Anda di halaman 1dari 27

BAB 3

WARGA NEGARA YANG DEMOKRATIS


COBALAH AMATI
Pernahkah Anda mengamati sejenak fenomena mengapa seorang anak
berusia 17 tahun mogok sekolah tiap hari Jum’at di depan gedung parlemen?
Mengapa ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak rancangan undang-undang
yang akan disahkan wakil rakyat? Mengapa ratusan driver ojek online
mengemudikan kendaraannya ke perusahaan start up yang menaungi
pekerjaannya? Mungkinkah jaminan dan keberlangsungan hidup mereka
terganggu sehingga harus bertindak sejauh itu? Jika tidak, mengapa ratusan
warga mengajukan gugatan peradilan kepada pemimpinnya karena banjir yang
menerjang pemukiman penduduk? Kini marilah kita pikirkan lebih cermat
bagaimana fenomena-fenomena itu dapat terjadi. Lalu marilah kita mencari tahu
materi perkuliahan apakah yang mempelajari tentang fenomena-fenomena
tersebut?

Gambar 3.1 Greta Thunberg (17), aktivis lingkungan hidup Swedia


TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:
A. Memahami pengertian warga negara yang demokratis
B. Memahami negara demokrasi sebagai agen pendidikan
C. Memahami pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis
D. Memahami pentingnya pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah
Peran warga negara dalam merumuskan dan mengambil keputusan untuk
kebijakan publik merupakan salah satu karakteristik dari sebuah negara
demokrasi. Peran warga negara secara individual maupun kelompok yang
dilakukan melalui partisipasi sukarela dengan membentuk asosiasi masyarakat
kewargaan (civil society) secara bebas, merupakan partisipasi aktif warga negara
mengusahakan kebaikan bersama (common good) dalam sebuah ruang publik.
Keterlibatan warga negara mengembangkan pengetahuan, kecakapan,
kebajikan, dan kebiasaan inilah yang sesungguhnya membuat demokrasi bekerja.
Maka pada tahap tertentu asosiasi-asosiasi masyarakat kewargaan dapat menjadi
kekuatan tanding melawan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintah (Patrick,
1999: 41). Sebagaimana pemikir politik Perancis Alexis de Tocquivelle (1805-
1859) menyebut demokrasi merupakan prinsip tentang partisipasi warga negara.
A. Pengertian Warga Negara yang Demokratis
1. Fungsi dan kedudukan teori kewarganegaraan
Dalam kebanyakan teori politik pasca-perang terdapat dua gagasan
fundamental dan normatif yang selalu menarik diperbincangkan. Kedua gagasan
itu adalah demokrasi (guna menilai prosedur) dan keadilan (guna menilai hasil
akhir). Kewarganegaraan jika memang diperbincangkan dalam teori ini, biasanya
dilihat sebagai bentuk turunan dari demokrasi dan keadilan—artinya, warga
negara adalah seorang yang memiliki hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan.
Tetapi ada usaha dan dukungan dari para akademisi yang semakin bertambah
banyak dari penjuru dunia, terhadap pandangan bahwa kewarganegaraan mesti
memainkan peran independen dan normatif dalam setiap teori politik yang masuk
akal, dan diskursus atas kewarganegaraan yang bertanggung jawab merupakan
sebuah sasaran yang mendesak dari kebijakan publik.
Sebagaimana yang dipahami Jean Jacques Rousseau, kewarganegaraan secara
erat berkaitan dengan kebajikan sipil—sedemikian eratnya sehingga praktisnya ia
mendefinisikan “warga negara” (citizen) sebagai “orang yang bertindak seraya
mencamkan kesejahteraan umum dalam benaknya” (one who acts with the good
of the community in mind). Tentu saja dalam hal ini ia mengikuti sebuah tradisi
yang dapat dirunut hingga sekurang-kurangnya ke Aristoteles. Bagi Rousseau,
kewarganegaraan bukan sekedar status hukum yang membawa serta pelbagai
privilese dan kekebalan. Kewarganegaraan dalah sebuah cara hidup yang
menuntut komitmen pada kesejahteraan umum dan keterlibatan aktif dalam hal
ihwal publik. Cara hidup inilah yang diyakini Rousseau tengah berada dalam
bahaya kepunahan pada pertengahan abad ke-19. “Kita memiliki ahli fisika, pakar
geometri, ahli kimia, astronom, penyair, musisi serta pelukis dalam jumlah
banyak, tetapi kita tidak lagi memiliki seorang warga negara di antara kita.”
Dengan pemilahan tersirat semacam ini antara aspek legal dan etik dari
kewarganegaraan, Rousseau menyajikan bagi kita sebuah titik tolak yang
bermanfaat untuk menjelaskan paham kewarganegaraan menurut kaum liberal
republikan. Namun, paham yang dimaksud mesti melampaui gagasan Rousseau
dengan memberinya bobot yang lebih besar pada segi legal dan edukatif dari
paham kewarganegaraan itu dibandingkan yang biasanya diberikan Rousseau dan
kaum republikan lainnya. Ditinjau dari liberalisme republikan, kewarganegaraan
sesungguhnya memiliki empat fungsi yang saling tumpang tindih yaitu fungsi
legal, etis, integratif serta edukatif.
a. Fungsi legal adalah fungsi yang mutlak diperlukan bagi paham
kewarganegaraan untuk seorang warga negara setidak-tidaknya sebagai
anggota sebuah lembaga politik, yang memiliki hak-hak tertentu dan juga
kewajiban-kewajiban tertentu berkat status kewarganegaraan yang
dimilikinya. Dengan memiliki status semacam ini, tidak mewajibkan
seseorang untuk melaksanakan hak-hak kewarganegaraan seperti hak untuk
terlibat dalam urusan publik. Hal itu juga tidak mewajibkannya untuk
mengesampingkan kepentingan pribadinya ketika ia melibatkan diri. Namun,
hal itu memang memungkinkan seseorang untuk melaksanakan hak-hak
tersebut, jika ia memilih untuk terlibat dan memberi perlindungan terhadap
orang-orang yang ingin melanggar hak-haknya.
b. Fungsi etis adalah fungsi yang lebih jauh dari status legal yakni seorang warga
negara sejati akan mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan dan
aktivitas publik lebih dari pada sekedar pemilihan berkala ke tempat
pemungutan suara. Fungsi etis dalam paham kewarganegaraan ini dipikirkan
Alexis de Tocqueville ketika ia memuji doktrin “kepentingan pribadi yang
dipahami secara benar” (self interest properly understood), yang hanya
menuntut bahwa seseorang memiliki “perasaan untuk mengorbankan sebagian
kepentingan pribadi guna memperoleh lebih banyak” (the sense to sacrifice
some of his private interests to save the rest).
c. Fungsi integratif adalah fungsi kewarganegaraan yang lebih dari pada sekedar
salah satu dari banyak peran yang dapat dimainkan orang dalam masyarakat
modern. Seperti yang diamati Sheldon Wollin, “kewarganegaraan menyajikan
apa yang tidak dapat diberikan oleh peran-peran lain, yakni suatu pengalaman
integratif yang memadukan beragam aktivitas peran manusia modern, dan
menuntut agar peran-peran terpisah dikaji dari sudut pandang yang lebih
umum.” Meskipun Wollin mengajukan persoalannya dengan sedikit
berlebihan, karena komitmen religius tentu saja menyajikan bagi banyak orang
pengalaman integratif serupa. Namun, persoalan yang diajukannya tetap sah.
Kewarganegaraan membantu memadukan beragam segi dalam kehidupan
seseorang.
d. Fungsi edukatif adalah fungsi yang menekankan pada bagian moral dan
pengajaran yang diperoleh melalui keterlibatan dalam urusan publik. Yang
pertama ialah keterlibatan itu mengantar individu-individu ke doktrin
Tocqueville tentang “kepentingan pribadi yang dipahami secara benar”.
Seturut alasan kewarganegaraan aktif dapat memperluas horizon individu dan
memperdalam cita rasa mereka tentang bagaimana kehidupan mereka terjalin
dengan kehidupan orang lain, termasuk orang-orang yang tidak mereka kenal.
Dengan demikian, keterlibatan berupaya mengatasi individualisme. Sehingga
kewarganegaraan aktif berupaya mengatasi bentuk individualisme yang
merusak dengan mendorong cita rasa individu tentang dirinya sebagai bagian
masyarakat dan bukan terpisah darinya.
Fungsi-fungsi ini penting sebagai kedudukannya dalam teori
kewarganegaraan, karena memiliki keunggulan berupa kemampuan untuk mencari
dukungan bagi dirinya sendiri. Terutama dalam fungsi legal dan etis, ia
memadukan sikap hormat terhadap berbagai hak dan kebebasan individu sebagai
seorang warga negara (dalam arti legal) dengan pengakuan atas perlunya
kewarganegaraan aktif dan bersemangat publik (dalam arti etis). Sementara fungsi
integratif dan edukatif, ia juga menjanjikan bagi individu lebih banyak rasa aman
tentang dirinya sendiri serta peluang untuk mengembangkan berbagai kemampuan
yang penting. Maka, dalam arti konseptual yang tegas, tampaknya tidak ada
alasan untuk meragukan peluang teori kewarganegaraan itu untuk diterapkan
secara praktis.
2. Pengertian menurut para ahli
Menurut Will Kymlicka dan Wayne Norman, warga negara yang
demokratis adalah orang yang memiliki hak-hak demokrasi dan klaim atas
keadilan. Hak demokrasi seorang warga negara adalah hak keterlibatan dalam
proses menentukan kebijakan bersama. Sejauh demokrasi berguna dalam menilai
sebuah prosedur kebijakan bersama, maka hak demokrasi seorang warga adalah
hak berpartisipasi dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Setiap warga
negara atau kelompok manapun turut bertanggung jawab untuk menentukan
kebijakan bersama. Kebijakan bersama adalah kebijakan yang diputuskan bersama
untuk dijalankan berdasarkan asas keadilan.
Menurut John Rawls, warga negara yang demokratis adalah ‘self
originating source of claims’ yang artinya para warga negara harus melihat diri
mereka sebagai sumber mandiri dan orisinal dari pelbagai klaim yang sah. Klaim-
klaim yang sah hanya mungkin kalau kebebasan dan kesetaraan diberi tempat
dalam ruang publik. Kebebasan mengandaikan kesetaraan. Ukuran bagi suatu
kesetaraan yaitu semua memiliki paham tentang kebaikan bersama. Keadilan
terletak pada sikap saling mengakui dan menganggap orang lain sebagai setara.
Menurut Richard Dagger, warga negara yang berkebajikan adalah orang
yang menganggap partisipasi politik sebagai suatu sumbangsih yang niscaya—dan
barangkali juga (sebagai) suatu sumbangsih yang menyenangkan—demi kebaikan
masyarakat. Kebajikan seorang warga negara diukur dari keterlibatan dan
partisipasi demi kebaikan bersama dalam masyarakat. Sikap mengabdi dan
melayani publik serta berkorban tanpa pamrih adalah sikap altruis yang layak.
Panggilan kewargaan justru terletak pada obsesi pemikiran dan perbuatan demi
kepentingan umum.
Menurut William Galston, warga negara yang demokratis adalah orang
yang dituntut melaksanakan kebajikan-kebajikan kewarganegaraan yang
bertanggung jawab. Kebajikan kewarganegaraan yang bertanggung jawab terbagi
ke dalam empat kelompok: (i) kebajikan-kebajikan umum: keberanian, patuh pada
hukum dan kesetiaan; (ii) kebajikan-kebajikan di bidang sosial: independensi dan
berwawasan luas; (iii) kebajikan-kebajikan di bidang ekonomi: etika kerja,
kemampuan untuk menangguhkan kesenangan diri sendiri, serta kecakapan untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan di bidang ekonomi dan teknologi; dan (iv)
kebajikan-kebajikan di bidang politik: kemampuan untuk menghargai dan
menghormati hak-hak orang lain, kesediaan menuntut hanya apa yang dapat
dibayar, kecakapan untuk menilai kinerja orang-orang yang tengah memegang
jabatan dan kesediaan untuk terlibat dalam wacana publik.

Gambar 3.2 Suasana pemilu yang demokratis tahun 1955 di Indonesia


Menurut Stephen Macedo, warga negara yang demokratis adalah orang
yang mempunyai keberalasan publik, artinya para warga negara mesti memberi
alasan untuk tuntutan-tuntutan politik mereka, bukan sekadar menandaskan
preferensi mereka atau mengeluarkan ancaman. Lebih dari itu, alasan-alasan
dimaksud mesti bercorak publik, dalam arti bahwa alasan-alasan itu mampu
meyakinkan orang dari berbagai kepercayaan dan kebangsaan. Oleh karena itu,
tidaklah cukup untuk sekadar menyitir kitab suci atau tradisi. Para warga negara
demokratis mesti mengabsahkan tuntutan-tuntutan politik mereka sedemikian
rupa sehingga sesama warga negara yang lain bisa memahami dan menerimanya
sebagai hal yang sepadan dengan status mereka sebagai warga negara yang bebas
dan setara.
Menurut Amy Gutmann, warga negara yang demokratis adalah orang yang
mesti belajar tidak saja untuk bertingkah laku sepadan dengan otoritas, tetapi juga
berpikir secara kritis tentang otoritas itu, agar mereka dapat hidup sesuai dengan
cita-cita demokrasi, yakni berbagi kedaulatan politik sebagai warga negara. Orang
yang cuma diperintah oleh kebiasaan dan otoritas tidak mampu menata sebuah
masyarakat yang terdiri dari para warga negara yang berdaulat.
Menurut Otfried Hoffe, warga negara yang demokratis adalah orang yang
harus memiliki kebajikan warga, kepekaan akan hukum, dan kepekaan hukum itu
perlu tidak saja dalam suatu demokrasi. Pada gilirannya kebajikan ini sederhana.
Kebajikan ini hanya menuntut agar tidak membuat pelanggaran, jadi puas dengan
kesetiaan terhadap hukum, yang dalam wujudnya sederhana yang berarti
mengikuti undang-undang yang ada karena takut akan hukuman, namun dalam
bentuknya yang lebih sempurna mematuhi undang-undang atas dasar kerelaan
batiniah secara sukarela.
Menurut Jurgen Habermas, warga negara yang demokratis adalah orang
yang menampilkan berbagai prosedur dan syarat komunikasi dari pembentukan
pendapat dan kemauan demokratis yang berfungsi sebagai “pintu air” paling
penting untuk rasionalisasi diskursif dari keputusan-keputusan yang diambil
sebuah pemerintahan dan sebuah administrasi yang terikat pada hukum dan
peraturan. Seturut pandangan ini, rasionalisasi lebih dari pada legitimasi semata,
melainkan lebih dari pada pembentukan kekuasaan politik. Corak umum
kekuasaan yang disediakan bagi pemerintah akan berubah, tatkala ia diikatkan
pada suatu proses pembentukan pendapat dan kemauan demokratis yang tidak
semata-mata memantau secara retrospektif pelaksanaan kekuasaan politik itu,
tetapi juga dalam cara tertentu menyusun program baginya.
B. Negara Demokrasi sebagai Agen Pendidikan
1. Demokrasi dalam kerangka teori
Berbicara mengenai demokrasi dalam kerangka teori, tentu saja tidak ada
teori yang dapat menjelaskan secara memuaskan kenyataan kompleksnya seperti
negara demokrasi. Karena setiap teori, juga yang paling buruk, akan cocok dengan
salah satu aspek dari suatu kenyataan. Bahkan sejumlah teori akhirnya melakukan
kesalahan, menukar aspek-aspek demokrasi dengan hakikat demokrasi. Oleh
sebab itu demokrasi dalam kerangka teori ini akan dijelaskan tiga teori yang
sering dikaji:
a) Teori pertama sangat sering muncul dalam ilmu politik Amerika
Serikat hingga dewasa ini. Akar utamanya terletak di dalam teori demokrasi
yang mendapat landasan ekonomis, seperti dirumuskan pertama kali oleh
Schumpeter. Teori John Locke dan Thomas Hobbes dan generasi berikutnya
oleh para pencerah dari abad ke-18 merupakan sumber utamanya.
Hal yang menjadi inti pada teori demokrasi ini adalah gambaran bahwa
bentuk politis negara adalah alat yang digunakan persekutuan, yakni alat yang
tunduk kepada tujuan-tujuan dari para anggotanya baik individu atau
kelompok. Tujuan-tujuan dan sasaran dalam hal itu pada dasarnya, bahkan
dapat dikatakan secara ontologis, dipahami sebagai tujuan dan sasaran
individu. Tujuan-tujuan kelompok sejauh itu adalah hasil titik temu dari
tujuan-tujuan individu. Tujuan persekutuan selalu dapat dirujuk kembali pada
unsur-unsur individual.
b) Teori kedua yang berseberangan dengan teori pertama berasal dari
Jean Jacques Rousseau, atau paling kurang berasal dari tafsiran yang mungkin
terhadap Rousseau. Teori-teori ini beranggapan bahwa mereka melanjutkan
tradisi humanisme sipil, yang terutama memperhatikan apa yang diabaikan
teori ekonomi, yakni tuntutan warga untuk memerintah diri sendiri, dan
martabat yang berkaitan dengan hal itu.
Jika kita mengikuti argumen kontrak sosial, maka memerintah diri
dapat dipahami sebagai kehendak. Saya bebas dan menentukan diri saya
sendiri, jika saya patuh hanya terhadap diri saya sendiri dan dituntun oleh
kehendak saya sendiri. Sehingga untuk satu masyarakat, hak ini hanya dapat
menjadi dasar jika ada kehendak umum. Kalau tidak, maka kehendak satu
orang akan menekan kehendak yang lain. Demokrasi dalam konteks ini
mengandaikan satu kehendak umum sebagai syarat mutlak, dan untuk
merumuskannya semua orang mengambil bagian dan semua orang
mengidentifikasi diri dengannya.
c) Teori ketiga ini juga sangat berlandas pada tradisi humanistis sipil,
namun atas cara berbeda dari teori yang merujuk pada Rousseau. Teori ini
memberikan ruang bagi persaingan dan konflik yang melekat pada satu
masyarakat bebas. Dalam hal itu, ia berbeda dari teori kehendak umum.
Melainkan bertolak dari kenyataan bahwa seharusnya terdapat kutub
identifikasi yang menyatukan dan yang menjadi pusat bagi anggota
masyarakat: dalam hal itu ia berbeda dari teori ekonomi. Sumber-sumber teori
ketiga terdapat pada Tocqueville dan pada generasi berikutnya, Hannah
Arendt.
Kutub identifikasi terletak dalam “hukum” sebagai simbol lembaga-
lembaga dan prosedur sistem politis yang inti. Kenyataan-kenyataan ini dilihat
sebagai harta bersama yang harus dipelihara, karena semua partisipan
memandangnya sebagai sumber dan perlindungan martabat mereka. Sekaligus
para warga menganggapnya wajar bahwa mereka seringkali saling bersaing,
bahwa mereka selalu tidak setuju dengan kebijakan dan pembagian jabatan
negara, akan tetapi pada saat bersamaan mereka sangat menghormati
kemungkinan untuk mengambil bagian dalam konflik saling bertentangan
tersebut sebagai orang yang setara. Undang-undang yang menjamin peluang
ini untuk semua orang mencerminkan kehendak bersama, untuk saling
mengakui dalam peluang ini dengan itu menjadi harta bersama yang tidak
ternilai.
Dengan itu, ketiga teori di atas menyentuh pengalaman-pengalaman masa
kini. Tetapi kedua yang pertama tidak mengenai proses demokratis seluruhnya
terhadap hubungan antara para partisipan satu dengan lainnya. Dalam kenyataan,
negara demokrasi menggunakan peranti politis bersama; terkadang juga kita
disatukan dalam satu kehendak bersama. Akan tetapi, apabila salah satu dari
momen-momen ini menjadi fakta utama kehidupan politis kita, maka kita tidak
akan lama lagi dapat menikmati masyarakat negara demokratis. Basis kekuatan
satu-satunya terletak dalam kenyataan bahwa ia diakui dan dipertahankan para
anggotanya sebagai satu kenyataan yang menjamin martabat semua warga tanpa
pandang bulu.
2. Corak pendidikan di negara demokratis
Pendidikan pada dasarnya bertujuan tidak hanya untuk mencari suatu
kebenaran, atau tidak semata-mata berkaitan dengan kapasitas penyelidikan
rasional. Makna pendidikan tidak hanya terbatas pada usaha mengumpulkan
sejumlah pengetahuan, atau pada usaha mencapai suatu pengakuan publik lewat
gelar akademik yang dicapai. William Galtson melihat tujuan pendidikan dalam
arti yang lebih luas. Pendidikan bertujuan untuk mendidik individu-individu agar
dapat secara efektif menjalani kehidupan serta mendukung komunitas politiknya
secara baik.

Gambar 3.3 Ir. Sukarno, penggagas demokrasi terpimpin


Misi setiap pendidikan adalah mendukung suatu tatanan politik yang baik.
Demi misi ini, maka setiap kurikulum pendidikan hendaknya searah dengan
muatan politik di mana proses pendidikan itu berlangsung. Maksudnya
keberlangsungan kehidupan politik bergantung juga pada arah pendidikan yang
dijalankan. Nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan, penghormatan akan martabat
dan hak asasi manusia, keadilan, toleransi atas kemajemukan, menghargai
perbedaan, permusyawaratan demi konsensus, tanggung jawab personal dan sipil
—adalah nilai-nilai yang selayaknya menjadi kerangka dasar proses pendidikan.
Kita semua yakin bahwa keberlangsungan hidup demokrasi sangat tergantung
pada pewarisan nilai-nilai pendidikan demokrasi kepada setiap generasi baru. Para
orang tua, pendidik profesional dan pemerintah adalah pihak-pihak yang dapat
bekerja sama dalam mewariskan nilai-nilau pendidikan yang lebih demokratis,
Dalam pandangan yang sama, Amy Gutmann, teoritikus kontemporer di
bidang pendidikan menggunakan demokrasi sebagai titik tolak pendidikan.
Pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang dijalankan dalam bentuk
kerja sama. Tesis dasar Gutmann yaitu: “sebuah negara demokratis mengakui
bahwa tanggung jawab mendidik harus dipikul bersama antara para orang tua,
warga negara dan pendidik profesional”. Peran edukatif orang tua dalam
melestarikan paham-paham tertentu tentang kehidupan yang baik perlu
diperhitungkan, di samping otoritas dan peran pendidik profesional dapat
menyanggupkan anak didik untuk bersikap kritis dan kreatif dalam berpikir.
Sebuah negara demokratis sebagai agen pendidikan membatasi pilihan di
antara model-model kehidupan yang baik bukan saja karena keniscayaan
melainkan karena kepedulian terhadap kebajikan sipil. Negara-negara demokratis
dapat mengakui dua alasan untuk memperbolehkan berbagai kelompok
masyarakat untuk mendayagunakan bidang pendidikan sebagai sarana pengarah
bagi anak-anak menuju cara-cara hidup tertentu dan menjauhkan mereka dari
cara-cara hidup yang lain.
Alasan yang pertama dilandaskan pada nilai kebebasan moral, suatu nilai
yang tidak secara khas dikaitkan dengan demokrasi. Semua bentuk kehidupan
bersama dari manusia mesti mengharuskan nilai moral itu mendorong para
anggotanya untuk menghargai perbedaan antara cara-cara hidup yang baik dan
buruk. Anak-anak tidak belajar menghargai perbedaan ini justru di atas sejenis
pendidikan yang mengikhtiarkan kenetralan di antara cara-cara hidup tersebut.
Anak-anak tidak diajarkan bahwa fanatisme itu buruk misalnya, dengan
menyajikannya sebagai salah satu di antara paham-paham yang saling bersaing
tentang kehidupan yang baik, dan kemudian melancarkan kritik atasnya dengan
alasan bahwa orang-orang fanatik tidak mengakui bahwa paham-paham orang lain
tentang kebaikan sama-sama baiknya. Anak-anak mula-mula menjadi pihak yang
jijik terhadap fanatisme, dan kemudian mereka merasakan daya akal budi untuk
penolakan mereka. Ihwal membudidayakan dalam diri anak-anak karakter yang
peka terhadap kekuatan akal budi yang benar merupakan sasaran hakiki dari
pendidikan dalam setiap masyarakat.
Alasan kedua, yang lebih khas bercorak demokratis, untuk mendukung
pendidikan non netral dari negara dan keluarga ialah bahwa kebaikan anak-anak
tidak saja mencakup kebebasan memilih, tetapi juga identifikasi dan partisipasi
dalam kebaikan keluarga mereka serta politik masyarakat di mana mereka berada.
Kebutuhan akan koherensi kultural tidak sepenuhnya menangkap nilai demokrasi
ini, karena tidaklah cukup bagi sebuah negara yang sentralistik untuk memilih
secara acak pasangan orang tua dan satu kiblat budaya yang koheren untuk anak-
anak itu. Orang lazimnya menghargai kiblat budaya dan politik tertentu dari
masyarakat dan keluarganya lebih dari pada kiblat-kiblat yang dianut pihak-pihak
lain, bahkan walaupun mereka tidak dapat memberikan alasan-alasan objektif
menyangkut preferensi tersebut. Kenyataan bahwa kiblat-kiblat budaya ini adalah
milik kepunyaan mereka merupakan suatu alasan yang memadai dan dapat
digeneralisasikan. Sama seperti kita mencintai anak-anak kita (kandung atau
angkat) lebih dari pada anak-anak para sahabat kita oleh karena anak-anak itu
adalah bagian dari keluarga kita, demikian pula kita secara deferensial menghargai
kiblat-kiblat budaya negeri kita karena negeri itu adalah milik kepunyaan kita.
3. Model pendidikan di negara demokratis
Dengan mengabsahkan hak-hak negara demokratis dan keluarga-keluarga
untuk mengarahkan anak-anak ke cara-cara hidup tertentu, kita akan memadukan
wawasan itu ke dalam sebuah model pendidikan demokratis. Namun dengan
melakukan hal itu kita tidak mesti menampik kelemahan dalam mendukung
pengenaan kesadaran tidak kritis ke dalam diri anak-anak. Untuk menghindari
kelemahan ini, maka sebuah negara demokratis mesti membantu anak-anak untuk
mengembangkan kesanggupan dalam memahami dan menilai paham-paham yang
saling bersaing tentang kehidupan yang baik dan masyarakat yang baik. Untuk
memadukan manfaat pertimbangan kritis ke dalam model pendidikan demokratis,
maka kita mesti mempertahankan batas-batas prinsipiil tertentu terhadap
kewenangan negara dan para orang tua atas bidang pendidikan, yaitu batas-batas
yang dalam praktiknya menuntut agar para orang tua dan negara menyerahkan
sebagian kewenangan mendidik mereka kepada para pendidik profesional.
Batas pertama adalah prinsip non represi. Prinsip non represi mencegah
negara dan setiap kelompok yang ada di dalamnya, memakai pendidikan untuk
membatasi pertimbangan rasional menyangkut paham-paham yang saling bersaing
tentang kehidupan yang baik dan masyarakat yang baik. Non represi bukan
prinsip kebebasan negatif. Ia menjamin kebebasan dari intervensi hanya sampai
pada taraf di mana ia melarang untuk memakai pendidikan dalam membatasi
pertimbangan atau pemikiran rasional terhadap cara-cara hidup yang berbeda.
Oleh karena itu, prinsip non represi berhubungan dengan penggunaan bidang
pendidikan untuk menanamkan ciri pembawaan seperti kejujuran, toleransi
beragama serta penghormatan timbal balik terhadap pribadi, yang berfungsi
sebagai fondasi untuk melakukan pertimbangan rasional terhadap cara-cara hidup
yang berbeda.
Non represi juga bukan sekedar kebebasan positif, sebagaimana yang
lazimnya dipahami. Meskipun ia menjamin lebih dari pada sekedar kebebasan dari
intervensi, namun “kebebasan untuk” yang dijaminnya bukanlah sebentuk
kebebasan untuk mengikhtiarkan cara hidup yang satu-satunya benar dan tepat,
baik cara hidup pribadi atau cara hidup di bidang politik, melainkan kebebasan
untuk melakukan pertimbangan rasional terhadap cara-cara hidup yang berbeda.
Dengan demikian, prinsip non represi tetap menetapkan batas terhadap otoritas
demokrasi melalui pembelaannya yang berasal dari nilai utama pendidikan
demokrasi.
Batas prinsipiil kedua terhadap otoritas demokrasi yang sah, yang juga
berasal dari nilai utama pendidikan demokrasi adalah prinsip non diskriminasi.
Prinsip non diskriminasi memperluas logika prinsip non represi, karena negara
dan keluarga dapat saja melakukan represi secara selektif dengan mengucilkan
seluruh kelompok anak-anak dari sekolah atau menafikan bagi mereka suatu
sistem pendidikan yang kondusif dalam melakukan pertimbangan yang mendalam
menyangkut paham-paham tentang kehidupan yang baik dan masyarakat yang
baik. Represi biasanya lebih merupakan bentuk pasif dari diskriminasi dalam
sistem persekolahan terhadap kelompok-kelompok minoritas etnis, anak-anak
perempuan dan berbagai kelompok anak-anak yang tidak disukai. Akibat
diskriminasi sering kali berupa represi, sekurang-kurangnya untuk sementara
terhadap kemampuan dan keinginan dati kelompok-kelompok ini untuk
berpartisipasi dalam proses yang memberi struktur terhadap pilihan menyangkut
kehidupan yang baik. Maka prinsip non diskriminasi dapat dilihat sebagai
pelengkap distribusional terhadap prinsip non represi.
Dalam penerapannya yang paling umum di bidang pendidikan, prinsip
non diskriminasi mencegah negara dan setiap kelompok yang ada di dalamnya,
untuk menafikan maslahat pendidikan dari siapapun seturut alasan-alasan yang
tidak relevan dengan sasaran sosial yang sah dari kemaslahatan itu. Jika
diterapkan pada bentuk-bentuk pendidikan yang mutlak diperlukan untuk
menyiapkan anak-anak menjadi warga negara di masa depan (berpartisipasi di
dalam reproduksi sosial yang disengaja), maka non diskriminasi menjadi prinsip
non eksklusif. Tidak boleh ada seorang anak pun dalam usia sekolah yang boleh
dikucilkan dari sebuah sistem pendidikan yang memadai untuk berpartisipasi
dalam proses yang memberi struktur terhadap pilihan menyangkut kehidupan
yang baik.
C. Pendidikan Kewarganegaraan yang Demokratis
1. Hubungan antara kewarganegaraan dan demokrasi
Pemahaman tentang kewarganegaraan dan demokrasi akan menjadi lebih
sempurna jika berlandaskan pada pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang menyiapkan pandangan hidup yang baik tentang politik,
kewarganegaraan dan demokrasi. Will Kymlicka menggarisbawahi tugas dasar
pendidikan bagi setiap generasi. “Tugas dasar pendidikan adalah menyiapkan
setiap generasi untuk mengemban tanggung jawab mereka sebagai warga negara”.
Tanggung jawab seorang warga negara di sini tidak sebatas hanya pada
pelaksanaan proses belajar mengajar secara baik, atau sebatas hanya pada
ketekunan mengumpulkan sejumlah pengetahuan dalam hidupnya. Demikian
Kymlicka menegaskan bahwa “pendidikan kewarganegaraan bukan sekadar
persoalan mempelajari fakta-fakta dasar tentang berbagai pranata serta prosedur
kehidupan politik; ia juga mencakup pembelajaran serangkaian disposisi,
kebajikan dan loyalitas secara erat berkaitan dengan praktik kewarganegaraan
demokratis”.
Ada empat kebajikan yang harus dipegang teguh sebagai dasar tanggung
jawab dalam proses pendidikan kewarganegaraan. Pertama, kebajikan ‘semangat
publik’(public-spiritedness). Kebajikan ini berkaitan dengan kesanggupan untuk
mengevaluasi kinerja yang sedang menjalankan tugas publik dan kerelaan untuk
terlibat dalam wacana publik. Kedua, kebajikan ‘cita rasa keadilan’ (a sense of
justice). Kebajikan ini mewujud dalam usaha menghormati hak-hak orang lain
sebagai akibat adanya kesadaran baru tentang keterbatasan klaim-klaim pribadi.
Ketiga, kebajikan ‘sivilitas dan toleransi’ (civility dan tolerance). Sivilitas
berkaitan dengan respek terhadap orang lain yang bukan berasak dari komunitas
sendiri. Respek di sini harus dilihat sebagai sikap menghargai dan menerima
orang lain karena keberlainannya. Sivilitas adalah perluasan logis dari prinsip non
diskriminasi. Mengakui keberlainan (heteronomi) adalah jalan untuk memecahkan
totalitas diri (otonomi) yang egoistis. Jalan ini adalah jalan toleransi. Keempat,
kebajikan ‘cita rasa solidaritas atau loyalitas’ (a shared sense of solidarity or
loyality). Kebajikan ini sebenarnya hanya merupakan perluasan dari ketiga
kebajikan terdahulu. Solidaritas dan loyalitas adalah bentuk lain dari semangat
publik, cita rasa keadilan, sivilitas dan toleransi.
2. Sekolah sebagai penunjang pendidikan kewarganegaraan yang
demokratis
Sekolah-sekolah adalah arena yang tepat untuk mengajarkan kebajikan-
kebajikan publik tersebut di atas. Anak didik dilatih untuk memiliki keberanian
dan kepatuhan terhadap konsensus (aturan atau hukum). Mereka juga dilatih
untuk bersikap terbuka terhadap wacana bersama dan kesanggupan kritis untuk
mempersoalkan segala hal yang tidak benar. Selain itu, sekolah-sekolah
sepantasnya juga menyediakan ruang di mana anak-anak dilatih untuk memiliki
cita rasa keadilan. Cita rasa keadilan di sini tidak hanya berarti sikap tidak
merugikan dan mengeksploitasi orang lain, tetapi mencakup juga kewajiban untuk
mencegah ketidakadilan. Anak-anak ditempa untuk mengemukakan pandangan
secara terbuka dan masuk akal, tulus serta berpijak pada nalar bersama yang baik
(nalar publik). Anak-anak sebaiknya diberi ruang untuk terlibat dalam penalaran
kritis dalam mencari nilai kebenaran dan kebaikan sebagai pendasaran untuk
tindakan bersama.
Ada kebajikan lain yang perlu diwariskan kepada anak didik. Kebajikan
itu adalah kebajikan sivilitas, seperti kesopanan publik dalam tingkah laku sehari-
hari. Hal ini berlaku terlebih dalam hubungannya dengan cara bagaimana kita
memperlakukan orang-orang yang tidak kita kenal, khususnya ketika kita
menjumpai mereka di tempat-tempat publik, seperti di tempat kerja, di jalan, di
toko, di dalam angkutan publik atau di mana saja.
Praktik atas kebajikan ini dapat juga dilihat sebagai perluasan dari
tindakan non diskriminasi. Ada kewajiban untuk memperlakukan orang lain
sebagai warga negara yang setara, terlepas dari apakah dia orang Irian, Cina,
Ambon, Flores atau Jawa. Alasannya adalah semua orang memiliki tempat yang
sama di dalam setiap ruang publik. Sekolah sebagai salah satu ruang publik
sewajarnya menjadi tempat pertama di mana terjadinya pembauran dan
pertumbuhan persaudaraan yang semakin luas di antara anak didik yang berbeda.
Di sekolah, anak didik sebaiknya belajar untuk berlapang hati dan berpikiran luas
dalam memahami kemajemukan dan pluralitas.
Salah satu aspek pendidikan kewarganegaraan yang penting adalah
pendidikan sejarah. “Schools should teach (...) history truthfully”. Sejarah harus
diajarkan sebagaimana adanya. Fakta sejarah semestinya diwariskan secara jujur
agar anak-anak sebagai calon warga negara masa depan memiliki cita rasa
kebanggaan atas proses sejarah yang dicapainya. Di samping itu, pengajaran
sejarah yang jujur dapat meningkatkan sikap kritis atas setiap kejadian sejarah.
Sikap kritis dapat menimbulkan perasaan tidak suka atas pelbagai tindakan
ketidakadilan yang terjadi di dalam sejarah bangsanya. Pengajaran sejarah yang
benar dan jujur akan sangat membantu untuk meningkatkan identifikasi emosi
anak-anak dengan sejarahnya. Hal ini sangat perlu untuk menanamkan semangat
publik demi menjaga kesatuan sosial yang baik.
Jadi pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berkaitan dengan cara
mentransfer dan mendikte pelbagai pengetahuan dan doktrin kebenaran, tetapi
berhubungan dengan cara menciptakan ruang di mana anak-anak memiliki
kesadaran tentang kebajikan-kebajikan publik yang mendukung nilai-nilai
kehidupan bersama.

3. Demokrasi sebagai konsep penuntun pedagogis


Menurut Anselm Winfried Muller, demokrasi tidak cocok untuk dijadikan
konsep penuntun pedagogis. Akan tetapi banyak hal yang dengan sendirinya
menjadi tugas pendidikan, sekaligus cocok sebagai prakondisi untuk demokrasi
dan sangat penting agar demokrasi bisa jadi—hal yang mungkin membenarkan
“etos demokratis”. Demikian juga kesediaan untuk membentuk pendapat sendiri
secara mandiri, untuk konflik, toleransi dan kompromi, keberanian sipil,
kesediaan untuk turut merasakan, untuk terlibat dan bertanggung jawab.
Demokrasi itu sendiri dan kehidupan dalam demokrasi yang sesungguhnya
menjadi tema pokok pendidikan demi terbentuknya demokrasi.
Memberikan posisi kunci bagi demokrasi dalam kurikulum tentu tidak
lebih berbahaya tetapi juga tidak kurang berbahaya, dari pada memberikan peran
ini kepada banyak hal yang tidak kurang pentingnya yang menjadi faktor-faktor
pembentuk dalam penyelenggaraan kehidupan kita: kesehatan atau prestasi,
seksualitas atau meditasi, tanggung jawab atau hak. Pada dasarnya pendekatan
seperti itu bersifat nostalgia, karena dalam semua hal ini orang memilih gagasan
yang memadukan, yang memberikan makna dan perpaduan dalam satu masa
kekacauan orientasi dan kekacauan nilai dan dengan demikian orang mencari
penggantinya.
Pada umumnya tampak moral masih paling cocok untuk diberikan posisi
kunci pedagogis. Pertanyaan apa sebenarnya yang bisa ditawarkan sebagai moral
dalam masyarakat yang semakin pluralistis, terbukti sebagai masalah yang lebih
mudah dipecahkan. Kesepakatan di antara mereka yang mengajukan pertanyaan
mungkin memadai. Tetapi, tampaknya pertanyaan yang lebih urgen dan sulit
adalah apakah tentang munculnya sebuah moral sebagai konsensus masih
berpeluang untuk tetap berlaku dan berpengaruh?
Tradisi-tradisi keagamaan dan moral hanya masih memiliki makna yang
terbatas sebagai jaminan keabsahan norma-norma moral. Dalam kenyataan
tampaknya hukum negara dalam batas tertentu mengambil alih peran ini. Namun
justru dalam demokrasi, isi hak yang relevan secara moral semakin ditentukan
oleh moral rata-rata dari suatu masyarakat. Maka usaha untuk membentuk moral
rata-rata itu menjadi sangat penting dan tak tergantikan. Jadi, walaupun gagasan
demokrasi tidak menjadi pengantar untuk konsep pendidikan, tetapi realitas
demokrasi memberikan alasan yang memadai dan kesempatan luas bagi pedagogi
untuk menghadapi lagi tugas-tugas yang sangat besar pengaruhnya.
D. Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah-Sekolah
Pentingnya pendidikan kewarganegaraan terkait peran sekolah-sekolah
khusus dalam sebuah sistem demokrasi terutama sekolah-sekolah agama, adalah
karena berbagai kelompok agama telah berupaya mendirikan sekolah-sekolah
khusus untuk sebagian dapat mengajarkan doktrin agamanya, tetapi juga untuk
mereduksi terpaparnya anak-anak mereka oleh para anggota kelompok agama
lain. Sebagian besar negara yang liberal menerima tuntutan ini, karena hal ini
sebagai salah satu cara untuk menghormati hak-hak para orang tua dan kebebasan
beragama, tetapi menekankan bahwa sekolah-sekolah semacam itu mengajarkan
kurikulum ini salah satunya adalah pendidikan kewarganegaraan.
Sehingga tidak jelas apakah jalan kompromi ini—sekolah-sekolah khusus
dengan sebuah kurikulum umum—menyajikan jenis pendidikan kewarganegaraan
yang cocok. Tentu saja sekolah-sekolah semacam itu mampu mengajarkan fakta-
fakta dasar tentang pemerintahan. Tetapi seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, jika pendidikan kewarganegaraan bukan hanya semata perkara
pengetahuan tentang berbagai pranata politik dan prinsip konstitusional.
Melainkan pendidikan kewarganegaraan adalah persoalan tentang bagaimana kita
berpikir tentang dan berperilaku terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang
berdasarkan ras, agama, kelas dan lain-lain. Bahkan pendidikan kewarganegaraan
menuntut pembudidayaan sivilitas dan kecakapan bernalar publik dalam interaksi
terhadap orang lain. Justru kebiasaan dan kecakapan inilah yang perlu dipelajari di
sekolah-sekolah, karena keduanya jarang dipelajari dalam berbagai kelompok atau
paguyuban yang lebih kecil seperti keluarga, rukun warga, gereja atau masjid
yang cenderung homogen baik dengan latar belakang etnis dan budaya maupun
dalam keyakinan religiusnya.
Oleh sebab itu, beberapa kritikus menandaskan bahwa sekolah-sekolah
khusus agama tidak dapat memberikan pendidikan kewarganegaraan yang
memadai, terutama yang menyangkut sivilitas dan kebernalaran publik. Karena
kedua kebajikan ini tidak saja bahkan tidak mungkin dipelajari melalui kurikulum
yang eksplisit. Misalnya, sekolah-sekolah publik mengajarkan sivilitas tidak saja
dengan memberi tahu para murid agar bersikap santun, tetapi juga dengan
menekankan agar para murid duduk di kursi sebelah murid dari ras atau agama
yang berbeda, dan bekerja sama dengan mereka dalam kelompok belajar atau tim-
tim olahraga sekolah. Demikian pula, sekolah-sekolah publik mengajarkan
kebernalaran publik tidak saja dengan memberi tahu para murid bahwa ada
keragaman pandangan agama di dunia ini, dan bahwa orang-orang sepantasnya
berbeda pendapat tentang kegunaan pandangan-pandangan tersebut. Mereka juga
menciptakan lingkungan sosial di mana para murid dapat melihat kepantasan dan
kewajaran perbedaan pendapat itu. Tidaklah memadai memberi tahu para murid
bahwa mayoritas orang di dunia ini tidak menganut agama mereka.
Sejauh seseorang dikelilingi orang-orang yang seiman dengannya, ia
barangkali masih menyerah pada godaan untuk berpikir bahwa orang-orang yang
menolak agamanya adalah kaum yang tidak memiliki jalan pikir lurus atau buruk
akhlaknya. Supaya dapat mempelajari kebernalaran publik maka murid mesti
mengetahui dan memahami orang yang rasional, santun dan manusiawi, namun
tidak menganut agama mereka. Hanya dengan cara ini, para murid dapat belajar
bagaimana iman pribadi berbeda dari kebernalaran publik, dan di mana mesti
menarik garis pemisah itu. Model pembelajaran semacam ini mengandaikan
kehadiran di sebuah kelas orang-orang dengan beragam latar belakang etnis dan
budaya serta agama.
Dengan demikian, sekolah-sekolah agama dibatasi dalam kemampuan
mereka untuk menyajikan sebuah pendidikan kewarganegaraan yang memadai.
Tentu saja penting untuk tidak mengidealkan sekolah-sekolah publik yang juga
memiliki berbagai kekurangannya sendiri. Bahkan dalam bingkai mengajarkan
para murid tentang bagaimana menciptakan sebuah dialog publik dengan kaum
yang beruntung, sekolah-sekolah agama mungkin melakukan hal yang lebih baik
dari pada sebuah sekolah publik di pinggiran kota yang dipenuhi golongan kelas
menengah ke atas.
Lebih dari itu, juga penting untuk membedakan sistem persekolahan
khusus yang bercorak sementara atau transisi dari yang bercorak permanen.
Syarat-syarat menyangkut pendidikan kewarganegaraan menyiratkan bahwa
persekolahan umum merupakan keniscayaan—atau setidak-tidaknya sangat
diidamkan—pada tahap tertentu. Tetapi tidak ada alasan mengapa keseluruhan
proses itu dapat dipadukan. Bahkan ada banyak alasan yang bagus untuk
memikirkan supaya beberapa anak mungkin melakukan yang terbaik dengan
menempuh pendidikan awal mereka di sekolah-sekolah khusus, bersama anak-
anak lain yang memiliki latar belakang yang sama dengannya, sebelum pindah ke
sebuah sekolah publik dalam proses selanjutnya.
Misalnya, hal ini barangkali tepat untuk kelompok-kelompok yang secara
historis kurang beruntung yang dapat mengembangkan secara paling baik rasa
percaya diri mereka dalam sebuah lingkungan yang bebas dari prasangka. Secara
umum, bersekolah dalam sebuah latar belakang etnis dan budaya serta agama
tertentu dapat menyajikan kebajikan-kebajikan yang tidak tersedia dalam sekolah-
sekolah publik. Jika sekolah-sekolah publik dapat melakukan tugas yang lebih
baik dalam hal memajukan cita rasa keadilan bersama, maka sekolah-sekolah
khusus dapat melakukan tugas yang lebih baik dalam hal menyajikan bagi anak-
anak suatu pengertian yang jelas tentang apa artinya memiliki cita rasa yang stabil
tentang kebaikan. Sekolah-sekolah khusus itu menyiapkan suatu lingkungan yang
lebih baik untuk mengembangkan kemampuan dalam terlibat secara mendalam
pada suatu tradisi budaya tertentu, serta loyalitas dan komitmen pada program dan
relasi tertentu. Maka ada lebih dari satu titik tolak darinya anak-anak dapat
mempelajari pendidikan kewarganegaraan.
RANGKUMAN
Pendidikan dalam bentuk apapun harus mempunyai misi untuk
membebaskan pikiran warga negara, mendorongnya untuk mengolah dan
bertanggung jawab atas pikirannya, sekaligus melaksanakan kehidupan yang teruji
sehingga menjadi seorang warga negara yang senantiasa merefleksikan dan
mengkritisi berbagai praktik kehidupannya secara baik dan benar.
Setiap warga negara sudah saatnya berkesempatan untuk mengolah
kembali kemanusiaannya. Pengolahan ini harus dimulai dengan melakukan ujian
kritis terhadap diri sendiri dan tradisinya masing-masing demi suatu kehidupan
yang lebih matang. Kehidupan yang matang, tidak sekedar dijalani dengan
menerima begitu saja segala keyakinan apapun sebagai yang ototritatif—hanya
karena keyakinan itu diwariskan oleh tradisi. Semua warga sejatinya harus
menerima dan menghayati pandangan-pandangan yang bertahan di hadapan ujian
akal budi atas dasar nalar logis, harus memiliki kecermatan membaca fakta serta
ketepatan menilai sendiri realitas kehidupannya.
Sudah waktunya, demokrasi membutuhkan warga negara yang mampu
berpikir sendiri dan mampu pula bernalar bersama secara publik, terlebih
berkaitan dengan tuntutan dan pilihan bersama. Negara Indonesia perlu
menjalankan kembali demokrasi yang lebih reflektif dan rasional demi
menghindari praktik yang serampangan, tergesa-gesa dan sekedar mengobral
klaim-klaim pribadi atau kelompok.
REFLEKSI
1. Uraikan dengan kalimat Anda sendiri tentang definisi warga negara
yang demokratis!
2. Cari dan ringkaslah karya-karya pemikir warga negara yang
demokratis Will Kymlicka, John Rawls, Richard Dagger, Otfried
Hoffe, Jurgen Habermas, William A. Galston, Amy Gutman dan
Martha Nussbaum (minimal satu karya dari salah satu pemikir
tersebut)!
3. Uraikan dengan kalimat Anda sendiri tentang sebuah negara
demokrasi!
4. Uraikan dengan kalimat Anda sendiri tentang pendidikan
kewarganegaraan yang demokratis!
5. Ceritakan pengalaman Anda sekolah dari tingkat dasar hingga tingkat
menengah yang termasuk dalam batas-batas prinsip demokrasi!
DAFTAR PUSTAKA
Mathews, David. 2004. Ekologi Demokrasi: Temukan Cara-Cara untuk
Memiliki Kehidupan yang Kuat dalam Membentuk Masa Depan. PARA
Syndicate: Jakarta.
Baghi, Felix. 2009. Kewarganegaraan Demokratis dalam Sorotan Filsafat Politik.
CV. Titian Galang Printika: Yogyakarta
Paine, Thomas. 2000. Daulat Manusia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari
Polis sampai Cyberspace. PT. Kanisius: Yogyakarta.
Hardiman. F. Budi. 2019. Pemikiran Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche.
PT. Kanisius: Yogyakarta.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Maarif, Ahmad Syafii. 2017. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi
tentang Perdebatan dalam Konstituante. Mizan: Bandung.
Postman, Neil. 2019. Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah.
Immortal Publishing dan Octopus: Yogyakarta.
Sarbini, dkk. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi;
Membina Karakter Warga Negara yang Baik. UPT MKU (MPK-MBB)
Universitas Lambung Mangkurat: Banjarmasin.
Samsuri. 2010. Transformasi Gagasan Masyarakat Kewargaan (Civil Society)
Melalui Reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia: Studi
Pengembangan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah di Era Reformasi). Disertasi: Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
GLOSARIUM
Asosiasi : proses interaksi yang mendasari terbentuknya lembaga-lembaga sosial.
Deferensial : bersangkutan dengan, menunjukkan, atau menghasilkan perbedaan.
Diskursif : berkaitan dengan nalar dan disimpulkan secara logis.
Diskriminasi : pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan
warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).
Eksklusif : terpisah dari yang lain.
Fanatisme : paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap
sesuatu secara berlebihan.
Humanistis : salah satu pendekatan atau aliran dari psikologi yang menekankan
kehendak bebas, pertumbuhan pribadi, kegembiraan, kemampuan untuk pulih
kembali setelah mengalami ketidakbahagiaan, serta keberhasilan dalam
merealisasikan potensi manusia.
Individualisme : satu filsafat yang memiliki pandangan moral, politik atau sosial
yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggung jawab
dan kebebasan sendiri.
Klaim : tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki
atau mempunyai) atas sesuatu.
Koherensi : tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya
berkaitan satu dengan yang lain.
Legitimasi : kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam
peradilan, dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan
mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang
pemimpin.
Ontologis : studi yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Otoritas : kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat
yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya.
Pedagogis : ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru. Istilah ini merujuk pada
strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran.
Pluralistis : sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok
yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain.
Preferensi : hak untuk didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain.
Privilese : terkait erat dengan diskriminasi, serta muncul karena adanya
kesenjangan ekonomi yang mempengaruhi kesenjangan sosial.
Rasionalisasi : mekanisme pertahanan yang dianggap sebagai perilaku yang
kontroversial atau perasaan yang dijelaskan secara rasional atau logis untuk
menghindari penjelasan yang benar.
Represi : penekanan; pengekangan; penahanan; penindasan.
Republikan : pandangan yang mendasari sebuah negara republik dimana kepala
negara yang dilantik adalah bukan karena keturunan seperti pada sistem monarki,
tetapi melalui pemilihan umum.
Sivilitas : kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda.
Toleransi : suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau
antar individu baik itu dalam masyarakat atau pun dalam lingkup yang lebih luas.
INDEKS
Asosiasi :
Deferensial :
Diskursif :
Diskriminasi :
Eksklusif :
Fanatisme :
Humanistis :
Individualisme :
Klaim :
Koherensi :
Legitimasi :
Ontologis :
Otoritas :
Pedagogis :
Pluralistis :
Preferensi :
Privilese :
Rasionalisasi :
Represi :
Republikan :
Sivilitas :
Toleransi :
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 : https://i.dailymail.co.uk/1s/2019/11/09/20/20804582-7666667-
image-a-13_1573329881965.jpg
Gambar 3.2 : http://www.bing.com/images/search?
view=detailV2&id=2182A709F9876F129D809B477D65ACDE12D19F95&thid=
OIP.1Q_UwX9am1eHI6_P2_Me7wHaEa&mediaurl=http%3A%2F
%2F2.bp.blogspot.com%2F dAgD0mW9ggE%2FVl8Vs4v_zUI
%2FAAAAAAAAAzA%2FxVU47j8w5f4
2Fs640%2F553140708_Pemilu1955.jpg&exph=382&expw=640&q=Jakarta+Pem
ilu&selectedindex=1&ajaxhist=0&vt=4&sim=1
Gambar 3.3 : http://www.bing.com/images/search?
view=detailV2&ccid=lEgfrRF2&id=9DFE3873ABB9D68A6AA78E10F567A33
A6C9FB8AA&thid=OIP.lEgfrRF2W1Iy0E5jRaMydgFADD&mediaurl=https
%3a%2f%2fhukamnas.com%2fwp-content%2fuploads
%2f2018%2f03%2fPelaksanaan-Demokrasi-
Terpimpin.jpg&exph=390&expw=640&q=Pelaksanaan+Demokrasi+Di+Indonesi
a&simid=608048681608282436&selectedIndex=34&ajaxhist=0

Anda mungkin juga menyukai