Anda di halaman 1dari 21

i

HAKEKAT DAN PENDIDIKAN NILAI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


PENDIDIKAN KARAKTER ASWAJA
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Hj.Ismawati Hafid

Nama : Ahmad Solekhan


Nim : 18200021013
Semester : III (TIGA)
Pogram Studi : Muamalah
Konsentrasi : Hukum Ekonomi Syari’ah

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
1

HAKEKAT DAN PENDIDIKAN NILAI


Pendahuluan

Pendidikan karakter saat ini menjadi sangat urgen dan mendesak. Hal tersebut
dilandasi timbulnya kenakalan generasi jaman sekarang, bisa kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari, banyaknya kejahatan, tawuran, seks bebas, kekerasan pada
anak dan wanita, menggunakan obat-obatan terlarang, bahkan sekarang anak kurang
hormat bahkan tidak hormat sama sekali dengan orang yang lebih tua dan perbuatan
buruk lainnya. Ironisnya para pelaku tidak hanya yang berpendidikan rendah, tapi
orang yang pendidikannya tinggipun ada yang melakukan kejahatan seperti korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat yang latar belakang pendidikan mereka adalah
perguruan tinggi.
Semua itu disebabkan terjadinya kemerosotan moral karena hilangnya nilai-
nilai karakter dari para pemuda generasi bangsa. Bisa jadi penyebab terjadinya
tindakan-tindakan tersebut dipicu oleh lingkungan sosial, fanatisme yang kebablasan
(missolidarity), dan situasi keluarga yang ketat (strich family) juga meyebabkan
pelajar menempuh jalan pintas dalam mengekspresikan emosi mereka dengan cara
bertengkar dan melakukan kekerasan fisik. Selain itu pengaruh televisi yang dijejali
dengan tayangan-tayangan kekerasan juga memiliki kontribusi terhadap munculnya
sikap anarkisme pada anak.
Karakter dalam Islam menjadi salah satu jawaban yang tepat atas
permasalahan- permasalahan yang telah terjadi diatas, untuk itu kita harus mengetahui
nilai-nilai karakter islam dan strategi pembentukan karakter lewat cara islami.
Sehingga bisa tercipta kepribadian manusia yang islami.

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka ada beberapa masalah yang akan dikaji oleh penulis,
yaitu :
1. Apakah hakekat nilai?
2. Bagaimana Pendidikan Nilai dilakukan?
2

Pembahasan

1. Pengertian Nilai

Nilai berasal dari Bahasa latin valu‟ere yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang
baik,bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekolompok
orang.Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan,
dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi
bermartabat.1
Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi
kehidupan manusia,1 khususnya mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal,
Nilai artinya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.2
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit,
bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian
empirik, melainkan sosial penghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak
disenangi.

Adapun pengertian nilai menurut pendapat beberapa para ahli antara lain:
1. Menurut Milton Rekeach dan James Bank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan
yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang
bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau memiliki dan dipercayai.3
2. Menurut Lauis D. Kattsof yang dikutip Syamsul Maarif mengartikan nilai
sebagai berikut: Pertama, nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami cara langsung
kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-
mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti terletak pada esensi objek
itu. Kedua, nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang
berada dalam kenyataan maupun pikiran. Ketiga, nilai sebagai hasil dari
pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.4
3. Menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yangmelekat pada sesuatu
(Sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi

1
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-nilai Karakter, (Jakarta; 2013, Rajawali Press), Hlm.15
2
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. 1, h.61
3
H. Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai, (Jakarta: P3G Depdikbud, 1980), h. 1
4
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 114
3

arti (manusia yang meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan
berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.5
4. Menurut pakar-pakar pendidikan Islam, antara lain menurut Muhammad
Wafa’i:

‫تباينت وجهات النظر وتعددت حول مفهوم القيمة بسبب اتساع ميدا نها وصلتها في‬
‫ فتعرف القيم بأنها" مجموعة معايير واتجاهات ومثل عليا‬،‫كثير من العلوم األخرى‬
‫تتوافق مع عقيدة الفرد التي يؤمن عن قناعة بما ال يتعارض مع السلوك االجتماعي‬
‫وبحيث تصبح تلك المعايير خلقًا للفرد تتضح في سلوكه ونشاطه وتجاربه الظاهري‬
‫ كما تتضح في التزام الفرد بتلك القيم خالل تصرفاته تجاه الناس من‬،‫منها والضمني‬
" 6‫ ورب الناس من جهة أخرى‬،‫جهة‬

‫ويعرفها العيسى بأنها" المبادئ األخالقية والجمالية والمعتقدات والمعايير التي تعطي‬
‫ حيث يعتنق هذه المبادئ أو تفرض عليه‬،‫القرارات لشخص ما وأفعاله‬. ‫ترابط وتوجه‬
"7‫من أغلب المجتمع‬

‫فهي إذن مجموعة من المعتقدات والتصورات المعرفية والوجدانية والسلوكية‬


‫ تشكل لديه‬،‫الراسخة يختارهااإلنسان بحرية بعد تفكر وتأمل ويعتقد بها اعتقادا جازما‬
،‫ وبالقبول أو الرفض‬،‫منظومة من المعايير يحكم بهاعلى األشياء بالحسن وبالقبح‬
‫ويصدر عنها سلوك منتظم يتميز بالثبات‬
"‫والتكرار واالعتزاز‬
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan
esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi
belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi
karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut
semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap pemaknaan manusia itu
sendiri.
Jadi nilai adalah sesuatu yang dipentingkanmanusia sebagai subyek
menyangkut segala sesuatu baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau
maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Segala sesuatu dianggap bernilai jika taraf penghayatan seseorang itu telah
sampai pada taraf kebermaknaannya nilai tersebut pada dirinya. Sehingga sesuatu

5
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam...,h. 61
6
Al Qarni,Sayyid Ali, dlufu ba’dli al qaym al akhlaqiyyah, Risalah al majistiriyyah, jami’ah at-Thaoif,
2009, hl 19
7
ibid
4

bernilai bagi seseorang belum tentu bernilai bagi orang lain, karena nilai itu sangat
penting dalam kehidupan ini, serta terdapat suatu hubungan yang penting antara
subyek dengan obyek dalam kehidupan ini.8

Nilai sebagai daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan
pengabsahan pada tindakan seseorang. Nilai mempunyai dua segi intelektual dan
emosional. Kombinasi kedua dimensi tersebut menentukan sesuatu nilai beserta
fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam pemberian makna dan pengabsahan terhadap
suatu tindakan, unsur emosionalnya kecil sekali, sementara unsur intelektualnya lebih
dominan, kombinasi tersebut disebut norma norma atau prinsip. Norma-norma atau
prinsip-prinsip seperti keimanan, keadilan, persaudaraan dan sebagainya baru menjadi
nilai-nilai apabila dilaksanakan dalam pola tingkah laku dan pola berfikir suatu
kelompok, jado norma bersifat universal dan absolut, sedangkan nila-nilai khusus dan
relatif bagi masing-masing kelompok.9
Nilai-nilai tidak perlu sama bagi seluruh masyarakat. Dalam masyarakat
terdapat kelompok yang berbeda atas dasar sosio-ekonomis, politik, agama dan etnis
masing-masing mempunyai sistem nilai yang berbeda. Nilai-nilai ditanamkan pada
anak didik dalam suatu proses sosialisasi melalui sumber-sumber yang berbeda.

Berdasarkan definisi-definisi di atas , Robin M. Wiullianm menyimpulkan adanya


empat kualitas tentang nilai , yaiutu :
1. nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang mendalam dibandingkan
dengan hanya sekedar sensasi , emosi atau kebutuhan. Dalam hal ini nilai
dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman-pengalaman
seseorang.
2. nilai menyangkut atau penuh dengan pengertian yang memiliki aspek emosi
baik yang diungkapkan secara aktual ataupun yang merupakan potensi.
3. Nilai bukan merupakan tujuan konkret dari tindakan , tetapi mempunyai
hubungan dengan tujuan, sebab nilai mempunyai kriteria dalam memilih
tujuan-tujuan. Seseorang akan berusaha mencapai segala sesuatu yang
menurut pandangannya bernilai.

8
7MansurIsna, Diskursus Pendidikan Islam...,h.
9
EM, Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hl 25
5

4. nilai merupakan unsur penting dan tidak dapat disepelekan bagi orang yang
bersangkutan. Dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan pilihan dan
pilihan merupakan prasyarat untuk mengambil suatu tindakan.

Dengan demikian nilai merupakan seperangkat tingkah laku seseorang


menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi atau
maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi prilaku yang ketat, baik
yang bersumber metafisika , teologi, setetika, maupun logika.

Batang Tubuh Nilai

Batang tubuh nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Ontologi nilai
Berangkat dari cakupan wilayah ontologi, maka persoalan nilai harus diselesaikan
dalam bahasan ini berkenaan dengan hakikat dan struktur nilai .
Hakikat nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.Rujukan itu
dapat berupa norma, etika, peraturan undang-undang,adat kebiasaan, aturan agama,
dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang.
Nilai bersifat abstrak, berada di belakang fakta, melahirkan tindakan melekat dalam
moral seseorang , muncul sebagai ujung proses psikologis dan berkembang ke arah
yang lebih kompleks.

Struktur Nilai

Struktur Nilai adalah penjelasan tentang klasifikasi, kategori, dan hierarki


nilai. Nilai dasar yang sifatnya logis, etis dan estetis. Kategori nilai menurut Spranger
dan kategori makna menurut Phenix yang dibandingkan dengan nilai kategori
selainnya. Di sini ditekankan bahwa nilai logis (benar-salah), etis (baik-buruk) dan
estetis (indah-tidak indah) merupakan nilai dasar yang berada pada kategori nilai
lainnya, misalnya dalam nilai ekonomi atau nilai agama.
Dalam ekonomi , nilai suatu barang pada dasarnya hasil akhir dari
pertimbangan logis, etis dan estetis. Suatu barang dapat bernilai tinggi andaikata nilai
logis menyatakan benar-khususnya menurut ilmu ekonomi, nilai etis menyatakan hal
itu baik untuk kesehatan atau kesejahteraan manusia dan nilai estetis menyatakan hal
itu bermutu dari segi keindahannya. Demikian pula nilai tertinggi dalam agama adalah
6

nilai yang memenuhi persyaratan logis, etis dan estetis. Sebagai contoh, nilai
keimanan yang dicapai melalui amaliah shalat akan memiliki nilai yang tinggi, jika
shalat dilakukan atas dasar pengetahuan kita tentang nilai kebenaran dalam
melakukan tata cara shalat, nilai kebaikan shalat yang direfleksikan melalui hubungan
antar manusia, dan nilai kebersihan atau kesucian ketika melakukan shalat.

Uraian di atas menegaskan bahwa kategori nilai paling elementer terletak pada
sesuatu yang logis, etis dan estetis. Nlai dasar ini berada pada wilayah nilai tersendiri
yang perlu dibedakan dari jenis nilai lainnya yang terdapat dalam klasifikasi dan
hierarki nilai. Dengan demikian, struktur nilai dapat dijelaskan berdasarkan:
a. kategori nilai dasar, nilai logis, nilai etis, dan estetis.
b. kategori wilayah kajian: nilai ekonomi, nilai politik, nilai sosial, nilai agama
dan nilai budaya.
c. klasifikasi nilai: nilai terminal, dan nilai instrumental, nilai instrinsik dan nilai
ekstrinsik, nilai personal dan nilai sosial, nilai subyektif dan nilai obyektif.
d. hiraki nilai: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai
kerohanian.
Struktur nilai di atas masih memungkinkan terjadinya wilayah tafsiran nilai, karena
niulai bergerak secara interdisipliner. Nilai suatu waktu dapat berada pada tema-tema
abstrak yang bersifat filosofis,sewaktu-waktu berada dalam wilayah empiris, atau
berada pada keyakinan mistis.

2. Epistemologi nilai
Epistemologi membahas sumber pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan
(Tafsir, 2005: 23).Epistemologi disebut juga teori pengetahuan (theory of knowledge)
Persoalan-persoalan dalam epistemologi, yaitu sebagai berikut.
a) Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?
b) Dari mana pengetahuan dapat diperoleh?
c) Bagaimana validitas pengetahuan dapat dinilai?
d) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman)
dan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna-pengalaman).

3. Aksiologi Nilai
7

Aksiologi adalah bagian dari batang tubuh nilai yang menjelaskan tentang
kegunaan pengetahuan nilai dan cara pengetahuan nilai menyelesaikan masalah.
Aksiologi ini dapat juga dikatakan sebagai teori tentang cara menggunakan teori-teori
nilai.
Adapun kegunaan pengetahuan nilai adalah:
a. nilai pada wilayah filsafat untuk menentukan cara hidup dalam bermasyarakat
dan beragama.
b. nilai pada wilayah ilmu pengetahuan untuk mempercepat kesadaran nilai dan
memperbaiki tingkah laku manusia
c. nilai pada wilayah mistik untuk mencerahkan batin dalam kesadaran beragama
Cara pengetahuan nilai menyelesaikan masalah:
a. nilai pada wilayah filsafat dengan cara menelaah akar permasalahan atas
lahirnya nilai (baik-buruk, benar-salah, indah-tidak indah)
b. nilai pada wilayah ilmu pengetahuan dengan cara penyadaran nilai
(keteladanan, pembiasaan, penanaman, penilaian jangka panjang dan lain-lain)
c. nilai pada wilayah mistik dengan cara wirid, puasa, shalawat dan lain-lain.

Obyek nilai dapat diidentifikasi dari istilah rujukan yang terdapat dalam
definisi nilai. Rujukan ini menentukan pilihan seseorang dalam menetapkan tujuan
hidup beserta tindakan-tindakan yang diarahkan pada pencapaian tujuan itu. Rujukan
yang bernilai ini terdapat dalam ajaran agama, logika filsafat, teori ilmu,peraturan
undang-undang, adat kebiasaan, karya seni, dan rujukan-rujukan lainnya yang
memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Inilah yang disebut obyek
nilai.
Obyek nilai tadi tidak memiliki arti apa-apa kalau manusia tidak menilai
obyek tersebut. Ini, artinya nilai ada kalau manusia melakukan penilaian. Bagaimana
kita tahu bahwa ia memiliki nilai dan melakukan penilaian? Hal itu dapat dilihat dari
tingkah lakunya yang diprediksi tertuju pada pencapaian nilai tertentu. Karena itu
selain obyek nilai yang disebutkan tadi, tingkah laku merupakan obyek nilai yang
paling aktual. Tingkah laku sebagai obyek nilai, dapat berupa perilaku religius,
karakter berpikir filosofis, sikap ilmiah,perilaku etis dan perilaku estetis.
Andaikata obyek nilai itu dikelompokkan, maka ajaran agama, logika filsafat,
teori ilmu, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, dan karya seni merupakan
obyek nilai yang berada di hulu nilai. Semua itu berfungsi juga sebagai sumber nilai.
8

Sementara itu tingkah laku (perilaku religius, karakter berpikir filosofis, sikap ilmiah,
perilaku etis, dan perilaku estetis) sebagai obyek nilai berada pada hilir nilai, yang
tampil sebagai aktualisasi nilai.

Pendidikan Nilai

Abad ke-21 merupakan abad kebudayaan dan pendidikan. Perubahan pada


berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, agama, ekonomi, politik, hankam, dan iptek
semakin terasa. Perubahan-perubahan ini menuntut manusia untuk selalu melakukan
penyesuaian dan antisipasi. Dari kondisi faktual tersebut, disadari bahwa salah satu
sektor yang kurang diperhatikan adalah dunia afeksi pendidikan yang semakin
termarginalkan. Hal itu disebabkan telah bergesernya landasan dan tujuan pendidikan
kita saat ini yang lebih mengedepankan dunia kognisi. Disadari atau tidak arah
kebijakan pendidikan kita telah membawa tingkat degradasi moral bangsa semakin
terpuruk karena salah satunya kurang memerhatikan nilai-nilai moralitas bangsa yang
dahulu masih dimiliki, tetapi sekarang semakin jauh dari napas kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Nilai merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Dalam
gagasan pendidikan nilai dikemukakan Kniker, nilai selain ditempatkan sebagai inti
dari proses dan tujuan pembelajaran, setiap huruf yang terkandung dalam value
dirasionalisasikan sebagai tindakan-tindakan pendidikan. Oleh karena itu dalam
pengembangan sejumlah strategi belajar nilai selalu ditampilkan lima tahapan
penyadaran nilai sesuai dengan jumlah huruf dalam kata value, yaitu : (1) identifikasi
nilai (value identification) (2) aktivitas (activity) (3) alat bantu belajar (learning aids)
(4) interaksi unit (unit interaction) (5) segmen penilaian (evalution segment). Dengan
demikian, hubungan antara nilai dan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam
setiap pendidikan baik dalam memilih maupun dalam memutuskan setiap hal untuk
kebutuhan belajar.10

Menurut Hill, ia mengatakan hakikat pendidikan nilai adalah mengantar peserta


didik mengenali, mengembangkan, dan menerapkan nilai-nilai, moral dan keyakinan
agama untuk memasuki kehidupan budaya zamannya. Lebih jelasnya Hill ingin
menandaskan bahwa pendidikan nilai harus mampu membuat peserta didik menguasai

10
Maksudin, Pendididikan Nilai Konprehensif : Teori dan Praktik, (Yogyakarta: UNY Press, 2009), hlm.
11.
9

pengetahuan yang berakar pada nilai-nilai tradisionalnya yang mampu menolong


menghadapi nilai-nilai modern, berempati dengan persepsi dan perasaan orang-orang
yang tradisional, mengembangan keterampilan kritis dan menghargai nilai-nilai tersebut,
mengembangkan diri sehingga berketrampilan dalam membuat keputusan dan berdialog
dengan orang lain, dan akhirnya mampu mendorong peserta didik untuk berkomitmen
pada masyrakat dan warganya.11

Tujuan pendidikan nilai pada dasarnya membantu mengembangkan kemahiran


berinteraksi pada tahapan yang lebih tinggi serta meningkatkan kebersamaan dan
kekompakan interaksi atau yang disebut Piaget sebagai ekonomi interaksi atau
menurut Oser dinyatakan dengan peristilahan kekompakan komunikasi. Tujuan
pendidikan nilai tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan, indoktrinasi, atau
pertimbangan prinsipprinsip belajar. Sebaliknya, dorongan moral komponen pem-
bentukan struktur itu sangat penting. Oleh karena itu, pendidik seharusnya tidak
hanya membekali dan menjejali siswa dengan pengetahuan tentang tujuan serta
analisis dari hubungan antara tujuan dengan alat (W. Sumpeno, 1996: 27).

Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nilai
adalah sebagai berikut.
1. “…to help individual think about and reflect on different values and the
practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the
community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own
personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical
methods for developing and deepening them”
2. Lorraine (1996: 9) berpendapat, “In the teaching learning of value education
should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing
and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and
as a member of society.
3. Menurut Apnieve-UNESCO (1996-184) tujuan pendidikan nilai adalah untuk
membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui
pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki
kualitas berpikir dan perasaannya.

11
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-nilai Karakter, (Jakarta; 2013, Rajawali Press), Hlm. 70-71
10

4. Hill (1991:80) meyakini bahwa pendidikan nilai ditujukan agar siswa dapat
menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya,
konsensus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga
menjadi karakter pribadinya.
5. Suparno (2002:75) berpendapat bahwa tujuan pendidikan nilai adalah
menjadikan manusia berbudi pekerti.
6. Hakam (2000:8) dan Mulyana (2004:119) mengatakan bahwa pendidikan nilai
bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-
nilai secara integral dalam kehidupan mereka.

Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih yang spesifik
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti yang dikemukakan
oleh komite Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for
Development (APEID), pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk:
a. menerapkan pembentukan nilai kepada anak,
b. menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan,dan
c. membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut (UNESCO,
1994) Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik
yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai hingga
c. perwujudan perilaku yang bernilai.12

Kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan, disebut dengan karakter. Sementara
Winnie memahami karakter adalah memiliki dua pengertian tentang karakter,
pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan
perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong,
tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a
person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.13

12
Zakiyah, Qiqi, Yuliati, Pendidikan Nilai, kajian Teori dan Praktik di Sekolah,Pustaka Setia Bandung,
2008, 71
13
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik, (Yogyakarta; 2011, Ar Ruzz
Media). Hlm. 160
11

Banyak yang memperdebatkan, apakah karakter bisa dibentuk ? dari


pertanyaan tersebut menimbulkan pro kontra, karena ada yang mempercaayai bahwa
karakter tidak bisa di ubah, alasannya karakter merupakan bawaan (heriditas) sejak
lahir, ada juga yang berpendapat bahwa karakter bisa dibentuk.
Maka paragraf ini akan menjelaskan bahwa manusia bisa menjadi manusia
yang berkarakter, setidaknya ada beberapa rukun yang dilakukan secara utuh dan
terus menerus. Rukun tersebut adalah sebagai berikut :14

1. Rukun Pertama : Habituasi (pembiasaan) dan pembudayaan yang baik.


Kebiasaan tidak hanya terpaku pada perilaku, tetapi juga kebiasaan berpikir positif
dan berperasaan positif. Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan merupakan hal
yang sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan berperilaku hanya
karena kebiasaan semata-mata. Pembiasaan dapat mendorong mempercepat perilaku,
dan tanpa pembiasaan hidup seseorang akan berjalan lamban, sebab sebelum
melakukan sesuatu harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya.
Metode pembiasaan perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter,
untuk membiasakan peserta didik dengan sifat-sifat terpuji dan baik, sehingga
aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik terekam secara positif.15
Pendidikan melalui pembiasaan dapat dilaksanakan sebagai berikut:
a. Kegiatan terprogram dalam pembelajaran dapat dilaksanakan dengan perencanaan
khusus dalam kurun waktu tertentu untuk mengembangkan pribadi peserta didik
secara individual, kelompok, dan atau klasikal antara lain:
1) Biasakan peserta didik untuk bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstrusi sendiri pengetahuan, ketrampilan, dan sikap baru dalam
setiap pembelajaran.
2) Biasakan peserta didik untuk bertanya dalam setiap pembelajaran.
3) Biasakan peserta didik untuk bertnaya dalam setiap pembelajaran.
4) Biasakan peserta didik bekerjasama, dan saling menunjang.
5) Biasakan peserta didik untuk berani menanggung resiko
6) Dan lain sebagainya.
b. Kegiatan pembiasaan secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:

14
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam…. Hlm. 264-271.
15
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 167
12

1) Rutin, yaitu pembiasaan yang dilakukan terjadwal. Seperti: upacara bendera,


senam, shalat berjamah, pemeliharaan kebersihan, dan kesehatan diri.
2) Spontan, adalah pembiasaan tidak terjadwal dalam kejadian khusus. Seperti:
pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antre,
mengatasi silang pendapat.
3) Keteladanan, adalah pembiasaan dalam bentuk perilaku sehari-hari. Seperti:
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau
keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.16

2. Rukun Kedua : Membelajarkan hal-hal yang baik (moral knowing)

Seseorang harus di beri pemahaman dan pengetahuan tentang nilai-nilai manfaat,


rasionalisasi dan akibat dari nilai baik yang dilakukan. Keyakinan merupakan wilayah
psikologis yang mencakup antara lain seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan
kebutuhan. Oleh karenannya, keputusan benar-salah, baik-buruk, pada wilayah ini
merupakan hasil dari proses psikologis yang di aplikasikan lewat suatu perbuatan
yang sesuai dengan pilihannya.

3. Rukun Ketiga : Moral feeling dan loving : merasakan dan mencintai yang
baik, pola pikir yang positif terhadap nilai-nilai kebaikan akan merasakan manfaat
dari berperilaku baik itu.

4. Rukun Keempat : Moral Acting (tindakan yang baik) Mulai


pembiasaan,kemudian berpikir berpengetahuan tentang kebaikan, berlanjut merasa
cinta kebaikan itu dan lalu tindakan pengalaman kebaikan, yang pada akhirnya
membentuk karakter.

Di era modern seperti ini manusia dihadapkan persaingan yang kompetitif,


oleh karena itu setiap manusia harus selalu berfikir untuk terus maju mengikuti
perkembangan zaman. Dengan selalu berfikir maka manusia akan selalu
menciptakan karya yang kreatif dan inovatif. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT. Dalam QS. Al Baqarah [2] : 219. Yang berbunyi :

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”


Dari potongan ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwa agama Islam sangat
mendukung manusia untuk berfikir agar menemukan krativitas di dalam
kehidupannya. Dengan anugerah berupa akal, manusia dalam bekerja pasti

16
Ibid, hlm. 169.
13

mempunyai kemampuan untuk profesional, tanggung jawab, dedikasi, penuh


perhitungan, ekeftif efisien, ulet (tidak mudah putus asa) dan pantang menyerah

5. Rukun Kelima : Keteladanan (moral model) dari lingkungan sekitar

Setiap orang butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih banyak
belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami. Karena fitrah manusia pada
dasarnya ingin mencontoh.
Dalam penerapan di masyarakat, menurut Kupperman nilai sebagai patokan
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan
alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor ekstrenal yang
mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman
memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh
karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value
judggement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.17

6. Rukun Keenam : Tobat (kembali) kepada Allah setelah melakukan kesalahan

Bertobat dari dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan menyesal (muhasabah
dan refleksi) atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak
melakukannya lagi di masa mendatang serta bertekad berbuat kebajikan di masa yang
akan datang.

Dalam pandangan Islam ada beberapa tahapan dalam pembentukan karakter yang
dimulai sedini mungkin. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya :
“Jadikanlah kata-kata pertama yang diucapkan seorang anak , kalimat La Ilaha
illallah. Dan bacakan kepadanya menjelang maut, La Ilaha illallah” (H.R. Ibnu
Anas)
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan adab (budi pekerti) yang
baik. (H.R. Ibnu Majah)
“Suruhlah anak-anakmu menjaga shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan
jika sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau shalat maka
pisahkanlah tempat tidurnya”(H.R. Al Hakim dan Abu Daud, Diriwayatkan dari Ibnu
Amr bin Ash r.a.)
Anas berkata bahwa Rasullah bersabda : Anak itu pada hari ke tujuh kelahirannya
disembelihkan akikahnya, serta diberi nama dan disingkirkan dari segala kotoran-
kotoran. Jika ia telah berumur 6 tahun ia dididik beradab susila, jika ia berumur 9
tahun dipisahkan tempat tidurnya dan jika berumur 13 tahun dipukul agar mau shalat
(diharuskan). Jika ia berumur 16 boleh dikawinka, setelah itu ayah berjabat tangan
dengannya dan mengatakan : saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan

17
Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), Cet. 1. hlm. 9.
14

kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah-fitnahan di dunia dan
siksaan di akhirat. (H.R. Ibnu Hibban).

Dari hadits-hadits diatas, jika dilihat pada masa sekarang, Bangsa Indonesia dilanda
krisis moral, yang diprediksi karena kurangnya pendidikan karakter lewat Pendidikan
Agama Islam, untuk itu perlu konsep yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
Pendidikan Islam yaitu : Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib. Berikut penjelasannya :
1. Tarbiyah : merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa
yang ada pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial
maupun spiritual.18Menurut Musthafa al-Maraghi yang membagi
aktifitas al-tarbiyah dengan dua macam: (a) Tarbiyah khalqiyyah, yaitu
pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan jasmani manusia, agar
dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengembangkan rohaninya. (b)
Tarbiyah diniyyah tahdzibiyyah, yaitu pendidikan yang terkait dengan
pembinaan dan pengembangan akhlak dan agama manusia, untuk
kelestarian rohaninya.19
2. Ta’lim : proses tranmisi ilmu pengetahuan (knowledge) pada jiwa
individu tanpa ada batasan dan ketentuan tertentu. Jadi pengajaran
lebih mengarah pada domain kognitif saja.20Seperti proses
pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus sejak manusia lahir
melalui pengembanagn fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan
hati. Pengertian ini digali dari firman Allah SWT yang terjemahannya
sebagai berikut:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”
3. Ta’dib : Pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti,
akhlak, moral, dan etika.

"Addabani Rabbi fa ahsana ta'dibi" (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian
menjadilah pendidikanku yang terbaik).

18
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 11
19
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada, 2010), hlm. 17
20
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm.4.
15

Di dalam hadis ini secara eksplisit digunakan istilah ta'dib (yang diartikan
pendidikan) dari kata addaba yang berarti mendidik. Kata ini, menurut alZajjaj,
dikatakan sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya.21
Dengan penjelasan al-Attas selanjutnya menguraikan pengertian hadis sebagai
berikut: "Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui, dengan apa (yaitu
adab) yang secara berangsur-angsur telah ditanamkan ke dalam diriku, tempat-
tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu
membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian dan sebagai akibatnya, Ia telah membuat
pendidikanku yang paling baik".
Sehingga, dengan demikian tidak perlu ada keraguan bahwa konsep dan
proses pendidikan telah tercakup di dalam istilah ta'dib dan bahwa istilah yang tepat
untuk menunjukkan "pendidikan" di dalam Islam sudah cukup terungkapkan olehnya.
Istilah ta'dib mengandung arti ilmu, pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan yang baik
(tarbiyah). Tidak ditemui unsur penguasaan pemilikan terhadap objek atau anak didik,
di samping tidak juga menimbulkan interpretasi mendidik makhluk selain manusia,
misalnya binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena, menurut konsep Islam, yang dapat
dan harus dididik hanyalah manusia, al-hayawan al-natiq.22

Pendidikan karakter dapat diklasifikasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut :


1) Tauhid (Usia 0-2 tahun)
2) Adab (Usia 5-6 tahun)
3) Tanggung Jawab Diri (Usia 7-8 tahun)
4) Caring-Peduli (Usia 9-10 tahun)
5) Kemandirian (Usia 11-12 tahun)
6) Bermasyarakat (Usia 13 tahun keatas)
Dalam implementasi pembiasaan ini, diperlukan pendekatan integratif antara
sekolah, masyarakat dan orang tua di lingkungan keluarga. Schecter dalam studinya
memberikan pemahaman bahwa disposisi guru pada pelibatan orang tua di sekolah,
memberikan keuntungan berkaitan dengan orientasi kurikulum untuk orang tua,
membuka jalur komunikasi, membangun masyarakat, diversifikasi sumber, advokasi
orang tua. Demikian juga Oladipo menyatakan bahwa “moral education was
responsible for all. Because each child from birth belongs to significant group, so

21
Syah Ahmad, Trem Tarbiyah, Ta‟lim dan Ta‟dib dalam Pendidikan Islam : Tinjauan dari Aspek
Semantik, Jurnal Al Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7 No. 1. 2008. Hlm. 8.
22
Ibid.
16

family members, friends, relatives, teachers and administrators play a major role in
the formation of the character of each child”.

Manusia dan proses pembentukan karakternya, dapat dikelompokan menjadi empat


bagia, yaitu :23
a. Fatalis-Pasif
Mazhab ini mempercayai bahwa setiap individu sejak lahir sudah berkarakter
atau tuna karakter melalui ketetapan Allah secara asal, baik ketetapan semacam
ini terjadi secara semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor eksternal, termasuk
pendidikan tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat dengan
ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Ketetapan itu dapat dialirkan
kepada hereditas (gen) seseorang secara kodrati, seperti yang diterangkan dalam
al Quran maupun Hadits.
Islam sangat memperhatikan faktor al-waritsah (hereditas) ini dalam
pembentukan kepribadian seseorang dan mengarahkannya ke hal yang positif.
Seperti Allah melebihkan keturunan nabi atau wali yang menular generasi ke
generasi. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 34 yang
berbunyi :
Artinya: “(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 34)
Berkaitan dengan hereditas, banyak sekali ayat al-Qur’an maupun hadist yang
memberi indikasi kuat bahwa faktor hereditas akan diwarisi/ ditiru oleh
keturunannya. Ilmu yang membahas tentang hereditas telah menetapkan, bahwa
anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral (al-
khalqiyah), kinestetik (al-jismiyah), maupun intelektual (al-aqliyah), sejak masa
kelahirannya.
b. Netral-Pasif
Mazhab ini berpandangan bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh sempurna,
suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau
kufur, berkarakter atau tuna karakter bersifat pasif dalam menghadapi
diterminasi hereditas.
c. Positif-Aktif

23
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam…. Hlm. 246-253.
17

Madhab ini berpandangan bahwa bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir
adalah karakter, sedangkan seseorang menjadi tuna bersifat aksidental atau
sementara. Artinya seseorang lahir sudah membawa karakter. Karakter itu
bersifat dinamis dan aktif mempengaruhi lingkungan sekitar.
Lingkungan atau alam sekitar memiliki peranan penting dalam pendidikan
Islam. Karena lingkungan merupakan elemen yang signifikan dalam
pembentukan personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam
rangka umum peradaban. Biasanya individu-individu dimasyarakat mengikuti
kebiasaan yang ada disekitarnya dengan sadar atau tidak sadar.24
d. Dualis-Aktif
Mazhab ini berpandangan bahwa manusia sejak awalnya membawa sifat ganda.
Disatu sisi cenderung kepada kebaikan (energy positif), dan disisi lain
cenderung kepada kejahatan (kejahatan negatif). Kecenderungan kepada
karakter dibantu oleh energy positif berupa kekuatan spiritual (fitrah tauhid),
kenabian dan wahyu tuhan, bisikan malaikat, kekuatan akal sehat dan kalbu
yang sehat dalam diri manusia.
Dari empat aliran filsafat pendidikan Islam diatas, aliran mana yang cocok
dalam pembentukan karakter ? menurut hemat penulis aliran yang cocok adalah
aliran positif-aktif dan dualis-aktif karena secara rasional, manusia lahir di dunia
sudah membawa karakter gen, tetapi karakter tersebut juga bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain lingkungan di sekolah, keluarga maupun di
masyarakat.

Menurut beberapa ahli, lingkungan secara garis besar dibedakan menjadi:


a. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang berupa alam, misalnya keadaan tanah,
keadaan musim, dan lain sebagainya. Lingkungan alam yang berbeda akan
memberikan pengaruh yang berbeda kepada individu. Misalnya, daerah
pegunungan memberikan pengaruh yang lain apabila dibandingkan dengan daerah
pantai.
b. Lingkungan sosial, merupakan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan
masyarakat ini adanya interaksi individu satu dengan individu yang lain. Keadaan
masyarakat pun akan mempengaruhi perkembangan individu.25

24
Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna: Falsafah Pendidikan Islam, hlm. 81.
25
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi, 2004), hlm. 51.
18

Lingkungan berperan untuk membantu membentuk kepribadian manusia itu


sendiri, karena tanpa bantuan lingkungan manusia tidak bisa menjalani kehidupan
normal sebagaimana mestinya. Lingkungan inilah yang ikut andil menentukan apakah
individu itu akan menjadi baik, ataukah menjadi jahat. Apabila ia berada dalam
lingkungan yang baik, maka ia akan terbentuk menjadi orang baik. Begitu pula
sebaliknya, karena lingkungan yang buruk, maka akan membawa pengaruh yang
buruk terhadap seseorang sehingga menyebabkan ia menjadi orang yang jahat. Oleh
karenanya, posisi lingkungan dalam pembentukan kepribadian seseorang juga
memiliki andil yang cukup besar.
Lingkungan pendidikan sekolah perlu mendapatkan perhatian khusus dari para
orangtua, karena bagaimanapun lingkungan sekolah tempat anak belajar tetap akan
memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Karena
pada fakta dilapangan, banyak orangtua yang hanya memasrahkan sepenuhnya
anaknya kepada sekolah, padahal terbentuknya karakter anak yang baik, harus saling
berkaitan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Jika salah satu
diantara lingkungan tersebut ada yang tidak sesuai, dipastikan sulit untuk mencetak
karakter anak yang baik.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Hakikat nilai adalah sesuatu yang dipentingkanmanusia sebagai subyek


menyangkut segala sesuatu baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan,
atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
2. Nilai yang diaktualisaikan melekat dan menyatu kuat pada diri seseorang adalah
menjadi karakter, dan pembentukannya melalui proses pendidikan nilai. Nilai
karakter selalu berhubungan kebaikan, keluhuran budi, akhlak mulia yang
dilakukan secara terus menerus sehingga ia menjadi kebiasaan, yang akan menjadi
karakter orang tersebut. adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai,
diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat
3. Pendidikan nilai dilakukan dengan melaksanakan secara utuh dan terus menerus,
yakni dengan Habituasi (pembiasaan), Membelajarkan hal-hal yang baik,
merasakan dan mencintai yang baik, tindakan yang baik, Keteladanan dari
lingkungan sekitar, Tobat (kembali) kepada Allah setelah melakukan kesalahan
19

Aliran yang paling rasional ialah aliran positif-aktif dan dualis-aktif karena secara
rasional, manusia lahir di dunia sudah membawa karakter gen, tetapi karakter
tersebut juga bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lingkungan di
sekolah, keluarga maupun di masyarakat
20

Daftar Pustaka

Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran Nilai-nilai Karakter, (Jakarta; 2013, Rajawali Press)


Ahmad, Syah, Trem Tarbiyah, Ta‟lim dan Ta‟dib dalam Pendidikan Islam :
Tinjauan dari Aspek Semantik, Jurnal Al Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7
No. 1. 2008.
Al Qarni,Sayyid Ali, dlufu ba’dli al qaym al akhlaqiyyah, Risalah al majistiriyyah,
jami’ah at-Thaoif, 2009
Gunawan, Heri, Pendidikan Islam: Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2014
Kartawisastra, H. Una, Strategi Klarifikasi Nilai, (Jakarta: P3G Depdikbud, 1980
Kaswardi,EM, , Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT Gramedia,
1993
Maarif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
Maksudin, Pendididikan Nilai Konprehensif : Teori dan Praktik, (Yogyakarta: UNY
Press, 2009
Mansur, Isna, Diskursus Pendidikan Islam, Rosda Karya, Bandung, 2002
Mudzakir, Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada, 2010
Mu’in, Fatchul, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik, (Yogyakarta;
2011, Ar Ruzz Media
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006
Mulyana, Rahmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Thoha, Muhammad Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Zakiyah, Qiqi, Yuliati, Pendidikan Nilai, kajian Teori dan Praktik di Sekolah,Pustaka
Setia Bandung, 2008

Anda mungkin juga menyukai