Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala
perbuatannya. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk
norma atau ukuran normatif, sehingga merupakan suatu
perintah/keharusan, anjuran atau merupakan larangan, tidak diinginkan
atau celaan. Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan,
kebaikan dan sebagainya, diperintahkan/dianjurkan. Sedangkan segala
sesuatu yang sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan
sebagainya), dilarang/tidak diinginkan atau dicela. Dari uraian di atas,
jelas bahwa nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan
kehidupan setiap manusia (Irene, 1993:22).
Dalam kajian Sosiologi, sistem nilai adalah nilai inti (score value) dari
masyarakat. Warga masyarakat menjunjung tinggi nilai itu dengan baik
sehingga menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Menurut
William (1980), sistem nilai itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi
menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang
menjelaskan adanya tata tertib di dalam suatu masyarakat. Adanya sistem
nilai budaya yang meresap dan berakar kuat di dalam jiwa masyarakat,
maka akan sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat.
Contoh sistem nilai: kata pepatah “banyak anak banyak rejeki”. Sistem
nilai ini begitu diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita dulu,
sehingga pelaksanaan program KB yang menginginkan keluarga kecil
bahagia baru tampak berhasil sekitar 20 tahun kemudian. Menurut
Koentjoroningrat suatu sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Irene, 1993:23).
Nilai cenderung bersifat tetap, tetapi yang berubah adalah penilaian oleh
manusia. Oleh karena itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran nilai
karena nilai tidak pernah bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau
penilaian manusia. Sebagai contohnya, Vincent Van Gogh adalah seorang
pelukis yang dilahirkan di Zundert, sebuah kota di Belanda selatan pada
tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri pada tanggal 28 Juli 1890.
Kemiskinan dan karya seninya yang tidak diapresiasi merupakan
penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan Van Gogh tidak memiliki
arti apa pun di masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya
diagungkan, contoh lainya untuk lukisan Affandi pelukis dari Indonesia
dihargai nilai lukisannya dengan harga relatif mahal dibandingkan saat
beliau masih hidup. Hal tersebut sebagai contoh bahwa nilai tidak berubah
tetapi cara manusia dalam menilai bisa berubah.
Ketiga kualitas ini bersatu menjadi sesuatu yang disebut sebagai Kualitas
Gestalt. Dengan penyatuan tiga kualitas tadi, sesuatu bisa dibedakan,
misalnya: mana orang yang baik hati, mana gitar yang suaranya merdu, mana
kasur yang enak ditiduri, dan sebagainya. Kualitas Gestalt inilah yang menjadi
ciri khas setiap objek. Contoh yang lebih konkrit lagi.