Anda di halaman 1dari 13

BAB 6

MANUSIA, NILAI, MORAL DAN HUKUM


6.1. Pengertian Manusia

Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti
berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara
istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas,
sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam hubungannya dengan lingkungan,
manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism).

Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat
dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi),
horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan
perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan
itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap
manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan
keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi
kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.

Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain. Ia belajar
berjalan, belajar makan, belajar berpakaian, belajar membaca, belajar membuat sesuatu dan
sebagainya, memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa.

Malinowski(1949), salah satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa
ketergantungan individu terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari usaha-
usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya yang dilakukan
melalui perantaraan kebudayaan.

Rasa aman secara khusus tergantung kepada adanya sistem perlindungan dalam rumah, pakaian
dan peralatan. Perlindungan secara umum, dalam pengertian gangguan/kelompok lain akan lebih
mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok. Untuk menghasilkan keamanan dan
kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan aturan-aturan  dan kontrol-kontrol sosial tentang
apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Selain itu
ditentukan pula siapa yang berhak mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya tujuan
bersama.

6.2. Pengertian Nilai

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.
Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
Sifat-sifat nilai adalah Sebagai berikut.

1. Nilai itu suatu relitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu.
Misalnya orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bias
menindra kejujuran itu.
2. Nilai memiliki sifat normative, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita dan suatu
keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal das sollen. Nilai diwujudkan dalam bentuk
norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya nilai keadilan. Semua orang
berharap manusia mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya nilai ketakwaan.
Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat
ketakwaan.

Menurut Cheng(1995): Nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti terdapatnya
hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan manusia,
sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki (dalam
Lasyo,1999,hlm.1).

Menurut Lasyo(1999,hlm.9)sebagai berikut: Nilai bagi manusia merupakan landasan atau


motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai yaitu
sesuatu yang menjadi etika atau estetika yang menjadi pedoman dalam berperilaku.

Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks,pertama akan
memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif,apabila dia memandang nilai itu ada meskipun
tanpa ada yang menilainya,bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai
penilai.Baik dan buruk,benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran
manusia,tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya.
Pandangan kedua memandang nilai itu subjektif,artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya.Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai.Oleh
karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.

Beberapa pengertian tentang Nilai (Value)


Menurut Poerwodarminto, nilai diartikan:
a.    Harga dalam arti taksiran, misalnya nilai emas;
b.    Harga sesuatu, misalnya uang;
c.    Angka, misalnya skor ;
d.    Kadar, misalnya mutu; dan
e.    Sifat – sifat atau hal penting bagi kemanusiaan.

  Menurut sumber lain, nilai diartikan :


-      Suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu yang menjadi dasar penentu tingkah laku
seseorang.
-      Kualitas atau keadaan yang bermanfaat bagi manusia baik lahir maupun batin.
Sesuatu di anggap bernilai atau memiliki nilai, apabila sesuatu itu memiliki sifat :
a.    Menyenangkan (peasent)
b.    Berguna (useful)
c.    Memuaskan (satisfying)
d.    Menguntungkan (profitable)
e.    Menarik (interesting)
f.    Keyakinan (belief)

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.

Nilai memiliki beberapa aliran, yaitu :


1.     Aliran objektivisme / idealism
Nilai itu objektif, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada yang diciptakan di dunia tanpa ada
sesuatu nilai yang melekat di dalamnya. Segala sesuatu ada nilainya dan bernilai bagi
manusia, hanya saja manusia belum tahu nilai apa dari objek tersebut.
2.    Aliran subjektifisme
Nilai suatu objek terletak pada subjek yang menilainya. Misalnya, air menjadi sangat
berharga daripada emas bagi orang yang kehausan di tengah padang pasir.
3.    Aliran yang menggabung keduanya
Adanya nilai ditentukan oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai.
Sebelum ada subjek yang menilai maka barang atau objek itu tidak bernilai.
Contoh : Harta Karun

Prof. Notonegoro mengklasifikasikan 4 nilai :


1.    Nilai Materiil, yaitu sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia;
2.    Nilai Vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan;
3.    Nilai Kerohanian, yaitu :
a. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal pikir manusia (rasio, budi dan cipta),
b. Nilai estetika (keindahan) yang bersumber pada rasa manusia,
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada kehendak keras, karsa hati dan
nurani manusia;
4.    Nilai Religius (Ketuhanan) yang bersifat mutlak dan bersumber pada keyakinan manusia.

Hakikat Nilai dan Moral


Nilai dan Moral berhubungan dengan Etika…
Ada 3 jenis makna etika :
1.     Etika adalah nilai – nilai atau norma – norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
2.    Etika adalah kumpulan asas atau nilai moral (etika yang dimaksud adalah kode etik).
3.    Etika adalah ilmu tentang baik dan buruk (etika yang dimaksud sama dengan istilah
filsafat moral).
6.3. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini
mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners, morals.

Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing
tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima
masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, dan sebagainya.

Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa
moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari
sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan
dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat.

Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.


apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu
dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya
dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur
kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur
manusia untuk menjadi manusia yang baik.

Hubungan nilai dengan moral


Moral adalah bagian dari nilai, yaitu nilai moral. Tidak semua nilai adalah moral. Nilai moral
berkaitan dengan tingkah laku / perilaku manusia (human) tentang hal baik – buruk.

Dalam filsafat, nilai dibedakan menjadi 3 jenis :


1.    Nilai logika yaitu nilai tentang benar – salah,
2.    Nilai etika yaitu nilai tentang baik – buruk, dan
3.    Nilai estetika yaitu nilai tentang indah – jelek.

Nilai etik/etika adalah nilai tentang baik – buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia. Jadi
kalau kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti wajahnya yang buruk tetapi menunjuk
perilaku orang itu yang buruk.

Nilai etik adalah nilai moral. Jadi, moral yang dimaksudkan adalah nilai moral sebagai bagian
dari nilai.
6.4. Pengertian Hukum

Disamping adat istiadat, ada kaidah yang mengatur kehidupan manusia yaitu hukum, yang
biasanya dibuat dengan sengaja danmempunyai sanksi yang jelas. Hukum dibuat dengan tujuan
untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi keserasian diantara warga masyarakat dan
sistem sosial yang dibangun oleh suatu masyarakat. Pada masyarakat modern hukum dibuat oleh
lembaga-lembaga yang diberikan wewenang oleh rakyat.

Keseluruhan kaidah dalam masyarakat pada intinya adalah mengatur masyarakat agar mengikuti
pola perilaku yang disepakati oleh system sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat
tersebut. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang
sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut.Setiap tindakan manusia dalam
masyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat tadi.Pola perilaku berbeda dengan
kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang yang kemudian diakui dan mungkin
diikuti oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada
khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain, dinamakan social organization.

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.

6.5 Manusia, Nilai, Hukum dan Moral

Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati
dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu
penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya adalah upaya
dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik
pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.

Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai
yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia
melihat nilai dari sudut kepentingannya.

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.

Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena
dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia
yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu
harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan
itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai
negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani,
cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.

Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:

1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas
seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi
hierarki nilai pokok yaitu:
3. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
4. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
5. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:

1. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
2. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
3. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
4. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan
melalui akal budi dan nuraninya

Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan
sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia
seperti nilai religius.

Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan
internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat
subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi
lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma
berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas
yang digunakan oleh tukang kayu.

Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi
norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan
norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.

Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:

1.  Norma kepercayaan atau keagamaan


2.  Norma kesusilaan
3.  Norma sopan santun/adab
4.  Norma hukum

Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat
dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).

Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores
kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral
diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh
moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia
yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.

 6.6 Hubungan Manusia dengan Moral

Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal dari bahasa kuno yang berarti
ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak arti yaitu tempat tinggal biasa, padang
rumput, kebiasaan, adat, watak sikap , dan caraberfiki. Dalam bentuj jamak ethos (ta etha) yang
artinya adat kebiasaan. Moral berasal dari bahsa latin yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti
adat, cara, dan tempat tinggal. Dengan demikian secara etismologi kedua kata tersebut bermakna
sama hanya asal usul bahasanya yang berbeda dimana etika dari bahasa yunani sementara moral
dari bahasa latin.

Moral yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilaidan orma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam ilmu
filsafat moral banyak unsur yang dikaji secara kritis, di landasi rasionalitas manusia seperti sifat
hakiki manusia, prinsip kebaikan, pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan terhadap
sesuatu dan sebagainya. Moral lebih kepada sifat aplikatif yaitu berupa nasehat tentang hal-hal
yang baik.

Ada beberapa unsur dari kaidah moral yaitu :

1. Hati Nurani Merupakan fenomena moral yang sangat hakiki.

Hati nurani merupakanpenghayatan tentang baik atau buruk mengenai perilaku manusia dan hati
nuraniini selalu dihubunngkan dengan kesadaran manusia dan selalu terkait dalamdengan situasi
kongkret. Dengan hati nurani manusia akan sanggupmererfleksikandirinya terutama dalam
mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.

2. Kebebasan dan tanggung jawab.

Kebebasan adalah milik individu yang sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada
dasar nya adal;ah makhluk bebas. Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena tidak boleh
bersinggungan dengan kebebasan orang lainketika mereka melakukan interaksi. Jadi, manusia itu
adalah makhluk bebas yang dibatasi oleh lingkungannya sebagai akibat tidak mampunya ia untuk
hidupsendiri.

3. Nilai dan Norma Moral.

Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada orang lain dan ia akanbergabung dengan nilai
lain seperti agama, hukum, dan budaya. Nilai moralterkait dalam tanggung jawab seseorang.

Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai
moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu
kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral
harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya
angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab
dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-
undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu
dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan
hukum.

Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak
kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral
sangat jelas.

Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :

1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis


dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki
kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri
sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena
hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian
luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang
moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum
itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas
norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara
demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat
tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan
tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :

1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam
sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara,
sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan
moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).

  

6.7 Hubungan Manusia dengan Hukum

Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan
hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat.
Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan
mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tersebut.

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum,
terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di
situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial
yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen
perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.

Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang
bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang
teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan
(hukum) dan si pengatur(kekuasaan).

 
 6.8 Tujuan Hukum

Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :

1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu
menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara
sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan
menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan
daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat
(law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu
masyarakat manusia yang teratur.

Tujuan hukum menurut hukum positif Indonesia termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat yang berbunyi “..untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain
itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap
perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.

 6.9  Penegakan Hukum

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan
(machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal
kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola
berdasarkan hukum.

Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus
sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur (in
order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.

Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum.
Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Karena,
negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun
juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan.
Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:

1. Substansi hokum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah
peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban
bersama.
2. Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi
terhadap terwujudnya tujuan hukum.
3. Budaya Hukum yaitu budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang
tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum
ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling
menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’
ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam
fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum
cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-
penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar
negeri.

Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja. Namun
sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak
semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat.
Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas.

Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai
suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum
(culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan,
namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah
pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk
penegakan hukum.

Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini secara
normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun,
apakah telah berjalan efektif? Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga aparat
penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan
masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya
yang agak sulit diberantas.

Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat. Juga,
hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal adalah suatu kemestian. Misalnya, perda
kawasan bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok,
atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif
dengan asap.

Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu.


Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus
digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warga negara untuk
mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan
berguna bagi kelangsungan hidupnya.

6.10 Problematika Hukum

Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hukum oleh
pengemban kekuasaan.

Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:

1. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang
berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang
banyak sangat dibutuhkan.
2. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami
intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu
mensejahterakan aparatur penegak hukum.
3. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini
berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang
dianggap adil.
4. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan
aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
5. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman
aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-
undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan
simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status
sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita
Mulyasari.

Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu
dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa
yang dijanjikan dalam hukum.

6.11.  Problematika Nilai, Moral, dan Hukum Dalam Masyarakat dan Negara

Terbentuknya nilai dari hubungan yang bersifat ketergantungan sikap manusia, merupakan
modal dasar dalam menjalin kehidupan manusia. Dengan menilai dapat menentukan moral
seseorang, apakah baik buruknya sepanjang nilai itu dalam arti positif berarti perubahan
bermoral, begitu juga sebaliknya jika nilai itu dalam arti negatif berarti perbuatan yang amoral.
Perbuatan yang bersifat amoral inilah yang dijadikan problema dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai, ditinjau dari aspek lahiriah yaitu untuk
mencapai ketertiban atau kedamaian, dan jika di tinjau dari aspek batiniah yaitu untuk mencapai
ketenangan atau ketentraman. Suatu contoh adalah masalah perkawinan. Semua orang tahu
bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah mawadah warahmah,
akan tetapi kenyataan-kenyataan yang ada banyak problem yang terjadi dalam keluarga,
misalnya: terjadi kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami tidak bertanggung jawab pada
anak dan istri dan lain sebagainya. Dengan nilai dari perkawinan tidak terwujud sebagaimana
yang kita dambakan. Secara hukum suatu perkawinan itu dapat diakui oleh negara apabila
dilakukan dihadapan catatan sipil (untuk penduduk non Islam) dan tercatat di Kantor Urusan
Agama (KUA, untuk penduduk Islam), namun kenyataannya masih banyak istilah kawin sirih
(kawin di bawah tangan), bahkan ada juga yang dikenal dengan “kawin kontrak”. Problema yang
demikian harus diperhatikan dan perlu dipikirkan secara arif dan bijaksana baik oleh kalangan
masyarakat awam maupun oleh pemerintah, karena sifat perkawinan yang demikian ini sangat
merugikan bagi kaum perempuan dan nasib anak-anak. Karena dengan perkawinan sirih dan
perkawinan kontrak ini, dengan begitu mudah kaum laki-laki untuk meninggalkannya, bahkan
ingin terlepas dari tanggung jawabnya.

Perkawinan itu apabila dilakukan menurut prosedur atau menurut aturan-aturan yang ada dalam
suatu masyarakat, maka orang yang melaksanakan perkawinan demikian dikatakan yang
bermoral. Juga sebaliknya jika perkawinan yang dilakukan tidak melalui prosedur atau tidak
dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu maka perkawinan itu
dikenal dengan cara tidak bermoral. Maka yang perlu kita ketahui dalam hal ini di samping
hukum dasar yang tertulis ada hukum yang tidak tertulis, yaitu misalnya “hukum adat
perkawinan” yang setiap daerah mempunyai adat masing-masing. Manusia sebagai makhluk
yang hidup bermasyarakat untuk terwujudnya apa yang dikatakan ketertiban atau keamanan, dan
ketenangan atau ketentraman maka harus patuh kepada hukum yanng berlaku dan menjalani
nilai-nilai yang ada di masyarakat dengan baik dan sempurna.

Kesimpulan

Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang.
Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas
mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan.

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh
seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu,
menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai