sayangnya,
dialog yang beberapa tahun terakhir ini banyak dilakukan oleh masyarakat agama
masih terbentur pada apa yang oleh Paul Knitter disebut "toleransi yang malas" (lazy

tolerance). Artinya, dalam toleransi semacam ini, setiap agama mengajak agama lain
untuk mengakui kabsahan masing-masing mengambil jalan yang memuaskan mereka
sendiri. Untuk menciptakan atmosfir yang memungkinkan kedua komunitas agama
untuk menahan diri dari saling menuduh yang lain sebagai tidak toleran, keduanya
berharap dengan tantangan konsep toleransi agama yang sesungguhnya. Tanpa harus
mengorbankan prinsip-prinsip agama yang mendasar, kedua komunitas harus
memiliki niat baik untuk saling mendengar satu sama lain. Jika keduanya tidak siap
dan bersedia untuk bertemu dengan agama lain dengan sikap pengertian dan hormat,
maka "toleransi yang malas" itu tidak akan berubah, kecuali justru menjadi semakin
parah (Paul Knitter, 1995: 26-27).
Dalam konteks ini, diperlukan sebuah paradigma baru yang tidak eksklusif
dalam dialog. Paradigma dialog yang inklusif ini dirumuskan oleh Wilfred Cantwell
Smith sebagai pergeseran orientasi dialog kearah saling menghormati, memahami
dan membantu satu sama lain dan bersama-sama bertujuan menciptakan
menciptakan dunia yang dapat diterima. Dengan demikian, misi dialog adalah untuk
bekerja sama dengan seluruh umat manusia, bukan mengisolasi diri (Wifred
Cantwell Smith, 1979: 57-68). Menurut Hans Kung, dialog adalah bukan sekedar koeksistensi, yaitu dalam pengertian dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap
bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi, tetapi pada pro-eksistensi, yaitu
mengakui sekaligus mengafirmasi dan mendukung eksistensi agama selama ia
bertujuan untuk kepentingan manusia secara umum (Hans Kung dan Karl-Josep,
1999: 32).
Lebih jauh, Raimundo Panikkar menyebutkan bahwa dialog harus melangkah
lebih jauh pada tingkatan intrarelegius, yaitu dialog yang tidak hanya menuntut suatu
sikap inklusif dan paralelisme. Yaitu suatu sikap yang mengakui bahwa agama
merupakan jalan-jalan yang sejajar. Maka secara etis, dialog tidak dimaksudkan
untuk mencampuri urusan dan ajaran agama lain, juga tidak mau dinobatkan orang
lain dari keyakinannya yang dianut, melainkan untuk memperdalam tradisi agama
sendiri secara lebih kritis.
c;

Etnis, Agama dan Nasionalisme

Nasionalisme kultural yang mengalami kebangkitan setelah perang


dunia II ternyata dibarengi dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan
sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme
politik yang amat kental. Menurut Azyumardi Azra, mengutip pendapat Nodia,
nasionalisme itu ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama
adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa
elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik.
Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam
etnisitas. Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan negaranegara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir
Kosovo. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen
etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat
keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat
chauvinisme dan fascis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia (Azyumardi
Azra, 2014).
Dalam buku, Global Paradox (1994), John Naisbitt secara tersirat
menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai new tribalism".
Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak
kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ethnic
cleansing' di wilayah bekas Yugoslavia. Hal ini merupakan kecenderungan
yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The
Economist, yang menyatakan bahwa "virus tribalisme . . . mengandung risiko
menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi
tiba tiba membara untuk menghancurkan berbagai negara." Naisbitt
memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan
bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik
(Azyumardi Azra, 2014).
Teori tentang tribalisme baru' sesungguhnya tidaklah terlalu baru.
Konsep tentang tribalisme baru' ini pertama kali dikembangkan Greely dan
Novak dengan sebutan new ethnicity'. Keduanya berargumen, sejak 1970-

an di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran


etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan
maknanya. Namun, berbeda dengan tribalisme baru' kontemporer yang
disebut Naisbitt, Novak melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau
tribalisme baru itu, yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang
dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai
kelompok etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural
kelompok etnis sendiri (Azyumardi Azra, 2014).
Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan
pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau
tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan
tribalisme baru' yang relatif modern' seperti terjadi di Amerika Serikat atau
tribalisme baru primitif' di bekas Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan
historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara
(Azyumardi Azra, 2014).
Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya
dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks.
Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman
historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas
Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis mau pun agama. Peta
etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi
kawasan ini. Indonesia dihuni kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar
yang, selain mempunyai kesamaan kesamaan fisik-biologis, juga memiliki
perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.
Meskipun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia
umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat sepenuhnya mengalami
kristalisasi menjadi dasar nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang
menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang
terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang
pengalaman kesejarahan yang sama. Pengalaman Indonesia menunjukkan

bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam


pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung
kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah
contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang
berusaha mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis--vis apa yang
disebutnya sebagai kolonialisme Jawa'. Ternyata tema "etnisitas" seperti ini
tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan kultural dari kelompokkelompok etnis lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi
sentimen lain yang menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan
mengangkat nasionalisme Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai
"Sumatera Merdeka". Ini jelas sudah keluar dari etnisitas dalam pengertian
sesungguhnya. Bisa dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang
menganggap serius tema ini (Azyumardi Azra, 2014).
Azyumardi sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang pahit
bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru menjadi lebih
agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif, jinak, bahkan
menolak kaitannya dengan agama. Agama dipandang tidak hanya sekadar
kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat,
misalnya, dari pandangan Fukuyama yang menganggap agama hanya
menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme (Azyumardi Azra,
2014).
Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia
dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di
atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama
benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya protonasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan
sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan
perang agama. Anggapan ini juga mungkin benar dalam hubungannya
dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam
kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih
toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan

berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme (Azyumardi Azra,


2014).
Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi
divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama
yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi "supra-identity" dan fokus
kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan
demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya
menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan
dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan
menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa
Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua
franca berbagai kelompok etnis di Indonesia (Azyumardi Azra, 2014).
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat
kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini,
penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafirmerupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan
Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada
tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi
sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad
al-Palimbani (1704-1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim
surat-surat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan
jihad melawan Belanda (Azyumardi Azra, 2014), atau resolusi Jihad
dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asyari sehingga melahirkan pertempuran pada
10 November 1945.
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi
unsur genuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang
sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan
loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan
Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan,
sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan
masyarakat Cina Hindia Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok. Walau
pun SI pada esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi-dari
gagasan Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu

menjadi organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah (Azyumardi


Azra, 2014).

d; Agama dan Pembangunan (Industrialisasi)


Gencarnya arus modernitas dan kapitalisme global serta semakin pesatnya
gelombang industrialisasi yang juga berimbas pada wilayah keagamaan di tanah air
cukup membuat resah kaum agamawan dan pengikutnya. Baik disadari atau tidak,
arus industrialisasi telah membuat religiusitas dan kesadaran ilahiyah
termaterialisasi. Bentuk-bentuk ritual keagamaan Meksi kadang tidak bisa dinalar,
bagaimana mungkin terjadi demikian?. Kondisi ini terjadi akibat paradigma kita
tentang agama dan pengamalannya terkontaminasi oleh kuatnya hegemoni nalar
tekstual dalam beragama, akibatnya nilai-nilai yang luhur dalam beragama nyaris
musnah digerus oleh kuatnya industrialisasi dan sekaligus penguburnya dari dalam.
Kesadaran agama baru ini kiranya akan mampu menggesar paradigma keagamaan
yang formalistik, melalui kesadaran peradaban yang sintesis dan mistik antara
peradaban material dan spiritual sebagai bagian integral kesadaran kemanusiaan
masyarakat industrial. Inilah bentuk kesalehan industrial (Munir Mulkhan, 2007: 58).
Sebagai bentuk respon terhadap hegemoni modernitas dan industrialisasi,
konteks keberagamaan kita juga dihadapkan pada kearifan lokal. Pengalaman unik
keagamaan justru menjadi bagian dari multi kesadaran ilahiyah dan multikultur tanpa
bisa diseragamkan dalam satu ideologi. Pembelajaran agama berbasis kearifan lokal.
Dihadapkan budaya global, muncul berbagai bentuk agama baru yang saintifik.
Agama baru yang sama sekali bebeda dari tradisi ritual, kesadaran kosmos dan
teologi agama-agama besar dunia yang pernah ada. Sayangnya, elit-elit agama masih
terperangkap pada tafsir klasik yang bersifat ideologis. Kemunculan agama baru ini
dapat dihadang melalui kehadiran Tuhan dalam wajah yang baru dalam tafsir
ajaran-ajarannya yang bersifat obyektif dan kemanusiaan (Munir Mulkhan, 2007:
129).
Dalam konteks pembangunan bangsa yang selalu dikonotasikan oleh negara
sebagai pembangunan fisik, maka peran agama dalam konteks ini sebagai fungsi
kontrol. Penghambaan agama atas kekuasaan di saat kekuasaan menyeleweng justru

mereduksi agama yang mempunyai jiwa pembebas. Ingat, semua agama yang
diturunkan di mukan bumi mempunyai fungsi pembebasan, pembebas dari
ketidakadilan structural oleh rezim atau penguasa di masa itu, ataupun sebagai
pembebasan manusia dari suatu bentuk penghambaan pada materi semata. Di sisi
lain, agama juga sangat mungkin diperankan sebagai etos untuk pembangunan itu
sendiri. Etos, spirit atau ruh untuk membangun secara berkeadilan, baik
pembangunan manusia secara utuh, maupun pembangunan dalam bentuk yang lain.
Inilah sebuah gerakan agama non-ideologis yang kultural, disebut demikian karena
gerakan agama ini menekankan pada idea moral agama itu sendiri, bukan agama
dalam bentuk formal, apalagi ritual yang ditampakkan.

3; Nilai Kemanusiaan Indonesia


Inti pokok sila kedua adalah manusia, kata manusia merupakan akar kata
kemanusiaan, manusia merupakan subjek pendukung utama. Manusia adalah subjek
pendukung pokok negara. Oleh karena itu, manusia sebagai atau menjadi subjek
pendukung sila-sila dalam Pancasila. Pancasila menjadi dasar filsafat dan asas
kerokhanian bangsa dan negara Indonesia, karena bangsa sebagai rakyat adalah terdiri
atas manusia-manusia.
Unsur hakikat manusia adalah sebagai berikut:
1; Susunan Kodrat manusia terdiri atas:
a; Raga yang terdiri atas, unsur benda mati, unsur binatang dan unsur
tumbuhan
b; Jiwa yang terdiri atas unsur akal, rasa dan kehendak
2; Sifat-sifat kodrat manusia terdiri atas:
a; Makhluk individu
b; Makhluk sosial
3; Kedudukan kodrat manusia terdiri atas:
a; Makhluk berdiri sendiri
b; Makhluk Tuhan (Notonagoro, 1975: 87-88)
Susunan kodrat manusia terdiri atas dua unsur yaitu raga dan jiwa yang merupakan
suatu susunan (monodualis, kedua-tunggalan). Manusia adalah makhluk yang berbadan,
yang terdiri dari unsur air mani dan tanah. Sebagaimana makhluk lain yang terbentuk dari

unsur materi, manusia mempunyai sifat dan ciri-ciri makhluk materi yang terikat dengan
hukum-hukum alamiah, seperti kemampuan untuk tumbuh, berkembang, bergerak,
mempunyai nafsu, instink dan seterusnya. Badan manusia bertumbuh mulai dari kecil
menjadi besar, dan ia hanya bisa berkembang sebagai manusia jika badannya
memungkinkan. Menjadi manusia karena memang terbangun dari badan, ia merupakan
suatu struktur hidup, berproses menurut hukum-hukum biologis. Struktur badan tersebut
terdiri dari beberapa sub-struktur yang tak terhingga jumlahnya, yang nampak sebagai
bangunan dari sel-sel, dan mempunyai diferensiasi yang berbentuk organ-organ yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda pula.
Setelah ditiupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka terjadilah persatuan antara
materi dan ruh ini yang membuat perubahan yang mendasar bagi diri manusia. Menurut
al-Razi, manusia lalu menjadi sosok makhluk yang bersifat materi dan makhluk ruhani
(spiritual) sekaligus. Persatuan antara materi dan ruh ini tidak terpisah satu sama lain,
kecuali telah dipisahkan oleh kematian. Dengan demikian, dari sisi pertumbuhan
materi/fisik, manusia tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya makhluk lain.
Perbedaannya justru terletak pada aspek ruh yang telah ditiupkannya ke dalam materi
tersebut. Inilah hakekat manusia yang sebetulnya, ia terbentuk dari dua aspek sekaligus,
yakni aspek materi dan ruhani/jiwa.
Dalam jiwa manusia terkandung akal-budi yang berfungsi menciptakan atau
melahirkan ilmu dan pengetahuan, serta teknologi, sementara rasa mengantarkan manusia
mampu meciptakan karya-karya estetika, keindahan dan keutamaan. Potensi kehendak
pada diri manusia mengantarkannya untuk mampu bertindak dan berperilaku secara
baik/bermoral. Atas dasar kemampuan inilah, manusia mempunyai berbagai potensi
sekaligus kemampuan yang bisa difungsikan dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah
dan khalifah-Nya. Karenanya, hanya dengan jalan menggunakan potensi kemanusiaan
secara integral, manusia akan mampu membangun hubungan sosial (lingkungan sekitar,
baik dengan alam dan manusia) dengan baik, juga akan mampu membangun hubungan
dengan yang transendan, yakni Tuhan, secara terus menerus. Menurut Notonagoro,
kedudukan kodrat manusia terdiri atas dua unsur, yakni makhluk berdiri sendiri dan
makhluk Tuhan yang merupakan satu kesatuan (monodualis). Keseluruhan unsur-unsur
tersebut merupakan suatu kesatuan hakikat manusia yang bersifat monopluralis.

Dalam pelaksanannya manusia harus senantiasa berpedoman pada suatu norma


yang baik, agar terlaksananya nilai-nilai hakikat manusia. Dalam keadaan yang demikian
ini manusia mempunyai sifat dan watak yang luhur yang sesuai dengan hakikat manusia
monopluralis, yang menurut Notonagoro disebut tabiat saleh, yang meliputi empat hal
(Kaelan, 2009: 168-169):
a; Watak penghati-hati (kebijaksanaan)
Sikap perbuatan manusia harus senantiasa merupakan hasil pertimbangan dari
akal, rasa dan kehendak secara selaras. Akal memberi pengetahuan tentang
perbuatan yang bagaimana harus dilakukan, rasa mengujinya dengan
berpedomoan pada hasratnya (secara estetis), serta kehendak akan
menentukan perbuatan tersebut dilakukan atau tidak (secara etis).
b; Watak keadilan
Hakikat manusia monopluralis harus terjelama dalam suatu perubahan adil
dalam suatu perubahan adil susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa raga, sifat
kodrat manusia sebagai makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Oleh
karena itu, dalam segala manifestasi perbuatannya manusia harus senantiasa
bersifat adil yaitu kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan
kepada orang lain secara semestinya yang menjadi haknya.
c; Watak kesederhanaan
Setiap perbuatan manusia harus bersifat sederhana, yaitu harus menekan dan
menghindari pelampauan (berkelebihan) dalam wujud kemewahan,
kenikmatan atau hal-hal yang bersifat enak. Oleh karena itu hasrat-hasrat
ketubuhan, hasrat individu maupun makhluk sosial harus senantiasa saling
membatasi diri agar tidak melampaui batas.
d; Watak keteguhan
Yaitu kemampuan yang ada pada manusia untuk membatasi diri agar supaya
tidak melampaui batas dalam hal menghindari diri dari duka atau hal yang
enak, hal ini sebagai keseimbangan dengan watak kesederhanaan
Lebih jauh terkait dengan eksistensi manusia ketika berhadapan dengan orang
lain, yakni menyangkut HAM. Hakikat manusia yang komplek monopluralis tersebut
menjadi dasar berjalannya Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, keyakinan bahwa
manusia secara kodrat adalah makhluk ciptaan Tuhan maka implikasi dari pandangan
tersebut hak asasi itu disamping melekat pada diri manusia sejak lahir, juga meyakini

bahwa Tuhan adalah pemberi hak asasi tersebut. Prinsip mendasar tentang manusia
(filsafat manusia) yang menyangkut keyakinan Tuhan sebagai pemberi hak bagi manusia
inilah yang membedakannya dengan HAM di dunia Barat.
Hak asasi yang melekat pada manusia tidak boleh dicabut oleh siapapun dan
dengan cara apapun, ketika negara belum ada-pun hak asasi lebih dahulu ada. Maka
seharusnya, realisasi kemanusiaan yang beradab semestinya memperhatikan hak-hak
asasi manusia yang telah lama ada. Singkatnya, negara harus melindungi HAM dan
kemanusiaan sebab pada prinsipnya hak asasi telah ada lebih dahulu, Negara tidak boleh
mendiskriminasi hak-hak telah dimiliki oleh warga Negara.
Prinsip anti diskrimatif yang ditekankan pada sila kedua ini melahirkan sikap
egaliter, memandang sederajat, sama sebagai manusia seutuhnya tanpa membedakan
manusia lain berdasarkan agama, suku, ras, bahasa, etnis dan lain sebagainya. Inilah
prinsip mendasar kemanusiaan yang adil dan beradab yang kemudian oleh negara
dibentuk perangkat peraturan untuk mengaturnya.
4; Persatuan dalam Kebhinekaan
Beragam etis, suku, budaya dan agama pada masyarakat Indonesia sesunggunya
bisa menjadi modal sosial (capital social) yang mendasar dalam membangun sebuah
peradaban, namun beragam budaya tersebut malah terkadang bersifat kontraproduktif,
yang menimbulkan konflik berkepanjangan antar suku, etnis, budaya dan bahkan agama.
Dalam pengertian sederhana, kebhinekaan dapat dipahami sebagai keragaman
budaya dalam suatu komunitas. Di dalam keragaman terdapat hubungan timbal-balik atau
interaksi, konflik, saling menghormati dan menghargai, toleran, integrasi, dan bahkan
disintegrasi. Masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas ragam etnis dan
kebudayaan yang beranekaragam. Kehidupan mereka tidak diatur oleh sistem budaya
tunggal dan tertutup, atau dalam terminologi postmodern grand narrative, narasi tunggal,
melainkan terdiri atas sistem budaya yang beragam dan nilai yang relatif (J. F. Lyotard,
1991).
Masyarakat multikultur dibedakan dengan masyarakat monokultur, sebuah
masyarakat asli (archais) atau etnis yang semua anggotanya masyarakatnya berkarakter
sama atau homogen, dan bahkan pada masyarakat yang terikat secara paksa atau tak sadar

berdasarkan nilai-nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Meskipun
konsep masyarakat multikultur masih problematik, secara umum masyarakat multikultur
dinyatakan sebagai sebuah kumpulan beraneka ragam masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang eksis satu sama lain di atas suatu wilayah (Chairul Mahfud, 2006: 86).
Keragaman budaya sesungguhnya mempunyai karakter yang bersifat ganda, di
satu sisi keragaman merupakan potensi besar untuk membangun peradaban besar, tetapi
di sisi lain juga menjadi ancaman tersendiri, yakni beruapa konflik tidak mampu
dikelolah dengan arif dan bijak, maka primordialisme tidak mampu dibendung yang
mengakibatkan perang antar budaya atau meminjam istilah Samuel Huntington terjadi
benturan peradaban (Samuel Huntington, 2002). Jika konflik horizontal dalam
masyarakat multikultural tidak terjadi berarti telah terbangun toleransi yang tinggi yang
dianut oleh masyarakat. Dalam konteks lokal, ada asumsi yang berkembang, hal itu
disebabkan adanya ikatan adat yang begitu kuat, sehingga konflik horisontal bisa
diantisipasi sedini mungkin
Di Indonesia, fenomena divergen-disintegratif semakin jelas setelah runtuhnya
rezim Orde Baru, bersamaan dengan makin masifnya praktik-praktik kapitalisme
neoliberal, salah satu ciri terkuat dari globalisasi. Fenomena divergen-disintegratif di
Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Alih-alih untuk mempersatukan mempersamakan (conformity) semua elemen
negeri ini (slogan Orde Baru), atau mensejahterakan masyarakat dengan kebijakan
disentralisasi dan otonomi daerah (Orde Reformasi), akan tetapi justru penghargaan dan
pengakuan atas kehadiran yang lain (the other) terabaikan. Politik sentralisme
kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan paradigma "monokulturalisme"
dengan mengatastanamkan persatuan dan kesatuan. Politik sentralistik atau paradigma
monokultral ini telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pela
gandong di Ambon, republik nagari di Sumatera Barat.
Akibatnya, paradigma tunggal ini mengalami anomali dan muncullah reaksireaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan

Indonesia yang multikultural. Sementara proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan


pemerintahan kini justru mengakibatkan terjadinya peningkatan gejala "provinsialisme",
"etnisitas", dan kesukuan.
Fenomena divergen-disintegratif ini kian nyata dalam keseharian hidup
bermasyarakat dan berbangsa, berupa rasa kedaerahan, identitas kesukuan, kelompok,
dan agama yang menguat, menimbulkan fragmentaris kelompok dan konflik-konflik
horizontal yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Hal ini dapat dilihat dari kasuskasus Poso, Kupang, Mataram, Sampit, Mamasa, Ambon, Aceh, dan sebagainya.
Ancaman riil kehidupan bangsa yang pluralis harus betul-betul diperhatikan. Toleransi,
inklusivisme, dan penolakan terhadap berbagai jenis fundamentalisme dapat dipupuk
kalau ada pengakuan terhadap multikulturalisme, yang diyakini sebagai pendukung
pluralisme, yaitu keberadaan budaya yang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu
masyarakat yang pluralis.
Sesungguhnya kalau dilacak ke belakang, kita telah mempunyai budaya toleran
yang sangat mengakar, hal ini terbukti dalam tradisi nusantara di zaman kerajaan
Mataram Kuno dan Majapahit. Dialog antar peradaban nampak dalam pembangunan
candi Hindhu dan Budha yang berdiri secara berdampingan, dan raja-raja Jawa disebut
Siwa-Buddha sebagai wujud representasi dialog antar budaya. Kita juga bisa ambil
contoh masyarakat Tengger di Lereng Gunung Bromo. Kehidupan yang toleran terbangun
dimulai dari kuatnya pondasi masyarakat yang sangat patuh pada hukum adat, lebih dari
sekedar itu, upaya transmisi budaya toleran ini juga dilakukan secara turun temurun
(Nurudin, dkk. ed, 2003). Ini artinya bahwa betapa kearifan lokal menjadi pondasi dalam
membangun masyarakat majemuk.
Sikap toleran dan kerjasama dapat kita telusuri dari makan gotong royong itu
sendiri. Sepi in pamrih rame ing gawe merupakan peribahasa dalam bahasa jawa yang
mengibaratkan kebersamaan dalam menyelesaikan pekerjaan yang harus dipukul
bersama. Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk bersama-sama melakukan
kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kegiatan ini dilakukan tanpa
pamrih, tanpa imbalan, murni dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Sistem gotongroyong ini telah dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia semenjak Kerajaan Hindu di
Jawa, seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Gotong royong berbeda dengan tolong-

menolang, gotong royong menekankan kebersamaan yang kuat (tangguh) bersama-sama


memecahkan atau melakukan kegiatan yang menyangkut tujuan bersama (Listiyono
Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012: 42-43).
Ketika Bung Karno menemukan nilai inti (core value) dari Pancasila adalah
gotong royong maka dapat dipahami bahwa dalam persatuan nasional ini nilai
kesetaraan sangat penting. Praktik gotong royong memperlakukan setiap partisipan
secara setara, tanpa memandang agama, tingkat ekonomi, pendidikan, dan seterusnya.
Pokok masalah adalah bagaimana mengangkat nilai kesederajatan dalam gotong royong
tersebut pada level nasional yang tentu saja bertambah luas kompleks kebudayaannya. Di
sinilah diperlukan usaha yang terus menerus yang harus dilakukan oleh penguasa dari
rezim masa lalu hingga sekarang. Pelanggaraan kesetaraan dapat berupa dominasi,
marginalisasi, hegemonisasi, tebang pilih dalam keadilan, dan seterusnya. Oleh karena
itu, jangan sampai ada peminggiran, penganaktirian, suara yang tidak didengar atau
bahkan ditolak partisipasinya. (Listiyono Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012: 4-5).
5; Jiwa Kekeluargaan dalam Musyawarah
Terma kekeluargaan yang menjadi jiwanya dalam melihat Pancasila, Soediman
Kartohadiprodjo merumuskan jiwa kekeluargaan dalam Pancasila tersebut dengan
rumusan: Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam Kesatuan. Kesatuan
menunjukkan kehidupan manusia, yaitu selalu dalam suatu pergaulan hidup, tetapi dalam
persatuan pergaulan hidup itu kepribadian tiap individu diakui dan dilindungi yang
ditunjukkan dengan perbedaan, karena tidak ada dua orang di dunia ini yang sama
kepribadiannya. Sebaliknya, dengan pengakuan adanya kepribadian pada tiap individu
dan yang berbeda-beda itu ditunjukkan dengan perbedaan dalam bagian kedua, ini
tidak berarti bahwa mereka bebas hidup merdeka dan dapat memperkembangkan
kepribadiannya sesukannya, melainkan mereka terikat oleh individu lainnya dalam satu
kesatuan. Isi Pancasila di atas dapat menggambarkan isi jiwa bangsa Indonesia
(Soediman K, 1986: 16)
Kalau sifat kehidupan suatu suatu kesatuan pergaulan hidup disebut bersifat
kekeluargaan, maka ini berarti bahwa kekeluargaan dipakai sebagai jiwa dalam lembaga
atau instansi tertentu. Hal ini berimplikasi bahwa dalam pergaulan hidup manusia itu

anggota-anggotanya bertindak seolah-olah mereka dalam keluarga (Soediman K, 1986:


15).
Pangkal pemikiran filsafat Pancasila Soediman K. adalah kekeluargaan, yang
berasal dari kata dasar keluarga, yakni adalah sebuah sel menyatu (merupakan
kesatuan) tetapi pada saat yang sama terbangun oleh perbedaan (ayah, ibu, anak-anak).
Isi jiwa bangsa tidak dapat dikenal orang kalau bangsa diam dengan mata tertutup, tetapi
perbuatan-perbuatan manusia itu bersumber pada jiwanya, jadi perbuatan manusia itu
khususnya apa yang kita namakan kebudayaan merupakan cermin dari bangsa yang
bersangkutan. Maka jiwa manusia itu dapat kita tangkap afleidin dari kebudayaanya.
Salah satu jiwa ekspresi jiwa bangsa Indonesia yang turun temurun sekian abad lamanya
adalah hukum adat (Soediman K. 1986: 16). Berdasarkan pikiran ini, maka jiwa bangsa
Indonesia yang tercermin dalam kekeluargan tersebut terukur dalam bentuk hukum adat
Indonesia (Slamet Sutrisno, 2006: 72).Dengan demikian,filsafat manusia ini tersusun
dalam hubungannya dalam kehidupan atau pergaulan hidup manusia yang asasanya
adalah kekeluargaan.
6; Hakikat Keadilan Sosial
Pembahasan yang menyangkut keadilan sosial itu berarti tidak berkaitan dengan
keadilan individual, yang dimaksudkan dengan keadilan sosial adalah menyangkut seluk
beluk hidup orang kebanyakan. Dalam konteks ekonomi, penciptaan keadilan sosial
menjadi tujuan penting menurut UUD 1945 adalah perekonomian Indonesia. Secara
ideal, keutuhan Indonesia terjamin atas dasar keadilan secara distributive (artinya,
terdapat pemerataan keadilan berbasis pada keperluan masyarakat lokal atau setempat).
Pembicaraan ini bukan ketidakadilan individual, tetapi ketidakadilan sosial.
Ketidakadilan individual sehari-hari dapat mungkin terjadi, melainkan ketidakadilan
sosial proses-proses politik, sosial, ekonomi, dan budaya atau tentang ketidakadilan
struktural. Tuntutan pertama tentang ketidakadilan sosial adalah pembongkaran atas
struktur-struktur yang tidak adil. Dalam sebuah kelas atau kelompok buruh, petani,
nelayan dan seterusnya sangat mungkin tertimpa ketidakadilan, maka sebab ketidakadilan
itu terjadi bukan karena kebetulan ada satu-dua orang yang tidak bersikap adil, tetapi
justru mereka terperangkap dalam struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil.

Ketidakadilan yang paling mendesak dan kasar adalah kemiskinan dan ketergantungan
struktural. Bahwa dalam sebuah masyarakat masih banyak kelompok yang mendapat
ketidakadilan, bukan karena mereka malas atau tidak bekerja, atau kita harus dituntut
untuk solider dalam melihat mereka, tetapi justru pembagian dan keadilan distribusi
kekayaan alam Indonesia ini belum dilaksanakan (Magnis Suseno, 2000: 75-76).
Maka orientasi pembangunan harus diarahkan pada upaya penghapusan
kemiskinan dan ketergantungan struktural. Kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk
masyarakat yang memang tertindas oleh sistem yang membuat mereka tidak berdaya.
Dalam konteks ini, keadilan negara harus berpihak, keperpihakan pada kelompokkelompok termarginalkan, dan tergerus oleh sistem kapitalis. Peran negara sangatlah
penting dalam melaksanakan keadilan distributif. Negara melakukan pengaturan secara
merata dalam porsi dan kebutuhan masing-masing, artinya bukan berarti negara pilih
kasih hanya kepada masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi telah menjadi tugas dan
kewajiabannya sebagai amanat konstitusi.

Evaluasi:
1; Kejelasan dalam menyampaikan hasil diskusi tentang nilai-nilai dasar Pancasila
2; Kejelasan dalam mengevaluasi keterkaitan nilai-nilai Pancasila dalam mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan, serta melihat secara kritis praktik yang terjadi
selama ini jika terjadi keterputusan nilai-nilai dasar bagi pendidikan
kewarganegaraan.

Bahan Bacaan:
1; Azra, Azyumardi. Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantang
Global diakses, pada tanggal 28 November 2014 di
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2255
2; Bagus, Lorens, 2005. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
3; Bakhtiar, Amsal, 1997. Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
4; Bakker, Anton, 1992. Ontologi: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan
Yogyakarta: Kanisius.

5; Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, 1999. Etik Global, terj. Ahmad Murtadji
Yogyakartaa: Sisiphus bekerja sama dengan Pustakan Pelajar.
6; Kaelan, 2009. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa, Yogyakarta:
Gramedia.
7; Kartohadiprodjo, Soediman, 1986. Pancasila dan/Undang-Undang Dasar 1945.
Kattsoff, Louis, 2004. Pengantar Filsafat, ter. Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
8; Knitter, Paul, 1995. One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global
Resposibility Maryknoll-New York: Orbis Books.
9; Listiyono Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012, Makalah Konggres Pancasila,
Surabaya: Unair.
10; Lyotard, J. F. 1991. The Postmodern Condition: Report on Knowledge, Geoff
Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press.
11; Magnis-Suseno, Franz, 2005, Etika, Jakarta: Gramedia.
12; _____________________, 1985. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.
13; _____________________, 2000, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.
14; Mahfud, Chairul, 2006. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
15; Montgomery Watt, William, 1996. MuslimChristian Encounters:Perception and
Misperception, terj. Zaimudin. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996.
16; Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1995. Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta: Kanisius.
17; Mulkhan, Munir, 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius.
18; Nasution, Harun. 1991. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
19; Notonagoro, 1975, Pancasila: Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
Nurudin (ed.)., 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger, Yogyakarta: Lkis, 2003.
20; Raimundo Panikkar, 1994. Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo, dkk.
Yogyakarta: Kanisius.
21; The Liang Gie, 1997. Filsafat Keindahan, Yogyakarta: PUBIB. 1997

Anda mungkin juga menyukai