Anda di halaman 1dari 6

Pemikiran Tomas Humprey Marshall tenatang konsep Kewarganegaraan dan kelas

sosial

Pendahuluan

Tulisan ini berusaha untuk menguraikan penjelasan terkait pemahaman penulis dari
pemikiran Tomas Humprey Marshall terkait dengan kewarganegaraan dan kelas sosial
sebagai kajian pendidikan kewarganegaraan. Yang menjadi buku rujukan kajian dalam
tulisan ini tentu saja Citizenship and Social class yang pertama kali diterbitkan pada tahun
1992 oleh Pluto Press, London. Dalam buku tersebut terdiri dari dua bagian, dimana bagian
pertama itu adalah pemikiran Marshall terkait dengan Citizenship and social class yang
diterjemahkan oleh penulis yaitu kewarganegaraan dan kelas sosial dibagian kedua adalah
pemikiran Tom Bottomore terkait dengan citizenship and social class, forty years on. Dari
bagian pertama buku tersebut, penulis berusaha menemukan keterkaitanya dengan pendidikan
kewarganegaraan.

Marshall pada awalnya menemukan ketidak setaraan masyarakat dalam bidang ekonomi
yang merambat hingga bidang sosial pada umumnya. Ketidak setaraan yang menjadi objek
permasalahan mermbah ke konsep warga negara dimana negara seharusnya memberi
kesetaraan yang sama kepada setiap warganya dalam hal hak dan kewajiban. Maskipun
dalam kehidupan warga negara tidak bisa dupungkiri adanya kelas sosial yang berbeda, itu
tidak menjadi masalah apabila warga negaranya mendapat hak dan kesetraan
kewarganegaraan yang diakui oleh negara. Namun tidak dipungkiri juga bahwa dari kelas
sosial yang berbeda memunculkan ketidaksetaraan sosial sehingga berdampak pada konsep
kewarganegaraan. Bagaimanakah konsep kewarganegaraan yang seharusnya menjadi
pedoman dalam memunculkan hak dan keadilan sosial serta kesetaraan sosial ?. Berikut
uraian perspektif penulis berusaha menafsirkan pemikiran Marshall tentang konsep
kewarganegaraan.

Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan


Ada tiga unsur utama yang dimunculkan sebagai bagian dari kajian kewarganegaraan,
ketiga unsur ini diantaranya adalah sipil (rakyat), politik dan sosial. Negara dituntut untuk
memberikan hak kepada masyarakat terhadap ketiga unsur tersebut. Sehingga masyarakat
memiliki hak sebagai rakyata (hak sipil), hak politik dan hak sosial. Masing masing dari
ketiga hak tersebut memiliki institusi atau lembaga sebagai penegak atau dapat dikatakan
sebagai pelaksananya. Yang pertama, hak sipil yaitu hak yang diperlukan untuk kebebasan
individu, kebebasan berbicara, berpikir, berkeyakinan dan hak unutk memiliki properti dan
kontrak yang sah serta hak atas keadilan. Dalam pelaksanaan dari hak sipil ini yang menuntut
adanya hak kesetraan warga dan keadilan dalam proses hukum itu dilakukan oleh lembaga
pengadilan. Yang kedua,hak terkit dengan unsur politik yaitu hak untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan kekuasaan pengambilan kebijakan sebagai angota badan yang diberi otoritas
dalam hal itu adalah parlemen atau dewan pemerintahan. Kemudian yang ketiga, hak terkait
dengan unsur sosial yaitu seluruh rentang dari hak atas kesejahteraan ekonomi, keamanan
hingga hak untuk berbagi sepenuhnya warisan sosial dan untuk menjalani kehidupan sebagai
makhluk beradab sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat. Lembaga yang terkait
dengan hal tersebut adalah sistem pendidikan dan pelayanan sosial.
Terdapat periode formatif dalam kehidupan masing-masing di abad yang berbeda, hak
sispil di abad 18, politik di abad19 dan sosial di abad anatara 19 dengan 20. Setiap periode
tersebut harus diperkakuakn dengan fleksibel dalam batas yang wajar dan terdapat tumpang
tindih yang nayta dalam dua periode terakhir.
Ditahun 1832 hak-hak sispil telah menjadi hak milik manusia bahkan dalam hal yang
paling panting sekalipun seperti pembentukan aturan hukum kebebasan. Hal ini memberikan
indikasi bahwa peran pengadilan baik itu dalam praktek sehari-hari maupaun dalam
serangkaian kasus yang populer mereka melawan parlemen dalam hal untuk mempertahankan
kebebasan individu. Kemudian dalam bidang ekonomi, hak sipil yang ingin ditegakkan
adalah hak untuk bekerja sesuai keinginan tetapi harus tunduk pada ketentuan teknis awalnya.
Namun hak ini ditolak oleh undang-undang maupun hukum kebiasaan. Dalam hal ini bisa
dilihat bahwa pada saat itu ada pembatasan pekerjaan untuk kelas sosial tertentu dan juga
peraturan lokal dimana hanya menyediakan pekerjaan untuk para anggotanya sendiri. Asumsi
bahwa monopoli lokal dilakukan untuk kepentingan publik karena lalulintas perdagangan
harus melibatkan pemerintah. Asumsi pada akhirnya diganti bahwa pembatasan semacam itu
merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu dan itu dapat mengancam kemakmuran
suatu bangsa. Pada abad ke 19 ini, prinsip kebebasan ekonomi individu diterima sebagai
aksiomatik.
Hak-hak sipil dalam periode formatif ini adalah salah satu penambahan bertahap hak-hak
baru ke status yang sudah ada dan dimiliki oleh anggota komunitas kategori dewasa dalam
beberapa hal penting. Karakter satatus yang demokratis atau universal ini meuncul secara
alami dari fakta bahwa pada dasarnya meruapakan suatu kebebasan dimana satatus budak
berubah menjadi tenaga kerja bebas. Sejak saat itu petani di Inggris juga sebagai anggota
suatu masyarakat yang didalamnya baik secara nominal maupaun secara hukum bagi semua
orang. Kebebasan yang diperolah yaitu dengan melarikan diri kekota-kota bebas telah
menjadi haknya. Di kota sendiri istilah kebebasan dan kewarganegaraan dapat diganti-ganti,
karena ketika kebebasan telah menjadi universal, kewarganegaraan tumbuh dari institusi
lokal menjadi institusi nasional.
Ketika hak hak sipil pada awal abad 19 melekat pada status kebebasan telah memperoleh
substansi yang cukup untuk membenarkan kita berbicara tentang status kewarganegaraan
secara umum, hak politik pada saat itu masih cacat dalam hal distribusi menurut standar
kewarganegaraan demokratis. Undang-undang tahun 1832 tidak banyak membantu untuk
memperbaiki cacat itu. Karena setelah disahkan jumlah pemilih masih kurang seperlima dari
populasi orang dewasa. Selain itu undang undang tersebut memeprluas hak waralaba kepada
para penyewa dan menempati penyewa dengan substansi ekonomi yang memadai, membuka
monopoli dengan mengakui klaim politik dari mereka yang dapat menghasilkan bukti
keberhasilan normal dalam perjuangan ekonomi.
Hal ini memperjelas bahwa jika pada abad ke 19 kewarganegaraan berdasarkan hak-hak
sipil bersifat universal, waralaba politik bukanlah salah satu hak kewarganegaraan. Karena itu
adalah hak istimewa dari kalangan ekonomi terbatas. Tidak ada warganegara waras dan tata
hukum dilarang oleh status pribadi dalam memberikan perolehan suara, dia bebas mencari
uang, dan menikmati hak politik apapun yang melekat pada pencapaian ekonominya, hak-hak
sipilnya itu memberikannya hak politik.
Sudah sepantasnya masyarakat kapitalis abad ke 19 memperlakukan hak-hak politik
sebagai produk sekunder dari hak-hak sipil. Hal ini terjadi pula di abad ke 20 yang harus
melampirkan hak politik secara langsung dan mandiri pada kewarganegaraan. Perubahan
prinsip ini mulai berlaku ketika undang-undang tahun 1918 ang mengadopsi hak pilih orang
dewasa menggeser dasar hak politik dari substansi ekonomu ke status pribadi. Ke laki-lakian
dengan sengaja ditekankan pentingnya refleksi ini terlepas dari yang tidak kalah penting
yaitu reformasi pemberian hak pada perempuan. Meski demikian undang-undang tahun 1918
tidak sepenuhnya menetapkan persamaan politik bagi semua orang dalam hal hak
kewarganegaraan.
Selanjutnya kita masuk pada periode hak sosial, yang bersumber dari keanggotaan
komunitas lokal dan asosiasi fungsional yang kemudian diganti dengan hukum miskin dan
sistem pengaturan pengupahan yang disususn secara nasioanl dan lokal. Namuan sejak abad
ke 18 sistem pengaturan upah itu kusam akibat perubahan industri dan tidak dimungkinkan
secara administratif sehingga pengaturan itu melanggar prinsisp individualis dari kontrak
kerja bebas ini. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa hukum miskin sebagai salah satu contoh
pemisahan hak sosial dari status kewarganegaraan.
Kemudia terkhusus pada bidang pendidikan di abad ke 19 menolak dengan tegas prinsip
hak-hak sosial sebagai bagian integral dari status kewarganegaraan. Pendidikan sebagai objek
untuk kebijakan negara adalah jenis layanan yang unik karena mudah mengatakan bahwa
pengakuan hak anak untuk dididik tidak mempengaruhi status kewarganegaraan sama seperti
pengakuan hak anak untuk dilindungi dari pekerjaan berlebihan hanya keran anak-anak
belum bisa menjadi warganegara. Namun pernyataan itu sesat karena sesungguhnya
pendidikan anak memiliki kaitan langsung dengan kewarganegaraan. Ketika negara
menjamin bahwa semua anak harus di didik ia memiliki persyaratan dan sifat
kewarganegaraan yang pasti. Hak atas pendidikan merupakan hak sosial warganegara yang
sejati, karena tujuan pendidikan pada masa anak-anak adalah untuk membentik masa depan
yang akan datang.

2. Kewarganegaraan dan dampaknya terhadap ketidaksetaraan sosial


Kewarganegaraan adalah status yang diberikan kepada mereka yang menjadi anggota
penuh suatu kemunitas. Semua yang memiliki status adalah sama sehubungan dengan hak
dan kewajiban yang dianugerahakan oelh status tersebut. Tidak ada prinsip universal yang
menentukan apa hak dan kewajiban itu tetapi masyarakat memiliki citra kewarganegaraan
yang ideal, dapat diukur dan terarah. Dalam hal ini hal yang perlu ditonjolkan dalam konsep
kewarganegaraan adalah kesetaraan. Disis lain, kelas sosial sendiri adalah suatu sistem
ketidak setaraan. Dan itu juga dapat didasarkan pada seperangkat cita-cita, keyakinan dan
nilai.
Kelas sosial memiliki beberapa tipe pada umunya diantaranya tipe kelas sosial
berdasarkan pada status hierarki yaitu pembagian individu yang dibedakan status turun
temurun dari kaum bangsawanm, kampunan, budak dan seterusnya. Dampak
kewarganegaraan yang seperti itu sangat menganggu dan merusak. Kesetaraan yang yang
tersirat dalam dalam konsep kewarganegaraan meskipun isisnya terbatas namun
menggerogoti ketidak setaraan sistem kelas yang pada prinsipnya merupakan ketidaksetaraan
total. Hal ini terjadi pada pertengahan abad dengan sistem feodalisme. Tipe kelas sosial
berikutnya yaitu berdasarkan apad produk sampingan institusi lain, muncul dari interaksi
berbagai faktor yang terkait dengan institusi properti dan pendidikan. Hal ini juga tentunya
dapat menjadi budaya yang menciptakan peradaban yang buruk.
Kewarganegaraan dalam bentuk awalnya adalah prinsip kesetaraan dan periode ini terus
berkembang dalam waktu yang lama. Berawal dari titik dimana semua orang bebas dan
secara teori mampu menikmati haknya. Namun hak ini juga tidak bertentang dengan
ketidaksetaraan masyarakat kapitalis, mereka berpeduman pada hak sipil yang di perlukan
mempertahankan bentuk ketidak setaraan tertentu untuk ekonomi pasar yang kompetitif.
Hakekatnya itu terdapat pada kontrak perjanjian antara manusia yang bebas dan setara
statusnya, meskipun tidak harus berkuasa. Perbedaan status yang diasosiasikan dengan kelas,
fungsi, dan keluarga digantikan oleh status kewarganegaraan tungal yang seragam, hal
tersebut memberikan landasan ksetaraan dimana struktur ketidaksetraan dapat dibangun.
Bukan berarti hak sipil ini tidak memiliki cacat dalam penerapannya khususnya di abad ke
18, munculnya prasngka kelas mewarnai seluruh administrasi peradilan pada saat itu, hal ini
tidak dapat dihilangkan kecuali dengan pendidikan sosial dan pembangunan tradisi ketidak
berpihakan.
Prasangka kelas ini juga terjadi pada perkembangan di bidang hak politik yang
diekspresikan melalui intimidasi kelas bawah oleh kelas atas, menghalangi penggunaan hak
untuk memilih secara bebas oleh mereka yang baru mendapat hak pilih. Hal ini dapat diatasi
dengan pemungutan suara rahasia yang harus disertai juga dengan pendidikan sosial yang
merubah iklim mental. Hal ini menyimpulkan bahwa monopoli kelas dalam politik tidak
seperti monopoli kelas dalam hukum, keduanya memiliki tujuan yang sama dengan cara yang
berbeda. Hambatan berikutnya adalah efek dari distribusi kekayaan yang tidak merata, ini
merupakan masalah teknis sedrhana dalam kasus hak politik disebabkan karena biaya sedikit
sehingga sama sekali tidak mendaftarakan suara. Sebaliknya kekayaan dapat digunakan untuk
mempengaruhi pemilihan.
Hak sipil memberi kekuatan hukum yang penggunaanya dibatasi oleh prasangka kelas
dan kurangnya peluang ekonomi. Hak politik memberikan kekuatan potensial yang
pelaksanaannya menuntut pengalaman, organsisasi yang terkati dengan pelaksanaan
pemrintahan yang tepat. Berbeda dengan hak sosial yang terjalin dalam jalinan
kewarganegaraan terintegrasi dalam bidang sentimen dan unsur-unsur kehidupan yang
beradab dan berbudaya sehinga dapat dijangkau semua orang. Aspirasi ini dipenuhi dengan
memasukkan hak sosial kedalam status kewarganegaraan yang menciptakan hak universal.
Sperti contoh dalam sistem pendidikan yang memperlakuak setiap murid sesuai dengan
kemaunnya sendiri dan mengaggap pendidikan sebagai sesuatu yang memberi nilai yang
dapat dinikmati secara penuh. Namun telah disimpulkan bahwa melalui pendidikan dalam
hubungannnya dengan struktur pekerjaan, kewarganegaraan beroperasi sebagai instrumen
stratifikasi sosial. Status yang diperoleh melalu pendidikan dibawah kedunia dengan cap
legitimasi, karena diberikan oleh suatu lembaga yang dirancang untuk memberikan hak-hak
yang adil kepada warganegara.

Kesimpulan
Perbedaan status dalam kewarganegaran dapat diterima sebagai suatu keniscayaan,
namun dalam batas yang wajar. Sama halnya dengan ketidaksetaraan yang dapat ditolerir
selama hal itu dinamis dan dicapai dalam usaha perbaikan dan perubahan. Kesetaraan sebagai
warganegara menjadi hal paling penting dalam konsep kewarganegaraan, sebab hal ini
terimplementasi dalam setiap hak yang dituntut oleh mereka. Dalam kajian tersebut terdapat
tiga elemen atau unsur utama yang berimplikasi pada konsep kewarganegraan, yaitu hak sipil,
hak politik dan hak sosial. Masing-masing dari ketiga elemen tersebut tentunya tidak pisah
dipisahkan satu sama lain dalam konsep kewarganegraan. Sebab dari masing-masing ketiga
elemen tersebut merupakan acuan dasar yang berksinambungan antara satu dngan yang lain.
Meskipun demikian, tepat yang menjadi landasan pokoknya adalah hak sosial karena yang
salah satu unsurnya adalah sistem pendidikan. Jika hak sosial ini telah terlaksana dengan
tepat maka dari ketiga elemen dasar yaitu hak sipil dan hak politik bisa mengikut sehingga
muncul suatub konsep kewarganegaraan yang baik dalam suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai